Judul Buku: Sukses Wirausaha Laundry di Rumah
Penulis: Haryo Bagus Handoko
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: xi + 138 halaman
Cetakan pertama, September 2009
Bulan Oktober 2009 ditandai dengan maraknya pemberitaan seputar penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) seantero Nusantara. Tak ayal, pemberitaan ini memancing ratusan ribu, bahkan jutaan orang, untuk berlomba-lomba mengejar status CPNS. Sebuah pola hidup yang bagi kebanyakan orang aman -- bahkan identik nyaman -- melekat pada status ini. Namun, berapa banyak orang yang nantinya gagal dalam ujian itu? Kita semua tahu: sangat banyak. Persaingan begitu ketat; sebuah posisi atau kebutuhan jabatan bisa diperebutkan oleh ratusan orang.
Nah, tiap orang sebenarnya diberi daya-kreatif agar mampu menghasilkan sesuatu. Dengan imajinasi, kreatifitas, dan kompetensi-kompetensi lainnya, setiap orang dapat berdaya-guna dan berhasil-guna menghidupi hidupnya. Tentunya, hal ini didukung pula dengan rangkaian sumber-daya yang memadai.
Hal inilah yang diuraikan dengan gamblang di bagian awal buku karya Haryo Bagus Handoko ini (dalam bab 1). Buku ini menyingkap dengan jitu di bagian awalnya: bahwa sebuah bisnis -- yang dulu tampaknya dimiliki segelintir orang berduit -- dapat dilakukan dengan manajemen sederhana dan modal kecil. Ya, bisnis laundry kini bertebaran di mana-mana. Semua orang, dengan modal yang tak terlalu besar, dapat memulai bisnis ini, dan berpeluang menemukan suatu kesuksesan finansial dalam hidupnya.
Haryo Bagus Handoko adalah penulis telaten. Ia adalah pencatat yang detil sekaligus fotografer yang andal. Dalam bukunya ini ia tak hanya bicara serangkaian kiat atau suntikan motivasi yang penuh buih. Bahasanya lugas, pun deskripsi dan pembahasannya senantiasa menuju poin-poin yang memang patut diberi perhatian oleh sidang pembaca. Ia dengan lihai dan wajar menyampaikan hal-hal yang memang perlu dilakukan dalam mengemas sebuah paket usaha bernama laundry.
Buku ini dibagi menjadi sembilan bab. Setelah bab pertama yang mencelikkan sidang pembaca tentang kemungkinan besar peraihan sukses dari bisnis ini, Haryo kemudian mengurai dengan apik bagaimana dan apa saja persiapan yang perlu dilakukan dalam memulai sebuah usaha laundry; pengelolaan usaha ini; dan kemudian detil pengoperasian usaha ini. Hingga di sini, bahasan yang disampaikan Haryo berbaur dengan beberapa motivasi yang kerap tersirat.
Pada dua bagian berikutnya, Haryo mulai membahas hal yang bersifat teknis dan operasional. Ini berkaitan dengan bagaimana kita menangani bermacam noda yang ada pada sebuah pakaian -- atau produk selain pakaian yang dapat ditangani dengan usaha laundry. Kemudian, dengan gamblang pula ia menguraikan bentuk dan pola administrasi (pembukuan) yang bisa dilakukan dalam usaha laundry. Di dua poin inilah tampak benar kelebihan buku ini: penjabarannya tak hanya motivatif nan inspiratif, namun memuat beragam deskripsi yang perlu dan vital. Haryo bahkan menuliskan beberapa software yang dapat diunduh dari internet untuk kepentingan administratif perusahaan laundry.
Tak berhenti sampai di situ, Haryo menambahkan beberapa bahasan seputar upaya-upaya memperbesar usaha. Dengan teliti dan amat deskriptif ia menguraikan apa saja yang dapat pembaca lakukan agar bisnis ini dapat berkembang dan meluas wilayah pemasarannya. Dan demi menguatkan pembahasannya, Haryo mengusung beberapa kisah inspiratif tentang beberapa wirausahawan laundry yang dapat ditelusuri jejaknya. Kisah-kisah ini tertutur jujur -- mereka yang dikisahkan semuanya memiliki alamat dan nomor telepon yang dapat dihubungi.
