19.1.09

Belenggu-belenggu Budak yang Terhampar di Meja Makan

Judul Film: Amazing Grace
Aktor: Ioan Gruffudd, Romola Garai, Benedict Cumberbatch, Rufus Sewell, Nicholas Farrell, Michael Gambon, Albert Finney, Ciaran Hinds, Toby Jones
Sutradara: Michael Apted
Skenario: Steven Knight
Tahun: 2006 (Inggris); dirilis di Amerika: 23-2-2007

"Doa melahirkan percaya, percaya melahirkan cinta, cinta melahirkan pelayanan, pelayanan melahirkan perdamaian." (Bunda Teresa)

Bila beberapa hari lagi presiden Amerika terpilih Barack Obama akan dilantik, maka kejadian itu tak lepas dari perjuangan seorang anggota parlemen Inggris di masa silam untuk menghapus perdagangan budak dan memperjuangkan persamaan hak kulit hitam dan putih. Seorang yang kegigihannya terkisah manis dan, tentu saja, menginspirasi di film ini.

Namanya William Wilberforce (Ioan Gruffudd). Ia sahabat dekat perdana menteri termuda dalam sejarah Inggris William Pitt (Benedict Cumberbatch). Wilberforce hidup semasa John Newton, penggubah lagu ternama Amazing Grace masih hidup. John Newton termasuk jadi orang yang mendukungnya untuk memperjuangkan dihapusnya perdagangan budak, sehingga mungkin akhirnya film ini dijuduli sama dengan lagu legendaris itu.

Ketika menemui John Newton (Albert Finney) pertama kali, adegan ini mengingatkan kita pada tokoh Tuhan yang diperankan Morgan Freeman dalam film Bruce Almighty. John Newton, yang waktu itu sudah tua dan hampir buta, tampak sedang mengepel lantai. Akting Albert Finney dalam film ini sebagai John Newton sungguh mantap, penuh penghayatan dan teatrikal. Ia muncul lagi di dua adegan lain yang berbeda dengan kemantapan terjaga.

Kembali pada William. Dalam film ini digambarkan sosok William yang selain gigih, juga sering tampak bingung dengan panggilan hidupnya. Ia menjadi anggota parlemen Inggris di masa muda dan di kemudian hari, karena bertemu dengan beberapa orang yang mengisahkan kepadanya kejinya perbudakan, ia berniat menghapus perbudakan itu. Namun, niat ini awalnya tak mendapat banyak dukungan. Ia hanya didukung empat orang di parlemen karena menghapuskan perbudakan di zaman itu akan merugikan perekonomian Inggris besar-besaran -- mayoritas kegiatan ekonomi mengandalkan tenaga budak-budak kulit hitam.

Kebingungan ini membuat ia sering menyendiri sambil bertanya-tanya, apa yang harus ia lakukan. Sementara para anggota parlemen sibuk dengan urusan-urusan politik dan pesta-pora, ia sering menyendiri di sebuah taman dan berdoa. Hal ini, pikirnya, apakah lebih pantas membuatnya menjadi pejuang moral yang berjuang lewat koridor agama, atau tetap berada di parlemen sebagai aktivis politik? Saking kuatnya moralitas yang terkandung dalam diri Wilberforce, James Berardinelli, seorang kritikus film independen, sempat menyindir kalau film ini lebih menyerupai sandiwara moral daripada sebuah film.

Hingga akhirnya Thomas Clarkson (Rufus Sewell) dan beberapa kawannya datang berkunjung ke rumahnya suatu ketika. Di acara makan malam dengan suasana yang canggung kala itu, Thomas bangkit, mengambil sebuah tas dari bawah meja makan, membukanya, dan menghamparkan di atas meja makan kepada semua yang makan saat itu: belenggu-belenggu yang membelenggu seorang budak yang diperdagangkan lewat kapal-kapal. Ada belenggu kaki, tangan, bahkan leher. Ia juga menceritakan kepada mereka semua betapa sengsara hidup yang harus dijalani para budak ketika mereka dijejalkan beramai-ramai dalam kapal yang membawa mereka untuk diperdagangkan.

Dari kejadian inilah Wilberforce kemudian semakin diteguhkan bahwa ia harus berjuang secara moral menghapuskan perbudakan dan tetap menjadi aktivis politik. Keduanya harus berjalan bersamaan. Inilah yang kemudian menjadi sebuah kisah perjuangan yang tak kepalang tanggung. Sejarah mencatat ia mengajukan mosi dan rancangan undang-undang berulang-ulang antara tahun 1788 hingga 1805, dan baru pada tahun 1806, Inggris secara resmi melarang perdagangan budak-budak kulit hitam.

Apa yang dikerjakan oleh William Wilberforce berpengaruh bukan hanya pada Inggris, tapi juga belahan dunia lain. Amistad, film yang mengambil latar Amerika dan disutradarai Steven Spielberg yang ternama itu, mengangkat tema yang sama tentang perbudakan dengan latar waktu yang tidak jauh beda. Dan, yang menarik, seorang tokoh di film ini dari kalangan bangsawan, Lord Charles Fox (Michael Gambon), pendukung Wilberforce, mengingatkan kita pada peran Anthony Hopkins yang penuh karisma sebagai John Adams di Amistad. Memang, Lord Charles Fox tak tampil sesering John Adams, namun keduanya memiliki kemiripan: suka pura-pura tidur ketika orang lain sedang membicarakan sesuatu. Apakah ini kemiripan yang disengaja karena tema film yang sama?

Satu kelemahan yang amat disayangkan, film ini memuat bahasan politis tentang pengubahan kebijakan hubungan internasional di masa itu tentang pelayaran dan penggunaan bendera-bendera kapal lintas negara. Nah, bahasan ini kurang tampil memadai bagi para pemirsa awam, sehingga ketika William Wilberforce pulang ke rumahnya berlari-lari sambil bersukacita karena ada pengubahan kebijakan itu di parlemen Inggris yang serta-merta berefek positif bagi perjuangannya menghapus perbudakan, pemirsa bisa meraba-raba apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Kelemahan ini memang tidak terlalu fatal karena para pemirsa bisa mempelajari sejarah bila ingin tahu kebijakan tersebut secara lengkap. Cuma sayangnya, sekali lagi, saat kejadian itu, film sudah jalan sekitar 4/5 bagian.

Pada akhirnya, kita semua bisa belajar tentang arti kegigihan dan keyakinan dari sosok bernama William Wilberforce. Pada masa di mana perkembangan pengajaran kekristenan belum banyak membahas soal dikotomi rohani-duniawi, kisah hidup William Wilberforce yang gigih ini rasanya amat tepat untuk menjadi acuan dalam mengintegrasikan yang duniawi dan rohani -- juga iman dan pekerjaan -- dalam kehidupan di dunia ini.

Sidik Nugroho
Sidoarjo, 17 Januari 2008, 21:58

No comments: