JANESIA, negeri para pahlawan dan penulis. Di sinilah kini seorang pria buta berada, dengan baju lusuh mirip pengemis. Ia berjalan tertatih-tatih, sedikit sempoyongan karena tak makan-minum dua hari dua malam. "Heran juga," katanya dalam hati, "di Harigia aku begitu perkasa dan mampu melesat ke sana-sini tanpa kendala. Namun di sini... yah... semua berbeda!"
Tak ada seorang pun yang mempedulikannya, karena ia datang dengan pakaian tua yang serba lusuh, seperti beberapa pengemis yang masih ada di beberapa penjuru Janesia. Pria dan wanita di sini semuanya hanya mondar-mandir tanpa menghiraukan dirinya. Ia memutuskan bertahan dalam keasingan dan keacuhan para penghuni Negeri Janesia karena telah bermimpi kalau di negeri ini, paling lambat tiga hari sejak kedatangannya, ia akan bertemu dengan seseorang yang mengenali dirinya.
Orang-orang Janesia sangat acuh kepada orang asing. Bukan karena mereka sombong, namun semuanya tampak selalu bergegas dalam melakukan sesuatu. Apalagi di saat-saat ini, keberadaan orang asing sama sekali tak memiliki tempat untuk jadi bahan perhatian. Desas-desus tentang Negeri Harigia di seberang sudah mulai mewabah: arwah-arwah di sana tampil mengerikan dan membuat bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya pasti merinding.
Ada arwah pemakan ulat dan cacing pembawa gada hendak melaju ke kota-kota di Harigia dengan tujuan membuat kekacauan dan mengadakan malapetaka. Ada arwah yang matanya selalu merah dan hidungnya menyatu dengan mulut, dengan jenis gigi semua taring, yang suka sekali memakan ayam-ayam dan babi-babi mentah. Dan masih banyak yang lain.
Arwah-arwah ini dikabarkan turun dari gunung-gunung di Pegunungan Arwah, diutus untuk mengacau di segenap penjuru Harigia, terutama di kota-kotanya!
Pak Jingga mendengar semua itu. Ia jadi turut gelisah dan berharap segera bertemu orang yang ia jumpai samar-samar dalam mimpi. Demi mengusir kegelisahannya, pria tua yang buta nan malang itu kemudian bertapa di atas sebuah batu yang ditutupi beberapa pohon. "Di sini aku akan lebih nyaman menyendiri," katanya dalam hati. Ia juga berpikir bahwa semua kabar meresahkan tentang berbagai arwah yang telah turun dari Pegunungan Arwah itu sirna dengan bertapa. Ia berharap Tuan Malam dan kawan-kawan petualang mampu mengatasi semua rintangan menuju ke Kolam Mukjizat, tempat di mana akhir petualangan tergapai -- semoga saja -- dengan gemilang.
Di dekat batu ia bertapa itu mengalirlah Sungai Hikma yang terkenal, yang melintasi Negeri Janesia. Bunga-bunga bakung tak layu di segala musimnya -- serasa abadi. Keteduhan cahaya dan daun-daun terbias dengan jernih nan cemerlang di setiap riak-riak kecil yang menggeliat dan dan sesekali menggelombang akibat dihembusi angin. Syair dan lagu-lagu dibuat tentangnya, mengisahkan berbagai penemuan atas pencarian manusia akan hikmat dan marifat.
Pak Jingga, resi yang yang tua itu, diam-diam menyanyikan sebuah lagu yang diingatnya tentang sungai ini:
Ada sidik jari dan tanda-tanda keberadaan Sang Khalik
Dalam lekuk dan aliran airmu yang merembesi hutan dan tanah-tanah
Ada hikmat dalam hembusan angin yang berhembus redakan terik
Ketika para pahlawan dan pujangga goreskan pena mencari marifat dengan resah
***
WANITA itu datang dalam kesenyapan malam.
Pak Jingga terlelap setelah seharian bertapa dan mendapat bisikan untuk menahan lapar-hausnya tiga hari tiga malam. Ia memutuskan untuk sama sekali tak menengadahkan tangannya, lalu meneguk beberapa tetes air Sungai Hikma yang lama nian dinantikannya. Tiba-tiba ia tergugah dari mimpinya yang samar, lalu saksikan kemilau cahaya cemerlang berwarna nila bersemu merahmuda. "Mataku buta, bagaimana mungkin aku dapat melihat perpaduan cahaya?"
"Berbahagialah kau, Pak Jingga, putra bumi yang penuh kesabaran. Pencarianmu berakhir dan kini... mari minum." Suara yang terdengar begitu lembut itu bagai merasuk ke dalam tulang, menyalakan kembali semangat seseorang yang berada di antara hidup dan mati. Pak Jingga merasa segar kembali. Tiba-tiba ia mengingat masa-masa di mana ia dulu jatuh hati kepada seorang putri yang pandai bernyanyi. Seorang putri yang mati di usia muda karena terserang penyakit mematikan. Tubuhnya bergetar pelan, lehernya sesak sedikit.
"Kau memiliki banyak kenangan, pria tua. Kini, ambillah air ini. Jangan ragu, akulah yang ada di mimpimu itu." Wanita itu lalu mengangkat tangannya, mengambil sebuah cangkir, lalu menyerahkannya kepada Pak Jingga. "Minumlah, air dari Sungai Hikma," katanya.
Pak Jingga meneguk air itu perlahan. Ketika kesejukan mengalir di setiap bagian leher dan perutnya, sesaat ingatannya pada putri bersuara merdu yang mati muda sirna. Bahkan, cahaya nila dan merahmuda yang tadi sempat terbias di matanya mengabur perlahan. Hitam, hanya itu yang kini bisa dilihatnya dengan mata tertutup.
"Kau sudah ada di negeri ini tiga hari. Mari, kini kita pergi mencari apa yang kaucari, Kawan!"
"Siapa kau?" tanya Pak Jingga dengan sedikit terbata.
"Yang jelas aku kawanmu, seperti aku memanggilmu. Mari kita beranjak dari sini, menuju Kota Pustaka. Orang-orang sudah menantimu di sana."
"O ya?"
"Ya! Tentu kau tidak bisa menutup telingamu tiga hari ini, bukan? Apa pun yang kaudengar kiranya tak membuatmu panik. Masih ada harapan di setiap kabar buruk tentang penyerangan arwah secara besar-besaran."
Pak Jingga manggut-manggut. Kini ia seperti berbicara dengan seorang wanita biasa. Ia masih belum tahu mengapa tadi ia menangkap secuil keindahan dan kemuliaan cahaya ketika wanita itu datang kepadanya -- seperti mimpi, seperti nyata. Siapa ia sebenarnya, Pak Jingga masih bertanya-tanya.
"Aku cuma merasa seperti ini, Putri...," kata Pak Jingga.
"Kawan. Kau sebaiknya memanggilku: kawan. Sepakat?"
"Ya, Kawan. Aku cuma merasa kekuatanku benar-benar lenyap. Dan aku..., aku mengingat masa-masa di mana dulu aku menjadi manusia biasa. Kini aku merasa seperti manusia biasa lagi, bukan resi. Manusia tua dan tak berdaya. Tapi aku yakin sedang disuruh berpuasa hingga kau datang, lalu menemukan sekilas bayangan samar yang sangat kurindukan sejak lama: cahaya nila bersemu merahmuda. Cahaya yang mirip dengan beberapa gaun yang dimiliki putri idamanku di masa lalu. Putri yang suka bernyanyi tentang lautan, sungai, gunung-gunung, burung-burung dan sawah-sawah di Harigia yang bagai emas."
"Kawan, aku tidak tahu apa maksud dari apa yang baru saja kausaksikan bersama kedatangan diriku. Aku hanya datang atas perintah kawan kita lainnya di Kota Pustaka yang melihatmu dalam mimpinya kalau kau sedang bertapa.