Di bagian akhir, Haryo menutup bukunya dengan melampirkan analisis usaha yang akan jadi panutan utama bagi para pemula bisnis ini. Dengan lugas ia menyampaikan tentang peran modal, biaya operasional, payback period (waktu pengembalian modal), hingga penghitungan rugi-laba. Semua ini merupakan rangkaian langkah taktis sekaligus teknis bagi pembaca yang memang berniat menekuni bidang usaha ini.
Buku ini terhitung lengkap sebagai sebuah acuan bagi para usahawan yang tertarik menekuni bisnis laundry. Bahkan, buku ini tampak seperti sebuah buku teks. Kita dapat saja membacanya dari awal sampai akhir seperti membaca novel; namun mengingat bentuk pembahasannya yang memuat beraneka poin taktis dan teknis, tak dapat dielakkan: buku ini perlu dibuka lagi -- dan lagi -- oleh para pebisnis laundry yang mengharapkan kemajuan dan perkembangan usaha.
Namun, yang menjadi kelemahan buku ini adalah desain dan lay-out-nya. Gambar di sampul depan buku ini tampak kurang ceria dan kurang menarik. Terlalu minimalis: hanya memuat empat baris judul, gambar setumpuk pakaian di dalam sebuah keranjang, dan nama penulis. Selain itu, foto-foto yang ada di halaman-halaman buku ini, beberapa di antaranya tampil kurang maksimal karena pengecilan yang agak berlebihan. Seharusnya, foto-foto di dalam buku ini bisa menjadi ilustrasi yang lebih hidup bila ditampilkan lebih proporsional.
Terlepas dari kelemahan itu, buku ini sangat patut dikoleksi oleh para wirausahawan muda. Bisnis laundry, dalam pembahasan yang ada di buku ini, tampak menjanjikan prospek bagus. Seperti yang telah disampaikan di bagian depan tulisan ini, banyak orang mungkin akan pupus harapan ketika tidak lolos CPNS -- atau tidak diterima setelah melamar kerja di sebuah perusahaan impian. Tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru. Tak ada salahnya pula mencoba usaha laundry. Ya, karena buku petunjuknya kini sudah tersedia bagi Anda semua.
Sidoarjo, Kamis Kliwon (ngeri nggak!?), 29 Oktober 2009, 21.00-22.30
Sidik Nugroho (Pria yang belum punya modal -- padahal pengen -- bikin bisnis laundry.)
Mari nikmati malam, yang diciptakan untuk jadi teman bagi renungan, juga teman menjelang mimpi.
26.10.09
Terserah pada Allah
"... aku melupakan apa yang ada di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang ada di hadapanku." (Filipi 3:13)
Perikop: Filipi 3:1b-16
Paulo Coelho, dalam bukunya Sang Alkemis, menyingkap dengan cara yang indah bagaimana seorang pengelana mewujudkan takdirnya. Pengelana ini dikisahkan melintasi padang gurun untuk mencari harta karun yang ia lihat dalam mimpinya. Harta karun itu, dalam mimpinya berada di bawah piramida-piramida di Mesir.
Untuk mencapai Mesir ia harus melintasi sebuah gurun luas yang penuh tantangan. Di awal perjalanannya melintasi gurun, si pemandu unta yang memimpin rombongan berkata, "Begitu kau menginjakkan kaki di padang pasir, kau tak bisa mundur lagi. Dan kalau kau tak bisa mundur lagi, kau hanya perlu memikirkan cara terbaik untuk maju terus. Selebihnya terserah pada Allah, termasuk bahaya yang mengintai."
Jikalau kita belum pernah menempuh sebuah tantangan untuk mewujudkan apa yang kita yakini sebagai tujuan kita, kata-kata si pemandu unta rasanya tak berkekuatan. Namun, bagi Anda yang telah berkali-kali gagal dalam mewujudkan sebuah impian namun tetap berjuang, kata-kata itu rasanya amat bermakna. Hidup ini tak indah kalau kita tak pernah bertemu dengan kegagalan, jalan buntu atau penderitaan. Rasanya seperti menonton film atau membaca cerita tanpa konflik.
