Kawan saya pernah menyatakan kalau kemampuan menulis sebenarnya lebih mudah dipelajari daripada bermusik. Ia kemudian berpendapat bahwa orang-orang yang menulis ya tinggal menulis saja karena semua orang yang melek aksara tinggal menulis. Ditambah sedikit pengetahuan tentang tata bahasa dari membaca buku semua orang bisa menulis dengan baik dan sesuai kaidah yang benar.
Berbeda dengan musik yang katanya membutuhkan keahlian khusus. Tak semua orang bisa bernyanyi dengan nada yang tepat saat sebuah kunci diperdengarkan, alias sumbang atau fals (kecuali dua orang bernama Doel dan Iwan). Tak semua orang bisa mempelajari musik. Dan tampaknya memang orang yang melek aksara jauh lebih banyak dari pada yang bisa main musik.
Saya tidak sepakat dengan anggapan ini. Ada teman lain yang menyatakan bila ditinjau secara psikologis, kemampuan bergitar merupakan bagian dari ranah motorik, sedangkan menulis dari ranah kognitif. Namun, saya kurang memahami hal-hal psikologis tentang dua kemampuan ini. Saya belum banyak membaca buku psikologi. Yang saya tahu dua-duanya merupakan kecerdasan dan/atau keterampilan. Saya sedikit menguasai bergitar, dan sedikit juga menulis. Saya akan mengemukakan pendapat saya berdasarkan logika dan pengetahuan yang saya miliki.
Bila asal menulis, semua orang bisa menulis. Dosen penguji skripsi saya bergelar S2 (yang berarti telah menulis dan menyelesaikan tesis), dan saya kalah berdebat dengan dia soal frasa "di kemudian hari". Ia menyatakan kata "di" dan "kemudian" digabung. Padahal yang benar jelas tak digabung kan? Tapi, saya kalah berdebat karena waktu itu tak membawa buku tata bahasa -- karya Gorys Keraf, misalnya. Siapa kamu, gundul, berani mendebat saya? Kamu kan baru S1! Mungkin itu yang dinyatakannya dalam hati.
Namun, untuk menghasilkan tulisan seperti Thomas Harris, misalnya, yang menulis "Hannibal", siapa yang mampu? Sedikit sekali. Sepengamatan saya novel itu banyak sekali memuat kata kerja yang operasional dan penggambaran situasi yang benar-benar matang. Ketika menyisirnya kata demi kata, hampir tidak ada satu kata yang tak terpakai untuk menjalin keutuhan kisah yang dibangunnya sepanjang novel.
Sekarang tentang musik. Gitar, dalam hal ini.
Yang namanya gitaris itu macam-macam: dari pengamen di bis kota hingga maestro seperti Steve Vai, atau Balawan di Indonesia yang sedang naik daun. Bila asal bergitar, banyak orang bisa bergitar.
Steve Vai, misalnya. Dalam album Steve Vai yang merupakan kompilasi karya-karya terbaiknya, berjudul "The Infinite Steve Vai: An Anthology" editor naskah album itu, Jon Wiederhon, menyatakan: "Alternative and punk bands have proven that anyone can play gitar, but only master like Vai can conquer its limitations and turn it from a mere six stringed instrument into an incredibly versatile and limitless voice of human expression." Band-band yang dimaksud kurang lebih ya seperti Limp Bizkit, Linkin Park atau Nirvana yang populer di tahun 90-an dulu. Steve Vai cukup unik. Dia bahkan kadang tampil menggunakan gitar berleher tiga: dua ke arah kirinya (bermain normal) dan satu leher ke arah kanan (untuk bermain kidal). Untuk mendapatkan inspirasi lagunya, ia tak jarang berpuasa dan bertapa.
Contoh lain adalah John Petrucci, gitaris grup band rock-progresif Dream Theater yang amat terkenal dengan lagu "The Spirit Carries On" ciptaannya. Untuk menjadi gitaris -- dan pencipta lagu -- dengan kemampuan seperti itu, usaha yang ditempuh tak main-main. John mengaku dalam vcd lesson "Rock Discipline", yang mana ia menjadi tutornya, bahwa ia melatih empat teknik berbeda selama dua jam sehari (satu teknik setengah jam) untuk mencapai kemampuan seperti yang ia miliki. Ia juga memiliki kliping yang memuat pelajaran seputar keempat teknik itu dari gitaris lain.
Kembali pada soal menulis.
Untuk menjadi penulis yang baik, kita harus tekun menulis; baik penulis sastra kelas berat bahkan penulis cerita anak-anak. Kate Di Camillo, yang memenangkan penghargaan Newberry Book lewat buku anak-anaknya "The Desperaux" (penghargaan yang diterima juga oleh Laura Ingalls Wilder lewat karyanya yang terkenal "Little House on the Praire") mengaku menulis sebanyak dua halaman setiap subuh selama lima hari dari hari Senin s.d. Jumat sebelum berangkat kerja ke toko buku.
