28.1.09

Selamat Malam, Tuan Malam!

Keheningan menyelimuti hutan itu. Namun, dalam keheningan yang berlangsung cukup lama itu, tiba-tiba ada suara yang sangat kecil terdengar -- suara musik yang merdu. Suara itu bagai merambat melalui celah-celah dedaunan yang tampak kaku nan diam; kemudian terdengar sayup-sayup ketika angin berhembus menerpa dedaunan dan menggoyangkannya sedikit, membawa suara itu samar, lalu tak terdengar.

"Musik apa itu?" kali ini Rangga yang bertanya.

"Apakah itu suara biola?" tanya Kak Jono.

"Bukan, itu bukan biola. Itu suara... suara seruling!" kata Pak Wahyu.

"Siapa yang main seruling di tengah hutan seperti ini ya?" kata Tari.

Nada bicara Tari dalam pertanyaannya itu membuat Nina makin erat mendekap leher Pak Raiksa sampai Pak Raiksa merasa tercekik. "Aduh, Nina... pelan-pelan. Bapak sakit kalau kaucekik!"

"Habis Kak Tali cih...," katanya dengan menggerutu.

Suara itu tidak hilang sementara mereka terus berjalan. Di depan, Pak Wahyu dan Pak Raiksa berbicara.

"Kau pernah menemukan kejadian seperti ini, di hutan ini?" tanya Pak Wahyu.

"Belum. Beberapa kali telah kulewati hutan ini, belum pernah ada suara ini."

"Apakah kita lebih baik mendekat?"

"Mendekat? Mendekat kepada sumber suara itu?"

Pak Wahyu mengangguk-angguk. "Siapa tahu, pemain seruling itu Pak Jingga!"

"Pak Jingga main seruling? Ah, yang benar saja! Tidak mungkin. Pak Jingga tidak suka bermain musik, walau setahuku dia memang suka mendengar musik, dan menikmati segala keindahan lainnya."

"Siapa tahu kebutaan membuatnya berubah?"

Pak Raiksa menatap wajah Pak Wahyu agak lama, lalu merenung. Tanpa sepatah kata ia berhenti berjalan. Pak Wahyu yang ada di sampingnya hingga Kak Jono yang berada di paling belakang, turut berhenti.

"Mari, kita dekati suara itu!" katanya dengan keyakinan yang samar.

Pak Wahyu tampak bahagia usulnya diterima, walau wajahnya tetap menampakkan kebimbangan. "Raiksa," katanya. "Semoga saja dia benar-benar Pak Jingga."

Dari yang semula ke arah barat, mereka berputar seperempat lingkaran menuju ke arah utara, ke arah Pegunungan Handira. Suara itu kini makin jelas terdengar, tapi karena pohon-pohon akasia di hutan itu cukup padat dan tinggi-tinggi, tak mereka melihat satu orang pun di sekitar itu.

Dan anehnya, suara itu kemudian menjauh. Pak Raiksa memasang telinganya baik-baik. Ia mengatakan kepada mereka semua yang ada di sana. "Bergegaslah. Kalau bisa kalian lari. Kumpulkan tenaga kalian!"

"Ada apa, Raiksa? Ada apa?" tanya Pak Wahyu yang berlari di belakangnya dengan terengah-engah.

"Apa kau tidak dengar? Si pemain seruling sedang menjauhi kita. Ia tampaknya tahu kedatangan kita!"

"Kalau begitu, ia berarti bukan Pak Jingga!"

"Bagaimana mungkin kau bisa menyimpulkan seperti itu, Wahyu!" katanya sambil tetap berlari-lari kecil, sementara Nina yang ada di pundaknya hanya tersenyum walau badannya terguncang-guncang akibat lari-lari kecil Pak Raiksa. Ia tampak amat menikmati semua ini. "Jikalau ia berlari ketika didekati, justru ia mungkin Pak Jingga! Karena semua orang buta, apalagi yang tua seperti dia, kupikir akan selalu menjauhi manusia lain ketika dia tahu keberadaannya."

Pak Wahyu tak menyampaikan alasannya lagi. Pak Raiksa adalah pimpinan rombongan ini, walau Pak Raiksa lebih muda darinya. Keputusan ada di tangannya. Saat Pak Wahyu diam, suara itu pun juga hilang. Mereka semua lalu berhenti, dan semua berpandang-pandangan.

"Tidak mungkin ada musuh di sekitar tempat ini," kata Pak Raiksa. "Tenanglah."

"Pak," kata sebuah suara sedikit bergetar. Ternyata Rangga yang berbicara. "Musuh mungkin tidak ada. Kita semua tidak memiliki musuh yang harus kita benci. Tapi, makhluk atau orang apa pun dapat membenci kita tanpa sebab. Itulah yang saya kuatirkan, Pak."

"Cukup, Rangga. Jangan kau perpanjang lagi semua kekuatiranmu," kali ini Pak Wahyu bicara agak membentak karena ia melihat kekagetan yang tampak di wajah Tari ketika Rangga menyebut kata "makhluk".

Kak Jono meraih pundak Rangga, lalu membisikkan sesuatu untuk menenangkannya.

"Mari, kita jalan lagi," kata Pak Raiksa.

Nina sudah tidak lagi dibopong. Mereka terus berjalan sampai surya hampir terbenam. Tak lagi terdengar suara itu. "Kita akan berjalan terus, tapi hingga malam ini saja. Kalau tidak ada tanda-tanda keberadaan si peniup seruling, maka kita akan kembali berjalan ke arah barat," kata Pak Raiksa.

Ketika matahari sudah tidak tampak, mereka sampai di sebuah tempat yang berbeda dari yang sudah mereka lalui sebelumnya. Di situ ada banyak batu besar tergeletak dan sebuah tanah kosong cukup luas. "Tempat sempurna untuk...."

Belum selesai Pak Wahyu mengatakan pendapatnya tentang tempat itu, terdengarlah kini dengan sangat membahana sebuah suara seruling. Suaranya begitu nyaring hingga kemerduannya memudar. Jelas ada kekuatan gaib dalam tiupan seruling itu, karena semua seruling biasa tak mampu menghasilkan suara sebesar itu. Dan peniupnya kini muncul dari balik sebuah pohon.

Semua mata melebar menyambut kedatangannya. Dengan mata tertutup, pria yang berambut abu-abu panjang itu berjalan pelan, memegang dengan lembut sebuah seruling yang terus ia mainkan. Bagaimana mereka dapat memandanginya, mungkin jadi pertanyaan buatmu karena saat ini senja sudah selesai. Nah, ternyata pria itu memiliki cahaya yang memancar dari seluruh badannya. Tapi cahaya itu lembut, menyebar dalam ruang yang luas dan tidak memusat lebih terang dari badannya, sehingga tidak ada satu pun dari para petualang yang silau memandangi dirinya.

"Selamat malam, Tuan Malam!" katanya dengan suara yang berat dan agak parau. Ketika menyebut kata-kata itu, ada angin sepoi berhembus dari arah si peniup seruling menuju arah para petualang.

No comments: