29.6.10

Tak Selalu Menjadi Nomor Satu

"Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita." (Roma 8:37) ***

Sebuah buku yang memikat, mengajarkan tentang makna hidup, saya baca baru-baru ini. Judulnya Selasa Bersama Morrie. Mitch Albom, pengarang kisah nyata ini mengisahkan pertemuan-pertemuannya di beberapa hari Selasa dengan Morrie, mantan dosennya selama kuliah sebelum ia meninggal akibat Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS). Salah satu nasihat Morrie yang penting dalam salah satu Selasa pertemuan mereka adalah ketika ia menyatakan bahwa tak ada salahnya jikalau kita menjadi nomor dua.

Kita sering menyatakan diri sebagai lebih dari pemenang. Kita biasa berpikir kalau kita ditentukan menjadi nomor satu. Kita, orang Kristen, seolah-olah mengharamkan kekalahan. Anggapan ini ada salahnya. Perhatikanlah Alkitab. Ayat yang menyebut kita lebih dari orang yang menang itu disebabkan oleh Dia yang telah mengasihi kita. Kasih-Nya, bukan pencapaian kita, yang menjadikan kita lebih dari pemenang di hadapan Allah.

Di kancah dunia ini, sering kita kalah. Dunia ini kejam dan kerap tak adil memperlakukan siapa saja. Namun, itu tak semestinya membuat kita mengecilkan pengabdian kita. Morrie berkata: "Abdikan dirimu untuk mencintai sesama, abdikan dirimu untuk masyarakat sekitar dan abdikan dirimu untuk menciptakan sesuatu yang mempunyai makna dan tujuan bagimu."

Saat kita terus mengabdi dan memberikan yang terbaik, tapi dunia tak menjadikan kita nomor satu, tak apa-apa. Karena di dunia kita memang diciptakan untuk tak selalu menjadi nomor satu. (*)

"Pengabdian yang luar biasa tak selalu mendatangkan pengenangan yang luar biasa oleh dunia akan hidup seseorang."

Catatan tambahan:

Bila aku disuruh memilih novel terbaik yang memuat tentang renungan yang paling subtil tentang hakikat hidup, aku memilih "Tuesdays with Morrie". Darinya aku belajar bahwa kita tak selalu harus menjadi nomor satu; kita tak selalu mendapatkan apa yang kita harapkan; kita menghargai dan menganggap penting hal-hal seperti keluarga, persahabatan, dan keseharian yang dijalani dengan bersahaja dan penuh dedikasi.

Waktu ngubek-ngubek IMDb, aku menemukan bahwa ternyata Morrie sudah diflmkan*. Semoga suatu saat aku mendapatkan film ini. Ada bagian yang menarik dalam cuplikan film ini, di menit ke 4:08 sampai 4:20 di sebuah video di Youtube**. Bagian ini mengisahkan kepergian Morrie yang telah menderita akibat penyakitnya:

"I don't want you to die," kata Mitch. "We learn to love somebody, and they die or... we die... what's the point?" Mitch gamang menerima kenyataan Morrie akan pergi selamanya. Demikian pula yang kerap terjadi dalam diri kita.

Keterangan:

*) Link di IMDb: http://www.imdb.com/title/tt0207805
**) Link di Youtube (salah satu scene): http://www.youtube.com/watch?v=YNCxfFA1PsM

11.6.10

Keindahan Laut dan Dinamika Masa Puber

Judul Buku: The Highest Tide (Pasang Laut)
Penulis: Jim Lynch
Penerjemah: Arif Subiyanto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 328 halaman
Cetakan pertama, tahun 2007

Miles O'Malley seorang remaja berusia 13 tahun yang menderita insomnia berat. Ia sering menjelajah teluk di Puget Sound dengan kayaknya untuk mengisi malam-malamnya. Di malam hari ia menyaksikan keindahan laut dengan segala makhluk hidup yang hidup dan tumbuh di dalamnya. Ada remis, siput, bintang laut, dan berbagai makhluk laut lain yang menarik minatnya. Ia juga tergila-gila pada Rachel Carson, penulis buku Under the Sea, seorang ilmuwati yang memutuskan hidup melajang karena jatuh cinta kepada laut.

Minatnya yang besar pada laut juga mendatangkan keuntungan bagi Miles. Beberapa tangkapannya laku dijual. Sampai suatu malam Miles mendapati seekor cumi-cumi raksasa terdampar di Puget Sound. Cumi-cumi raksasa itu telah mati, dan ia memang bukan hidup di perairan yang dangkal. Ia tentunya berasal dari suatu tempat yang jauh, dari laut atau samudera lain yang lebih dalam. Berita ini membuat Miles tenar. Namanya diliput oleh koran dan stasiun-stasiun televisi lokal. Dan yang membuat Miles kemudian disegani adalah pernyataannya atas kejadian itu: "Mungkin bumi ingin mengatakan sesuatu kepada kita."

Tiga minggu setelah penemuan cumi-cumi raksasa itu, ia menemukan ragfish yang besar dan mirip binatang purba. Akibat hal ini ia semakin menjadi sasaran reporter dan wartawan. Namanya kemudian menjadi bahasan di berbagai surat kabar dan televisi, bahkan ada yang mulai menyembah-nyembahnya.

Kisah Miles dalam novel ini diramu dengan indah oleh Jim dengan menghadirkan beberapa tokoh lain yang sebaya. Jim Lynch yang jelas tampak memiliki wawasan yang luas tentang laut, tak terjebak menghadirkan novel yang melulu bersifat ensiklopedis. Ia memilih menghadirkan seorang remaja puber, Miles, yang mulai suka pada lawan jenis. Miles mempunyai sahabat bernama Kenny Phelps yang sangat tergila-gila dengan wanita. Miles juga mempunyai pujaan hati bernama Angela Rosemary Stagner atau sering dipanggil Angie.

Dua tokoh pendamping ini sangat jauh beda karakter dengan Miles. Miles tampak selalu serius dan penuh rasa ingin tahu; Phelps tak bisa serius dan selalu membicarakan organ-organ kelamin; sementara Angie seorang gadis yang urakan, kecanduan obat bius dan memiliki kelainan psikologis. Jadilah kisah ini tertutur kocak di banyak halamannya; namun Jim tetap ajeg menarasikan berbagai hal tentang laut sebagai menu utama.

Narasi-narasi yang dibangun Jim dalam lembar-lembar novel ini mewakili kemampuannya bercerita dengan lihai. Tak banyak orang yang mau tahu dengan laut, namun kehidupan di Puget Sound yang ia kisahkan amat merangsang setiap orang untuk ingin tahu lebih banyak tentang laut. Ia mengisahkan berbagai hal yang terjadi di laut dengan filmis.

Saat Miles dan Angie menyaksikan cumi-cumi kecil yang disebut cumi-cumi kupu-kupu menetaskan telur, misalnya, kita akan terpesona dengan narasi yang menggambarkan perubahan warna yang terjadi pada telur-telur itu dalam sekejap. Atau saat Miles mengayuh kayaknya malam-malam, lalu ia melihat berbagai binatang dan tumbuhan laut yang berwarna-warni di tengah kegelapan malam, kita serasa diajak untuk menghampiri misteri laut. Jim mengisahkan semua itu dengan sangat hati-hati. Ia mengajak kita melihat dari dekat seperti apa kehidupan di laut itu.

Terjemahan atas novel ini juga dilakukan dengan sangat teliti. Kita nyaris tak menemukan kesalahan tulis yang berarti. Terjemahan atas novel ini dibuat dengan pilihan diksi yang indah dan mudah dicerna. Di beberapa bagian malah ditambahkan catatan kaki untuk memperjelas apa yang sedang diterjemahkan -- contohnya seperti apa itu ragfish; apa itu kelainan bipolar yang diidap oleh Angie; dan masih banyak penjelasan lainnya. Penerjemah telah berhasil menghadirkan bacaan yang nyaman diikuti dalam bahasa kita.

Jim juga menambahkan bumbu cinta dan romantika dalam novel ini. Tentunya, hal-hal ini berkaitan dengan Miles dan Phelps yang sama-sama sedang bertumbuh menjadi remaja. Miles memiliki cinta yang hening dan tulus -- baginya cinta sejati kita miliki kalau kita mau mengorbankan apa saja untuk yang kita cintai meski kita tak mendapatkan balasan. Sementara Phelps beranggapan bahwa bila kita membawa seikat bunga untuk seseorang yang kita cintai, maka ia harus membuka bajunya.

Bukan hanya cinta, dua remaja ini, terutama Phelps, suka sekali membahas tentang organ-organ wanita dan seksualitas seperti g-spot, payudara, posisi persetubuhan, dan lain-lain. Namun, perlu dicatat bahwa semua itu disampaikan dengan penuh canda dan sebagai selingan; bukan seperti novel stensilan Nick Carter masa silam, misalnya, yang menjadikan itu sebagai menu sampingan yang porsinya juga besar.

Dinamika psikologis yang terjadi di masa puber Miles dan Phelps, yang berkaitan dengan perkembangan rasa ingin tahu mereka atas seksualitas, terkisahkan begitu gamblang, bahkan terbilang cukup vulgar di beberapa bagian. Inilah yang tampaknya membuat Gramedia selaku penerbit memberikan label "novel dewasa" di sampul belakang novel ini, padahal The Highest Tide dibuat untuk dibaca remaja. Tak bisa dimungkiri, ini terjadi karena perbedaan kultur yang ada di negeri kita dengan Amerika.

Selain kisah cinta dan hal-hal erotis, Jim juga mengisahkan tentang seorang peramal tua bernama Florence. Florence yang menjadi sahabat Miles suatu ketika membuat pernyataan yang detil tentang kapan akan terjadi pasang laut tertinggi. Ramalan inilah yang sebenarnya menjadi awal bagi terbentuknya konflik utama di novel ini -- selain beberapa konflik kecil lainnya. Miles mengucapkan ramalan Florence setelah ia semakin populer. Saat itu ia sedang diundang untuk berbicara tentang hal-hal yang ia ketahui tentang laut. Ia bahkan diundang dalam acara-acara yang digagas beberapa profesor kelautan, bahkan menjadi sosok yang disembah-sembah oleh sebuah kelompok pemujaan.

Begitulah Miles, sosok remaja yang tinggi badannya susah bertambah, tak berdaya untuk menyatakan cinta kepada Angie, merasa diri tak tampan dan penuh kekurangan, pada akhirnya menjadi sosok yang akan disukai para pembaca.

Tak banyak orang atau remaja seperti Miles. Hingga kini kehidupan di laut rasanya tak banyak mengundang rasa ingin tahu banyak orang. Mungkin penyebab utamanya adalah karena kita sendiri bukan spesies-spesies yang menjadikan laut sebagai habitat. Namun tak dapat dipungkiri bahwa dua pertiga bagian bumi ini ditutupi air laut dan begitu banyak asal-muasal kehidupan yang berasal dari laut. Keragaman spesies di laut jumlahnya jauh lebih tinggi daripada di darat atau di udara.

Rasa ingin tahu yang mendalam atas sesuatu yang masih menyimpan banyak misteri tampaknya menjadi obsesi terdalam Jim untuk menulis kisah tentang laut. Setelah membaca novel ini kita akan sepakat dengan pernyataan Rachel Carson, seseorang yang telah mendedikasikan hidupnya buat laut: "Kalau Anda temukan puisi dalam buku-buku tulisanku, itu bukan karena aku sengaja menulis puisi, tapi karena tak seorang pun mampu menulis dengan jujur tentang lautan, tanpa menorehkan puisi." (*)

Sidik Nugroho
Sidoarjo, 10 Juni 2010

Resensi lain oleh Wawan Eko Yulianto bisa dibaca di sini