"Sekarang, marilah kita menuju ke Kota Pustaka dengan menggunakan dua kendaraan ini!"
Terdengar ringkikan dua ekor kuda yang membangkitkan gairah bertualang Pak Jingga. Ia tersenyum dalam kekelaman malam, walau tak lama kemudian dahinya berkerut, "Bagaimana bisa aku dibawa ke Kota Pustaka bila aku buta?"
"Aku sudah menyediakan seorang penolong bagimu." Ada suara orang meloncat turun dari atas kuda, lalu tapak kakinya terdengar melangkah pelan. "Perkenalkan, ini Barkaya. Ia akan menjadi abdimu, Kawan!"
"Aku Pak Jingga," kata Pak Jingga sambil mengulurkan tangan.
Barkaya menyambutnya dengan bersujud sambil memegangi dua paha Pak Jingga. "Hamba, Barkaya, siap mengantar Tuan Jingga."
Pak Jingga terpana mendengar suara tegas yang dimiliki pemuda itu. Ia lalu mengangkat tangan pemuda itu. "Sudah, panggil saja aku Pak Jingga. Jangan Tuan," katanya.
Suasana hening sesaat. "Sebentar, sebentar...," kali ini Pak Jingga mengagetkan dua temannya dengan berlagak seperti orang tua yang pikun. Ia berputar-putar, sedikit melompat-lompat, tampak diliputi sukacita yang besar. "Bagaimana jika aku mengambil beberapa liter air dari Sungai Hikma yang penuh kenangan ini? Aku tadi baru minum segelas, Kawan!"
"Kami rasa, kedua teman kita ini akan bermurah hati untukmu, Tuan. Silahkan!" kata si wanita sambil menepuk-nepuk perut kudanya.
Tanpa diperintah, Barkaya menuntun Pak Jingga menuju tepi sungai. Ia juga yang memasukkan beberapa liter air ke tempat minum Pak Jingga. "Sebentar, Nak. Dengarlah riak air ini," katanya kepada Barkaya sambil mengacungkan telunjuk ke samping telinga dan manggut-manggut sambil tersenyum kecil.
Barkaya tersenyum menyaksikan tingkah Pak Jingga. "Saya mendengarnya, Pak...."
Tiba-tiba Pak Jingga menenggelamkan dirinya ke dalam sungai itu. Byuuur! "Haaah...," katanya setengah berteriak setelah beberapa detik kemudian kepalanya muncul di permukaan air. "Kesegaran tiada tara, Nak! Kesegaran tiada tara!" Pak Jingga berenang sesaat, sementara si wanita menyaksikannya sambil geleng-geleng kepala. Diterangi cahaya bulan malam itu, Barkaya melihat seulas senyum manis yang tampak dari wajah si wanita. Ia pun ikut tersenyum.
Beberapa jenak kemudian Pak Jingga keluar dari air, ditolong dengan uluran tangan Barkaya. Ia tak henti-hentinya mengucap kekaguman dan menyanyikan lagu yang disukainya tentang sungai itu.
"Nak, kuharap kau tidak keberatan bajumu akan basah dikenai bajuku ya?" katanya sambil menggigil kedinginan.
"Tidak, Pak," kata Barkaya yang kini sudah siap.
"Mari!" kata si wanita.
Ringkikan kuda yang cukup nyaring membahana di sekitar mereka berada. Tak lama kemudian kuda-kuda itu melesat cepat dan meliuk-liuk lincah di sela-sela pepohonan. "Laju, terus! Maju... ayo! Hilangkan gigilku. Terus maju! Terus laju!" demikian Pak Jingga berteriak-teriak gaduh di sepanjang perjalanan, membuat sukacita dan keyakinan menguasai jiwa ketiga kawan-kawan kita ini.
Sidik Nugroho
Sidoarjo, 25 Mei 2009, 00.26
No comments:
Post a Comment