Penulis: Remy Sylado
Tahun: 2004 (cetakan ketiga)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku: 319 halaman
Tjak Broto selalu memegang tali sais, mengendalikan sapi yang menarik pedati. Di belakangnya, berjongkok dekat pantatnya, adalah Keke, istrinya. Mereka berdua hendak ke pasar, membawa hasil bumi kepada Gan Kiem Seng. Di bulan-bulan musim penghujan, kadang-kadang roda pedati itu terperosok. Tjak Broto kadang harus turun, membetulkan roda pedati, sehinggaa Keke ganti mengendalikan sapi dan memegangi sais sementara.
Suatu ketika, Tjak Broto terbenam di kubangan lumpur setelah berhasil menyelamatkan roda pedatinya. Ia misuh akibat kejadian itu. Menyaksikan suaminya misuh dan belepotan lumpur sekujur badan, Keke mengejeknya dengan mesra. Tjak Broto yang diejek balas menyerang -- dengan mesra pula. Ia melompat naik ke pedati, melapkan tangan dan badannya ke wajah Keke.
Keke lalu memukul-mukul Tjak Broto. Tjak Broto menguyek-uyek rambut Keke. Di dalam sebuah pedati, ketika musim hujan mengguyuri bumi, dan dalam kondisi segenap badan keduanya jelas-jelas tak berbau minyak wangi, cinta bersemi. Keduanya terpingkal-pingkal, dengan bahasa cinta yang nakal, mesra sekali! Dua-duanya merasakan anugerah yang indah, yang diberikan Pencipta dalam dua hati manusia.
Nah, Keke berjongkok di bokong suaminya karena bersembunyi. Ia bersembunyi sebab ia wanita. Dan ini adalah zaman ketika Jepang berkuasa di tanahair. Wanita, siapa pun juga, kalau ditemui di manapun dan kapanpun oleh Jepang, bisa-bisa diperkosa! Dan, di masa inilah segenap cinta yang dimiliki keduanya mengalami ujian terbesar. Jepang-Jepang keji itu memisahkan mereka. Keke dibawa ke Jepang dan diperistri oleh Hiroshi Masakuni, seorang perwira Jepang, sementara Tjak Broto dibebaskan setelah disiksa dan hampir dibunuh karena dituduh menjadi "otak" pemberontakan Supriyadi yang terkenal, 14 Februari 1945. Pembebasan Tjak Broto sendiri adalah hasil kegigihan Keke yang minta agar suaminya dibebaskan oleh Masakuni.
Demikianlah di atas beberapa bagian dari kisah yang dibuat pada tahun 1990-an, dan pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Surabaya Pos tahun 1990-1991 ini. Sedikit perbandingan, novel ini tak seperti beberapa novel Remy yang lain, tidak terlalu banyak memuat bahasa-bahasa khasnya seperti "prayojana", "wabakdu", "naam", dan lain-lain. Diterbitkan ulang sebagai novel oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2003.
Kisah cinta dalam novel ini alurnya mirip -- paling tidak -- dengan dua novel Remy Sylado yang lain: Mimi Lan Mintuna dan Kerudung Merah Kirmizi. Dalam tiga novel ini dikisahkan perpisahan sepasang kekasih akibat sebuah konflik yang penyelesaiannya cukup runyam. Namun, yang selalu menarik dari Remy Sylado adalah suguhan kisah di dalam novelnya selalu berdasarkan riset mendalam. Kembang Jepun sendiri dilatari dengan berbagai hal yang "... mempertahankan akurasi data faktual, yakni dunia geisha, pelukisan tempat, peristiwa, tahun-tahun, dan ungkapan-ungkapan Jepang, yang memerlukan ketelitian tinggi," kata Bakdi Soemanto.
Memang, ditinjau dari tema besar dan alurnya, cerita ini sedikit klise. Yang disampaikan Remy tentang berseminya cinta, perjuangan mempertahankan cinta, dan hasil akhir dari sebuah keberadaan cinta. Lagi-lagi cinta. Namun, tema besar yang kerap membosankan itu jadi maknawi, segar dan mengharukan dengan tokoh-tokoh yang diciptakannya.
Tjak Broto adalah seorang wartawan muda. Idealis, suka mempelajari banyak bahasa dan membaca, dan enerjik. Ia bertemu dengan Keke (dipanggil juga Keiko), gadis jelita asal Manado mirip Jepang bermata sipit, yang merasa tak perlu menyesali dalam-dalam nasibnya menjadi geisha, karena ia menghargai sekali nilai-nilai budaya di dalam tradisi-kesenian Jepang itu. Ia jatuh cinta dengan kegiatan menuang sake, menarikan tarian Jepang, memetik shamisen (alat musik Jepang) dan bahkan berdandan ala Jepang dengan kimono.
Keduanya bertemu di Shinju, sebuah restoran (baca juga: rumah melacur) Shinju milik Kotaro Takamura di jalan Kembang Jepun pada masa-masa akhir Belanda menjajah Indonesia. Keduanya saling jatuh cinta, walau mereka sempat terpisah sebelum menikah ketika Tjak Broto harus mendekam beberapa lama di penjara, dan ibunya tak setuju Tjak Broto menikahi "pelacur". Mereka tetap bersikeras menikah -- akhirnya dengan memohon restu nenek Tjak Broto.
Tentang apa yang kita baca juga sebagai rumah lacur itu sebenarnya adalah interpretasi yang berkembang kemudian. Geisha, bila kita pernah membaca buku lain karya Arthur Golden Memoirs of a Geisha (atau menonton filmnya yang diadaptasi berdasarkan buku itu), akan kita ketahui bahwa hampir semuanya dilatih sejak kecil untuk benar-benar paham bahwa mereka adalah penghibur. Penghibur yang memberikan segala-galanya -- yang juga didasari kodrat bahwa wanita memang lebih prigel dibanding laki-laki bila menghibur -- untuk menyenangkan laki-laki.
Bagi para geisha, totalitas penghiburan yang mereka berikan dari menuang sake secara hati-hati hingga persetubuhan di kamar, adalah sebuah pengabdian. Pengabdian mereka, yang identik dengan pesta, kemesuman dan hura-hura, kemudian diartikan lain oleh masyarakat, termasuk ibu Tjak Broto.
Terutama Keke, tokoh-tokoh dalam kisah ini tampil tegar. Ia diperkosa, dianiya, diinjak-injak harkat-martabatnya, sendirian di hutan Sulawesi selama seperempat abad. Dan yang membuatnya bertahan hidup hanyalah keyakinan bahwa masih ada sebentuk cinta untuknya. Cinta dari seorang pria yang pernah memberinya kalung perak berliontin semar yang dibentuk melalui rangkaian huruf-huruf Arab dalam bahasa Jawa. Huruf-huruf yang berbunyi: "Bismillah, ingsun kang jumeneng ratu sosetya kang linuwih, ules wulan angembara, anerus pitung bumi, pitung langit, amadangi jagad iki kabeh, saking karsaning Gusti Allah."
"Apa itu artinya?" tanya Keke. Tjak Broto memberikannya ketika baru saja keluar dari sebuah kamar di Shinju setelah ditemani Keke. Hampir tengah malam kala itu.
"Itu mantra supaya kau dikasihi," kata Tjak Broto.
"Saya akan pakai terus kalung ini."
Sidik Nugroho
Sidoarjo, 5 Januari 2009, 22.50
Tahun: 2004 (cetakan ketiga)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku: 319 halaman
Tjak Broto selalu memegang tali sais, mengendalikan sapi yang menarik pedati. Di belakangnya, berjongkok dekat pantatnya, adalah Keke, istrinya. Mereka berdua hendak ke pasar, membawa hasil bumi kepada Gan Kiem Seng. Di bulan-bulan musim penghujan, kadang-kadang roda pedati itu terperosok. Tjak Broto kadang harus turun, membetulkan roda pedati, sehinggaa Keke ganti mengendalikan sapi dan memegangi sais sementara.
Suatu ketika, Tjak Broto terbenam di kubangan lumpur setelah berhasil menyelamatkan roda pedatinya. Ia misuh akibat kejadian itu. Menyaksikan suaminya misuh dan belepotan lumpur sekujur badan, Keke mengejeknya dengan mesra. Tjak Broto yang diejek balas menyerang -- dengan mesra pula. Ia melompat naik ke pedati, melapkan tangan dan badannya ke wajah Keke.
Keke lalu memukul-mukul Tjak Broto. Tjak Broto menguyek-uyek rambut Keke. Di dalam sebuah pedati, ketika musim hujan mengguyuri bumi, dan dalam kondisi segenap badan keduanya jelas-jelas tak berbau minyak wangi, cinta bersemi. Keduanya terpingkal-pingkal, dengan bahasa cinta yang nakal, mesra sekali! Dua-duanya merasakan anugerah yang indah, yang diberikan Pencipta dalam dua hati manusia.
Nah, Keke berjongkok di bokong suaminya karena bersembunyi. Ia bersembunyi sebab ia wanita. Dan ini adalah zaman ketika Jepang berkuasa di tanahair. Wanita, siapa pun juga, kalau ditemui di manapun dan kapanpun oleh Jepang, bisa-bisa diperkosa! Dan, di masa inilah segenap cinta yang dimiliki keduanya mengalami ujian terbesar. Jepang-Jepang keji itu memisahkan mereka. Keke dibawa ke Jepang dan diperistri oleh Hiroshi Masakuni, seorang perwira Jepang, sementara Tjak Broto dibebaskan setelah disiksa dan hampir dibunuh karena dituduh menjadi "otak" pemberontakan Supriyadi yang terkenal, 14 Februari 1945. Pembebasan Tjak Broto sendiri adalah hasil kegigihan Keke yang minta agar suaminya dibebaskan oleh Masakuni.
Demikianlah di atas beberapa bagian dari kisah yang dibuat pada tahun 1990-an, dan pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Surabaya Pos tahun 1990-1991 ini. Sedikit perbandingan, novel ini tak seperti beberapa novel Remy yang lain, tidak terlalu banyak memuat bahasa-bahasa khasnya seperti "prayojana", "wabakdu", "naam", dan lain-lain. Diterbitkan ulang sebagai novel oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2003.
Kisah cinta dalam novel ini alurnya mirip -- paling tidak -- dengan dua novel Remy Sylado yang lain: Mimi Lan Mintuna dan Kerudung Merah Kirmizi. Dalam tiga novel ini dikisahkan perpisahan sepasang kekasih akibat sebuah konflik yang penyelesaiannya cukup runyam. Namun, yang selalu menarik dari Remy Sylado adalah suguhan kisah di dalam novelnya selalu berdasarkan riset mendalam. Kembang Jepun sendiri dilatari dengan berbagai hal yang "... mempertahankan akurasi data faktual, yakni dunia geisha, pelukisan tempat, peristiwa, tahun-tahun, dan ungkapan-ungkapan Jepang, yang memerlukan ketelitian tinggi," kata Bakdi Soemanto.
Memang, ditinjau dari tema besar dan alurnya, cerita ini sedikit klise. Yang disampaikan Remy tentang berseminya cinta, perjuangan mempertahankan cinta, dan hasil akhir dari sebuah keberadaan cinta. Lagi-lagi cinta. Namun, tema besar yang kerap membosankan itu jadi maknawi, segar dan mengharukan dengan tokoh-tokoh yang diciptakannya.
Tjak Broto adalah seorang wartawan muda. Idealis, suka mempelajari banyak bahasa dan membaca, dan enerjik. Ia bertemu dengan Keke (dipanggil juga Keiko), gadis jelita asal Manado mirip Jepang bermata sipit, yang merasa tak perlu menyesali dalam-dalam nasibnya menjadi geisha, karena ia menghargai sekali nilai-nilai budaya di dalam tradisi-kesenian Jepang itu. Ia jatuh cinta dengan kegiatan menuang sake, menarikan tarian Jepang, memetik shamisen (alat musik Jepang) dan bahkan berdandan ala Jepang dengan kimono.
Keduanya bertemu di Shinju, sebuah restoran (baca juga: rumah melacur) Shinju milik Kotaro Takamura di jalan Kembang Jepun pada masa-masa akhir Belanda menjajah Indonesia. Keduanya saling jatuh cinta, walau mereka sempat terpisah sebelum menikah ketika Tjak Broto harus mendekam beberapa lama di penjara, dan ibunya tak setuju Tjak Broto menikahi "pelacur". Mereka tetap bersikeras menikah -- akhirnya dengan memohon restu nenek Tjak Broto.
Tentang apa yang kita baca juga sebagai rumah lacur itu sebenarnya adalah interpretasi yang berkembang kemudian. Geisha, bila kita pernah membaca buku lain karya Arthur Golden Memoirs of a Geisha (atau menonton filmnya yang diadaptasi berdasarkan buku itu), akan kita ketahui bahwa hampir semuanya dilatih sejak kecil untuk benar-benar paham bahwa mereka adalah penghibur. Penghibur yang memberikan segala-galanya -- yang juga didasari kodrat bahwa wanita memang lebih prigel dibanding laki-laki bila menghibur -- untuk menyenangkan laki-laki.
Bagi para geisha, totalitas penghiburan yang mereka berikan dari menuang sake secara hati-hati hingga persetubuhan di kamar, adalah sebuah pengabdian. Pengabdian mereka, yang identik dengan pesta, kemesuman dan hura-hura, kemudian diartikan lain oleh masyarakat, termasuk ibu Tjak Broto.
Terutama Keke, tokoh-tokoh dalam kisah ini tampil tegar. Ia diperkosa, dianiya, diinjak-injak harkat-martabatnya, sendirian di hutan Sulawesi selama seperempat abad. Dan yang membuatnya bertahan hidup hanyalah keyakinan bahwa masih ada sebentuk cinta untuknya. Cinta dari seorang pria yang pernah memberinya kalung perak berliontin semar yang dibentuk melalui rangkaian huruf-huruf Arab dalam bahasa Jawa. Huruf-huruf yang berbunyi: "Bismillah, ingsun kang jumeneng ratu sosetya kang linuwih, ules wulan angembara, anerus pitung bumi, pitung langit, amadangi jagad iki kabeh, saking karsaning Gusti Allah."
"Apa itu artinya?" tanya Keke. Tjak Broto memberikannya ketika baru saja keluar dari sebuah kamar di Shinju setelah ditemani Keke. Hampir tengah malam kala itu.
"Itu mantra supaya kau dikasihi," kata Tjak Broto.
"Saya akan pakai terus kalung ini."
Sidik Nugroho
Sidoarjo, 5 Januari 2009, 22.50
1 comment:
saya suka cerita model begini...
banyak makan tersendiri...
Post a Comment