31.5.09

meminta maaf pada bapak

minggu sore, jam 5, di rumahku di malang, aku terbangun. baru setengah jam tidur. bapakku gelodakan memasang kayu tambahan di pintu dapur kami agar tidak ada ruang di bawah pintu itu. sebabnya, lewat ruang kecil yang sebelumnya ada di pintu itu, tikus-tikus yang berasal dari lahan kosong di belakang rumah, sering masuk ke dapur, keliaran sana-sini dan menyikat apa saja gak tahu malu.

palu yang dihantamkan bolak-balik ke paku yang dipasangkan di bagian bawah pintu bikin aku kaget. saat kaget, lalu terbangun, mukaku masam. aku ngomong ke bapakku, dengan nada suara agak tinggi, "mbrebeki wong turu wae (bikin terganggu orang tidur saja)."

bapakku cuma bilang, "lha iki wis sore kok (lha ini kan sudah sore)."

aku membalas lagi dengan nada marah, "mbok yo masange mbengi wae kan iso. aku lagi turu setengah jam (kalau memasang malam saja kan bisa. aku baru tidur setengah jam)."

bapakku hanya diam.

sebelum tidur aku merasa cukup lelah karena siangnya aku cukup banyak kegiatan, termasuk menghadiri acara bedah buku "simply amazing" karya j. sumardianta (buku ini sudah kubeli dan mau kuresensi dalam bulan juni). setelah pulang bedah buku aku onlen sebentar, mengecek beberapa situs koran kalau-kalau ada tulisanku yang dimuat. beberapa situs koran ternyata susah dibuka, internetnya lemot. informasi tulisanku ada yang dimuat atau tidak, gak berhasil kudapatkan.

begitulah, akhirnya, karena kesal dan terbangun akibat kaget, tanpa babibu, aku kemasi barang-barangku, pamitan seadanya, langsung balik ke sidoarjo. motor kutancap cukup laju, kesal di hati kurasa menumpuk-numpuk.

namun, dalam perjalanan, hatiku berbisik, "kelihatannya bapakmu tidak tahu kamu baru tidur setengah jam."

aku dicerahkan, ingat kalau pada saat pulang ke rumah dari onlen dari warnet, bapak-ibuku lagi tidur. aku melambatkan laju motorku, lalu berdoa agar perjalananku selamat, dan bapak-ibuku baik-baik saja di rumah. aku menyesal.

di perjalanan aku mengenang masa-masa kecil dulu. aku menyanyikan dalam hati lagu "ayah" garapan ada band. aku mengingat saat dulu bapak bercerita sering membawaku sore-sore naik bis tingkat waktu kami sempat tinggal di jakarta selama tiga tahun saat ia kuliah sambil bekerja. aku hampir lupa saat-saat itu, tapi ia bercerita sering menggendongku menyaksikan jalanan. tentang kegiatan ini, bapak bercerita kalau bapak, ibu, aku, dan abangku selalu menuju ke tingkat dua bis yang kami naiki, lalu ambil tempat duduk terdepan.

bapak juga orang pertama yang mengetahui adanya bakat menulis dalam diriku. ia orang yang bijaksana, sederhana, tak pernah mau disuap ketika bekerja, dan tak banyak bicara, walau sangat suka sekali bercanda.

masih banyak hal yang kuingat tentang bapak. bahkan minggu lalu dia mengantarku mencegat angkot yang menuju ke terminal hujan-hujan. sebelum nyegat angkot, tanpa kuduga ia mampir sebentar ke indomaret dekat rumah, membelikan aku obat batuk. aku memang lagi batuk waktu itu.

di antara semuanya, yang tak akan terlupakan adalah ketika ia akan dioperasi jantung di r.s. harapan kita. ketika memasuki ruang operasi dia memandangi mataku cukup lama dengan matanya yang berair, hanya menyatakan, "jogo sedulur-sedulurmu (jaga saudara-saudaramu)."

aku bersyukur memiliki seorang bapak -- hingga kini.

ketika sampai di sidoarjo aku menyesal tak menghabiskan waktu sejenak minum teh bersama bapak dan ibu -- hal yang seringkali kulakukan sebelum meninggalkan kota malang.

begitu sampai, aku segera meminta maaf kepada bapak. sungguh, aku gak berani telepon. aku hanya berani sms. aku, si pemarah ini, bersyukur untuk anugerah tuhan yang selalu menghadirkan kelembutan di hati, ketika amarah atau sakit hati mendera jiwa.

ketika menulis semua ini, aku berjanji akan membuat sebuah buku untuk bapakku -- walau itu tak akan pernah mampu membalas semua baktinya bagiku dan keluarga. jadi, tuhan, tolong aku agar dapat menunjukkan baktiku di saat-saat ini untuk bapakku -- dengan sepenuh kasih, ketulusan dan penghormatan.

sidoarjo, 31 mei 2009, 20.53

25.5.09

Pak Jingga di Negeri Janesia

JANESIA, negeri para pahlawan dan penulis. Di sinilah kini seorang pria buta berada, dengan baju lusuh mirip pengemis. Ia berjalan tertatih-tatih, sedikit sempoyongan karena tak makan-minum dua hari dua malam. "Heran juga," katanya dalam hati, "di Harigia aku begitu perkasa dan mampu melesat ke sana-sini tanpa kendala. Namun di sini... yah... semua berbeda!"

Tak ada seorang pun yang mempedulikannya, karena ia datang dengan pakaian tua yang serba lusuh, seperti beberapa pengemis yang masih ada di beberapa penjuru Janesia. Pria dan wanita di sini semuanya hanya mondar-mandir tanpa menghiraukan dirinya. Ia memutuskan bertahan dalam keasingan dan keacuhan para penghuni Negeri Janesia karena telah bermimpi kalau di negeri ini, paling lambat tiga hari sejak kedatangannya, ia akan bertemu dengan seseorang yang mengenali dirinya.

Orang-orang Janesia sangat acuh kepada orang asing. Bukan karena mereka sombong, namun semuanya tampak selalu bergegas dalam melakukan sesuatu. Apalagi di saat-saat ini, keberadaan orang asing sama sekali tak memiliki tempat untuk jadi bahan perhatian. Desas-desus tentang Negeri Harigia di seberang sudah mulai mewabah: arwah-arwah di sana tampil mengerikan dan membuat bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya pasti merinding.

Ada arwah pemakan ulat dan cacing pembawa gada hendak melaju ke kota-kota di Harigia dengan tujuan membuat kekacauan dan mengadakan malapetaka. Ada arwah yang matanya selalu merah dan hidungnya menyatu dengan mulut, dengan jenis gigi semua taring, yang suka sekali memakan ayam-ayam dan babi-babi mentah. Dan masih banyak yang lain.

Arwah-arwah ini dikabarkan turun dari gunung-gunung di Pegunungan Arwah, diutus untuk mengacau di segenap penjuru Harigia, terutama di kota-kotanya!

Pak Jingga mendengar semua itu. Ia jadi turut gelisah dan berharap segera bertemu orang yang ia jumpai samar-samar dalam mimpi. Demi mengusir kegelisahannya, pria tua yang buta nan malang itu kemudian bertapa di atas sebuah batu yang ditutupi beberapa pohon. "Di sini aku akan lebih nyaman menyendiri," katanya dalam hati. Ia juga berpikir bahwa semua kabar meresahkan tentang berbagai arwah yang telah turun dari Pegunungan Arwah itu sirna dengan bertapa. Ia berharap Tuan Malam dan kawan-kawan petualang mampu mengatasi semua rintangan menuju ke Kolam Mukjizat, tempat di mana akhir petualangan tergapai -- semoga saja -- dengan gemilang.

Di dekat batu ia bertapa itu mengalirlah Sungai Hikma yang terkenal, yang melintasi Negeri Janesia. Bunga-bunga bakung tak layu di segala musimnya -- serasa abadi. Keteduhan cahaya dan daun-daun terbias dengan jernih nan cemerlang di setiap riak-riak kecil yang menggeliat dan dan sesekali menggelombang akibat dihembusi angin. Syair dan lagu-lagu dibuat tentangnya, mengisahkan berbagai penemuan atas pencarian manusia akan hikmat dan marifat.

Pak Jingga, resi yang yang tua itu, diam-diam menyanyikan sebuah lagu yang diingatnya tentang sungai ini:

Ada sidik jari dan tanda-tanda keberadaan Sang Khalik
Dalam lekuk dan aliran airmu yang merembesi hutan dan tanah-tanah
Ada hikmat dalam hembusan angin yang berhembus redakan terik
Ketika para pahlawan dan pujangga goreskan pena mencari marifat dengan resah

***

WANITA itu datang dalam kesenyapan malam.

Pak Jingga terlelap setelah seharian bertapa dan mendapat bisikan untuk menahan lapar-hausnya tiga hari tiga malam. Ia memutuskan untuk sama sekali tak menengadahkan tangannya, lalu meneguk beberapa tetes air Sungai Hikma yang lama nian dinantikannya. Tiba-tiba ia tergugah dari mimpinya yang samar, lalu saksikan kemilau cahaya cemerlang berwarna nila bersemu merahmuda. "Mataku buta, bagaimana mungkin aku dapat melihat perpaduan cahaya?"

"Berbahagialah kau, Pak Jingga, putra bumi yang penuh kesabaran. Pencarianmu berakhir dan kini... mari minum." Suara yang terdengar begitu lembut itu bagai merasuk ke dalam tulang, menyalakan kembali semangat seseorang yang berada di antara hidup dan mati. Pak Jingga merasa segar kembali. Tiba-tiba ia mengingat masa-masa di mana ia dulu jatuh hati kepada seorang putri yang pandai bernyanyi. Seorang putri yang mati di usia muda karena terserang penyakit mematikan. Tubuhnya bergetar pelan, lehernya sesak sedikit.

"Kau memiliki banyak kenangan, pria tua. Kini, ambillah air ini. Jangan ragu, akulah yang ada di mimpimu itu." Wanita itu lalu mengangkat tangannya, mengambil sebuah cangkir, lalu menyerahkannya kepada Pak Jingga. "Minumlah, air dari Sungai Hikma," katanya.

Pak Jingga meneguk air itu perlahan. Ketika kesejukan mengalir di setiap bagian leher dan perutnya, sesaat ingatannya pada putri bersuara merdu yang mati muda sirna. Bahkan, cahaya nila dan merahmuda yang tadi sempat terbias di matanya mengabur perlahan. Hitam, hanya itu yang kini bisa dilihatnya dengan mata tertutup.

"Kau sudah ada di negeri ini tiga hari. Mari, kini kita pergi mencari apa yang kaucari, Kawan!"

"Siapa kau?" tanya Pak Jingga dengan sedikit terbata.

"Yang jelas aku kawanmu, seperti aku memanggilmu. Mari kita beranjak dari sini, menuju Kota Pustaka. Orang-orang sudah menantimu di sana."

"O ya?"

"Ya! Tentu kau tidak bisa menutup telingamu tiga hari ini, bukan? Apa pun yang kaudengar kiranya tak membuatmu panik. Masih ada harapan di setiap kabar buruk tentang penyerangan arwah secara besar-besaran."

Pak Jingga manggut-manggut. Kini ia seperti berbicara dengan seorang wanita biasa. Ia masih belum tahu mengapa tadi ia menangkap secuil keindahan dan kemuliaan cahaya ketika wanita itu datang kepadanya -- seperti mimpi, seperti nyata. Siapa ia sebenarnya, Pak Jingga masih bertanya-tanya.

"Aku cuma merasa seperti ini, Putri...," kata Pak Jingga.

"Kawan. Kau sebaiknya memanggilku: kawan. Sepakat?"

"Ya, Kawan. Aku cuma merasa kekuatanku benar-benar lenyap. Dan aku..., aku mengingat masa-masa di mana dulu aku menjadi manusia biasa. Kini aku merasa seperti manusia biasa lagi, bukan resi. Manusia tua dan tak berdaya. Tapi aku yakin sedang disuruh berpuasa hingga kau datang, lalu menemukan sekilas bayangan samar yang sangat kurindukan sejak lama: cahaya nila bersemu merahmuda. Cahaya yang mirip dengan beberapa gaun yang dimiliki putri idamanku di masa lalu. Putri yang suka bernyanyi tentang lautan, sungai, gunung-gunung, burung-burung dan sawah-sawah di Harigia yang bagai emas."

"Kawan, aku tidak tahu apa maksud dari apa yang baru saja kausaksikan bersama kedatangan diriku. Aku hanya datang atas perintah kawan kita lainnya di Kota Pustaka yang melihatmu dalam mimpinya kalau kau sedang bertapa.

"Sekarang, marilah kita menuju ke Kota Pustaka dengan menggunakan dua kendaraan ini!"

Terdengar ringkikan dua ekor kuda yang membangkitkan gairah bertualang Pak Jingga. Ia tersenyum dalam kekelaman malam, walau tak lama kemudian dahinya berkerut, "Bagaimana bisa aku dibawa ke Kota Pustaka bila aku buta?"

"Aku sudah menyediakan seorang penolong bagimu." Ada suara orang meloncat turun dari atas kuda, lalu tapak kakinya terdengar melangkah pelan. "Perkenalkan, ini Barkaya. Ia akan menjadi abdimu, Kawan!"

"Aku Pak Jingga," kata Pak Jingga sambil mengulurkan tangan.

Barkaya menyambutnya dengan bersujud sambil memegangi dua paha Pak Jingga. "Hamba, Barkaya, siap mengantar Tuan Jingga."

Pak Jingga terpana mendengar suara tegas yang dimiliki pemuda itu. Ia lalu mengangkat tangan pemuda itu. "Sudah, panggil saja aku Pak Jingga. Jangan Tuan," katanya.

Suasana hening sesaat. "Sebentar, sebentar...," kali ini Pak Jingga mengagetkan dua temannya dengan berlagak seperti orang tua yang pikun. Ia berputar-putar, sedikit melompat-lompat, tampak diliputi sukacita yang besar. "Bagaimana jika aku mengambil beberapa liter air dari Sungai Hikma yang penuh kenangan ini? Aku tadi baru minum segelas, Kawan!"

"Kami rasa, kedua teman kita ini akan bermurah hati untukmu, Tuan. Silahkan!" kata si wanita sambil menepuk-nepuk perut kudanya.

Tanpa diperintah, Barkaya menuntun Pak Jingga menuju tepi sungai. Ia juga yang memasukkan beberapa liter air ke tempat minum Pak Jingga. "Sebentar, Nak. Dengarlah riak air ini," katanya kepada Barkaya sambil mengacungkan telunjuk ke samping telinga dan manggut-manggut sambil tersenyum kecil.

Barkaya tersenyum menyaksikan tingkah Pak Jingga. "Saya mendengarnya, Pak...."

Tiba-tiba Pak Jingga menenggelamkan dirinya ke dalam sungai itu. Byuuur! "Haaah...," katanya setengah berteriak setelah beberapa detik kemudian kepalanya muncul di permukaan air. "Kesegaran tiada tara, Nak! Kesegaran tiada tara!" Pak Jingga berenang sesaat, sementara si wanita menyaksikannya sambil geleng-geleng kepala. Diterangi cahaya bulan malam itu, Barkaya melihat seulas senyum manis yang tampak dari wajah si wanita. Ia pun ikut tersenyum.

Beberapa jenak kemudian Pak Jingga keluar dari air, ditolong dengan uluran tangan Barkaya. Ia tak henti-hentinya mengucap kekaguman dan menyanyikan lagu yang disukainya tentang sungai itu.

"Nak, kuharap kau tidak keberatan bajumu akan basah dikenai bajuku ya?" katanya sambil menggigil kedinginan.

"Tidak, Pak," kata Barkaya yang kini sudah siap.

"Mari!" kata si wanita.

Ringkikan kuda yang cukup nyaring membahana di sekitar mereka berada. Tak lama kemudian kuda-kuda itu melesat cepat dan meliuk-liuk lincah di sela-sela pepohonan. "Laju, terus! Maju... ayo! Hilangkan gigilku. Terus maju! Terus laju!" demikian Pak Jingga berteriak-teriak gaduh di sepanjang perjalanan, membuat sukacita dan keyakinan menguasai jiwa ketiga kawan-kawan kita ini.

Sidik Nugroho
Sidoarjo, 25 Mei 2009, 00.26

23.5.09

Jawaban yang Lain

"... aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu. Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku." (Mazmur 73:22-23)

Matius 6:5-15

"Jangan lupa doakan saya, ya?" Begitu sering kita mendengar kata-kata itu, terutama bila yang meminta didoakan sedang dalam suatu kesusahan atau menemui jalan buntu. Memang benar, dengan doa semua persoalan bisa diatasi. Namun, berapa banyak dari orang-orang yang sering minta didoakan itu -- mungkin juga termasuk kita -- tahu bahwa doa merupakan sarana untuk kita mengetahui kehendak Allah?

Sammy Tippit dalam bukunya The Prayer Factor menyatakan dengan gamblang, "Berdoa dengan kehendak yang diserahkan kepada Allah berarti meresikokan hidup kita kepada Allah. Terlalu banyak orang dalam generasi ini yang mencari kenyamanan. Terlalu banyak orang menggunakan doa untuk melarikan diri dari kesulitan."

Doa bukan sekedar kegiatan untuk memperoleh keyakinan bahwa apa yang kita minta atau niatkan mendapat jawaban, atau "jalan yang lurus", tapi juga sarana untuk menguji semua yang kita minta dan niat kita di hati dengan suatu pertanyaan: apakah itu semua sesuai kehendak Allah?

Tuhan pernah menyatakan bahwa sebelum kita berdoa, Bapa mengetahui apa yang akan kita minta (Matius 6:8). Jawaban Tuhan bisa "ya", "tidak", atau "tunggu". Namun, bila suatu ketika Tuhan serasa hanya diam, dan kita tak menemukan jawaban atas sesuatu yang kita minta dalam doa, kita sebenarnya sedang diminta Tuhan untuk menyadari sebuah jawaban yang lain -- sebuah jawaban mengapa doa kita tak dijawab: kita diminta untuk senantiasa bersabar dan bersandar kepada-Nya; karena Ia punya alasan terbaik untuk berdiam diri. (SN)

"Dalam kehidupan ini kita dituntut untuk sadar bahwa tidak semua jawaban atas suatu pertanyaan itu baik adanya."

21.5.09

sebuah catatan kecil tentang ibu

malam ini, setelah memberi ucapan selamat merayakan kenaikan yesus kristus, ibuku -- yang kupanggil mamah -- bercerita kalau dia baru saja membawa renungan di persekutuan oikumene di lingkungan perumahan kami. "deg-degan aku, sudah lima tahun gak bawa renungan," katanya. dia kemudian memintaku mengiriminya sebuah renungan tentang doa -- bila ada.

"sip, bu guru yang kini jadi bu pendeta. kalau ada nanti kukirim," kataku. terkait renungan yang dimintanya itu, aku spontan meminta agar ibuku senantiasa mendoakanku.

dan ia menjawab, "anakku, setiap pagi dan malam hari mamah selalu berdoa buatmu... mamah juga selalu berdoa buat tulisan-tulisanmu agar dibaca dan memberkati orang-orang lain."

membacanya, aku jadi sedih karena tidak mendoakan ibuku tiap pagi dan malam.

kasih ibu memang sepanjang jalan -- tiada duanya, tiada ujungnya. kini, di hari kristus naik ke surga, merenungi lagi dua anugerah terbesar dalam hidup -- yaitu keselamatan dan roh kudus yang telah tuhan berikan -- aku juga bersyukur untuk sebuah anugerah lain: kasih dan doa-doa tanpa putus seorang ibu.

malam makin larut, terlintas lagi masa-masa kecil dulu saat aku dibonceng ibuku naik sepeda di singkawang: dia mengajar, aku sekolah. kami beda sekolah. sekolah tempat dia mengajar dekat dengan sekolahku. dia mengajar di tk flora, sebuah tk katolik; aku di sd subsidi suster. ia sangat setia dan bersemangat menjadi guru, sampai-sampai pandai berbahasa "kek" (bahasa tionghoa orang-orang di singkawang) agar muridnya yang sebagian besar orang tionghoa paham maksudnya.

hingga kini ibuku masih setia menjadi guru. bukan hanya guru, ia pendoa yang setia dan sangat rajin berpuasa. tiap jam 4.30 pagi ia bangun, genjrang-genjreng main gitar sambil menyembah tuhan walau tak bisa satu kunci gitar pun, lalu berangkat pagi-pagi ke sekolah untuk mengajar. ia menjadi guru di tk mardiwiyata, di malang.

kini, hanya aku dari antara ketiga putranya yang mewarisi minat dan perjuangan hidupnya menjadi seorang guru. dan aku tidak pernah menyesal menjadi guru, salah satu alasan terkuatnya adalah:

karena ibuku juga guru.

sn, sidoarjo, 21 mei 2009, 21.47

20.5.09

Gadis yang Bimbang dengan Karunia Tuhan

Judul Buku: Mata Keenam
Penulis: Melody Carlson
Penerjemah: Desiree
Penyunting: Arie Saptaji
Penerbit: Gloria Graffa
Tebal: 342 halaman
Cetakan pertama, Maret 2009

Samantha McGregor gadis 16 tahun yang tak berayah. Ayahnya dulu seorang polisi, yang sempat menyatakan kepadanya kalau ia memiliki karunia khusus. Karunia khusus itu adalah kemampuannya melihat sesuatu di alam roh, lewat mimpi atau penglihatan-penglihatan. Penglihatan yang dimaksud di sini adalah penglihatan atas suatu keadaan yang sifatnya rohani, bukan melihat sesuatu yang dilihat mata biasa. Biasanya, penglihatan ini membawa si pelihat mengetahui keadaan seseorang di hari depannya.

Nah, suatu ketika ia bermimpi dan "melihat" seorang temannya, Kayla Henderson, yang telah menghilang secara misterius. Temannya itu menghilang setelah bercerita dengan penuh semangat bertemu dengan Colby, seorang pria sempurna yang ia temui di internet: tampan, kaya, pandai main selancar, dan romantis. Kepada Kayla ia berjanji akan setia dan memberikan dirinya untuk menjadi teman hidup.

Semua teman Kayla, termasuk Samantha, kemudian menduga bahwa Kayla telah mengikuti pria itu ke rumahnya di San Diego. Namun, karena tak ada berita-berita yang berkembang lebih lanjut selama beberapa minggu, maka Samantha dan Olivia, dua teman Kayla yang masih peduli padanya, berdoa untuknya dan berupaya mencarinya.

Samantha kemudian bertemu dengan Ebony, seorang polwan yang dulu menjadi partner ayahnya. Penglihatan-penglihatan Samantha, oleh Ebony kemudian dijadikan semacam acuan beberapa polisi untuk mencari temannya itu. Ibu Samantha sempat menganggap semua ini tidak normal. Ia jadi kuatir. Dulunya ia malah sempat membawa Samantha ke seorang psikiater. Kekuatirannya bertambah besar ketika ia tahu Samantha bekerja dengan Ebony. Ia mencemaskan keselamatan Samantha, mengingat suaminya yang dulu tewas tertembak saat bertugas dengan Ebony ketika menguak suatu kasus kejahatan.

Belum lagi, keluarganya sendiri sering mengalami masalah. Abang Samantha yang bekerja di persewaan video seringkali membuat ulah dan terlibat beperapa tindak kriminal. Semua ini akhirnya membuat ibu Samantha hampir menentang habis-habisan keterlibatan Samantha dengan polisi mengungkap keberadaan Kayla.

Begitulah sekilas alur yang diracik cukup menarik dalam novel ini. Sayangnya, karena novel ini terkategori novel rohani, tidak terlalu jelas beda antara karunia ilahi yang dimiliki oleh Samantha bila dibandingkan dengan yang dimiliki paranormal. Memang, Samantha sendiri tidak suka disebut-sebut seorang paranormal; namun di sepanjang novel hal-hal yang menjadi pembedanya tak disampaikan dengan acuan teologis yang memadai.

Bahkan, di suatu kesempatan dikisahkan kalau Samantha berusaha mendapatkan penglihatan di rumah Kayla, karena "... seseorang yang diberi karunia khusus bisa menjalin hubungan dengan seseorang yang lain jika ia berada di sekitar benda-benda milik orang yang hilang itu, atau tempat ia biasa meluangkan waktunya" (halaman 114-115). Adakah relevansi kutipan tadi dengan kebenaran Alkitab? Rasanya tidak ada. Tapi, justru penglihatan yang didapatkan Samantha dari rumah ini mengubah arah pencarian mereka selanjutnya, bukan ke San Diego.

Bagian lain yang agak menyedihkan -- selain dukungan teologis yang kurang dalam merekonstruksi cerita -- adalah terjemahan atas judul novel ini. Judul aslinya adalah Bad Connection, namun diterjemahkan menjadi Mata Keenam. Judul yang tanggung -- kenapa tidak sekalian saja Indra Keenam? Apa karena "indra keenam" dianggap sebagai istilah yang lebih cocok dimiliki paranormal? Kalau menggunakan kata "mata", tampaknya lebih pas dijuduli Mata Ketiga, bukan keenam.

Terlepas dari dua kekurangan tersebut di atas, setidaknya Mata Keenam memiliki dua kelebihan yang membuatnya patut untuk disimak tuntas.

Pertama, sasaran pembaca. Mata Keenam dibuat utamanya bagi para remaja, tapi juga asyik dibaca oleh orang dewasa. Pencarian-pencarian Samantha atas sahabatnya di novel ini adalah bukti kegigihan Samantha dalam berupaya menaati Tuhan dan menghargai apa yang Tuhan berikan lewat hidupnya. Inilah sesuatu yang tampaknya menjadi pesan terpenting dalam novel ini, selain persahabatan yang terbina di antara Samantha, Olivia dan Ebony.

Pengisahan tentang single-parent dan upaya mempertahankan eksistensi sebuah keluarga pun turut menghiasi halaman-halaman novel ini dengan begitu menyentuh. Membacanya mungkin Anda akan teringat dengan film Juno -- bila Anda sudah menyaksikan film ini tentunya: sebuah film yang mengisahkan remaja putri yang bingung membuat keputusan atas bayi yang sedang dikandungnya akibat hasil hubungan seks iseng. Seperti Juno yang bingung atas kecelakaan yang menimpa dirinya, Samantha bingung atas kecelakaan yang menimpa temannya. Untungnya, keduanya memiliki kesamaan: sama-sama memiliki sahabat, keluarga dan teman-teman yang mampu diandalkan untuk membuat mereka terus menghadapi hidup dan melakukan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab mereka.

Kedua, jarang ada novel rohani yang mengangkat tema tentang karunia rohani seperti yang ada di novel ini, dengan menghadirkan tokoh seorang remaja putri. Mungkin kita pernah tahu Frank Piretti yang mengarang beberapa novel kristiani, tapi hal yang lebih banyak dikuak di novel itu adalah dunia roh, bukan karunia untuk memahami dunia roh.

Melody Carlson sangat jeli menggambarkan karakter Samantha dengan pergumulannya sebagai seorang remaja putri yang taat dan rohani, namun sering merasa resah dan bimbang akibat kepercayaan dan rahasia-rahasia yang Tuhan berikan dan singkapkan kepadanya.

Walaupun Samantha terkesan serba-bimbang, Melody Carlson membuatnya tetap menarik dengan menghadirkan banyak self-talks Samantha yang manusiawi, dialog-dialog yang bernas dan alur yang wajar. Kita akan turut bersimpati padanya -- seperti misalnya ketika dalam sebuah bagian ia berkata, "... hidupku akan jauh lebih mudah tanpa karunia semacam ini. Aku hanya berharap Tuhan tahu benar apa yang Ia lakukan" (halaman 179).

Ya, tampaknya Melody dengan lihai telah menciptakan karakter Samantha yang rasanya akan disayangi sidang pembaca.

Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan penulis lepas
Malang-Sidoarjo, 16-18 Mei 2009

19.5.09

Kedegilan dan Kesendirian yang Berujung Petaka

Bahaya Kedegilan Hati

SEAN PV, tokoh dalam cerita Remy Sylado Mimi lan Mintuna menunjukkan bagaimana proses kedegilan hati itu terjadi. Sean PV awalnya seorang yang beragama. Ketika dewasa, ia berbuat dosa dan tak mau tobat. Dosa-dosa yang dilakukannya kemudian bertumpuk-tumpuk dan kemudian menjadi makanan sehari-hari. Bahkan, "... dia menganggap dosa itu adalah matapencarian."

Karena dosa adalah matapencariannya, maka Sean mudah menipu, mudah bersandiwara, mudah menyiksa, mudah marah, bahkan mudah meletupkan senjata di kepala orang lain. Seorang musuhnya menyatakan kepadanya: "... saraf kasihan kita sama-sama sudah tidak ada."

Sean PV adalah seorang pedagang (sekaligus germo) gelap wanita-wanita yang dijadikan pelacur kelas atas dan bintang-bintang film porno di Bangkok, Hongkong, hingga Tokyo. Begitu hina apa yang dikerjakannya, begitu banyak petaka yang ditimbulkannya sepanjang cerita.

Dunia kini berlaku makin kejam pada kita. Dosa menantang untuk dicoba-diperbuat sehari-hari. "Dosa memperanakkan dosa," demikian kata seorang bijak yang saya dengar beberapa tahun silam. Ada benarnya. Ketika sebuah dosa sudah biasa kita lakukan, maka kita akan melakukan dosa lain. Dan seterusnya. Semua tumpukan dosa itu akhirnya membuat hati kita tumpul. Alias degil. ***

Bahaya Kesendirian

KESENDIRIAN: baik dan tidak baik. Saat sendiri kita bisa merenungi diri, mungkin sambil merenungi tulisan ini. Tapi bisa juga melahirkan niat jahat karena memberi makan pikiran kita ilusi yang ngeri-ngeri.

Itulah yang terjadi pada Travis Bickle, tokoh yang ditampilkan dalam film Taxi Driver besutan sutradara tenar Martin Scorsese. Travis (diperankan dengan mantap oleh Robert De Niro) kesepian -- sangat kesepian.

Gelisah mengusir kesepiannya, ia mencari-cari perbuatan yang membuat hidupnya berarti. Setelah cintanya ditolak oleh seorang wanita, ia membeli banyak senjata, latihan angkat berat dan berusaha jadi pahlawan -- entah bagi apa atau siapa. Di depan cermin ia berkata: "Are you talkin' to me?" kepada dirinya sendiri. Sebuah self-talks atau solilokui yang pedih benar rasanya terdengar.

Wanita yang menolak cintanya termasuk dalam salah satu tim sukses kandidat presiden. Entah ada hubungannya atau tidak, Travis kemudian berniat membunuh presiden itu, walau kemudian gagal. Cara lain dicoba untuk menunjukkan keberadaannya: ia berusaha menyelamatkan seorang pelacur remaja. Memang, pelacur ini akhirnya berhasil dia selamatkan, walau pada awalnya pelacur itu tampak sama sekali tak ingin diselamatkan.

Anda yang menyukai kesepian, tiliklah ulang kesepian yang Anda sering genggam selama ini. Kita juga butuh bergaul, bukan selalu murung-merenung. Semuanya perlu berimbang, untuk membuat hidup ini bervariasi, penuh makna.

"Are you talkin' to me?"

"Yes, I am," kata seseorang, seorang teman bicara Anda, bukan pantulan wajah Anda di cermin. Dan itu tampaknya lebih baik, lebih waras. ***

Badut Pembunuh yang Jenaka

BILA dua bagian di atas mengisahkan tokoh-tokoh fiktif -- walau pada kenyataannya mirip juga dengan apa yang terjadi di dunia kita -- yang satu ini benar-benar terjadi.

Pria ini terkenal sebagai pemain badut. Ia sangat ramah, suka menolong, cinta anak-anak, jenaka, dan dermawan. Suatu hari ia menawari pekerjaan kepada Robert Piest. Robert sebenarnya hendak pulang karena ibunya ulang tahun. Tawaran pria ramah yang menjanjikan uang lima dolar sejam ini menunda kepulangannya.

Nah, tanpa pernah terduga, ketidakjadian Robert Piest pulang ke rumah membuka kedok John Gacy yang ramah, santun nan jenaka ini. Di rumahnya, Robert Piest diperkosa dan dibunuh. Ketika polisi menggali tanah-tanah di sekitar rumah John Gacy, Robert Piest kemudian dinyatakan sebagai korban ke-27!

Wajah badut yang lucu ini ternyata dimiliki oleh seorang berwajah setan yang sangar. Berita yang dimuat di majalah Newsweek tanggal 8 Januri 1979 ini benar-benar menggemparkan Amerika, khususnya negara bagian Illinois, di mana John Gacy tinggal.

Di Indonesia, ada Ryan yang berkasus serupa. Dengan tampang yang kalem, keren dan modis, siapa pun mungkin tak pernah mengira orang seperti Ryan suka membunuh dengan cara-cara yang mengerikan. ***

MENGAITKAN kesendirian, kedegilan hati, juga kemunafikan dan kepalsuan yang tersamar serba lihai yang telah kita ulas tadi, Ki Dong Kim, pengajar dan sastrawan yang ternama menulis, "... orang yang suka memendam rasa dan pikirannya sendiri, gampang kerasukan roh jahat. Karena ia selalu terpaku pada pikirannya, dan apabila ia terpaku pada pikiran negatif, maka ia akan menjadi muram."

Apa yang Kim sebut sebagai roh jahat mungkin menakutkan. Tapi, hal-hal psikologis juga tak luput darinya. Dari sini kita telah melihat sebuah relasi vital: kedegilan hati yang tersemai akibat kesendirian dan self-taks ternyata dapat menjadi masalah kejiwaan yang serius. Ini membuat kita tidak mempunyai kepekaan akan dosa, tak punya belas kasihan, dan tak dapat mengecap kemuliaan dari kebenaran dan kasih-sayang. Kita hidup dalam jiwa yang egoistis: menganggap diri lebih penting dan lebih baik.

Saudara, dalam kehidupan ini, mari kita isi pikiran kita dengan hal-hal yang baik. Refleksi hidup itu perlu, namun bukan sarana bermuram-durja. Hellen Keller suatu ketika pernah berkata: "Rasa mengasihani diri adalah musuh kita yang paling buruk dan jika kita takluk padanya, kita tidak akan pernah melakukan sesuatu yang bijaksana di dunia ini."

Mari kita menjadi bijaksana, sekalipun hidup sudah terlalu berat untuk dijalani. Mungkin kita bisa mencari seseorang untuk berbagi isi hati. Andai seseorang itu pun nyatanya tidak ada, maka, sebuah pertanyaan hendak dilayangkan kepada hati Anda: kapankah kita mengoreksi diri kita di hadapan Tuhan terakhir kali? "Di pintu-Mu aku mengetuk, aku tak bisa berpaling," kata Chairil Anwar.

Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan penulis lepas

14.5.09

1 pembuka dan 3 cuplik romantika

1.
cinta yang digdaya
menitis dalam lelaku dan kata-kata
getar-rinding berhamburan dalam imaji
: tampakkan awan merahmuda bersemu nila

2.
trotoar dirindangi beringin-beringin tua
malam sunyi, dua jiwa gandengan tangan,
: saling mengelus lembut; pun dua pundak tak lelah bertaut
di trotoar sepanjang setengah kilo, satu jam berlalu

3.
payung digenggam erat tangan si kekar
hujan berderai di senja yang muram, tibakan gulita prematur
si manis mendengar nyata irama denyut jantung
sentosa-sejahtera pun teracik dalam helai-helai dingin

4.
lampu-lampu kota tersaksikan dari sebuah bukit
menyala satu-satu, dua-dua, atau tiga-tiga
rembulan nongol lambat-lambat, datangkan nyenyat
satu, dua, tiga... si manis dan si kekar kian merapat

sidoarjo, 12 mei 2009
: merayakan romantika, setelah sekian lama

12.5.09

Peti Mati yang Mahal


Suatu ketika saya menerima berita kematian seorang anak kecil yang telah saya doakan agar sembuh. Saya terkejut dan sedih. Ia baru berusia 6 tahun. Pengalaman ini bukan yang pertama kali. Sejak beberapa tahun lalu, belasan orang lain ikut saya doakan dan "antarkan" dengan petikan gitar karena saya sering pelayanan dengan pendeta yang menangani kematian di gereja kami. Dia berkhotbah dan memimpin pujian, saya yang bergitar.

Lain pula kisah yang terjadi pada sebuah keluarga kaya tiga tahun lalu. Yang meninggal adalah pemimpin keluarga itu, sang ayah. Karena begitu kayanya, peti mati yang digunakan sangat bagus. Di salah satu sisinya terukir dengan indah Perjamuan Terakhir: Yesus dan murid-murid-Nya makan bersama terakhir kali sebelum disalib.

Maut dapat menjemput kapan saja pada setiap orang. Itu bisa terjadi pada anak kecil, juga pada orang tua. Mungkin saja, hari di mana Anda membaca renungan ini adalah hari terakhir hidup Anda. Bukan untuk menakut-nakuti, namun demikianlah adanya. Setiap orang tak ada yang tahu dengan tepat kapan ia tiada.

Mungkin kita tak diantarkan dengan peti mati yang mahal bila kita dipanggil pulang, seperti yang tadi saya kisahkan. Namun, hidup kita dapat menjadi "mahal" dan sangat berharga karena telah dijalani dengan cinta, pengabdian dan pengorbanan bagi-Nya. Saat itu kita akan meninggalkan segala yang fana di dunia dengan tenang dan penuh kepercayaan bahwa kita akan disambut dengan gegap-gempita malaikat surga. Kita begitu berharga saat itu... sangat percaya diri.

11.5.09

Hanya Sepatu Usang

Mungkin, bila orang-orang melihat sepatu itu, akan mengatakan sebaiknya dibuang saja. Ya, sepasang sepatu saya yang berwarna cokelat itu memang sudah tidak layak pakai -- bahkan tapak salah satu pasangnya sudah berlubang. Hanya sepatu usang. Namun, baru-baru ini saya cuci, jemur dan lap lagi.

Sebabnya, itu sepatu pemberian ibu saya. Di tahun 2003, saya PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) mengajar di sebuah SMP swasta. Tidak ada sepatu saya yang cukup baik untuk dipakai mengajar saat itu, semuanya berantakan. Ya, seperti kebanyakan mahasiswa seangkatan jurusan Sejarah lainnya, saya benar-benar abai terhadap penampilan, apalagi alas kaki.

Saya tidak akan pernah lupa ibu saya yang waktu itu sebenarnya lagi tidak punya banyak uang, tapi mengajak saya ke toko sepatu kenalan temannya, memilihkan sebuah sepatu yang dirasanya cukup baik buat saya. Saya manut saja, memakai sepatu itu.

Lima tahun berlalu, dan sepatu itu terus saya gunakan hingga saya benar-benar menjadi seorang guru, bukan guru PPL lagi.

Dalam sebuah barang yang sederhana, kasih seorang ibu termuat dan senantiasa terkenang. Sesuatu yang memiliki kenangan berharga tak akan kehilangan harga ketika keusangan mendera dan masa berganti. Kini, mari kita melihat semua perbuatan baik yang telah orang-orang lain lakukan dalam hidup kita. Sesungguhnya, lewat mereka tangan Tuhan yang penuh kasih hendak menjamah kita. Mari kita senantiasa menghargai nafas hidup dan anugerah-anugerah yang Ia berikan dalam kehidupan kita. (~s.n~)

8.5.09

Layang-layang Jingga

Cerpen Sidik Nugroho

SINGKAWANG -- sebuah kota kecil di Kalimantan Barat. Akhir-akhir ini kota ini mencuat-cuatkan kenangan dalam benak seorang yang malang sepertiku kala kekelaman mulai menyelimuti angkasa. Sebenarnya senja sudah tak lagi kutiti sejak lama sekali. Cahaya mentari yang memudar dalam keremangan, lalu membawa angkasa beralih gulita, lebih sering kulewatkan begitu saja.

Namun, ya, akhir-akhir ini, bersamaan dengan hujan yang sudah tak lagi kerap mengguyuri bumi, aku mengangeni lagi masa kanak-kanak dulu di Singkawang. Entah karena bisikan apa, aku suka sekali merokok di loteng, mengabaikan pelanggan yang datang, ditemani segelas es teh, mengenang masa-masa silam, khususnya masa-masa di mana kami bersukaria dengan penuh peluh, tanpa sandal, kulit hitam terbakar, dan sepeda-sepeda BMX yang tergeletak, menyaksikan langit biru berpadu jingga yang dihias berbagai layang-layang.

Di sebuah lapangan -- Lapangan Tarakan namanya -- di Singkawang kami bersorak-sorai, menerbangkan dan mengadu banyak layang-layang dengan benang-benang gelasan buatan sendiri. Sudah hampir tiga puluh tahun masa-masa itu berlalu, namun aku tidak melupakan suatu senja di mana aku bersama sahabatku menyayat-nyayat udara dengan sebuah layang-layang kami yang terakhir. ***

"GULUNG, An! Gulung!" demikian Rahmat berseru-seru kepadaku setelah layang-layang kami berhasil membabat putus benang sebuah layang-layang musuh. Anak-anak di sekitar kami ada yang berlari, ada pula yang mengambil sepeda BMX-nya, mengejar layang-layang pecundang itu.

"Hebat, Mat! Kita benar-benar hebat!" kataku sambil menggulung benang dengan sigap.

Rahmat bangga benar dengan benang gelasan buatan kami. "Tidak sia-sia, An, tiga hari tiga malam kita membikin gelasan ini. Jadinya: benar-benar mantap!" katanya dengan bangga sambil meliuk-liukkan dan memutar-mutarkan layang-layang itu di langit setelah aku hampir selesai menggulung benang yang terulur-ulur tadi.

Dalam hati aku memang sempat cemburu dengan Rahmat ketika menggulungi benang. Itulah kali pertama aku bermain layang-layang dengan Rahmat. Sejak awal musim kemarau aku telah berusaha menaikkan layang-layang, namun hanya beberapa kali berhasil. Aku rasa memang tak semua pria dilahirkan dengan keadaan mahir bermain layang-layang.

Pun bukan hanya soal kemahiran, aku juga payah dalam memilih layang-layang. "Kau selalu saja memilih layang-layang yang singgit*), An!" kata Rahmat suatu ketika. Kalau tidak singgit, seringkali layang-layang pilihanku tidak nyaman diterbangkan. Bahkan ketika mengadu layang-layang pun, aku tak pernah menang -- padahal aku sudah membeli benang gelasan yang cukup mahal saat itu.

Hingga suatu ketika aku mengenal Rahmat ketika ia diajak seorang temanku main ke rumahku. Begitu senang aku ketika tahu teryata rumahnya tak jauh dari rumahku. Ia menjadi pahlawanku. Sejak saat itu kami tak terpisahkan, ke mana-mana selalu berdua. Hari-hari di musim kemarau sejak perkenalan itu menjadi ceria dan kujalani penuh kegirangan. Dengan sepeda BMX-ku yang kupasangi boncengan, Lapangan Tarakan dan layang-layang menjadi teman setia hari-hari kami.

Setelah musim kemarau berlalu, kami pun tetap menghabiskan waktu bersama. Saat-saat ini kami lebih sering belajar bersama. Rahmat anak yang cerdas, terutama dalam pelajaran menghapal. Walaupun beda sekolah, tapi kami sama-sama kelas 5 SD. Rahmat dan aku senasib: kami terlahir bukan dari keluarga kaya. Setiap pagi ia membantu ibunya yang membuat kue dengan menitipkan kue-kue itu untuk dijual lewat beberapa warung. Ayah Rahmat telah meninggal dalam sebuah kecelakaan bis. Ia hanya tinggal berdua saja dengan ibunya. Tanpa dimintanya, aku pun dengan setia datang ke rumahnya sebelum matahari bersinar, mengantarnya dengan sepedaku menitipkan kue-kue.

Karena saking seringnya membantu Rahmat, ibu Rahmat suatu ketika menghadiahi kami berdua upah yang cukup besar untuk membalas bantuan-bantuan kami kepadanya selama ini. Ibuku dan ibu Rahmat pun jadi bersahabat. Waktu itu musim kemarau baru saja tiba, dan pilihan kami bersenang-senang dengan upah itu hanya satu: kami akan membeli benang baru untuk kami jadikan benang gelasan.

Kami berdua lalu jadi mirip pemulung, mengobrak-abrik tempat sampah di depan sebuah toko elektronik setelah membeli benang. Sebabnya kami mencari neon-neon yang sudah putus dan mungkin saja dibuang di situ. Neon dan bolam menjadi kaca yang sangat bagus untuk benang gelasan dibandingkan kaca dari piring atau gelas. Kaca neon dan bolam lebih mudah halus bila nantinya kami tumbuk menggunakan ulekan milik ibu Rahmat. Tentu, kami kemudian mencuci dan mencucinya lagi sampai dua puluh kali untuk memastikan tidak ada sebutir pun kaca halus bekas tumbukan kami yang masih melekat.

"Dapat, An!" Nah, Rahmat mendapat sebuah neon yang bentuknya bulat-panjang. Aku bersemangat mengayuh BMX-ku pulang ke rumah Rahmat. Sore itu juga kami mengendap-endap menuju dapur mengambil ulekan. Dengan penuh semangat Rahmat kemudian membanting neon itu yang telah dibungkusnya dengan sebuah kain. Kami tertawa renyah ketika bunyi ledakan kecil terdengar. Malam itu, neon malang itu telah berubah nasib menjadi serbuk-serbuk halus. Beruntung ibu Rahmat sedang pergi, jadi kami melakukan pencucian ulekan tanpa omelan.

Keesokan harinya, begitu pulang sekolah, kami mencampur kaca halus itu dengan lem yang dipanaskan terlebih dahulu. Rahmat mengaduknya sampai rata, sementara aku merentang-rentangkan benang pada dua pohon kelapa yang berjajar di samping rumah Rahmat. Ketika dingin, Rahmat dan aku lalu mengoleskan ramuan neon ajaib yang telah diulek-ulek dan dicampur lem itu dengan santai. Sampai malam kami melakukannya, mengoleskan setiap rentangan benang beberapa kali dengan begitu lembut, berharap setiap serat terdalam dalam setiap mikron benang yang kami oleskan terlumuri sempurna dengan ramuan neon ajaib itu.

Sehari kemudian: benang gelasan siap digulungkan di sebuah kaleng susu bekas! Setelah semua benang-benang yang terentang-rentang tuntas tergulung, kami pun siap tempur!

Lapangan Tarakan begitu ramai. Dengan penuh keyakinan aku berlari, membawa layang-layang kami dalam jarak sepelemparan batu. Kuangkat tinggi-tinggi layang itu hingga ujungnya tepat berada di depan mataku. Dan... "Lepas!!!" sorak Rahmat.

"Wusss!" layang-layang kami yang berwarna jingga kemudian membelah angkasa dengan anggun dan molek nian! Ketika semakin meninggi, kupandangi senantiasa layang-layang itu. Kuharap ia menjadi pemenang yang mengalahkan musuh-musuhnya sore ini.

Harapanku ternyata benar. Tak lama setelah ia mengudara, sebuah layang-layang mendekati layang-layang kami. "Ulur, An! Ulur! Jangan jauh-jauh dari aku, ulur... ulur...," demikian Rahmat memerintahkanku sebenarnya bukan untuk mengulur, tapi untuk memegang kaleng dengan posisi melintang, agar ia -- yang sebenarnya sedang mengulurkan benang sambil memutar-mutarkan layang-layang kami -- dapat memenangkan pertarungan itu. Tak lama kemudian, tanpa ada bunyi yang terdengar, layang-layang musuh kami berhasil kami babat!

Aku bersorak sorai dengan girang! "Menang, Mat! Menang! Ayo kita sauk**) lagi!"

Seperti biasa, anak-anak di sekitar kami pada berhamburan, bersorak-sorai disertai makian-makian kecil, mengejar layang-layang putus itu.

Saat Rahmat lagi melakukan selebrasi dengan menukik-nukikkan layang-layang kami ke sana kemari dengan menarik-narik benangnya, tak dinyana sebuah layang-layang di sebelah kami yang baru saja naik, benangnya menimpa benang kami. Rahmat yang saat itu sedang menarik-narik benang layang-layang kami tampak tak siap. Sebabnya, tidak semua benang kami yang tergulung di kaleng adalah benang gelasan. Kira-kira duaperlima dari keseluruhan benang, yang ada di bagian terjauh dari layang-layang adalah benang nilon biasa. Dan, benar saja, benang nilon layang-layang kami yang tertimpa benang gelasan musuh kemudian putus.

"An... Antok! Benang kita putus panjang sekali! Benang gelasan kita, An! Kamu kejar layang-layang kita. Biar aku hantam yang barusan seenaknya menimpa layang-layang kita!"

Anak-anak sangat ramai mengejar layang-layang kami yang putus dengan benang yang sangat panjang itu. Aku tidak sempat memperhatikan apa yang dilakukan Rahmat pada orang yang bikin putus benang kami. Aku hanya berlari, memperhatikan benang itu yang masih tampak jelas ketika layang-layang mulai menurun dan menurun, sampai suatu ketika....

"Brakkk!!!"

Aku kemudian tak sadarkan diri.

Dan ketika sadar, aku tak dapat melihat lagi. Aku buta total. ***

TAK lama setelah kejadian itu, ibu Rahmat menikah lagi. Ia kemudian pindah ke Pontianak beberapa hari setelah lulus SD. Rahmat menangis tersedu-sedu ketika pamitan padaku di SLB. Sejak aku buta, ia tak henti-hentinya bersedih atas kejadian yang menimpaku sore itu. Layang-layang jingga dan benang gelasan hasil kerja keras kami bersama membantu ibunya menitipkan kue-kue ke warung-warung, ternyata adalah dua benda terakhir yang kupandang di suatu senja yang begitu muram.

Sejak Rahmat pindah hidupku semakin sepi. Aku dan keluargaku harus pindah ke Malang karena ayahku dipindahtugaskan ke sana. Tahun 1998 lalu, saat ada pemecatan besar-besaran di kantornya, ayahku turut dipecat. Aku diminta ayahku untuk ikut pendidikan tukang pijat tunanetra. Begitulah, sejak sepuluh tahun lalu, aku telah menjadi tukang pijat di sebuah panti pijat tunanetra. ***

"MAS Antok, ada tamu."

Kali ini siang hari, dan aku sebenarnya lagi santai tidur siang. Namun, karena seharian belum dapat pelanggan, maka dengan berat hati kukenakan bajuku. Tamuku ini benar-benar pendiam. Ia hanya mengeluarkan satu kalimat di kamar pemijatan, "Saya ingin menikmati pijatan Anda."

Satu jam berlalu, dan pelanggan ini menyatakan kepadaku kalau ia ingin membawaku untuk memijat keluarganya di rumahnya. Aku setuju. Ia bonceng aku naik motor, lalu mengajak aku turun ke sebuah tempat yang ramai. Ia membimbingku berjalan, sementara aku mulai cemas. Aku sangat yakin, ini bukan halaman sebuah rumah.

Ia lalu berbisik pelan, "Antok, peganglah ini." Kuraba-raba benda itu. Dan itu adalah layang-layang! Sekujur badanku merinding. Tak lama kemudian terdengar kata yang sama dari jenis suara yang berbeda puluhan tahun silam: "Lepas!!!"

Tak lama kemudian, pelanggan itu berdiri di sampingku, lalu dengan suara bergetar berkata, "Layang-layang kita... kali ini... berwarna jingga, An!"

"Rahmat?" kataku dengan bibir bergetar.

Kami berpelukan di Lapangan Rampal di Malang yang luas. Aku seakan tak percaya, bahwa lamunanku di beberapa hari terakhir ini ternyata berujung pertemuan ini. Tak terlukiskan keriangan yang berbaur kesedihan di benakku.

Rahmat kemudian bercerita kalau diam-diam ibuku masih berkirim surat dengan ibu Rahmat. Ibuku tak bercerita padaku tentang hal ini. Sejak buta aku jadi begitu pendiam, dan ibu takut mengusikku dengan cerita-cerita tentang Rahmat. Namun, ibuku salah jikalau menganggap aku masih menyimpan dendam pada Rahmat. Penyesalannya sudah cukup menjadi bukti bahwa ia pantas menjadi sahabat sejati. Aku telah memaafkan Rahmat sejak lama. Dan aku memang lebih butuh berdamai dengan diriku sendiri yang ceroboh.

Rahmat bakal tinggal di Malang selama dua tahun bersama anak-anak dan istrinya, karena akan melanjutkan kuliah S2. Pahlawanku di masa kecil, datang kembali saat aku sering diliputi kesepian!

Di Lapangan Rampal ada banyak orang saat ini. Juga ada dua pria yang sudah bukan lagi anak-anak menyambut datangnya musim kemarau di suatu senja dengan bersorak-sorai mengudarakan layang-layang. Seorang di antaranya mengenakan kacamata hitam. Sorak-sorai di segenap penjuru lapangan rasanya lama-lama memudar, dan ketika menengadahkan wajah ke langit, samar-samar kulihat bias terang matahari senja yang makin lama makin redup. Aku merasa kini sedang menatap matahari. Aku suka membayangkan kalau saat ini layang-layang kami juga sedang melintas dan meliuk-liuk di depan matahari jingga yang pastinya rupawan itu.

Tak kupalingkan wajahku dalam tengadah di senja yang sarat kenangan ini. Dan kini, kutiti lagi detik demi detik berlalunya senja dalam renungan tentang masa-masa silam yang tak akan pernah layu dan pudar.

Mata dan leherku panas ketika keremangan malam kurasakan merambati cakrawala di sekitarku. ***

Sidoarjo, 5-6 Mei 2009
Untuk abangku yang lihai main layang-layang, juga teman-teman SD dan SMP yang sangat bersemangat main layang-layang di musim kemarau.

Keterangan:

*) Singgit: bahasa Melayu, artinya bila diterbangkan miring ke salah satu arah -- kalau tidak ke kiri, ke kanan.

**) Sauk: bahasa Melayu, artinya mengadu atau mempertarungkan layang-layang.

7.5.09

Panduan Kuliner di Malang

Judul: Tempat Makan Makanan Favorit di Malang
Penulis: Haryo Bagus Handoko
Editor: Intarina Hardiman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 133 halaman
Cetakan pertama, Maret 2009

Malang, sebuah kota berhawa cukup sejuk berjarak sekitar 90 kilometer dari Surabaya menuju selatan, adalah kota yang menyimpan banyak sejarah. Salah satu sejarahnya juga memuat akulturasi berbagai budaya yang dibawa oleh bangsa Arab, Tionghoa, India, Belanda, Prancis, Jerman, Inggris, bahkan berbagai suku bangsa di Indonesia yang menyukai kesejukan hawanya -- menjadikannya sebagai sebuah kota transit dan rehat yang diminati banyak orang. Kota Bunga, demikian dulu orang-orang menjulukinya.

Julukan ini sayangnya mulai pudar. Tak banyak lagi bunga yang bertebaran di tepi-tepi jalan sejak mal-mal besar dan ruko-ruko dibangun akibat arus kedatangan orang-orang ke segenap penjuru kota yang tiap tahun makin besar. Julukan yang terdengar romantis itu mulai bergeser akibat nuansa kota Malang yang kian hari kian metropolis. Namun, dalam kota yang kian metropolis ini, masih ada daya tariknya yang patut ditilik -- salah satunya adalah keberagaman kulinernya.

Haryo Bagus Handoko, penulis serba bisa yang kerap menulis berbagai tulisan pendek, bisa dikatakan cukup jeli melihat daya tarik kota ini. Dengan riset yang tidak tanggung-tanggung, ia menyampaikan 50 tempat makan makanan di Malang, yang bisa dibilang cukup representatif atas keragaman dan persebaran aneka kuliner di Malang. Di dalam buku full-color ini disajikan peta, alamat dan nomor telepon, jam buka, pemilik, daftar menu, dan sekilas info sebuah tempat makan. Ada juga ke-50 foto masing-masing tempat makan itu, beserta foto-foto menu istimewanya.

Perjuangan penulis dalam mengumpulkan sumber bagi tulisannya memang patut dihargai, utamanya dalam memilih makanan dan tempat-tempat makan yang bernuansa Malang -- sebagai salah satu hasil akulturasi yang tercipta dalam sejarah di kota ini. Karenanya, tak berlebihan jika di halaman depan buku ini walikota Malang, Peni Suparto, memberikan pujian atas buku ini dan menyambut baik penerbitannya. Peni juga berharap agar "... kita jangan terlalu membangga-banggakan makanan siap saji produk Barat yang kini marak di mana-mana." Ya, di buku ini tidak akan kita temui liputan atas sebuah restoran cepat saji ala Amerika.

Sisi lain yang menarik adalah upaya penulis dengan menghadirkan sekilas sejarah kota Malang di bagian awal. Dari sini kita memperoleh gambaran asal-muasal keberagaman kuliner yang ada dalam Malang, seperti komentar salah peneliti yang bernama Trias Pratiwi di halaman endorsement bahwa buku ini secara tidak langsung "menantang pembaca menemukan jati-diri bangsa lewat budaya kuliner."

Aneka kuliner di kota Malang ini kemudian dipaparkan rata-rata dua halaman per tempat makan. Cukup menarik, yang paling banyak dikupas dari ke-50 tempat makan dan makanan di buku ini adalah bakso -- ada delapan jenis tempat makan bakso yang ditulis. Malang memang terkenal dengan baksonya, dan pilihan penulis untuk memasukkan beraneka jenis bakso rasanya tepat. Di antara delapan bakso tersebut yang paling unik adalah bakso rambutan milik Ibu Sri Rejeki, yang berlokasi di Perumahan Sawojajar. Disebut bakso rambutan karena aneka siomay dan bakso yang disajikan di rumah makan ini dibentuk mirip rambutan.

Selain bakso, ada pula soto, sate, rawon, ayam goreng, bakmi, tahu campur, dan tahu lontong. Tidak semuanya khas Malang, tapi tampaknya cukup menggoda juga untuk dicoba. Dari ke-50 tempat makan ini ternyata ada satu warung kopi yang cukup terkenal di Malang, yaitu warung kopi Askar. Askar singkatan dari Asli Karangan (Karangan adalah nama sebuah daerah di Blitar). Di warung kopi ini, juga tersedia makanan yang beragam.

Satu lagi yang menarik adalah dua buah tempat makan yang berada agak jauh dari Malang, tapi masih masuk dalam kawasan Malang, yaitu di Batu dan Kepanjen. Di Batu ada Warung Sate Kelinci yang cukup terkenal, sementara di Kepanjen ada Warung Bojana Puri Gurami Asam-Manis. Warung sate kelinci ada di Batu karena cukup banyak kelinci di sana. Penulis menulis daging kelinci terasa empuk dan gurih, dan di warung itu penyajiannya dipadu dengan bumbu kacang yang manis. Sementara Warung Bojana yang menyuguhkan menu gurami asam-manis sangat terkenal dengan racikan bumbunya yang inovatif dan unik.

Hal yang agak disayangkan adalah komentar penulis atas citarasa suatu makanan yang terkesan seadanya. Hampir di setiap ulasan atas ke-50 tempat itu, komentarnya berulang-ulang menggunakan kata-kata "lezat", "nikmat", "sedap", "enak" dan beberapa kali kata "mantap". Kata-kata ini rasanya terlalu klasik untuk mewakili citarasa sebuah makanan atau masakan. Komentar-komentar penulis yang meluaskan kata-kata tersebut di dalam penjabaran lebih jauh masih dirasa minim. Bila kita menyaksikan acara wisata kuliner yang dipandu oleh Bondan Winarno, misalnya, kita akan menemukan semacam definisi atau perluasan kata-kata itu dengan "racikan bumbu yang pas", "pedasnya nendang", dan lain-lain yang lebih deskriptif. Inilah yang tampaknya perlu dikembangkan penulis lebih jauh, juga penulis-penulis buku kuliner lainnya.

Namun, terlepas dari kekurangan deskripsi tersebut di atas, buku kuliner ini telah berhasil sebagai buku panduan wisata kuliner yang sifatnya praktis. Jadi, bila di antara pembaca buku ini ada yang berasal dari luar Malang dan suatu ketika ingin mencicipi masakan-masakan favorit Malang, buku ini sangat dapat menjadi panduan menikmati aneka kuliner di kota Malang.

Buku kuliner karya Haryo yang diberi label Peta 50 oleh Gramedia ini tampaknya juga akan disusul oleh buku-buku lain berlabel sama dari kota-kota di Indonesia -- memuat 50 tempat kuliner di sebuah kota. Sebuah upaya penerbitan yang baik, untuk menumbuhkembangkan pengenalan akan kuliner asal negeri sendiri. Namun, dengan catatan bahwa pemilihan ke-50 tempat itu tidak acak atau asal pilih; semestinya dilakukan serepresentatif mungkin dalam memuat kekhasan-kekhasan budaya kuliner di masing-masing kota.

Sidik Nugroho
Arek Malang yang menjadi guru di SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo

5.5.09

Yesus Manise


Namanya Oma Leskona, seorang Ambon. Ia sudah cukup tua, saya kira lebih dari 60 tahun, ketika saya masih SMP kelas dua dulu. Di saat-saat ini saya dan teman-teman remaja di gereja tiap Minggu bernyanyi koor. Saya menjadi gitarisnya. Macam-macam lagu kami bawakan: dari yang bisa bikin pendengar jingkrak-jingkrak hingga yang slow motion. Di suatu hari saya terpana melihat Oma Leskona berlinang air mata ketika kami menyanyikan lagu Yesus Manise -- kali ini slow motion. Lagu itu, salah satu baitnya berbunyi demikian:

Pagi-pagi beta bangun, mambaca kitab Injil manise
S'panjang hari beta bakarja di ladang Tuhan sio manise
Walau jauh di rantau orang, jauh dari ibu dan bapa
Namun Yesus jaga betae, jaga beta di tanah orange

Kami tahu Oma Leskona merasakan kekuatan kata demi kata di lagu itu. Ia telah menjadi perantau puluhan tahun di Singkawang, Kalimantan Barat, kota yang saya tinggali waktu SMP dulu. Hidup dan pelayanannya bagi Tuhan, terwakili benar lewat lagu itu.

Ya, kata-kata di dalam lagu itu menjadi manis terdengar di telinga Oma Leskona. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita setia bangun pagi, merenungi firman Tuhan, setia melayani dan mengiring Dia, juga merasakan pemeliharaan Tuhan di mana pun Tuhan ijinkan kita berada pada saat ini?

Waktu akan terus merambat. Masa berganti, kehidupan berubah. Dalam semuanya itu, baiklah kita berupaya hingga akhirnya kedapatan setia. Yesus manise, kasih-Nya manis, janji-Nya indah, bagi jiwa yang setia hidup bagi-Nya! (~s.n~)

Sahabat-sahabat Kecil


: untuk adik-adikku di Desa Gadingkulon

Aku mengingat-ingat dan mengenang-ngenangmu
Yang kini hampir meniada dalam renung pencarianku
Dalam kabut dan dingin yang mengangakan resah
Aku menghirup lagi makna pemberianmu: tawa dan desah

Tiada duka nelangsa yang tertuang dalam senandung
Aku hanya ingin uraikan kangen dalam untaian renung
Menepis rasa ini akan kian memanjangkan gelisah
Menuangkannya dalam puisi hilangkan jengah

Padamu, ya sahabat-sahabat kecil yang suka bernyanyi
Kunyanyikan lirik tentang awan yang pernah kita saksikan
Juga bulan yang suka kita agungkan dan puja-puji
Tentang alam, yang membuat kita hilang penderitaan

Kini, didesahi rindu yang dalam, kunyanyikan lagu
Satu-satu Aku Sayang Ibu, Indonesia Raya
Tek Otek-otek Jambu, Balonku Ada Lima
Bintang Kecil di Langit yang Biru, Berkibarlah Benderaku!

© Sidik Nugroho, 2006
Pernah dimuat di Suara Pembaruan: 30 Juli 2006

1.5.09

Pemimpin yang Setia Menunggui


Judul: Novel Pangeran Diponegoro - Menggagas Ratu Adil
Penulis: Remy Sylado

Penerbit: Tiga Serangkai

Tahun: 2007

Tebal buku: vii + 339 halaman


Kita patut bersyukur dengan kehadiran novel-novel sejarah yang kini marak diterbitkan. Beberapa novel seri Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi kini amat diminati. Selain itu, Remy Sylado, sang munsyi (ahli bahasa) itu juga telah menerbitkan dua novel seri Pangeran Diponegoro.

Dalam novel Pangeran Diponegoro pertama, Menggagas Ratu Adil, dikisahkan masa kecil Pangeran Diponegoro hingga ia berusia dua puluh lima tahun, dan jatuh cinta kepada seorang gadis jelita. Siapa gadis jelita itu namanya belum disebutkan dalam novel ini, baru di seri berikutnya, Menuju Sosok Khalifah, nama gadis itu disebutkan.

Dalam Menggagas Ratu Adil, dikisahkan tentang Pangeran Diponegoro yang rajin beribadah, membaca karya-karya sastra dan suci, hidup asketis, dan jago bela diri. Nama kecilnya Ontowiryo. Ia dibesarkan oleh istri dari Sultan Hamengku Buwono I, atau nenek buyutnya sendiri, yang bernama Ratu Ageng di Tegalrejo, bukan di dalam keraton Yogyakarta. Sejak kecil ia sudah punya fantasi dan firasat bahwa Belanda itu setan. Dan ia yakin benar bahwa semua setan harus diusir dari bumi pertiwi.

Hingga suatu ketika, seorang patih bernama Danurejo II mulai kongkalikong dengan Jan Willem van Rijnst, seorang Belanda, untuk menyusun kekuatan lain yang memihak Belanda di dalam kesultanan Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono II. Kekuatan ini awalnya justru digagas oleh Danurejo II, seorang patih yang gila kedudukan dan harta, agar Belanda jadi pihak dominan mengatur jalannya roda pemerintahan di kesultanan Yogyakarta.

Saat Belanda mulai bergerak, lobi sana-sini, dan pengaruhnya mulai terasa akibat kekurangtegasan Sultan Hamengkubuwono II, Ontowiryo alias Pangeran Diponegoro mengambil tindakan berani untuk, suatu ketika, menantang Belanda secara tidak langsung. Seorang pria, namanya Purwono, yang disebut pembangkang Kompeni, suatu ketika tidak boleh dikubur oleh Belanda. Namun, begitu Seh Ngabdulrohim, alias Ontowiryo melihatnya, ia memerintahkan mayat itu untuk dikubur. Dari kejadian ini nama Ontowiryo, alias Seh Ngabdulrohim, alias Pengeran Diponegoro, mulai dikenal Belanda.

Novel ini banyak memuat bahasan pada aspek agama, utamanya Islam (ajaran-ajaran dan beberapa ayat sucinya); bahasa (Jawa, Kawi, Belanda, bahkan Prancis); budaya (bermacam-macam tradisi dan leluri); bahkan intrik-intrik politik.

Yang terakhir, intrik-intrik politik, mulai berkembang karena adanya Danurejo II keparat yang suka disuap; Belanda-Belanda setan yang nalurinya menjajah, memeras dan mengadu domba; serta kekurangtegasan sistem pemerintahan yang dijalankan Sultan Hamengkubuwono II, yang membuat salah satu saudaranya bernama Notokusumo mengeluarkan dirinya sendiri dari istana dan membentuk keraton dan kerajaan sendiri, memakai gelar Paku Alam I.

Memang, sejak Sultan Hamengkubowono I mangkat, istrinya sendiri, Ratu Ageng, kurang cocok dengan pemerintahan yang dijalankan penerusnya. Hingga karenanya, ia mengasingkan diri dan pindah ke Tegalrejo. Dalam asuhan Ratu Ageng, yang senantiasa memelihara amanah suaminya untuk meneruskan nilai-nilai luhur budaya, beruntunglah Ontowiryo mendapat pengasuhan dan bimbingan darinya.

Pangeran Diponegoro dalam novel ini digambarkan sebagai sosok yang tak haus kekuasaan. Ketika ayahnya menjadi raja, menggantikan Sultan Hamengkubuwono II, ia diminta menjadi adipati anom atau putra mahkota, namun menolak. Ia dicintai rakyat. Ia berencana, akan menjadi seorang pemimpin atau dalam bahasa Jawa disebut Herocukro, bagi perjuangan rakyat ketika berusia 40 tahun. Ia setia menunggu waktu yang tepat bagi setiap rencana perjuangannya.

Bagi Anda, yang suka sejarah, budaya dan bahasa, rasanya sayang melewatkan novel ini begitu saja. Menyimak novel ini secara keseluruhan, amat jelas bahwa Remy Sylado mendialogkan suara hati para tokoh di dalamnya dengan intens, mengajak para pembaca mengamati pergolakan dan konflik yang terbangun antara Pangeran Diponogero, keraton Yogyakarta dan Belanda. Pengisahan dibuat dari sudut pandang orang ketiga, seorang pria tua, cucu Pangeran Diponegoro, anak dari anaknya yang bernama Menadurahman, yang lahir selama pengasingannya di Manado.

Namun, di novel ini, ada yang patut disayangkan juga. Di sini tidak ada silsilah keluarga (genealogis) dalam keraton Yogyakarta, tempat di mana sebagian besar kisah ini terjadi. Juga, dari kalangan Belanda tidak ada hirarki-kronologis siapa-siapa saja yang menjadi penguasa dan pengendali pemerintahan di Yogyakarta selama Pangeran Diponegoro hidup. Walaupun secara eksplisit keduanya tersebutkan di novel, rasanya akan lebih pas bila silsilah dan hirarki itu diturutsertakan. Mungkinkah dua hal ini disertakan di buku terakhir? Semoga saja. (Buku terakhir dari novel seri ini konon dikabarkan adalah buku ketujuh.)

Lewat cerita yang dibuatnya ini, Remy Sylado sedang membuktikan cintanya pada bangsa Indonesia. Ia bangga pada budaya Indonesia, dalam hal ini terwakili di Jawa (juga Manado), yang disebutnya bukan budaya cangkem, karena dibangun di atas dasar aksara. Ia bangga pada keberagamaan, di mana cita-cita luhur tiap agama di Indonesia adalah mengantarkan kita untuk menjadi manusia-manusia merdeka yang bertanggung jawab. Dan ia selalu memaki-maki Belanda, bukan semata-mata karena benci tanpa alasan, tapi di dalam novel yang dibuat berdasarkan sejarah dan riset mendalam ini, Belanda-Belanda di masa Diponegoro hidup memang perilakunya amat jahanam dan pantas untuk dilawan dan dibuat kacaubalau oleh Pangeran Diponegoro di kemudian hari.