Tugasnya membuat gambar-gambar pendukung yang sudah ditentukan penulis novel untuk dibuat. Ilustrasi yang dibuat diupayakan bergaya seperti yang dibuat Pauline Baynes dalam buku cerita Kisah-kisah dari Narnia. Jumlah gambar berkisar 30 sampai 40 buah.
Bila penerbit yang akan dituju penulis novel nantinya menyetujui menerbitkan novel tersebut, tentunya berikut ilustrasinya, maka ilustrator akan mendapat jatah seperempat royalti yang diterima penulis dari penerbit selama empat semester (semester ke-1 sampai ke-4).
Ilustrastor yang dicari berdomisili di kota Surabaya, Sidoarjo atau Malang. Keterangan lebih lanjut silahkan hubungi email di puisimbeling@gmail.com. Dalam e-mail yang disampaikan mohon menyebutkan nama, nomor telp/hp yang bisa dihubungi dan sedikit informasi tentang pengalaman membuat gambar/ilustrasi.
Terima kasih.
UPDATE:
2 Maret 2009 -- Ilustrator sudah didapatkan. Pencarian ditutup. Terima kasih.
Mari nikmati malam, yang diciptakan untuk jadi teman bagi renungan, juga teman menjelang mimpi.
29.1.09
28.1.09
Selamat Malam, Tuan Malam!
Keheningan menyelimuti hutan itu. Namun, dalam keheningan yang berlangsung cukup lama itu, tiba-tiba ada suara yang sangat kecil terdengar -- suara musik yang merdu. Suara itu bagai merambat melalui celah-celah dedaunan yang tampak kaku nan diam; kemudian terdengar sayup-sayup ketika angin berhembus menerpa dedaunan dan menggoyangkannya sedikit, membawa suara itu samar, lalu tak terdengar.
"Musik apa itu?" kali ini Rangga yang bertanya.
"Apakah itu suara biola?" tanya Kak Jono.
"Bukan, itu bukan biola. Itu suara... suara seruling!" kata Pak Wahyu.
"Siapa yang main seruling di tengah hutan seperti ini ya?" kata Tari.
Nada bicara Tari dalam pertanyaannya itu membuat Nina makin erat mendekap leher Pak Raiksa sampai Pak Raiksa merasa tercekik. "Aduh, Nina... pelan-pelan. Bapak sakit kalau kaucekik!"
"Habis Kak Tali cih...," katanya dengan menggerutu.
Suara itu tidak hilang sementara mereka terus berjalan. Di depan, Pak Wahyu dan Pak Raiksa berbicara.
"Kau pernah menemukan kejadian seperti ini, di hutan ini?" tanya Pak Wahyu.
"Belum. Beberapa kali telah kulewati hutan ini, belum pernah ada suara ini."
"Apakah kita lebih baik mendekat?"
"Mendekat? Mendekat kepada sumber suara itu?"
Pak Wahyu mengangguk-angguk. "Siapa tahu, pemain seruling itu Pak Jingga!"
"Pak Jingga main seruling? Ah, yang benar saja! Tidak mungkin. Pak Jingga tidak suka bermain musik, walau setahuku dia memang suka mendengar musik, dan menikmati segala keindahan lainnya."
"Siapa tahu kebutaan membuatnya berubah?"
Pak Raiksa menatap wajah Pak Wahyu agak lama, lalu merenung. Tanpa sepatah kata ia berhenti berjalan. Pak Wahyu yang ada di sampingnya hingga Kak Jono yang berada di paling belakang, turut berhenti.
"Mari, kita dekati suara itu!" katanya dengan keyakinan yang samar.
Pak Wahyu tampak bahagia usulnya diterima, walau wajahnya tetap menampakkan kebimbangan. "Raiksa," katanya. "Semoga saja dia benar-benar Pak Jingga."
Dari yang semula ke arah barat, mereka berputar seperempat lingkaran menuju ke arah utara, ke arah Pegunungan Handira. Suara itu kini makin jelas terdengar, tapi karena pohon-pohon akasia di hutan itu cukup padat dan tinggi-tinggi, tak mereka melihat satu orang pun di sekitar itu.
Dan anehnya, suara itu kemudian menjauh. Pak Raiksa memasang telinganya baik-baik. Ia mengatakan kepada mereka semua yang ada di sana. "Bergegaslah. Kalau bisa kalian lari. Kumpulkan tenaga kalian!"
"Ada apa, Raiksa? Ada apa?" tanya Pak Wahyu yang berlari di belakangnya dengan terengah-engah.
"Apa kau tidak dengar? Si pemain seruling sedang menjauhi kita. Ia tampaknya tahu kedatangan kita!"
"Kalau begitu, ia berarti bukan Pak Jingga!"
"Bagaimana mungkin kau bisa menyimpulkan seperti itu, Wahyu!" katanya sambil tetap berlari-lari kecil, sementara Nina yang ada di pundaknya hanya tersenyum walau badannya terguncang-guncang akibat lari-lari kecil Pak Raiksa. Ia tampak amat menikmati semua ini. "Jikalau ia berlari ketika didekati, justru ia mungkin Pak Jingga! Karena semua orang buta, apalagi yang tua seperti dia, kupikir akan selalu menjauhi manusia lain ketika dia tahu keberadaannya."
Pak Wahyu tak menyampaikan alasannya lagi. Pak Raiksa adalah pimpinan rombongan ini, walau Pak Raiksa lebih muda darinya. Keputusan ada di tangannya. Saat Pak Wahyu diam, suara itu pun juga hilang. Mereka semua lalu berhenti, dan semua berpandang-pandangan.
"Tidak mungkin ada musuh di sekitar tempat ini," kata Pak Raiksa. "Tenanglah."
"Pak," kata sebuah suara sedikit bergetar. Ternyata Rangga yang berbicara. "Musuh mungkin tidak ada. Kita semua tidak memiliki musuh yang harus kita benci. Tapi, makhluk atau orang apa pun dapat membenci kita tanpa sebab. Itulah yang saya kuatirkan, Pak."
"Cukup, Rangga. Jangan kau perpanjang lagi semua kekuatiranmu," kali ini Pak Wahyu bicara agak membentak karena ia melihat kekagetan yang tampak di wajah Tari ketika Rangga menyebut kata "makhluk".
Kak Jono meraih pundak Rangga, lalu membisikkan sesuatu untuk menenangkannya.
"Mari, kita jalan lagi," kata Pak Raiksa.
Nina sudah tidak lagi dibopong. Mereka terus berjalan sampai surya hampir terbenam. Tak lagi terdengar suara itu. "Kita akan berjalan terus, tapi hingga malam ini saja. Kalau tidak ada tanda-tanda keberadaan si peniup seruling, maka kita akan kembali berjalan ke arah barat," kata Pak Raiksa.
Ketika matahari sudah tidak tampak, mereka sampai di sebuah tempat yang berbeda dari yang sudah mereka lalui sebelumnya. Di situ ada banyak batu besar tergeletak dan sebuah tanah kosong cukup luas. "Tempat sempurna untuk...."
Belum selesai Pak Wahyu mengatakan pendapatnya tentang tempat itu, terdengarlah kini dengan sangat membahana sebuah suara seruling. Suaranya begitu nyaring hingga kemerduannya memudar. Jelas ada kekuatan gaib dalam tiupan seruling itu, karena semua seruling biasa tak mampu menghasilkan suara sebesar itu. Dan peniupnya kini muncul dari balik sebuah pohon.
Semua mata melebar menyambut kedatangannya. Dengan mata tertutup, pria yang berambut abu-abu panjang itu berjalan pelan, memegang dengan lembut sebuah seruling yang terus ia mainkan. Bagaimana mereka dapat memandanginya, mungkin jadi pertanyaan buatmu karena saat ini senja sudah selesai. Nah, ternyata pria itu memiliki cahaya yang memancar dari seluruh badannya. Tapi cahaya itu lembut, menyebar dalam ruang yang luas dan tidak memusat lebih terang dari badannya, sehingga tidak ada satu pun dari para petualang yang silau memandangi dirinya.
"Selamat malam, Tuan Malam!" katanya dengan suara yang berat dan agak parau. Ketika menyebut kata-kata itu, ada angin sepoi berhembus dari arah si peniup seruling menuju arah para petualang.
"Musik apa itu?" kali ini Rangga yang bertanya.
"Apakah itu suara biola?" tanya Kak Jono.
"Bukan, itu bukan biola. Itu suara... suara seruling!" kata Pak Wahyu.
"Siapa yang main seruling di tengah hutan seperti ini ya?" kata Tari.
Nada bicara Tari dalam pertanyaannya itu membuat Nina makin erat mendekap leher Pak Raiksa sampai Pak Raiksa merasa tercekik. "Aduh, Nina... pelan-pelan. Bapak sakit kalau kaucekik!"
"Habis Kak Tali cih...," katanya dengan menggerutu.
Suara itu tidak hilang sementara mereka terus berjalan. Di depan, Pak Wahyu dan Pak Raiksa berbicara.
"Kau pernah menemukan kejadian seperti ini, di hutan ini?" tanya Pak Wahyu.
"Belum. Beberapa kali telah kulewati hutan ini, belum pernah ada suara ini."
"Apakah kita lebih baik mendekat?"
"Mendekat? Mendekat kepada sumber suara itu?"
Pak Wahyu mengangguk-angguk. "Siapa tahu, pemain seruling itu Pak Jingga!"
"Pak Jingga main seruling? Ah, yang benar saja! Tidak mungkin. Pak Jingga tidak suka bermain musik, walau setahuku dia memang suka mendengar musik, dan menikmati segala keindahan lainnya."
"Siapa tahu kebutaan membuatnya berubah?"
Pak Raiksa menatap wajah Pak Wahyu agak lama, lalu merenung. Tanpa sepatah kata ia berhenti berjalan. Pak Wahyu yang ada di sampingnya hingga Kak Jono yang berada di paling belakang, turut berhenti.
"Mari, kita dekati suara itu!" katanya dengan keyakinan yang samar.
Pak Wahyu tampak bahagia usulnya diterima, walau wajahnya tetap menampakkan kebimbangan. "Raiksa," katanya. "Semoga saja dia benar-benar Pak Jingga."
Dari yang semula ke arah barat, mereka berputar seperempat lingkaran menuju ke arah utara, ke arah Pegunungan Handira. Suara itu kini makin jelas terdengar, tapi karena pohon-pohon akasia di hutan itu cukup padat dan tinggi-tinggi, tak mereka melihat satu orang pun di sekitar itu.
Dan anehnya, suara itu kemudian menjauh. Pak Raiksa memasang telinganya baik-baik. Ia mengatakan kepada mereka semua yang ada di sana. "Bergegaslah. Kalau bisa kalian lari. Kumpulkan tenaga kalian!"
"Ada apa, Raiksa? Ada apa?" tanya Pak Wahyu yang berlari di belakangnya dengan terengah-engah.
"Apa kau tidak dengar? Si pemain seruling sedang menjauhi kita. Ia tampaknya tahu kedatangan kita!"
"Kalau begitu, ia berarti bukan Pak Jingga!"
"Bagaimana mungkin kau bisa menyimpulkan seperti itu, Wahyu!" katanya sambil tetap berlari-lari kecil, sementara Nina yang ada di pundaknya hanya tersenyum walau badannya terguncang-guncang akibat lari-lari kecil Pak Raiksa. Ia tampak amat menikmati semua ini. "Jikalau ia berlari ketika didekati, justru ia mungkin Pak Jingga! Karena semua orang buta, apalagi yang tua seperti dia, kupikir akan selalu menjauhi manusia lain ketika dia tahu keberadaannya."
Pak Wahyu tak menyampaikan alasannya lagi. Pak Raiksa adalah pimpinan rombongan ini, walau Pak Raiksa lebih muda darinya. Keputusan ada di tangannya. Saat Pak Wahyu diam, suara itu pun juga hilang. Mereka semua lalu berhenti, dan semua berpandang-pandangan.
"Tidak mungkin ada musuh di sekitar tempat ini," kata Pak Raiksa. "Tenanglah."
"Pak," kata sebuah suara sedikit bergetar. Ternyata Rangga yang berbicara. "Musuh mungkin tidak ada. Kita semua tidak memiliki musuh yang harus kita benci. Tapi, makhluk atau orang apa pun dapat membenci kita tanpa sebab. Itulah yang saya kuatirkan, Pak."
"Cukup, Rangga. Jangan kau perpanjang lagi semua kekuatiranmu," kali ini Pak Wahyu bicara agak membentak karena ia melihat kekagetan yang tampak di wajah Tari ketika Rangga menyebut kata "makhluk".
Kak Jono meraih pundak Rangga, lalu membisikkan sesuatu untuk menenangkannya.
"Mari, kita jalan lagi," kata Pak Raiksa.
Nina sudah tidak lagi dibopong. Mereka terus berjalan sampai surya hampir terbenam. Tak lagi terdengar suara itu. "Kita akan berjalan terus, tapi hingga malam ini saja. Kalau tidak ada tanda-tanda keberadaan si peniup seruling, maka kita akan kembali berjalan ke arah barat," kata Pak Raiksa.
Ketika matahari sudah tidak tampak, mereka sampai di sebuah tempat yang berbeda dari yang sudah mereka lalui sebelumnya. Di situ ada banyak batu besar tergeletak dan sebuah tanah kosong cukup luas. "Tempat sempurna untuk...."
Belum selesai Pak Wahyu mengatakan pendapatnya tentang tempat itu, terdengarlah kini dengan sangat membahana sebuah suara seruling. Suaranya begitu nyaring hingga kemerduannya memudar. Jelas ada kekuatan gaib dalam tiupan seruling itu, karena semua seruling biasa tak mampu menghasilkan suara sebesar itu. Dan peniupnya kini muncul dari balik sebuah pohon.
Semua mata melebar menyambut kedatangannya. Dengan mata tertutup, pria yang berambut abu-abu panjang itu berjalan pelan, memegang dengan lembut sebuah seruling yang terus ia mainkan. Bagaimana mereka dapat memandanginya, mungkin jadi pertanyaan buatmu karena saat ini senja sudah selesai. Nah, ternyata pria itu memiliki cahaya yang memancar dari seluruh badannya. Tapi cahaya itu lembut, menyebar dalam ruang yang luas dan tidak memusat lebih terang dari badannya, sehingga tidak ada satu pun dari para petualang yang silau memandangi dirinya.
"Selamat malam, Tuan Malam!" katanya dengan suara yang berat dan agak parau. Ketika menyebut kata-kata itu, ada angin sepoi berhembus dari arah si peniup seruling menuju arah para petualang.
25.1.09
Antara Menulis dan Bergitar
Kawan saya pernah menyatakan kalau kemampuan menulis sebenarnya lebih mudah dipelajari daripada bermusik. Ia kemudian berpendapat bahwa orang-orang yang menulis ya tinggal menulis saja karena semua orang yang melek aksara tinggal menulis. Ditambah sedikit pengetahuan tentang tata bahasa dari membaca buku semua orang bisa menulis dengan baik dan sesuai kaidah yang benar.
Berbeda dengan musik yang katanya membutuhkan keahlian khusus. Tak semua orang bisa bernyanyi dengan nada yang tepat saat sebuah kunci diperdengarkan, alias sumbang atau fals (kecuali dua orang bernama Doel dan Iwan). Tak semua orang bisa mempelajari musik. Dan tampaknya memang orang yang melek aksara jauh lebih banyak dari pada yang bisa main musik.
Saya tidak sepakat dengan anggapan ini. Ada teman lain yang menyatakan bila ditinjau secara psikologis, kemampuan bergitar merupakan bagian dari ranah motorik, sedangkan menulis dari ranah kognitif. Namun, saya kurang memahami hal-hal psikologis tentang dua kemampuan ini. Saya belum banyak membaca buku psikologi. Yang saya tahu dua-duanya merupakan kecerdasan dan/atau keterampilan. Saya sedikit menguasai bergitar, dan sedikit juga menulis. Saya akan mengemukakan pendapat saya berdasarkan logika dan pengetahuan yang saya miliki.
Bila asal menulis, semua orang bisa menulis. Dosen penguji skripsi saya bergelar S2 (yang berarti telah menulis dan menyelesaikan tesis), dan saya kalah berdebat dengan dia soal frasa "di kemudian hari". Ia menyatakan kata "di" dan "kemudian" digabung. Padahal yang benar jelas tak digabung kan? Tapi, saya kalah berdebat karena waktu itu tak membawa buku tata bahasa -- karya Gorys Keraf, misalnya. Siapa kamu, gundul, berani mendebat saya? Kamu kan baru S1! Mungkin itu yang dinyatakannya dalam hati.
Namun, untuk menghasilkan tulisan seperti Thomas Harris, misalnya, yang menulis "Hannibal", siapa yang mampu? Sedikit sekali. Sepengamatan saya novel itu banyak sekali memuat kata kerja yang operasional dan penggambaran situasi yang benar-benar matang. Ketika menyisirnya kata demi kata, hampir tidak ada satu kata yang tak terpakai untuk menjalin keutuhan kisah yang dibangunnya sepanjang novel.
Sekarang tentang musik. Gitar, dalam hal ini.
Yang namanya gitaris itu macam-macam: dari pengamen di bis kota hingga maestro seperti Steve Vai, atau Balawan di Indonesia yang sedang naik daun. Bila asal bergitar, banyak orang bisa bergitar.
Steve Vai, misalnya. Dalam album Steve Vai yang merupakan kompilasi karya-karya terbaiknya, berjudul "The Infinite Steve Vai: An Anthology" editor naskah album itu, Jon Wiederhon, menyatakan: "Alternative and punk bands have proven that anyone can play gitar, but only master like Vai can conquer its limitations and turn it from a mere six stringed instrument into an incredibly versatile and limitless voice of human expression." Band-band yang dimaksud kurang lebih ya seperti Limp Bizkit, Linkin Park atau Nirvana yang populer di tahun 90-an dulu. Steve Vai cukup unik. Dia bahkan kadang tampil menggunakan gitar berleher tiga: dua ke arah kirinya (bermain normal) dan satu leher ke arah kanan (untuk bermain kidal). Untuk mendapatkan inspirasi lagunya, ia tak jarang berpuasa dan bertapa.
Contoh lain adalah John Petrucci, gitaris grup band rock-progresif Dream Theater yang amat terkenal dengan lagu "The Spirit Carries On" ciptaannya. Untuk menjadi gitaris -- dan pencipta lagu -- dengan kemampuan seperti itu, usaha yang ditempuh tak main-main. John mengaku dalam vcd lesson "Rock Discipline", yang mana ia menjadi tutornya, bahwa ia melatih empat teknik berbeda selama dua jam sehari (satu teknik setengah jam) untuk mencapai kemampuan seperti yang ia miliki. Ia juga memiliki kliping yang memuat pelajaran seputar keempat teknik itu dari gitaris lain.
Kembali pada soal menulis.
Untuk menjadi penulis yang baik, kita harus tekun menulis; baik penulis sastra kelas berat bahkan penulis cerita anak-anak. Kate Di Camillo, yang memenangkan penghargaan Newberry Book lewat buku anak-anaknya "The Desperaux" (penghargaan yang diterima juga oleh Laura Ingalls Wilder lewat karyanya yang terkenal "Little House on the Praire") mengaku menulis sebanyak dua halaman setiap subuh selama lima hari dari hari Senin s.d. Jumat sebelum berangkat kerja ke toko buku.
Steinbeck, yang dikagumi oleh Pramoedya karena berhasil mengungkap detil-detil yang hebat dalam tulisannya, menulis apa saja ketika bangun tidur. Ya, apa saja yang melintas di kepalanya (mungkin kebanyakan berisi penggalan kisah-kisah yang direkonstruksi untuk novelnya). Kemudian, ia mandi. Setelah mandi dan beristirahat sebentar, ia ambil kembali kertas-kertas yang ditulisnya tadi itu dan menulisnya ulang dengan pikiran yang lebih jernih, dengan bahasa yang lebih rapi.
Sama seperti ujian yang tidak akan berhasil bila dipersiapkan semalam, demikian pula dengan menulis. Kita perlu konsisten, menetapkan target dan membuat dateline (atau deadline?) sendiri. Seperti kata Andrias Harefa bahwa kalau seorang penulis tak bisa memenuhi janjinya pada diri sendiri untuk menulis, lebih baik jadi politisi saja (yang suka ingkar janji).
Mozart mengaku bahwa selama hidupnya ia telah belajar komposisi-komposisi musik yang menurutnya yang terhebat. Ia menjadi hebat karena belajar dari yang terhebat. Seorang penulis juga harus demikian. A.S. Laksana dalam bukunya "Creative Writing" mengisahkan dengan kasihan seorang penulis yang menganggap dirinya bakal menjadi novelis hebat ketika sedang menulis sebuah novel, tapi untuk mencapainya ia tak mau membaca novel orang lain. "Biar orisinal," katanya.
A.S. Laksana kemudian meramalkan kalau novelnya tak bakal banyak dibaca orang. Saya setuju. Ya, bagaimana karya kita akan dibaca kalau kita tak pernah membaca karya orang? Hukum tabur-tuai kan berlaku dalam segenap aspek kehidupan, termasuk dalam berkarya. Kalau saya menyimpulkan bahwa alasannya di akhir paragraf sebelum ini yang termuat dalam tanda kutip tadi, bisa berarti dua hal: kesombongan dan/atau kemalasan.
Demikianlah, pada akhirnya anggapan kawan saya itu saya simpulkan tidak benar. Yang diperlukan seorang gitaris untuk menjadi hebat adalah terus berlatih dengan belajar dari gitaris lain yang lebih hebat, mendisiplinkan diri dengan berlatih rutin dan berkarya. Begitu pula dengan menulis.
Sidik Nugroho
Berbeda dengan musik yang katanya membutuhkan keahlian khusus. Tak semua orang bisa bernyanyi dengan nada yang tepat saat sebuah kunci diperdengarkan, alias sumbang atau fals (kecuali dua orang bernama Doel dan Iwan). Tak semua orang bisa mempelajari musik. Dan tampaknya memang orang yang melek aksara jauh lebih banyak dari pada yang bisa main musik.
Saya tidak sepakat dengan anggapan ini. Ada teman lain yang menyatakan bila ditinjau secara psikologis, kemampuan bergitar merupakan bagian dari ranah motorik, sedangkan menulis dari ranah kognitif. Namun, saya kurang memahami hal-hal psikologis tentang dua kemampuan ini. Saya belum banyak membaca buku psikologi. Yang saya tahu dua-duanya merupakan kecerdasan dan/atau keterampilan. Saya sedikit menguasai bergitar, dan sedikit juga menulis. Saya akan mengemukakan pendapat saya berdasarkan logika dan pengetahuan yang saya miliki.
Bila asal menulis, semua orang bisa menulis. Dosen penguji skripsi saya bergelar S2 (yang berarti telah menulis dan menyelesaikan tesis), dan saya kalah berdebat dengan dia soal frasa "di kemudian hari". Ia menyatakan kata "di" dan "kemudian" digabung. Padahal yang benar jelas tak digabung kan? Tapi, saya kalah berdebat karena waktu itu tak membawa buku tata bahasa -- karya Gorys Keraf, misalnya. Siapa kamu, gundul, berani mendebat saya? Kamu kan baru S1! Mungkin itu yang dinyatakannya dalam hati.
Namun, untuk menghasilkan tulisan seperti Thomas Harris, misalnya, yang menulis "Hannibal", siapa yang mampu? Sedikit sekali. Sepengamatan saya novel itu banyak sekali memuat kata kerja yang operasional dan penggambaran situasi yang benar-benar matang. Ketika menyisirnya kata demi kata, hampir tidak ada satu kata yang tak terpakai untuk menjalin keutuhan kisah yang dibangunnya sepanjang novel.
Sekarang tentang musik. Gitar, dalam hal ini.
Yang namanya gitaris itu macam-macam: dari pengamen di bis kota hingga maestro seperti Steve Vai, atau Balawan di Indonesia yang sedang naik daun. Bila asal bergitar, banyak orang bisa bergitar.
Steve Vai, misalnya. Dalam album Steve Vai yang merupakan kompilasi karya-karya terbaiknya, berjudul "The Infinite Steve Vai: An Anthology" editor naskah album itu, Jon Wiederhon, menyatakan: "Alternative and punk bands have proven that anyone can play gitar, but only master like Vai can conquer its limitations and turn it from a mere six stringed instrument into an incredibly versatile and limitless voice of human expression." Band-band yang dimaksud kurang lebih ya seperti Limp Bizkit, Linkin Park atau Nirvana yang populer di tahun 90-an dulu. Steve Vai cukup unik. Dia bahkan kadang tampil menggunakan gitar berleher tiga: dua ke arah kirinya (bermain normal) dan satu leher ke arah kanan (untuk bermain kidal). Untuk mendapatkan inspirasi lagunya, ia tak jarang berpuasa dan bertapa.
Contoh lain adalah John Petrucci, gitaris grup band rock-progresif Dream Theater yang amat terkenal dengan lagu "The Spirit Carries On" ciptaannya. Untuk menjadi gitaris -- dan pencipta lagu -- dengan kemampuan seperti itu, usaha yang ditempuh tak main-main. John mengaku dalam vcd lesson "Rock Discipline", yang mana ia menjadi tutornya, bahwa ia melatih empat teknik berbeda selama dua jam sehari (satu teknik setengah jam) untuk mencapai kemampuan seperti yang ia miliki. Ia juga memiliki kliping yang memuat pelajaran seputar keempat teknik itu dari gitaris lain.
Kembali pada soal menulis.
Untuk menjadi penulis yang baik, kita harus tekun menulis; baik penulis sastra kelas berat bahkan penulis cerita anak-anak. Kate Di Camillo, yang memenangkan penghargaan Newberry Book lewat buku anak-anaknya "The Desperaux" (penghargaan yang diterima juga oleh Laura Ingalls Wilder lewat karyanya yang terkenal "Little House on the Praire") mengaku menulis sebanyak dua halaman setiap subuh selama lima hari dari hari Senin s.d. Jumat sebelum berangkat kerja ke toko buku.
Steinbeck, yang dikagumi oleh Pramoedya karena berhasil mengungkap detil-detil yang hebat dalam tulisannya, menulis apa saja ketika bangun tidur. Ya, apa saja yang melintas di kepalanya (mungkin kebanyakan berisi penggalan kisah-kisah yang direkonstruksi untuk novelnya). Kemudian, ia mandi. Setelah mandi dan beristirahat sebentar, ia ambil kembali kertas-kertas yang ditulisnya tadi itu dan menulisnya ulang dengan pikiran yang lebih jernih, dengan bahasa yang lebih rapi.
Sama seperti ujian yang tidak akan berhasil bila dipersiapkan semalam, demikian pula dengan menulis. Kita perlu konsisten, menetapkan target dan membuat dateline (atau deadline?) sendiri. Seperti kata Andrias Harefa bahwa kalau seorang penulis tak bisa memenuhi janjinya pada diri sendiri untuk menulis, lebih baik jadi politisi saja (yang suka ingkar janji).
Mozart mengaku bahwa selama hidupnya ia telah belajar komposisi-komposisi musik yang menurutnya yang terhebat. Ia menjadi hebat karena belajar dari yang terhebat. Seorang penulis juga harus demikian. A.S. Laksana dalam bukunya "Creative Writing" mengisahkan dengan kasihan seorang penulis yang menganggap dirinya bakal menjadi novelis hebat ketika sedang menulis sebuah novel, tapi untuk mencapainya ia tak mau membaca novel orang lain. "Biar orisinal," katanya.
A.S. Laksana kemudian meramalkan kalau novelnya tak bakal banyak dibaca orang. Saya setuju. Ya, bagaimana karya kita akan dibaca kalau kita tak pernah membaca karya orang? Hukum tabur-tuai kan berlaku dalam segenap aspek kehidupan, termasuk dalam berkarya. Kalau saya menyimpulkan bahwa alasannya di akhir paragraf sebelum ini yang termuat dalam tanda kutip tadi, bisa berarti dua hal: kesombongan dan/atau kemalasan.
Demikianlah, pada akhirnya anggapan kawan saya itu saya simpulkan tidak benar. Yang diperlukan seorang gitaris untuk menjadi hebat adalah terus berlatih dengan belajar dari gitaris lain yang lebih hebat, mendisiplinkan diri dengan berlatih rutin dan berkarya. Begitu pula dengan menulis.
Sidik Nugroho
__________________
***Gitaris pemula yang masih perlu banyak belajar
***Gitaris pemula yang masih perlu banyak belajar
21.1.09
Selalu Ada Alasan untuk Bersyukur
Kemacetan yang ada di Pasar Porong sungguh-sungguh parah akibat bencana lumpur Lapindo. Walaupun jalan ke arah utara dari Porong sudah dibagi dua ruas dan dua ruas itu masing-masing bisa dilewati tiga mobil, tetapi tetap saja kemacetan di Pasar Porong seringkali terjadi, utamanya di jam-jam sibuk.
Karena alasan ini saya yang hampir tiap minggu pulang ke Malang memutuskan untuk tidak naik bis atau kereta api. Perjalanan menggunakan bis bisa memakan waktu 2,5 hingga 3 bahkan 4 jam -- padahal dulu hanya 1,5 sampai 2 jam. Sementara kereta api jadwalnya sering tidak tepat waktu, baik keberangkatan juga kedatangannya.
Karena itu, selama 1,5 tahun saya bekerja sebagai guru di Sidoarjo, saya selalu naik motor. Dalam tiap bulan rata-rata saya tiga kali pulang ke Malang. Dan, kadangkala, karena itu sudah jadi rutinitas, saya lupa berdoa bila pergi atau bersyukur ketika datang.
Sampai suatu hari, belum dua minggu berselang ketika menulis renungan ini, saya mendengar kecelakaan yang mengerikan: dua pemuda yang nekat menerobos palang perlintasan kereta api, tewas mengenaskan. Dan, palang kereta api itu jaraknya sangat dekat dengan tempat kos saya!
Bila kita menumpang bis atau kereta, tertidur satu jam tak masalah. Tapi bila naik kendaraan sendiri, terpejam lima detik saja bahaya. Setelah kian sadar bahwa selama ini saya selalu diberi keselamatan oleh Tuhan dalam perjalanan, maka saya pun bersyukur lagi kepada-Nya. Bagaimana dengan Anda? Masihkah ada alasan yang Anda bisa gunakan untuk bersyukur pada-Nya?
Karena alasan ini saya yang hampir tiap minggu pulang ke Malang memutuskan untuk tidak naik bis atau kereta api. Perjalanan menggunakan bis bisa memakan waktu 2,5 hingga 3 bahkan 4 jam -- padahal dulu hanya 1,5 sampai 2 jam. Sementara kereta api jadwalnya sering tidak tepat waktu, baik keberangkatan juga kedatangannya.
Karena itu, selama 1,5 tahun saya bekerja sebagai guru di Sidoarjo, saya selalu naik motor. Dalam tiap bulan rata-rata saya tiga kali pulang ke Malang. Dan, kadangkala, karena itu sudah jadi rutinitas, saya lupa berdoa bila pergi atau bersyukur ketika datang.
Sampai suatu hari, belum dua minggu berselang ketika menulis renungan ini, saya mendengar kecelakaan yang mengerikan: dua pemuda yang nekat menerobos palang perlintasan kereta api, tewas mengenaskan. Dan, palang kereta api itu jaraknya sangat dekat dengan tempat kos saya!
Bila kita menumpang bis atau kereta, tertidur satu jam tak masalah. Tapi bila naik kendaraan sendiri, terpejam lima detik saja bahaya. Setelah kian sadar bahwa selama ini saya selalu diberi keselamatan oleh Tuhan dalam perjalanan, maka saya pun bersyukur lagi kepada-Nya. Bagaimana dengan Anda? Masihkah ada alasan yang Anda bisa gunakan untuk bersyukur pada-Nya?
19.1.09
Belenggu-belenggu Budak yang Terhampar di Meja Makan
Judul Film: Amazing Grace
Aktor: Ioan Gruffudd, Romola Garai, Benedict Cumberbatch, Rufus Sewell, Nicholas Farrell, Michael Gambon, Albert Finney, Ciaran Hinds, Toby Jones
Sutradara: Michael Apted
Skenario: Steven Knight
Tahun: 2006 (Inggris); dirilis di Amerika: 23-2-2007
"Doa melahirkan percaya, percaya melahirkan cinta, cinta melahirkan pelayanan, pelayanan melahirkan perdamaian." (Bunda Teresa)
Bila beberapa hari lagi presiden Amerika terpilih Barack Obama akan dilantik, maka kejadian itu tak lepas dari perjuangan seorang anggota parlemen Inggris di masa silam untuk menghapus perdagangan budak dan memperjuangkan persamaan hak kulit hitam dan putih. Seorang yang kegigihannya terkisah manis dan, tentu saja, menginspirasi di film ini.
Namanya William Wilberforce (Ioan Gruffudd). Ia sahabat dekat perdana menteri termuda dalam sejarah Inggris William Pitt (Benedict Cumberbatch). Wilberforce hidup semasa John Newton, penggubah lagu ternama Amazing Grace masih hidup. John Newton termasuk jadi orang yang mendukungnya untuk memperjuangkan dihapusnya perdagangan budak, sehingga mungkin akhirnya film ini dijuduli sama dengan lagu legendaris itu.
Ketika menemui John Newton (Albert Finney) pertama kali, adegan ini mengingatkan kita pada tokoh Tuhan yang diperankan Morgan Freeman dalam film Bruce Almighty. John Newton, yang waktu itu sudah tua dan hampir buta, tampak sedang mengepel lantai. Akting Albert Finney dalam film ini sebagai John Newton sungguh mantap, penuh penghayatan dan teatrikal. Ia muncul lagi di dua adegan lain yang berbeda dengan kemantapan terjaga.
Kembali pada William. Dalam film ini digambarkan sosok William yang selain gigih, juga sering tampak bingung dengan panggilan hidupnya. Ia menjadi anggota parlemen Inggris di masa muda dan di kemudian hari, karena bertemu dengan beberapa orang yang mengisahkan kepadanya kejinya perbudakan, ia berniat menghapus perbudakan itu. Namun, niat ini awalnya tak mendapat banyak dukungan. Ia hanya didukung empat orang di parlemen karena menghapuskan perbudakan di zaman itu akan merugikan perekonomian Inggris besar-besaran -- mayoritas kegiatan ekonomi mengandalkan tenaga budak-budak kulit hitam.
Kebingungan ini membuat ia sering menyendiri sambil bertanya-tanya, apa yang harus ia lakukan. Sementara para anggota parlemen sibuk dengan urusan-urusan politik dan pesta-pora, ia sering menyendiri di sebuah taman dan berdoa. Hal ini, pikirnya, apakah lebih pantas membuatnya menjadi pejuang moral yang berjuang lewat koridor agama, atau tetap berada di parlemen sebagai aktivis politik? Saking kuatnya moralitas yang terkandung dalam diri Wilberforce, James Berardinelli, seorang kritikus film independen, sempat menyindir kalau film ini lebih menyerupai sandiwara moral daripada sebuah film.
Hingga akhirnya Thomas Clarkson (Rufus Sewell) dan beberapa kawannya datang berkunjung ke rumahnya suatu ketika. Di acara makan malam dengan suasana yang canggung kala itu, Thomas bangkit, mengambil sebuah tas dari bawah meja makan, membukanya, dan menghamparkan di atas meja makan kepada semua yang makan saat itu: belenggu-belenggu yang membelenggu seorang budak yang diperdagangkan lewat kapal-kapal. Ada belenggu kaki, tangan, bahkan leher. Ia juga menceritakan kepada mereka semua betapa sengsara hidup yang harus dijalani para budak ketika mereka dijejalkan beramai-ramai dalam kapal yang membawa mereka untuk diperdagangkan.
Dari kejadian inilah Wilberforce kemudian semakin diteguhkan bahwa ia harus berjuang secara moral menghapuskan perbudakan dan tetap menjadi aktivis politik. Keduanya harus berjalan bersamaan. Inilah yang kemudian menjadi sebuah kisah perjuangan yang tak kepalang tanggung. Sejarah mencatat ia mengajukan mosi dan rancangan undang-undang berulang-ulang antara tahun 1788 hingga 1805, dan baru pada tahun 1806, Inggris secara resmi melarang perdagangan budak-budak kulit hitam.
Apa yang dikerjakan oleh William Wilberforce berpengaruh bukan hanya pada Inggris, tapi juga belahan dunia lain. Amistad, film yang mengambil latar Amerika dan disutradarai Steven Spielberg yang ternama itu, mengangkat tema yang sama tentang perbudakan dengan latar waktu yang tidak jauh beda. Dan, yang menarik, seorang tokoh di film ini dari kalangan bangsawan, Lord Charles Fox (Michael Gambon), pendukung Wilberforce, mengingatkan kita pada peran Anthony Hopkins yang penuh karisma sebagai John Adams di Amistad. Memang, Lord Charles Fox tak tampil sesering John Adams, namun keduanya memiliki kemiripan: suka pura-pura tidur ketika orang lain sedang membicarakan sesuatu. Apakah ini kemiripan yang disengaja karena tema film yang sama?
Satu kelemahan yang amat disayangkan, film ini memuat bahasan politis tentang pengubahan kebijakan hubungan internasional di masa itu tentang pelayaran dan penggunaan bendera-bendera kapal lintas negara. Nah, bahasan ini kurang tampil memadai bagi para pemirsa awam, sehingga ketika William Wilberforce pulang ke rumahnya berlari-lari sambil bersukacita karena ada pengubahan kebijakan itu di parlemen Inggris yang serta-merta berefek positif bagi perjuangannya menghapus perbudakan, pemirsa bisa meraba-raba apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Kelemahan ini memang tidak terlalu fatal karena para pemirsa bisa mempelajari sejarah bila ingin tahu kebijakan tersebut secara lengkap. Cuma sayangnya, sekali lagi, saat kejadian itu, film sudah jalan sekitar 4/5 bagian.
Pada akhirnya, kita semua bisa belajar tentang arti kegigihan dan keyakinan dari sosok bernama William Wilberforce. Pada masa di mana perkembangan pengajaran kekristenan belum banyak membahas soal dikotomi rohani-duniawi, kisah hidup William Wilberforce yang gigih ini rasanya amat tepat untuk menjadi acuan dalam mengintegrasikan yang duniawi dan rohani -- juga iman dan pekerjaan -- dalam kehidupan di dunia ini.
Sidik Nugroho
Sidoarjo, 17 Januari 2008, 21:58
Aktor: Ioan Gruffudd, Romola Garai, Benedict Cumberbatch, Rufus Sewell, Nicholas Farrell, Michael Gambon, Albert Finney, Ciaran Hinds, Toby Jones
Sutradara: Michael Apted
Skenario: Steven Knight
Tahun: 2006 (Inggris); dirilis di Amerika: 23-2-2007
"Doa melahirkan percaya, percaya melahirkan cinta, cinta melahirkan pelayanan, pelayanan melahirkan perdamaian." (Bunda Teresa)
Bila beberapa hari lagi presiden Amerika terpilih Barack Obama akan dilantik, maka kejadian itu tak lepas dari perjuangan seorang anggota parlemen Inggris di masa silam untuk menghapus perdagangan budak dan memperjuangkan persamaan hak kulit hitam dan putih. Seorang yang kegigihannya terkisah manis dan, tentu saja, menginspirasi di film ini.
Namanya William Wilberforce (Ioan Gruffudd). Ia sahabat dekat perdana menteri termuda dalam sejarah Inggris William Pitt (Benedict Cumberbatch). Wilberforce hidup semasa John Newton, penggubah lagu ternama Amazing Grace masih hidup. John Newton termasuk jadi orang yang mendukungnya untuk memperjuangkan dihapusnya perdagangan budak, sehingga mungkin akhirnya film ini dijuduli sama dengan lagu legendaris itu.
Ketika menemui John Newton (Albert Finney) pertama kali, adegan ini mengingatkan kita pada tokoh Tuhan yang diperankan Morgan Freeman dalam film Bruce Almighty. John Newton, yang waktu itu sudah tua dan hampir buta, tampak sedang mengepel lantai. Akting Albert Finney dalam film ini sebagai John Newton sungguh mantap, penuh penghayatan dan teatrikal. Ia muncul lagi di dua adegan lain yang berbeda dengan kemantapan terjaga.
Kembali pada William. Dalam film ini digambarkan sosok William yang selain gigih, juga sering tampak bingung dengan panggilan hidupnya. Ia menjadi anggota parlemen Inggris di masa muda dan di kemudian hari, karena bertemu dengan beberapa orang yang mengisahkan kepadanya kejinya perbudakan, ia berniat menghapus perbudakan itu. Namun, niat ini awalnya tak mendapat banyak dukungan. Ia hanya didukung empat orang di parlemen karena menghapuskan perbudakan di zaman itu akan merugikan perekonomian Inggris besar-besaran -- mayoritas kegiatan ekonomi mengandalkan tenaga budak-budak kulit hitam.
Kebingungan ini membuat ia sering menyendiri sambil bertanya-tanya, apa yang harus ia lakukan. Sementara para anggota parlemen sibuk dengan urusan-urusan politik dan pesta-pora, ia sering menyendiri di sebuah taman dan berdoa. Hal ini, pikirnya, apakah lebih pantas membuatnya menjadi pejuang moral yang berjuang lewat koridor agama, atau tetap berada di parlemen sebagai aktivis politik? Saking kuatnya moralitas yang terkandung dalam diri Wilberforce, James Berardinelli, seorang kritikus film independen, sempat menyindir kalau film ini lebih menyerupai sandiwara moral daripada sebuah film.
Hingga akhirnya Thomas Clarkson (Rufus Sewell) dan beberapa kawannya datang berkunjung ke rumahnya suatu ketika. Di acara makan malam dengan suasana yang canggung kala itu, Thomas bangkit, mengambil sebuah tas dari bawah meja makan, membukanya, dan menghamparkan di atas meja makan kepada semua yang makan saat itu: belenggu-belenggu yang membelenggu seorang budak yang diperdagangkan lewat kapal-kapal. Ada belenggu kaki, tangan, bahkan leher. Ia juga menceritakan kepada mereka semua betapa sengsara hidup yang harus dijalani para budak ketika mereka dijejalkan beramai-ramai dalam kapal yang membawa mereka untuk diperdagangkan.
Dari kejadian inilah Wilberforce kemudian semakin diteguhkan bahwa ia harus berjuang secara moral menghapuskan perbudakan dan tetap menjadi aktivis politik. Keduanya harus berjalan bersamaan. Inilah yang kemudian menjadi sebuah kisah perjuangan yang tak kepalang tanggung. Sejarah mencatat ia mengajukan mosi dan rancangan undang-undang berulang-ulang antara tahun 1788 hingga 1805, dan baru pada tahun 1806, Inggris secara resmi melarang perdagangan budak-budak kulit hitam.
Apa yang dikerjakan oleh William Wilberforce berpengaruh bukan hanya pada Inggris, tapi juga belahan dunia lain. Amistad, film yang mengambil latar Amerika dan disutradarai Steven Spielberg yang ternama itu, mengangkat tema yang sama tentang perbudakan dengan latar waktu yang tidak jauh beda. Dan, yang menarik, seorang tokoh di film ini dari kalangan bangsawan, Lord Charles Fox (Michael Gambon), pendukung Wilberforce, mengingatkan kita pada peran Anthony Hopkins yang penuh karisma sebagai John Adams di Amistad. Memang, Lord Charles Fox tak tampil sesering John Adams, namun keduanya memiliki kemiripan: suka pura-pura tidur ketika orang lain sedang membicarakan sesuatu. Apakah ini kemiripan yang disengaja karena tema film yang sama?
Satu kelemahan yang amat disayangkan, film ini memuat bahasan politis tentang pengubahan kebijakan hubungan internasional di masa itu tentang pelayaran dan penggunaan bendera-bendera kapal lintas negara. Nah, bahasan ini kurang tampil memadai bagi para pemirsa awam, sehingga ketika William Wilberforce pulang ke rumahnya berlari-lari sambil bersukacita karena ada pengubahan kebijakan itu di parlemen Inggris yang serta-merta berefek positif bagi perjuangannya menghapus perbudakan, pemirsa bisa meraba-raba apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Kelemahan ini memang tidak terlalu fatal karena para pemirsa bisa mempelajari sejarah bila ingin tahu kebijakan tersebut secara lengkap. Cuma sayangnya, sekali lagi, saat kejadian itu, film sudah jalan sekitar 4/5 bagian.
Pada akhirnya, kita semua bisa belajar tentang arti kegigihan dan keyakinan dari sosok bernama William Wilberforce. Pada masa di mana perkembangan pengajaran kekristenan belum banyak membahas soal dikotomi rohani-duniawi, kisah hidup William Wilberforce yang gigih ini rasanya amat tepat untuk menjadi acuan dalam mengintegrasikan yang duniawi dan rohani -- juga iman dan pekerjaan -- dalam kehidupan di dunia ini.
Sidik Nugroho
Sidoarjo, 17 Januari 2008, 21:58
Rhoma dan Inul
Rhoma Irama pria berewokan
Nyanyi dangdut memainkan gitar
Inul Daratista wanita blingsatan
Badannya tak seksi, namun kekar
Andai Inul sepanggung dengan Rhoma
Lalu menyanyikan lagu Wakuncar
Akan disembuhkankah luka lama?
Atau mereka... akan saling cakar?
Nyanyi dangdut memainkan gitar
Inul Daratista wanita blingsatan
Badannya tak seksi, namun kekar
Andai Inul sepanggung dengan Rhoma
Lalu menyanyikan lagu Wakuncar
Akan disembuhkankah luka lama?
Atau mereka... akan saling cakar?
16.1.09
Penyair dan Gadungan yang Biking Pusing
Judul Buku: Hidupku sebagai Seorang Gadungan
Penulis: Peter Carey
Penerbit: Serambi
Terbit bulan Oktober 2006
Halaman: 466 halaman
Ide cerita yang digagas Peter Carey memang luar biasa, tentunya menarik orang-orang di kalangan editorial, kepenulisan, dan penyair utamanya, untuk menilik buku ini. Seorang penyair bernama Christopher Chubb menciptakan penyair imajiner. Penyair imajiner itu bernama Bob McCorkle. Dengan nama samaran itu, Chubb mengirimkan puisi-puisinya ke editor majalah Personae bernama David Weiss.
David Weiss adalah teman semasa muda Christopher Chubb. Chubb cemburu padanya, karena dinilainya Weiss adalah seorang pemuda Yahudi ganteng yang beruntung bisa jadi editor -- sebuah profesi yang juga diincarnya. Ia lalu bertekad mengirimkan karya-karya "kelas dua"-nya kepada David Weiss. Kelas dua dalam hal ini adalah bobot sastra yang dimuat dalam puisi-puisi yang menurut Chubb sendiri kacangan. Chubb mulanya merasa hebat berhasil mengolok-olok Weiss yang mau memuat puisi-puisi kacangan itu. Bahkan karena beberapa puisi itu terkesan tak senonoh, suatu ketika David Weiss malah diadili.
Pengadilan David Weiss menjadi berita besar. Saat inilah penyair imajiner ciptaan Christopher Chubb benar-benar menjadi manusia dengan pengakuan yang tentu saja dibuat-buatnya. Ia adalah seorang sosok yang tinggi-besar, yang, yap, kemudian mengaku benar-benar bernama Bob McCorkle!
Kisah Christopher Chubb tak hanya berpusat pada satu konflik ini. Dan Peter Carey benar-benar luar biasa menceritakan kisah ini dari berbagai sudut pandang. Mulanya, kisah ini diceritakan Chubb kepada editor majalah The Modern Review bernama Sarah Elizabeth Jane yang sedang menemani seorang penyair bernama John Slater ke Kuala Lumpur untuk rekreasi dan mencari penyegaran. Di Kuala Lumpur, ternyata John Slater telah mengenal Christopher Chubb, sehingga ia kemudian memiliki kisah juga -- sebuah sisi lain tentang Chubb. Slater kini menjadi pencerita kedua. Kemudian, masa lalu Slater yang ada hubungannya dengan ayah dan ibu Sarah, yang dikuak dari rekreasi bersama ke Malaysia itu, membuat Sarah sendiri menceritakan kisahnya, hingga ia menjadi pencerita ketiga.
Semua ini mau tak mau akhirnya membuat pembaca harus jeli -- harus amat hati-hati -- dalam membaca. Bayangkan saja, dalam sebuah bab bisa terjadi pergantian pencerita (contoh bisa disimak di halaman 241), dan para pencerita di buku ini, walaupun mereka dikisahkan sedang berbicara atau bercerita, ketika menceritakan kisahnya tidak menggunakan tanda kutip. Kalimat-kalimat langsung hanya dibatasi dengan tanda koma kemudian diberi keterangan tambahan kata-kata seperti "katanya", "tukasnya", dan lain-lain. Sebabnya itu tadi: para pencerita sangat banyak.
Belum lagi ketika Chubb bertemu dengan Mulaha, orang Tamil yang sangat ambil peran dalam membuatnya berhasil bertemu dengan putrinya. Hampir semua tokoh mempunyai suaranya sendiri, dan itulah yang kadang mengesalkan -- juga sekaligus menantang -- dari novel ini.
Sangat wajar memang bila Peter Carey dipuji sebagai penulis yang lincah. Kelincahannya bukan main, dan sedikit yang disayangkan dari kelincahannya ini adalah dengan keputusannya untuk memasukkan terlalu banyak kisah, suara, dan pencerita yang berusaha ia jejalkan kepada pembaca, sehingga kadang membingungkan para pembaca awam, membuat mereka mungkin membolak-balik lagi halaman-halaman sebelum yang mereka sedang baca, atau membacai lagi kalimat-kalimat sebelum yang mereka sedang simak.
Bagian yang sangat menarik adalah ketika Chubb mulai mencari putrinya, Tina, yang diculik oleh Bob McCorkle. Irama cerita mulai bertambah cepat, namun tertutur lirih. Ya, penyair imajiner yang diciptakannya itu memberi pelajaran tak tanggung-tanggung kepada Christopher Chubb yang pernah mengolok-olok David Weiss. Tina adalah hasil hubungan gelapnya dengan Nousette Markson, seorang wanita yang sangat cantik, tapi slebor, tapi juga berbakat menghibur dan mencari uang. Di sinilah emosi yang dihadirkan Peter Carey dapat mencengkeram pembaca untuk memahami deritanya. Dari Australia ia ke Yogyakarta, lalu ke Danau Toba, kemudian menyeberang ke Malaysia dengan bantuan Mulaha untuk mencari putrinya. Ia sangat menyayangi putrinya itu, walau Nousette sebagai ibunya bahkan menelantarkannya. Sejak Tina masih bayi merah ia telah menjaga Tina dengan kasih sayang dan kekaguman yang besar.
Penyair gadungan McCorkle yang telah membesarkan Tina kemudian justru dicintai Tina, walau ia kasar, suka menipu dan mencuri. McCorkle kemudian memperistri seorang wanita Tionghoa bernama Nyonya Lim yang suaminya tewas pada masa perang sebelum Malaysia merdeka. Perubahan gila-gilaan terjadi padanya. Ia yang mulanya bingung dengan arti kata "dot" di kemudian hari bisa menguasai beberapa bahasa. Gadungan yang tak tahu apa-apa tentang sastra ini, kemudian memiliki banyak buku yang ditulisnya sendiri.
Akankah Tina kembali dalam dekapan dan asuhan Christopher Chubb? Ketika ia remaja, kecantikannya telah mengalahkan ibunya. Amat cantik hingga, kata Sarah, kita tidak bisa tahu dia berasal dari ras mana. Bagaimana akhir hidup penyair dan penyair gadungan yang "diciptakannya" setelah akhirnya keduanya bertemu? Penyair dan gadungan yang bikin pusing ini, karena dikisahkan dengan alur yang berputar-putar dan suara pencerita demikian banyak, bisa dikatakan memiliki akhir cerita yang cukup adil. Dan, apakah keadilan yang pantas untuk keduanya? Sebuah perdamaian? Atau kematian? Simak saja seluruh ceritanya. Mohon disimak dengan hati-hati -- sangat hati-hati, demi kebaikan Anda.
Sidik Nugroho,
Sidoarjo, 15-16 Januari 2009
Penulis: Peter Carey
Penerbit: Serambi
Terbit bulan Oktober 2006
Halaman: 466 halaman
Ide cerita yang digagas Peter Carey memang luar biasa, tentunya menarik orang-orang di kalangan editorial, kepenulisan, dan penyair utamanya, untuk menilik buku ini. Seorang penyair bernama Christopher Chubb menciptakan penyair imajiner. Penyair imajiner itu bernama Bob McCorkle. Dengan nama samaran itu, Chubb mengirimkan puisi-puisinya ke editor majalah Personae bernama David Weiss.
David Weiss adalah teman semasa muda Christopher Chubb. Chubb cemburu padanya, karena dinilainya Weiss adalah seorang pemuda Yahudi ganteng yang beruntung bisa jadi editor -- sebuah profesi yang juga diincarnya. Ia lalu bertekad mengirimkan karya-karya "kelas dua"-nya kepada David Weiss. Kelas dua dalam hal ini adalah bobot sastra yang dimuat dalam puisi-puisi yang menurut Chubb sendiri kacangan. Chubb mulanya merasa hebat berhasil mengolok-olok Weiss yang mau memuat puisi-puisi kacangan itu. Bahkan karena beberapa puisi itu terkesan tak senonoh, suatu ketika David Weiss malah diadili.
Pengadilan David Weiss menjadi berita besar. Saat inilah penyair imajiner ciptaan Christopher Chubb benar-benar menjadi manusia dengan pengakuan yang tentu saja dibuat-buatnya. Ia adalah seorang sosok yang tinggi-besar, yang, yap, kemudian mengaku benar-benar bernama Bob McCorkle!
Kisah Christopher Chubb tak hanya berpusat pada satu konflik ini. Dan Peter Carey benar-benar luar biasa menceritakan kisah ini dari berbagai sudut pandang. Mulanya, kisah ini diceritakan Chubb kepada editor majalah The Modern Review bernama Sarah Elizabeth Jane yang sedang menemani seorang penyair bernama John Slater ke Kuala Lumpur untuk rekreasi dan mencari penyegaran. Di Kuala Lumpur, ternyata John Slater telah mengenal Christopher Chubb, sehingga ia kemudian memiliki kisah juga -- sebuah sisi lain tentang Chubb. Slater kini menjadi pencerita kedua. Kemudian, masa lalu Slater yang ada hubungannya dengan ayah dan ibu Sarah, yang dikuak dari rekreasi bersama ke Malaysia itu, membuat Sarah sendiri menceritakan kisahnya, hingga ia menjadi pencerita ketiga.
Semua ini mau tak mau akhirnya membuat pembaca harus jeli -- harus amat hati-hati -- dalam membaca. Bayangkan saja, dalam sebuah bab bisa terjadi pergantian pencerita (contoh bisa disimak di halaman 241), dan para pencerita di buku ini, walaupun mereka dikisahkan sedang berbicara atau bercerita, ketika menceritakan kisahnya tidak menggunakan tanda kutip. Kalimat-kalimat langsung hanya dibatasi dengan tanda koma kemudian diberi keterangan tambahan kata-kata seperti "katanya", "tukasnya", dan lain-lain. Sebabnya itu tadi: para pencerita sangat banyak.
Belum lagi ketika Chubb bertemu dengan Mulaha, orang Tamil yang sangat ambil peran dalam membuatnya berhasil bertemu dengan putrinya. Hampir semua tokoh mempunyai suaranya sendiri, dan itulah yang kadang mengesalkan -- juga sekaligus menantang -- dari novel ini.
Sangat wajar memang bila Peter Carey dipuji sebagai penulis yang lincah. Kelincahannya bukan main, dan sedikit yang disayangkan dari kelincahannya ini adalah dengan keputusannya untuk memasukkan terlalu banyak kisah, suara, dan pencerita yang berusaha ia jejalkan kepada pembaca, sehingga kadang membingungkan para pembaca awam, membuat mereka mungkin membolak-balik lagi halaman-halaman sebelum yang mereka sedang baca, atau membacai lagi kalimat-kalimat sebelum yang mereka sedang simak.
Bagian yang sangat menarik adalah ketika Chubb mulai mencari putrinya, Tina, yang diculik oleh Bob McCorkle. Irama cerita mulai bertambah cepat, namun tertutur lirih. Ya, penyair imajiner yang diciptakannya itu memberi pelajaran tak tanggung-tanggung kepada Christopher Chubb yang pernah mengolok-olok David Weiss. Tina adalah hasil hubungan gelapnya dengan Nousette Markson, seorang wanita yang sangat cantik, tapi slebor, tapi juga berbakat menghibur dan mencari uang. Di sinilah emosi yang dihadirkan Peter Carey dapat mencengkeram pembaca untuk memahami deritanya. Dari Australia ia ke Yogyakarta, lalu ke Danau Toba, kemudian menyeberang ke Malaysia dengan bantuan Mulaha untuk mencari putrinya. Ia sangat menyayangi putrinya itu, walau Nousette sebagai ibunya bahkan menelantarkannya. Sejak Tina masih bayi merah ia telah menjaga Tina dengan kasih sayang dan kekaguman yang besar.
Penyair gadungan McCorkle yang telah membesarkan Tina kemudian justru dicintai Tina, walau ia kasar, suka menipu dan mencuri. McCorkle kemudian memperistri seorang wanita Tionghoa bernama Nyonya Lim yang suaminya tewas pada masa perang sebelum Malaysia merdeka. Perubahan gila-gilaan terjadi padanya. Ia yang mulanya bingung dengan arti kata "dot" di kemudian hari bisa menguasai beberapa bahasa. Gadungan yang tak tahu apa-apa tentang sastra ini, kemudian memiliki banyak buku yang ditulisnya sendiri.
Akankah Tina kembali dalam dekapan dan asuhan Christopher Chubb? Ketika ia remaja, kecantikannya telah mengalahkan ibunya. Amat cantik hingga, kata Sarah, kita tidak bisa tahu dia berasal dari ras mana. Bagaimana akhir hidup penyair dan penyair gadungan yang "diciptakannya" setelah akhirnya keduanya bertemu? Penyair dan gadungan yang bikin pusing ini, karena dikisahkan dengan alur yang berputar-putar dan suara pencerita demikian banyak, bisa dikatakan memiliki akhir cerita yang cukup adil. Dan, apakah keadilan yang pantas untuk keduanya? Sebuah perdamaian? Atau kematian? Simak saja seluruh ceritanya. Mohon disimak dengan hati-hati -- sangat hati-hati, demi kebaikan Anda.
Sidik Nugroho,
Sidoarjo, 15-16 Januari 2009
12.1.09
Jadwal Menulis Mingguan Januari-Juni 2009
Tahun lalu tak banyak karya tulis kuhasilkan. Alasannya karena pekerjaanku sebagai guru cukup berat. Aku sampai di tempat kos rata-rata jam lima sore tiap hari, sejak jam enam limabelas hingga setengah tujuh pagi berangkat. Sebenarnya, bagiku, aku terlalu lelah. Tapi, aku akan mengatur jadwalku lebih baik. Mungkin, dengan membuat rencana seperti di bawah, segalanya bisa teratasi.
Intinya, aku ingin mengubahnya tahun ini.
Selain menggarap delapan atau sembilan renungan rohani tiap bulan, aku ingin merampungkan novel baruku yang baru tiga bab tergarap. Untuk novel kurencanakan kubuat sepuluh halaman tiap minggu. Novel ini kutargetkan selesai akhir Juni 2008. Selain menulis renungan dan menggarap novel, aku juga akan menulis cerpen, resensi, artikel dan puisi. Untuk puisi, tak kubuat jadwal khusus. Alasannya karena, sejauh ini, dalam pengalamanku, kemunculan puisi susah diperkirakan.
Nah, ini dia jadwalku. Kupukul rata tiap bulan ada 4 minggu.
Minggu 1:
10 halaman novel baru
1 cerpen
Minggu 2:
10 halaman novel baru
1 resensi film/buku
Minggu 3:
10 halaman novel baru
1 artikel, utamanya pendidikan
Minggu 4:
10 halaman novel baru
1 resensi film/buku, atau 1 cerpen, atau 1 artikel
Ya... semoga saja, semuanya bisa terlaksana dengan baik dan sesuai rencana.
Tuhan, kuatkan aku, demi minatku.
~s.n~
Intinya, aku ingin mengubahnya tahun ini.
Selain menggarap delapan atau sembilan renungan rohani tiap bulan, aku ingin merampungkan novel baruku yang baru tiga bab tergarap. Untuk novel kurencanakan kubuat sepuluh halaman tiap minggu. Novel ini kutargetkan selesai akhir Juni 2008. Selain menulis renungan dan menggarap novel, aku juga akan menulis cerpen, resensi, artikel dan puisi. Untuk puisi, tak kubuat jadwal khusus. Alasannya karena, sejauh ini, dalam pengalamanku, kemunculan puisi susah diperkirakan.
Nah, ini dia jadwalku. Kupukul rata tiap bulan ada 4 minggu.
Minggu 1:
10 halaman novel baru
1 cerpen
Minggu 2:
10 halaman novel baru
1 resensi film/buku
Minggu 3:
10 halaman novel baru
1 artikel, utamanya pendidikan
Minggu 4:
10 halaman novel baru
1 resensi film/buku, atau 1 cerpen, atau 1 artikel
Ya... semoga saja, semuanya bisa terlaksana dengan baik dan sesuai rencana.
Tuhan, kuatkan aku, demi minatku.
~s.n~
Cerdas dan Memikat, tapi Berat
Judul: Pria Cilik Merdeka -- Sebuah Kisah tentang Dunia Khayal Baru
Penulis: Terry Pratchett
Penerjemah: Astrid Susanti
Tahun: 2007
Penerbit: Atria (Serambi)
Tebal: 454 halaman
Tiffany anak berumur sembilan tahun. Di usianya yang masih amat muda ini ia sudah mengalami banyak hal ajaib. Di Negeri Kapur, ia tinggal dan bekerja sebagai pembuat keju. Hampir semua orang yang ada di Negeri Kapur tampak bermusuhan dengan hal-hal yang berbau sihir -- hal yang justru sangat disukai Tiffany, selain membaca dan memikirkan makna kata-kata.
Selain sihir, Tiffany juga sangat mengidolakan neneknya, Nenek Aching, almarhum. Ia, walaupun tidak secara terang-terangan dianggap seorang penyihir, namun ditakuti dan disegani segenap warga Negeri Kapur karena kehebatannya dalam menggembalakan domba. Dalam penggembalaan itu ia dibantu dua anjing, Thunder dan Lightning. Ia bahkan tahu segala seluk-beluk anjing, dan mewariskan kepada Tiffany buku yang jadi kesukaan Tiffany berjudul Penyakit-penyakit Domba.
Suatu ketika Tiffany bertemu dengan seorang manusia kecil. Tingginya sekitar enam inci dan berbadan biru. Setelah berkenalan, dijelaskan kemudian bahwa mereka ternyata adalah kaum Nac Mac Feegle yang telah diusir dari Negeri Dongeng. Tak lama berselang setelah perkenalan itu, adik Tiffany, Wentworth namanya, hilang dan tidak ada seorang pun yang tahu di mana rimbanya. Dengan pertolongan Nac Mac Feegle, Tiffany tahu bahwa Wentworth telah diculik oleh ratu jahat, seorang penyihir dari Negeri Salju. Petualangan pun dimulai.
Nac Mac Feegle, atau kaum Pria Cilik Merdeka memang lucu. Namanya saja lucu. Salah satu dari mereka bernama amat panjang: Tidak-Sebesar-Jock-Ukuran-Sedang-tapi-Lebih-Besar-dari-Jock-Cilik. Mereka suka mabuk, mencuri, membuat huru-hara, namun sangat solider dan kompak. Di antara mereka bahkan ada seorang penyair. Dan, sungguh ide yang cemerlang: Tiffany diangkat menjadi ratu (atau disebut Kelda) oleh mereka karena dia dianggap mempunyai kekuatan sihir.
Namun, kalau dipikir-pikir: Tiffany berusia sembilan tahun. Dan, hal lain yang juga patut dipikir-pikir: seorang pembaca berusia sembilan tahun, bisakah mencerna cerita ini? Semoga. Itulah harapan sebuah buku diterbitkan. Apalagi ini memang cerita untuk anak-anak.
Penulis berupaya menggarap dialog-dialog yang bernas, tidak buru-buru dan penuh canda. Alurnya panjang, agak sedikit berbelit dan berlapis. Apa yang dialami Tiffany cukup berat untuk disimak -- petualangannya terlalu berat untuk diikuti. Bayangkan ini: Tiffany dan teman-teman kecilnya memasuki sebuah dunia lain; masuk ke dunia lain lagi dari sebuah lukisan; mengalami mimpi yang ada di dalam suatu mimpi; dan membiasakan diri untuk memikirkan sesuatu yang lain dari apa yang dipandangnya (disebut oleh para Nac Mac Feegle "Pandangan Pertama" dan "Pikiran Kedua").
"Mimpi di dalam suatu mimpi", "pikiran kedua dari pandangan pertama", bahkan "berpikir tentang apa yang kaupikirkan" bukan hanya menjadi frasa-frasa filosofis yang menantang logika dari otak anak-anak untuk bekerja, tapi mewakili deskripsi dan narasi dari apa yang penulis kisahkan dalam petualangan Tiffany ini. Membayangkannya, mungkin hanya anak-anak kutubuku, berkacamata tebal, cerdas, yang bisa terkikik-kikik menikmati cerita ini.
Selain petualangan yang dibangun Terry Pratchett cukup rumit, masalah lain adalah soal bahasa. Washington Post menyatakan bahwa Terry Pratchett sedang menampilkan "kualitas sebuah cerita yang (memiliki) pola ujar dan aksen yang unik." Tapi, kedua hal itu mungkin benar-benar berkualitas dalam bahasa Inggris (bahasa aslinya), karena terjemahannya dalam bahasa Indonesia tak menampilkan keduanya sebagai keunikan tersendiri.
Mungkin, bagi orang berbahasa Inggris dengan segala gaya ungkap, aksen, dan juga leluconnya, dapat menganggap novel ini istimewa. Namun, inilah yang justru jadi kelemahan ketika novel ini diterjemahkan. Bukan hanya anak sembilan tahun, para pembaca awam segala usia bisa jadi malah mengerutkan dahi, dan bertanya-tanya: mengapa cerita ini lambat sekali? kapan selesai? ke mana lagi Tiffany akan pergi? dan hal-hal apa yang mereka bicarakan begitu banyak satu sama lain sesama tokoh -- yang rasa-rasanya tidak perlu dibicarakan?
Akhirnya, karya ini, terlepas dari keistimewaannya yang benar-benar telah digarap pengarangnya dengan sangat apik dan perjuangan yang mungkin tak tanggung-tanggung, terpaksa memiliki ruang lingkup pembaca yang sempit. Kesannya, buku anak-anak ini jadi buku bacaan kelas berat. Tebalnya saja tidak tanggung-tanggung: 454 halaman. Petualangannya yang dibumbui warna-warni canda seputar bahasa, dialog yang intens, dan hal-hal yang memikat untuk direnungkan secara filosofis, tidak serta merta-merta menjadikannya novel yang -- terutama setelah diterjemahkan -- nikmat untuk dibaca pengguna bahasa selain Inggris.
Sidik Nugroho
Sidoarjo, 6 Januari 2009, 20:09
7.1.09
Tak Jadi Mengubur Mayat
Ini adalah cerita yang pernah saya dengar dari bapak saya belasan tahun silam. Seorang pria, namanya Amin, yang penakut dan agak tuli, suatu ketika diminta memakamkan mayat seorang nenek tua asal pantijompo. Bersama Budi, rekannya, ia memakamkan mayat itu di sebuah bukit.
Di perjalanan memakamkan mayat itu, Budi yang memegangi keranda dibagian belakang berkata kepada Amin, "Min, langitnya mendung ya...."
Si Amin, yang agak tuli nan penakut itu salah dengar! Ia mendengar Budi berkata, "Min, perut mayatnya kok melembung ya?" Ia pun mempercepat langkahnya, sehingga membuat Budi yang di belakangnya agak kerepotan.
Beberapa saat kemudian hujan turun rintik-rintik. Budi berkata kepada Amin, "Min, gerimis lho!"
Amin, salah dengar lagi: "Min, meringis lho!" Wah, dikira si Amin mayatnya meringis! Ia pun setengah berlari membawa mayat itu, membuat Budi kelabakan.
Tak lama kemudian hujan turun amat deras. Budi yang kelabakan membawa mayat karena Amin berlari kian cepat, juga karena ingin istirahat akibat hujan menderas, berteriak: "Min, berhenti!!!"
Nah, sayangnya lagi-lagi Amin salah dengar ucapan Budi. Didengarnya,"Min berdiri!!!" Dikira Amin mayatnya berdiri! Waduh, jantung Amin jadi tidak karu-karuan karena ini. Tanpa pikir panjang, ditinggalkannya Budi sendirian, lalu lari tunggang-langgang.
Di perjalanan memakamkan mayat itu, Budi yang memegangi keranda dibagian belakang berkata kepada Amin, "Min, langitnya mendung ya...."
Si Amin, yang agak tuli nan penakut itu salah dengar! Ia mendengar Budi berkata, "Min, perut mayatnya kok melembung ya?" Ia pun mempercepat langkahnya, sehingga membuat Budi yang di belakangnya agak kerepotan.
Beberapa saat kemudian hujan turun rintik-rintik. Budi berkata kepada Amin, "Min, gerimis lho!"
Amin, salah dengar lagi: "Min, meringis lho!" Wah, dikira si Amin mayatnya meringis! Ia pun setengah berlari membawa mayat itu, membuat Budi kelabakan.
Tak lama kemudian hujan turun amat deras. Budi yang kelabakan membawa mayat karena Amin berlari kian cepat, juga karena ingin istirahat akibat hujan menderas, berteriak: "Min, berhenti!!!"
Nah, sayangnya lagi-lagi Amin salah dengar ucapan Budi. Didengarnya,"Min berdiri!!!" Dikira Amin mayatnya berdiri! Waduh, jantung Amin jadi tidak karu-karuan karena ini. Tanpa pikir panjang, ditinggalkannya Budi sendirian, lalu lari tunggang-langgang.
Matamu
matamu ada yang sipit atau bundar
kalau mataku sih, kata orang sipit
matamu bila senang tampak bersinar
tampak menyedihkan bila kau terhimpit
bila kau lari-lari atau jalan-jalan
awasi langkah dan pandanganmu
bila kau sembrono orang akan teriakkan
sebuah makian keras buat dirimu
"matamu!" makian itu terdengar tabu
awas, jangan kaubalas: "matamu!"
kendalikan dirimu karena kau perlu tahu
perkelahian dapat membuat buta matamu
matamu, mataku, mata dia, mata kita
mata-mata ini semua bisa dimaki-maki
juga termasuk mata seorang mata-mata
yang tugasnya selalu memata-matai
mata diciptakan pencipta segala
bukan untuk dihina, caci dan maki
mata ada untuk melihat segala
bukan semata-mata dikata-katai
sn, 2007
kalau mataku sih, kata orang sipit
matamu bila senang tampak bersinar
tampak menyedihkan bila kau terhimpit
bila kau lari-lari atau jalan-jalan
awasi langkah dan pandanganmu
bila kau sembrono orang akan teriakkan
sebuah makian keras buat dirimu
"matamu!" makian itu terdengar tabu
awas, jangan kaubalas: "matamu!"
kendalikan dirimu karena kau perlu tahu
perkelahian dapat membuat buta matamu
matamu, mataku, mata dia, mata kita
mata-mata ini semua bisa dimaki-maki
juga termasuk mata seorang mata-mata
yang tugasnya selalu memata-matai
mata diciptakan pencipta segala
bukan untuk dihina, caci dan maki
mata ada untuk melihat segala
bukan semata-mata dikata-katai
sn, 2007
6.1.09
Wartawan dan Geisha Tertawan Cinta
Judul Buku: Kembang Jepun
Penulis: Remy Sylado
Tahun: 2004 (cetakan ketiga)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku: 319 halaman
Tjak Broto selalu memegang tali sais, mengendalikan sapi yang menarik pedati. Di belakangnya, berjongkok dekat pantatnya, adalah Keke, istrinya. Mereka berdua hendak ke pasar, membawa hasil bumi kepada Gan Kiem Seng. Di bulan-bulan musim penghujan, kadang-kadang roda pedati itu terperosok. Tjak Broto kadang harus turun, membetulkan roda pedati, sehinggaa Keke ganti mengendalikan sapi dan memegangi sais sementara.
Suatu ketika, Tjak Broto terbenam di kubangan lumpur setelah berhasil menyelamatkan roda pedatinya. Ia misuh akibat kejadian itu. Menyaksikan suaminya misuh dan belepotan lumpur sekujur badan, Keke mengejeknya dengan mesra. Tjak Broto yang diejek balas menyerang -- dengan mesra pula. Ia melompat naik ke pedati, melapkan tangan dan badannya ke wajah Keke.
Keke lalu memukul-mukul Tjak Broto. Tjak Broto menguyek-uyek rambut Keke. Di dalam sebuah pedati, ketika musim hujan mengguyuri bumi, dan dalam kondisi segenap badan keduanya jelas-jelas tak berbau minyak wangi, cinta bersemi. Keduanya terpingkal-pingkal, dengan bahasa cinta yang nakal, mesra sekali! Dua-duanya merasakan anugerah yang indah, yang diberikan Pencipta dalam dua hati manusia.
Nah, Keke berjongkok di bokong suaminya karena bersembunyi. Ia bersembunyi sebab ia wanita. Dan ini adalah zaman ketika Jepang berkuasa di tanahair. Wanita, siapa pun juga, kalau ditemui di manapun dan kapanpun oleh Jepang, bisa-bisa diperkosa! Dan, di masa inilah segenap cinta yang dimiliki keduanya mengalami ujian terbesar. Jepang-Jepang keji itu memisahkan mereka. Keke dibawa ke Jepang dan diperistri oleh Hiroshi Masakuni, seorang perwira Jepang, sementara Tjak Broto dibebaskan setelah disiksa dan hampir dibunuh karena dituduh menjadi "otak" pemberontakan Supriyadi yang terkenal, 14 Februari 1945. Pembebasan Tjak Broto sendiri adalah hasil kegigihan Keke yang minta agar suaminya dibebaskan oleh Masakuni.
Demikianlah di atas beberapa bagian dari kisah yang dibuat pada tahun 1990-an, dan pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Surabaya Pos tahun 1990-1991 ini. Sedikit perbandingan, novel ini tak seperti beberapa novel Remy yang lain, tidak terlalu banyak memuat bahasa-bahasa khasnya seperti "prayojana", "wabakdu", "naam", dan lain-lain. Diterbitkan ulang sebagai novel oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2003.
Kisah cinta dalam novel ini alurnya mirip -- paling tidak -- dengan dua novel Remy Sylado yang lain: Mimi Lan Mintuna dan Kerudung Merah Kirmizi. Dalam tiga novel ini dikisahkan perpisahan sepasang kekasih akibat sebuah konflik yang penyelesaiannya cukup runyam. Namun, yang selalu menarik dari Remy Sylado adalah suguhan kisah di dalam novelnya selalu berdasarkan riset mendalam. Kembang Jepun sendiri dilatari dengan berbagai hal yang "... mempertahankan akurasi data faktual, yakni dunia geisha, pelukisan tempat, peristiwa, tahun-tahun, dan ungkapan-ungkapan Jepang, yang memerlukan ketelitian tinggi," kata Bakdi Soemanto.
Memang, ditinjau dari tema besar dan alurnya, cerita ini sedikit klise. Yang disampaikan Remy tentang berseminya cinta, perjuangan mempertahankan cinta, dan hasil akhir dari sebuah keberadaan cinta. Lagi-lagi cinta. Namun, tema besar yang kerap membosankan itu jadi maknawi, segar dan mengharukan dengan tokoh-tokoh yang diciptakannya.
Tjak Broto adalah seorang wartawan muda. Idealis, suka mempelajari banyak bahasa dan membaca, dan enerjik. Ia bertemu dengan Keke (dipanggil juga Keiko), gadis jelita asal Manado mirip Jepang bermata sipit, yang merasa tak perlu menyesali dalam-dalam nasibnya menjadi geisha, karena ia menghargai sekali nilai-nilai budaya di dalam tradisi-kesenian Jepang itu. Ia jatuh cinta dengan kegiatan menuang sake, menarikan tarian Jepang, memetik shamisen (alat musik Jepang) dan bahkan berdandan ala Jepang dengan kimono.
Keduanya bertemu di Shinju, sebuah restoran (baca juga: rumah melacur) Shinju milik Kotaro Takamura di jalan Kembang Jepun pada masa-masa akhir Belanda menjajah Indonesia. Keduanya saling jatuh cinta, walau mereka sempat terpisah sebelum menikah ketika Tjak Broto harus mendekam beberapa lama di penjara, dan ibunya tak setuju Tjak Broto menikahi "pelacur". Mereka tetap bersikeras menikah -- akhirnya dengan memohon restu nenek Tjak Broto.
Tentang apa yang kita baca juga sebagai rumah lacur itu sebenarnya adalah interpretasi yang berkembang kemudian. Geisha, bila kita pernah membaca buku lain karya Arthur Golden Memoirs of a Geisha (atau menonton filmnya yang diadaptasi berdasarkan buku itu), akan kita ketahui bahwa hampir semuanya dilatih sejak kecil untuk benar-benar paham bahwa mereka adalah penghibur. Penghibur yang memberikan segala-galanya -- yang juga didasari kodrat bahwa wanita memang lebih prigel dibanding laki-laki bila menghibur -- untuk menyenangkan laki-laki.
Bagi para geisha, totalitas penghiburan yang mereka berikan dari menuang sake secara hati-hati hingga persetubuhan di kamar, adalah sebuah pengabdian. Pengabdian mereka, yang identik dengan pesta, kemesuman dan hura-hura, kemudian diartikan lain oleh masyarakat, termasuk ibu Tjak Broto.
Terutama Keke, tokoh-tokoh dalam kisah ini tampil tegar. Ia diperkosa, dianiya, diinjak-injak harkat-martabatnya, sendirian di hutan Sulawesi selama seperempat abad. Dan yang membuatnya bertahan hidup hanyalah keyakinan bahwa masih ada sebentuk cinta untuknya. Cinta dari seorang pria yang pernah memberinya kalung perak berliontin semar yang dibentuk melalui rangkaian huruf-huruf Arab dalam bahasa Jawa. Huruf-huruf yang berbunyi: "Bismillah, ingsun kang jumeneng ratu sosetya kang linuwih, ules wulan angembara, anerus pitung bumi, pitung langit, amadangi jagad iki kabeh, saking karsaning Gusti Allah."
"Apa itu artinya?" tanya Keke. Tjak Broto memberikannya ketika baru saja keluar dari sebuah kamar di Shinju setelah ditemani Keke. Hampir tengah malam kala itu.
"Itu mantra supaya kau dikasihi," kata Tjak Broto.
"Saya akan pakai terus kalung ini."
Sidik Nugroho
Sidoarjo, 5 Januari 2009, 22.50
Tahun: 2004 (cetakan ketiga)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku: 319 halaman
Tjak Broto selalu memegang tali sais, mengendalikan sapi yang menarik pedati. Di belakangnya, berjongkok dekat pantatnya, adalah Keke, istrinya. Mereka berdua hendak ke pasar, membawa hasil bumi kepada Gan Kiem Seng. Di bulan-bulan musim penghujan, kadang-kadang roda pedati itu terperosok. Tjak Broto kadang harus turun, membetulkan roda pedati, sehinggaa Keke ganti mengendalikan sapi dan memegangi sais sementara.
Suatu ketika, Tjak Broto terbenam di kubangan lumpur setelah berhasil menyelamatkan roda pedatinya. Ia misuh akibat kejadian itu. Menyaksikan suaminya misuh dan belepotan lumpur sekujur badan, Keke mengejeknya dengan mesra. Tjak Broto yang diejek balas menyerang -- dengan mesra pula. Ia melompat naik ke pedati, melapkan tangan dan badannya ke wajah Keke.
Keke lalu memukul-mukul Tjak Broto. Tjak Broto menguyek-uyek rambut Keke. Di dalam sebuah pedati, ketika musim hujan mengguyuri bumi, dan dalam kondisi segenap badan keduanya jelas-jelas tak berbau minyak wangi, cinta bersemi. Keduanya terpingkal-pingkal, dengan bahasa cinta yang nakal, mesra sekali! Dua-duanya merasakan anugerah yang indah, yang diberikan Pencipta dalam dua hati manusia.
Nah, Keke berjongkok di bokong suaminya karena bersembunyi. Ia bersembunyi sebab ia wanita. Dan ini adalah zaman ketika Jepang berkuasa di tanahair. Wanita, siapa pun juga, kalau ditemui di manapun dan kapanpun oleh Jepang, bisa-bisa diperkosa! Dan, di masa inilah segenap cinta yang dimiliki keduanya mengalami ujian terbesar. Jepang-Jepang keji itu memisahkan mereka. Keke dibawa ke Jepang dan diperistri oleh Hiroshi Masakuni, seorang perwira Jepang, sementara Tjak Broto dibebaskan setelah disiksa dan hampir dibunuh karena dituduh menjadi "otak" pemberontakan Supriyadi yang terkenal, 14 Februari 1945. Pembebasan Tjak Broto sendiri adalah hasil kegigihan Keke yang minta agar suaminya dibebaskan oleh Masakuni.
Demikianlah di atas beberapa bagian dari kisah yang dibuat pada tahun 1990-an, dan pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Surabaya Pos tahun 1990-1991 ini. Sedikit perbandingan, novel ini tak seperti beberapa novel Remy yang lain, tidak terlalu banyak memuat bahasa-bahasa khasnya seperti "prayojana", "wabakdu", "naam", dan lain-lain. Diterbitkan ulang sebagai novel oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2003.
Kisah cinta dalam novel ini alurnya mirip -- paling tidak -- dengan dua novel Remy Sylado yang lain: Mimi Lan Mintuna dan Kerudung Merah Kirmizi. Dalam tiga novel ini dikisahkan perpisahan sepasang kekasih akibat sebuah konflik yang penyelesaiannya cukup runyam. Namun, yang selalu menarik dari Remy Sylado adalah suguhan kisah di dalam novelnya selalu berdasarkan riset mendalam. Kembang Jepun sendiri dilatari dengan berbagai hal yang "... mempertahankan akurasi data faktual, yakni dunia geisha, pelukisan tempat, peristiwa, tahun-tahun, dan ungkapan-ungkapan Jepang, yang memerlukan ketelitian tinggi," kata Bakdi Soemanto.
Memang, ditinjau dari tema besar dan alurnya, cerita ini sedikit klise. Yang disampaikan Remy tentang berseminya cinta, perjuangan mempertahankan cinta, dan hasil akhir dari sebuah keberadaan cinta. Lagi-lagi cinta. Namun, tema besar yang kerap membosankan itu jadi maknawi, segar dan mengharukan dengan tokoh-tokoh yang diciptakannya.
Tjak Broto adalah seorang wartawan muda. Idealis, suka mempelajari banyak bahasa dan membaca, dan enerjik. Ia bertemu dengan Keke (dipanggil juga Keiko), gadis jelita asal Manado mirip Jepang bermata sipit, yang merasa tak perlu menyesali dalam-dalam nasibnya menjadi geisha, karena ia menghargai sekali nilai-nilai budaya di dalam tradisi-kesenian Jepang itu. Ia jatuh cinta dengan kegiatan menuang sake, menarikan tarian Jepang, memetik shamisen (alat musik Jepang) dan bahkan berdandan ala Jepang dengan kimono.
Keduanya bertemu di Shinju, sebuah restoran (baca juga: rumah melacur) Shinju milik Kotaro Takamura di jalan Kembang Jepun pada masa-masa akhir Belanda menjajah Indonesia. Keduanya saling jatuh cinta, walau mereka sempat terpisah sebelum menikah ketika Tjak Broto harus mendekam beberapa lama di penjara, dan ibunya tak setuju Tjak Broto menikahi "pelacur". Mereka tetap bersikeras menikah -- akhirnya dengan memohon restu nenek Tjak Broto.
Tentang apa yang kita baca juga sebagai rumah lacur itu sebenarnya adalah interpretasi yang berkembang kemudian. Geisha, bila kita pernah membaca buku lain karya Arthur Golden Memoirs of a Geisha (atau menonton filmnya yang diadaptasi berdasarkan buku itu), akan kita ketahui bahwa hampir semuanya dilatih sejak kecil untuk benar-benar paham bahwa mereka adalah penghibur. Penghibur yang memberikan segala-galanya -- yang juga didasari kodrat bahwa wanita memang lebih prigel dibanding laki-laki bila menghibur -- untuk menyenangkan laki-laki.
Bagi para geisha, totalitas penghiburan yang mereka berikan dari menuang sake secara hati-hati hingga persetubuhan di kamar, adalah sebuah pengabdian. Pengabdian mereka, yang identik dengan pesta, kemesuman dan hura-hura, kemudian diartikan lain oleh masyarakat, termasuk ibu Tjak Broto.
Terutama Keke, tokoh-tokoh dalam kisah ini tampil tegar. Ia diperkosa, dianiya, diinjak-injak harkat-martabatnya, sendirian di hutan Sulawesi selama seperempat abad. Dan yang membuatnya bertahan hidup hanyalah keyakinan bahwa masih ada sebentuk cinta untuknya. Cinta dari seorang pria yang pernah memberinya kalung perak berliontin semar yang dibentuk melalui rangkaian huruf-huruf Arab dalam bahasa Jawa. Huruf-huruf yang berbunyi: "Bismillah, ingsun kang jumeneng ratu sosetya kang linuwih, ules wulan angembara, anerus pitung bumi, pitung langit, amadangi jagad iki kabeh, saking karsaning Gusti Allah."
"Apa itu artinya?" tanya Keke. Tjak Broto memberikannya ketika baru saja keluar dari sebuah kamar di Shinju setelah ditemani Keke. Hampir tengah malam kala itu.
"Itu mantra supaya kau dikasihi," kata Tjak Broto.
"Saya akan pakai terus kalung ini."
Sidik Nugroho
Sidoarjo, 5 Januari 2009, 22.50
1.1.09
"Thank You Mario!"
1 Januari 2009, 18.15. Kejutan tahun baru lagi, selain seorang bayi. Sebuah ketamatan. Akhirnya, yah... tamat sudah!
Super Mario Bros, tahu kan game itu? Dulu, waktu SD kira-kira kelas 4 atau 5 pernah memainkannya sampai tamat satu kali. Sekarang, belasan tahun kemudian, hal yang sama terulang: tamat lagi! Nah, tamat ini bikin saya senang sekaleee. Gembar-gembor nggak karu-karuan!
Saya bukan game-mania. Jarang banget main game. Saya main Mario rata-rata 2 kali sehari sejak 23 Desember 2008 hingga 1 Januari 2009. Saya beli Nintendo yang ada game Mario Bros-nya waktu iseng-iseng jalan di Giant Sidoarjo sama teman-teman kos sekitar dua minggu sebelum Natalan.
Yang asyik dari kejadian ini adalah ketika masuk di World 8-4 dari World 8-3*): nyawa saya tinggal 1. Wew, tinggal 1! Salah sedikit saja, mati, modar, keok, game over; nggak ada nyawa cadangan! Rasanya nggak mungkin bisa tamat. Tapi, dua musuh terakhir: kura-kura pembawa-pelempar palu dan naga yang menghembuskan api sambil melempar-lempar palu -- lewat juga! Mantap....
Nah, akhirnya Mario kecil yang tangguh ini, bertemu sang putri. "Thank you Mario! Your quest is over...." (~s.n~)
*) World: bisa disamakan dengan level.
Tahun Baru, Keponakan Baru
1 Januari 2009, 10.25. Mas saya, Sigit Sarsanto, memiliki seorang putri lagi dari istrinya Ultra Moralistya. Berat 2,9 kilogram. Panjang 48 cm. Hingga kini belum bernama. Seorang teman, waktu saya beri kabar lewat sms, membalas: "Selamat, seluruh dunia turut merayakannya!" (~s.n~)
Subscribe to:
Posts (Atom)