Steinbeck, yang dikagumi oleh Pramoedya karena berhasil mengungkap detil-detil yang hebat dalam tulisannya, menulis apa saja ketika bangun tidur. Ya, apa saja yang melintas di kepalanya (mungkin kebanyakan berisi penggalan kisah-kisah yang direkonstruksi untuk novelnya). Kemudian, ia mandi. Setelah mandi dan beristirahat sebentar, ia ambil kembali kertas-kertas yang ditulisnya tadi itu dan menulisnya ulang dengan pikiran yang lebih jernih, dengan bahasa yang lebih rapi.
Sama seperti ujian yang tidak akan berhasil bila dipersiapkan semalam, demikian pula dengan menulis. Kita perlu konsisten, menetapkan target dan membuat dateline (atau deadline?) sendiri. Seperti kata Andrias Harefa bahwa kalau seorang penulis tak bisa memenuhi janjinya pada diri sendiri untuk menulis, lebih baik jadi politisi saja (yang suka ingkar janji).
Mozart mengaku bahwa selama hidupnya ia telah belajar komposisi-komposisi musik yang menurutnya yang terhebat. Ia menjadi hebat karena belajar dari yang terhebat. Seorang penulis juga harus demikian. A.S. Laksana dalam bukunya "Creative Writing" mengisahkan dengan kasihan seorang penulis yang menganggap dirinya bakal menjadi novelis hebat ketika sedang menulis sebuah novel, tapi untuk mencapainya ia tak mau membaca novel orang lain. "Biar orisinal," katanya.
A.S. Laksana kemudian meramalkan kalau novelnya tak bakal banyak dibaca orang. Saya setuju. Ya, bagaimana karya kita akan dibaca kalau kita tak pernah membaca karya orang? Hukum tabur-tuai kan berlaku dalam segenap aspek kehidupan, termasuk dalam berkarya. Kalau saya menyimpulkan bahwa alasannya di akhir paragraf sebelum ini yang termuat dalam tanda kutip tadi, bisa berarti dua hal: kesombongan dan/atau kemalasan.
Demikianlah, pada akhirnya anggapan kawan saya itu saya simpulkan tidak benar. Yang diperlukan seorang gitaris untuk menjadi hebat adalah terus berlatih dengan belajar dari gitaris lain yang lebih hebat, mendisiplinkan diri dengan berlatih rutin dan berkarya. Begitu pula dengan menulis.
Sidik Nugroho
Berbeda dengan musik yang katanya membutuhkan keahlian khusus. Tak semua orang bisa bernyanyi dengan nada yang tepat saat sebuah kunci diperdengarkan, alias sumbang atau fals (kecuali dua orang bernama Doel dan Iwan). Tak semua orang bisa mempelajari musik. Dan tampaknya memang orang yang melek aksara jauh lebih banyak dari pada yang bisa main musik.
Saya tidak sepakat dengan anggapan ini. Ada teman lain yang menyatakan bila ditinjau secara psikologis, kemampuan bergitar merupakan bagian dari ranah motorik, sedangkan menulis dari ranah kognitif. Namun, saya kurang memahami hal-hal psikologis tentang dua kemampuan ini. Saya belum banyak membaca buku psikologi. Yang saya tahu dua-duanya merupakan kecerdasan dan/atau keterampilan. Saya sedikit menguasai bergitar, dan sedikit juga menulis. Saya akan mengemukakan pendapat saya berdasarkan logika dan pengetahuan yang saya miliki.
Bila asal menulis, semua orang bisa menulis. Dosen penguji skripsi saya bergelar S2 (yang berarti telah menulis dan menyelesaikan tesis), dan saya kalah berdebat dengan dia soal frasa "di kemudian hari". Ia menyatakan kata "di" dan "kemudian" digabung. Padahal yang benar jelas tak digabung kan? Tapi, saya kalah berdebat karena waktu itu tak membawa buku tata bahasa -- karya Gorys Keraf, misalnya. Siapa kamu, gundul, berani mendebat saya? Kamu kan baru S1! Mungkin itu yang dinyatakannya dalam hati.
Namun, untuk menghasilkan tulisan seperti Thomas Harris, misalnya, yang menulis "Hannibal", siapa yang mampu? Sedikit sekali. Sepengamatan saya novel itu banyak sekali memuat kata kerja yang operasional dan penggambaran situasi yang benar-benar matang. Ketika menyisirnya kata demi kata, hampir tidak ada satu kata yang tak terpakai untuk menjalin keutuhan kisah yang dibangunnya sepanjang novel.
Sekarang tentang musik. Gitar, dalam hal ini.
Yang namanya gitaris itu macam-macam: dari pengamen di bis kota hingga maestro seperti Steve Vai, atau Balawan di Indonesia yang sedang naik daun. Bila asal bergitar, banyak orang bisa bergitar.
Steve Vai, misalnya. Dalam album Steve Vai yang merupakan kompilasi karya-karya terbaiknya, berjudul "The Infinite Steve Vai: An Anthology" editor naskah album itu, Jon Wiederhon, menyatakan: "Alternative and punk bands have proven that anyone can play gitar, but only master like Vai can conquer its limitations and turn it from a mere six stringed instrument into an incredibly versatile and limitless voice of human expression." Band-band yang dimaksud kurang lebih ya seperti Limp Bizkit, Linkin Park atau Nirvana yang populer di tahun 90-an dulu. Steve Vai cukup unik. Dia bahkan kadang tampil menggunakan gitar berleher tiga: dua ke arah kirinya (bermain normal) dan satu leher ke arah kanan (untuk bermain kidal). Untuk mendapatkan inspirasi lagunya, ia tak jarang berpuasa dan bertapa.
Contoh lain adalah John Petrucci, gitaris grup band rock-progresif Dream Theater yang amat terkenal dengan lagu "The Spirit Carries On" ciptaannya. Untuk menjadi gitaris -- dan pencipta lagu -- dengan kemampuan seperti itu, usaha yang ditempuh tak main-main. John mengaku dalam vcd lesson "Rock Discipline", yang mana ia menjadi tutornya, bahwa ia melatih empat teknik berbeda selama dua jam sehari (satu teknik setengah jam) untuk mencapai kemampuan seperti yang ia miliki. Ia juga memiliki kliping yang memuat pelajaran seputar keempat teknik itu dari gitaris lain.
Kembali pada soal menulis.
Untuk menjadi penulis yang baik, kita harus tekun menulis; baik penulis sastra kelas berat bahkan penulis cerita anak-anak. Kate Di Camillo, yang memenangkan penghargaan Newberry Book lewat buku anak-anaknya "The Desperaux" (penghargaan yang diterima juga oleh Laura Ingalls Wilder lewat karyanya yang terkenal "Little House on the Praire") mengaku menulis sebanyak dua halaman setiap subuh selama lima hari dari hari Senin s.d. Jumat sebelum berangkat kerja ke toko buku.
Steinbeck, yang dikagumi oleh Pramoedya karena berhasil mengungkap detil-detil yang hebat dalam tulisannya, menulis apa saja ketika bangun tidur. Ya, apa saja yang melintas di kepalanya (mungkin kebanyakan berisi penggalan kisah-kisah yang direkonstruksi untuk novelnya). Kemudian, ia mandi. Setelah mandi dan beristirahat sebentar, ia ambil kembali kertas-kertas yang ditulisnya tadi itu dan menulisnya ulang dengan pikiran yang lebih jernih, dengan bahasa yang lebih rapi.
Sama seperti ujian yang tidak akan berhasil bila dipersiapkan semalam, demikian pula dengan menulis. Kita perlu konsisten, menetapkan target dan membuat dateline (atau deadline?) sendiri. Seperti kata Andrias Harefa bahwa kalau seorang penulis tak bisa memenuhi janjinya pada diri sendiri untuk menulis, lebih baik jadi politisi saja (yang suka ingkar janji).
Mozart mengaku bahwa selama hidupnya ia telah belajar komposisi-komposisi musik yang menurutnya yang terhebat. Ia menjadi hebat karena belajar dari yang terhebat. Seorang penulis juga harus demikian. A.S. Laksana dalam bukunya "Creative Writing" mengisahkan dengan kasihan seorang penulis yang menganggap dirinya bakal menjadi novelis hebat ketika sedang menulis sebuah novel, tapi untuk mencapainya ia tak mau membaca novel orang lain. "Biar orisinal," katanya.
A.S. Laksana kemudian meramalkan kalau novelnya tak bakal banyak dibaca orang. Saya setuju. Ya, bagaimana karya kita akan dibaca kalau kita tak pernah membaca karya orang? Hukum tabur-tuai kan berlaku dalam segenap aspek kehidupan, termasuk dalam berkarya. Kalau saya menyimpulkan bahwa alasannya di akhir paragraf sebelum ini yang termuat dalam tanda kutip tadi, bisa berarti dua hal: kesombongan dan/atau kemalasan.
Demikianlah, pada akhirnya anggapan kawan saya itu saya simpulkan tidak benar. Yang diperlukan seorang gitaris untuk menjadi hebat adalah terus berlatih dengan belajar dari gitaris lain yang lebih hebat, mendisiplinkan diri dengan berlatih rutin dan berkarya. Begitu pula dengan menulis.
Sidik Nugroho
__________________
***Gitaris pemula yang masih perlu banyak belajar
***Gitaris pemula yang masih perlu banyak belajar
1 comment:
sepakat mas. saya lagi belajar nulis, tapi sama sekali tak mahir bermain musik. apalagi notasi, tangga nada. makanya mau nulis posting di blog soal musik, ya bisanya sejarah musik aja.... (kapan2 maen ya)
pernah belajar gitar, tapi gak bisa-bisa. nyanyi, kok suara gak nyampe. jadinya bermusik lewat winamp di komputer aja. praktis. tinggal dengerin. gak usah beli, bisa diunduh di internet, he-he-he.
salam,
masmpep.wordpress.com
Post a Comment