16.1.09

Penyair dan Gadungan yang Biking Pusing

Judul Buku: Hidupku sebagai Seorang Gadungan
Penulis: Peter Carey
Penerbit: Serambi
Terbit bulan Oktober 2006
Halaman: 466 halaman

Ide cerita yang digagas Peter Carey memang luar biasa, tentunya menarik orang-orang di kalangan editorial, kepenulisan, dan penyair utamanya, untuk menilik buku ini. Seorang penyair bernama Christopher Chubb menciptakan penyair imajiner. Penyair imajiner itu bernama Bob McCorkle. Dengan nama samaran itu, Chubb mengirimkan puisi-puisinya ke editor majalah Personae bernama David Weiss.

David Weiss adalah teman semasa muda Christopher Chubb. Chubb cemburu padanya, karena dinilainya Weiss adalah seorang pemuda Yahudi ganteng yang beruntung bisa jadi editor -- sebuah profesi yang juga diincarnya. Ia lalu bertekad mengirimkan karya-karya "kelas dua"-nya kepada David Weiss. Kelas dua dalam hal ini adalah bobot sastra yang dimuat dalam puisi-puisi yang menurut Chubb sendiri kacangan. Chubb mulanya merasa hebat berhasil mengolok-olok Weiss yang mau memuat puisi-puisi kacangan itu. Bahkan karena beberapa puisi itu terkesan tak senonoh, suatu ketika David Weiss malah diadili.

Pengadilan David Weiss menjadi berita besar. Saat inilah penyair imajiner ciptaan Christopher Chubb benar-benar menjadi manusia dengan pengakuan yang tentu saja dibuat-buatnya. Ia adalah seorang sosok yang tinggi-besar, yang, yap, kemudian mengaku benar-benar bernama Bob McCorkle!

Kisah Christopher Chubb tak hanya berpusat pada satu konflik ini. Dan Peter Carey benar-benar luar biasa menceritakan kisah ini dari berbagai sudut pandang. Mulanya, kisah ini diceritakan Chubb kepada editor majalah The Modern Review bernama Sarah Elizabeth Jane yang sedang menemani seorang penyair bernama John Slater ke Kuala Lumpur untuk rekreasi dan mencari penyegaran. Di Kuala Lumpur, ternyata John Slater telah mengenal Christopher Chubb, sehingga ia kemudian memiliki kisah juga -- sebuah sisi lain tentang Chubb. Slater kini menjadi pencerita kedua. Kemudian, masa lalu Slater yang ada hubungannya dengan ayah dan ibu Sarah, yang dikuak dari rekreasi bersama ke Malaysia itu, membuat Sarah sendiri menceritakan kisahnya, hingga ia menjadi pencerita ketiga.

Semua ini mau tak mau akhirnya membuat pembaca harus jeli -- harus amat hati-hati -- dalam membaca. Bayangkan saja, dalam sebuah bab bisa terjadi pergantian pencerita (contoh bisa disimak di halaman 241), dan para pencerita di buku ini, walaupun mereka dikisahkan sedang berbicara atau bercerita, ketika menceritakan kisahnya tidak menggunakan tanda kutip. Kalimat-kalimat langsung hanya dibatasi dengan tanda koma kemudian diberi keterangan tambahan kata-kata seperti "katanya", "tukasnya", dan lain-lain. Sebabnya itu tadi: para pencerita sangat banyak.

Belum lagi ketika Chubb bertemu dengan Mulaha, orang Tamil yang sangat ambil peran dalam membuatnya berhasil bertemu dengan putrinya. Hampir semua tokoh mempunyai suaranya sendiri, dan itulah yang kadang mengesalkan -- juga sekaligus menantang -- dari novel ini.

Sangat wajar memang bila Peter Carey dipuji sebagai penulis yang lincah. Kelincahannya bukan main, dan sedikit yang disayangkan dari kelincahannya ini adalah dengan keputusannya untuk memasukkan terlalu banyak kisah, suara, dan pencerita yang berusaha ia jejalkan kepada pembaca, sehingga kadang membingungkan para pembaca awam, membuat mereka mungkin membolak-balik lagi halaman-halaman sebelum yang mereka sedang baca, atau membacai lagi kalimat-kalimat sebelum yang mereka sedang simak.

Bagian yang sangat menarik adalah ketika Chubb mulai mencari putrinya, Tina, yang diculik oleh Bob McCorkle. Irama cerita mulai bertambah cepat, namun tertutur lirih. Ya, penyair imajiner yang diciptakannya itu memberi pelajaran tak tanggung-tanggung kepada Christopher Chubb yang pernah mengolok-olok David Weiss. Tina adalah hasil hubungan gelapnya dengan Nousette Markson, seorang wanita yang sangat cantik, tapi slebor, tapi juga berbakat menghibur dan mencari uang. Di sinilah emosi yang dihadirkan Peter Carey dapat mencengkeram pembaca untuk memahami deritanya. Dari Australia ia ke Yogyakarta, lalu ke Danau Toba, kemudian menyeberang ke Malaysia dengan bantuan Mulaha untuk mencari putrinya. Ia sangat menyayangi putrinya itu, walau Nousette sebagai ibunya bahkan menelantarkannya. Sejak Tina masih bayi merah ia telah menjaga Tina dengan kasih sayang dan kekaguman yang besar.

Penyair gadungan McCorkle yang telah membesarkan Tina kemudian justru dicintai Tina, walau ia kasar, suka menipu dan mencuri. McCorkle kemudian memperistri seorang wanita Tionghoa bernama Nyonya Lim yang suaminya tewas pada masa perang sebelum Malaysia merdeka. Perubahan gila-gilaan terjadi padanya. Ia yang mulanya bingung dengan arti kata "dot" di kemudian hari bisa menguasai beberapa bahasa. Gadungan yang tak tahu apa-apa tentang sastra ini, kemudian memiliki banyak buku yang ditulisnya sendiri.

Akankah Tina kembali dalam dekapan dan asuhan Christopher Chubb? Ketika ia remaja, kecantikannya telah mengalahkan ibunya. Amat cantik hingga, kata Sarah, kita tidak bisa tahu dia berasal dari ras mana. Bagaimana akhir hidup penyair dan penyair gadungan yang "diciptakannya" setelah akhirnya keduanya bertemu? Penyair dan gadungan yang bikin pusing ini, karena dikisahkan dengan alur yang berputar-putar dan suara pencerita demikian banyak, bisa dikatakan memiliki akhir cerita yang cukup adil. Dan, apakah keadilan yang pantas untuk keduanya? Sebuah perdamaian? Atau kematian? Simak saja seluruh ceritanya. Mohon disimak dengan hati-hati -- sangat hati-hati, demi kebaikan Anda.

Sidik Nugroho,
Sidoarjo, 15-16 Januari 2009

No comments: