Cerpen Sidik Nugroho
SINGKAWANG -- sebuah kota kecil di Kalimantan Barat. Akhir-akhir ini kota ini mencuat-cuatkan kenangan dalam benak seorang yang malang sepertiku kala kekelaman mulai menyelimuti angkasa. Sebenarnya senja sudah tak lagi kutiti sejak lama sekali. Cahaya mentari yang memudar dalam keremangan, lalu membawa angkasa beralih gulita, lebih sering kulewatkan begitu saja.
Namun, ya, akhir-akhir ini, bersamaan dengan hujan yang sudah tak lagi kerap mengguyuri bumi, aku mengangeni lagi masa kanak-kanak dulu di Singkawang. Entah karena bisikan apa, aku suka sekali merokok di loteng, mengabaikan pelanggan yang datang, ditemani segelas es teh, mengenang masa-masa silam, khususnya masa-masa di mana kami bersukaria dengan penuh peluh, tanpa sandal, kulit hitam terbakar, dan sepeda-sepeda BMX yang tergeletak, menyaksikan langit biru berpadu jingga yang dihias berbagai layang-layang.
Di sebuah lapangan -- Lapangan Tarakan namanya -- di Singkawang kami bersorak-sorai, menerbangkan dan mengadu banyak layang-layang dengan benang-benang gelasan buatan sendiri. Sudah hampir tiga puluh tahun masa-masa itu berlalu, namun aku tidak melupakan suatu senja di mana aku bersama sahabatku menyayat-nyayat udara dengan sebuah layang-layang kami yang terakhir. ***
"GULUNG, An! Gulung!" demikian Rahmat berseru-seru kepadaku setelah layang-layang kami berhasil membabat putus benang sebuah layang-layang musuh. Anak-anak di sekitar kami ada yang berlari, ada pula yang mengambil sepeda BMX-nya, mengejar layang-layang pecundang itu.
"Hebat, Mat! Kita benar-benar hebat!" kataku sambil menggulung benang dengan sigap.
Rahmat bangga benar dengan benang gelasan buatan kami. "Tidak sia-sia, An, tiga hari tiga malam kita membikin gelasan ini. Jadinya: benar-benar mantap!" katanya dengan bangga sambil meliuk-liukkan dan memutar-mutarkan layang-layang itu di langit setelah aku hampir selesai menggulung benang yang terulur-ulur tadi.
Dalam hati aku memang sempat cemburu dengan Rahmat ketika menggulungi benang. Itulah kali pertama aku bermain layang-layang dengan Rahmat. Sejak awal musim kemarau aku telah berusaha menaikkan layang-layang, namun hanya beberapa kali berhasil. Aku rasa memang tak semua pria dilahirkan dengan keadaan mahir bermain layang-layang.
Pun bukan hanya soal kemahiran, aku juga payah dalam memilih layang-layang. "Kau selalu saja memilih layang-layang yang singgit*), An!" kata Rahmat suatu ketika. Kalau tidak singgit, seringkali layang-layang pilihanku tidak nyaman diterbangkan. Bahkan ketika mengadu layang-layang pun, aku tak pernah menang -- padahal aku sudah membeli benang gelasan yang cukup mahal saat itu.
Hingga suatu ketika aku mengenal Rahmat ketika ia diajak seorang temanku main ke rumahku. Begitu senang aku ketika tahu teryata rumahnya tak jauh dari rumahku. Ia menjadi pahlawanku. Sejak saat itu kami tak terpisahkan, ke mana-mana selalu berdua. Hari-hari di musim kemarau sejak perkenalan itu menjadi ceria dan kujalani penuh kegirangan. Dengan sepeda BMX-ku yang kupasangi boncengan, Lapangan Tarakan dan layang-layang menjadi teman setia hari-hari kami.
Setelah musim kemarau berlalu, kami pun tetap menghabiskan waktu bersama. Saat-saat ini kami lebih sering belajar bersama. Rahmat anak yang cerdas, terutama dalam pelajaran menghapal. Walaupun beda sekolah, tapi kami sama-sama kelas 5 SD. Rahmat dan aku senasib: kami terlahir bukan dari keluarga kaya. Setiap pagi ia membantu ibunya yang membuat kue dengan menitipkan kue-kue itu untuk dijual lewat beberapa warung. Ayah Rahmat telah meninggal dalam sebuah kecelakaan bis. Ia hanya tinggal berdua saja dengan ibunya. Tanpa dimintanya, aku pun dengan setia datang ke rumahnya sebelum matahari bersinar, mengantarnya dengan sepedaku menitipkan kue-kue.
Karena saking seringnya membantu Rahmat, ibu Rahmat suatu ketika menghadiahi kami berdua upah yang cukup besar untuk membalas bantuan-bantuan kami kepadanya selama ini. Ibuku dan ibu Rahmat pun jadi bersahabat. Waktu itu musim kemarau baru saja tiba, dan pilihan kami bersenang-senang dengan upah itu hanya satu: kami akan membeli benang baru untuk kami jadikan benang gelasan.
Kami berdua lalu jadi mirip pemulung, mengobrak-abrik tempat sampah di depan sebuah toko elektronik setelah membeli benang. Sebabnya kami mencari neon-neon yang sudah putus dan mungkin saja dibuang di situ. Neon dan bolam menjadi kaca yang sangat bagus untuk benang gelasan dibandingkan kaca dari piring atau gelas. Kaca neon dan bolam lebih mudah halus bila nantinya kami tumbuk menggunakan ulekan milik ibu Rahmat. Tentu, kami kemudian mencuci dan mencucinya lagi sampai dua puluh kali untuk memastikan tidak ada sebutir pun kaca halus bekas tumbukan kami yang masih melekat.
"Dapat, An!" Nah, Rahmat mendapat sebuah neon yang bentuknya bulat-panjang. Aku bersemangat mengayuh BMX-ku pulang ke rumah Rahmat. Sore itu juga kami mengendap-endap menuju dapur mengambil ulekan. Dengan penuh semangat Rahmat kemudian membanting neon itu yang telah dibungkusnya dengan sebuah kain. Kami tertawa renyah ketika bunyi ledakan kecil terdengar. Malam itu, neon malang itu telah berubah nasib menjadi serbuk-serbuk halus. Beruntung ibu Rahmat sedang pergi, jadi kami melakukan pencucian ulekan tanpa omelan.
Keesokan harinya, begitu pulang sekolah, kami mencampur kaca halus itu dengan lem yang dipanaskan terlebih dahulu. Rahmat mengaduknya sampai rata, sementara aku merentang-rentangkan benang pada dua pohon kelapa yang berjajar di samping rumah Rahmat. Ketika dingin, Rahmat dan aku lalu mengoleskan ramuan neon ajaib yang telah diulek-ulek dan dicampur lem itu dengan santai. Sampai malam kami melakukannya, mengoleskan setiap rentangan benang beberapa kali dengan begitu lembut, berharap setiap serat terdalam dalam setiap mikron benang yang kami oleskan terlumuri sempurna dengan ramuan neon ajaib itu.
Sehari kemudian: benang gelasan siap digulungkan di sebuah kaleng susu bekas! Setelah semua benang-benang yang terentang-rentang tuntas tergulung, kami pun siap tempur!
Lapangan Tarakan begitu ramai. Dengan penuh keyakinan aku berlari, membawa layang-layang kami dalam jarak sepelemparan batu. Kuangkat tinggi-tinggi layang itu hingga ujungnya tepat berada di depan mataku. Dan... "Lepas!!!" sorak Rahmat.
"Wusss!" layang-layang kami yang berwarna jingga kemudian membelah angkasa dengan anggun dan molek nian! Ketika semakin meninggi, kupandangi senantiasa layang-layang itu. Kuharap ia menjadi pemenang yang mengalahkan musuh-musuhnya sore ini.
Harapanku ternyata benar. Tak lama setelah ia mengudara, sebuah layang-layang mendekati layang-layang kami. "Ulur, An! Ulur! Jangan jauh-jauh dari aku, ulur... ulur...," demikian Rahmat memerintahkanku sebenarnya bukan untuk mengulur, tapi untuk memegang kaleng dengan posisi melintang, agar ia -- yang sebenarnya sedang mengulurkan benang sambil memutar-mutarkan layang-layang kami -- dapat memenangkan pertarungan itu. Tak lama kemudian, tanpa ada bunyi yang terdengar, layang-layang musuh kami berhasil kami babat!
Aku bersorak sorai dengan girang! "Menang, Mat! Menang! Ayo kita sauk**) lagi!"
Seperti biasa, anak-anak di sekitar kami pada berhamburan, bersorak-sorai disertai makian-makian kecil, mengejar layang-layang putus itu.
Saat Rahmat lagi melakukan selebrasi dengan menukik-nukikkan layang-layang kami ke sana kemari dengan menarik-narik benangnya, tak dinyana sebuah layang-layang di sebelah kami yang baru saja naik, benangnya menimpa benang kami. Rahmat yang saat itu sedang menarik-narik benang layang-layang kami tampak tak siap. Sebabnya, tidak semua benang kami yang tergulung di kaleng adalah benang gelasan. Kira-kira duaperlima dari keseluruhan benang, yang ada di bagian terjauh dari layang-layang adalah benang nilon biasa. Dan, benar saja, benang nilon layang-layang kami yang tertimpa benang gelasan musuh kemudian putus.
"An... Antok! Benang kita putus panjang sekali! Benang gelasan kita, An! Kamu kejar layang-layang kita. Biar aku hantam yang barusan seenaknya menimpa layang-layang kita!"
Anak-anak sangat ramai mengejar layang-layang kami yang putus dengan benang yang sangat panjang itu. Aku tidak sempat memperhatikan apa yang dilakukan Rahmat pada orang yang bikin putus benang kami. Aku hanya berlari, memperhatikan benang itu yang masih tampak jelas ketika layang-layang mulai menurun dan menurun, sampai suatu ketika....
"Brakkk!!!"
Aku kemudian tak sadarkan diri.
Dan ketika sadar, aku tak dapat melihat lagi. Aku buta total. ***
TAK lama setelah kejadian itu, ibu Rahmat menikah lagi. Ia kemudian pindah ke Pontianak beberapa hari setelah lulus SD. Rahmat menangis tersedu-sedu ketika pamitan padaku di SLB. Sejak aku buta, ia tak henti-hentinya bersedih atas kejadian yang menimpaku sore itu. Layang-layang jingga dan benang gelasan hasil kerja keras kami bersama membantu ibunya menitipkan kue-kue ke warung-warung, ternyata adalah dua benda terakhir yang kupandang di suatu senja yang begitu muram.
Sejak Rahmat pindah hidupku semakin sepi. Aku dan keluargaku harus pindah ke Malang karena ayahku dipindahtugaskan ke sana. Tahun 1998 lalu, saat ada pemecatan besar-besaran di kantornya, ayahku turut dipecat. Aku diminta ayahku untuk ikut pendidikan tukang pijat tunanetra. Begitulah, sejak sepuluh tahun lalu, aku telah menjadi tukang pijat di sebuah panti pijat tunanetra. ***
"MAS Antok, ada tamu."
Kali ini siang hari, dan aku sebenarnya lagi santai tidur siang. Namun, karena seharian belum dapat pelanggan, maka dengan berat hati kukenakan bajuku. Tamuku ini benar-benar pendiam. Ia hanya mengeluarkan satu kalimat di kamar pemijatan, "Saya ingin menikmati pijatan Anda."
Satu jam berlalu, dan pelanggan ini menyatakan kepadaku kalau ia ingin membawaku untuk memijat keluarganya di rumahnya. Aku setuju. Ia bonceng aku naik motor, lalu mengajak aku turun ke sebuah tempat yang ramai. Ia membimbingku berjalan, sementara aku mulai cemas. Aku sangat yakin, ini bukan halaman sebuah rumah.
Ia lalu berbisik pelan, "Antok, peganglah ini." Kuraba-raba benda itu. Dan itu adalah layang-layang! Sekujur badanku merinding. Tak lama kemudian terdengar kata yang sama dari jenis suara yang berbeda puluhan tahun silam: "Lepas!!!"
Tak lama kemudian, pelanggan itu berdiri di sampingku, lalu dengan suara bergetar berkata, "Layang-layang kita... kali ini... berwarna jingga, An!"
"Rahmat?" kataku dengan bibir bergetar.
Kami berpelukan di Lapangan Rampal di Malang yang luas. Aku seakan tak percaya, bahwa lamunanku di beberapa hari terakhir ini ternyata berujung pertemuan ini. Tak terlukiskan keriangan yang berbaur kesedihan di benakku.
Rahmat kemudian bercerita kalau diam-diam ibuku masih berkirim surat dengan ibu Rahmat. Ibuku tak bercerita padaku tentang hal ini. Sejak buta aku jadi begitu pendiam, dan ibu takut mengusikku dengan cerita-cerita tentang Rahmat. Namun, ibuku salah jikalau menganggap aku masih menyimpan dendam pada Rahmat. Penyesalannya sudah cukup menjadi bukti bahwa ia pantas menjadi sahabat sejati. Aku telah memaafkan Rahmat sejak lama. Dan aku memang lebih butuh berdamai dengan diriku sendiri yang ceroboh.
Rahmat bakal tinggal di Malang selama dua tahun bersama anak-anak dan istrinya, karena akan melanjutkan kuliah S2. Pahlawanku di masa kecil, datang kembali saat aku sering diliputi kesepian!
Di Lapangan Rampal ada banyak orang saat ini. Juga ada dua pria yang sudah bukan lagi anak-anak menyambut datangnya musim kemarau di suatu senja dengan bersorak-sorai mengudarakan layang-layang. Seorang di antaranya mengenakan kacamata hitam. Sorak-sorai di segenap penjuru lapangan rasanya lama-lama memudar, dan ketika menengadahkan wajah ke langit, samar-samar kulihat bias terang matahari senja yang makin lama makin redup. Aku merasa kini sedang menatap matahari. Aku suka membayangkan kalau saat ini layang-layang kami juga sedang melintas dan meliuk-liuk di depan matahari jingga yang pastinya rupawan itu.
Tak kupalingkan wajahku dalam tengadah di senja yang sarat kenangan ini. Dan kini, kutiti lagi detik demi detik berlalunya senja dalam renungan tentang masa-masa silam yang tak akan pernah layu dan pudar.
Mata dan leherku panas ketika keremangan malam kurasakan merambati cakrawala di sekitarku. ***
Sidoarjo, 5-6 Mei 2009
Untuk abangku yang lihai main layang-layang, juga teman-teman SD dan SMP yang sangat bersemangat main layang-layang di musim kemarau.
Keterangan:
*) Singgit: bahasa Melayu, artinya bila diterbangkan miring ke salah satu arah -- kalau tidak ke kiri, ke kanan.
**) Sauk: bahasa Melayu, artinya mengadu atau mempertarungkan layang-layang.
No comments:
Post a Comment