Nah, kini bagi Anda yang yakin akan tujuan Anda dan tak hendak mengubahnya, mari maju terus! Tuhan lebih suka kita berani melangkah walaupun salah, daripada menunggu terlalu lama dan tak berbuat apa-apa. Dan Tuhan pun akan menyingkap jalan yang harus ditempuh, selama kita memperjuangkan sesuatu dengan hati dan niat yang tulus. (sn)
Perikop: Filipi 3:1b-16
Paulo Coelho, dalam bukunya Sang Alkemis, menyingkap dengan cara yang indah bagaimana seorang pengelana mewujudkan takdirnya. Pengelana ini dikisahkan melintasi padang gurun untuk mencari harta karun yang ia lihat dalam mimpinya. Harta karun itu, dalam mimpinya berada di bawah piramida-piramida di Mesir.
Untuk mencapai Mesir ia harus melintasi sebuah gurun luas yang penuh tantangan. Di awal perjalanannya melintasi gurun, si pemandu unta yang memimpin rombongan berkata, "Begitu kau menginjakkan kaki di padang pasir, kau tak bisa mundur lagi. Dan kalau kau tak bisa mundur lagi, kau hanya perlu memikirkan cara terbaik untuk maju terus. Selebihnya terserah pada Allah, termasuk bahaya yang mengintai."
Jikalau kita belum pernah menempuh sebuah tantangan untuk mewujudkan apa yang kita yakini sebagai tujuan kita, kata-kata si pemandu unta rasanya tak berkekuatan. Namun, bagi Anda yang telah berkali-kali gagal dalam mewujudkan sebuah impian namun tetap berjuang, kata-kata itu rasanya amat bermakna. Hidup ini tak indah kalau kita tak pernah bertemu dengan kegagalan, jalan buntu atau penderitaan. Rasanya seperti menonton film atau membaca cerita tanpa konflik.
Nah, kini bagi Anda yang yakin akan tujuan Anda dan tak hendak mengubahnya, mari maju terus! Tuhan lebih suka kita berani melangkah walaupun salah, daripada menunggu terlalu lama dan tak berbuat apa-apa. Dan Tuhan pun akan menyingkap jalan yang harus ditempuh, selama kita memperjuangkan sesuatu dengan hati dan niat yang tulus. (sn)
24.10.09
Catatan Kepala Tiga
"Tiga puluh tahun yang lalu, Mamah sangat kesakitan ketika melahirkan kamu. Tapi Tuhan selalu menjagamu, melindungimu, dan memberkatimu. Sukses ya anakku, dalam segala hal di hidupmu."
Itu sms dari ibuku yang kupanggil Mamah pagi tadi.
Tiga puluh tahun lalu ibuku melahirkan aku dengan sangat menderita. Aku tidak lahir selama tiga hari di rumah sakit; padahal selama tiga hari itu, ibuku telah kesakitan. Aku akhirnya lahir dengan bantuan sedot. Dulu, dokter kuatir kalau bayi yang lahir disedot bisa mengalami gangguan otak.
Ternyata, aku tidak demikian. Aku sehat-sehat saja sekarang. Aku baik-baik saja hingga kini. Puji Tuhan. Kalau pun ada orang yang menganggap otakku kurang waras, kupastikan dia sedang sakit hati padaku.
Terima kasih, Tuhan, kau telah membawaku masuk dan mengenal dunia. Kubalas sms ibuku: "Terima kasih, Mah. Doa dan restu ibu sepanjang jalan, hidup indah tak terkatakan."
***
Nah, hingga tadi malam, aku lupa kalau hari ini aku ultah. Dengan beberapa teman, semalam aku karaoke-an di sebuah tempat karaoke. Pulang dari tempat karaoke, seorang teman mampir ke tempat kosku. Setelah dia pulang, dan ketika aku merenung seorang diri di depan kos sambil menyaksikan lampu merkuri di depan kos -- aku baru sadar: besok (hari ini) aku sudah kepala tiga. Ya, usiaku genap tiga puluh kini.
Bagiku, tak ada yang istimewa dengan sebuah ulang tahun. Aku lebih memilih orang tidak tahu kapan ulang tahunku. Sebabnya aku terhitung jarang mengikuti atau mengadakan acara-acara ulang tahun. Paling-paling, di keluargaku, kalau ada yang ulang tahun, kami doa bersama; atau membuat beberapa nasi bungkus untuk dibagikan ke gelandangan di Pasar Besar Kota Malang.
Namun, kali ini aku sudah kepala tiga. Momen ini -- kalau dipikir-pikir -- rasanya penting juga bagi hidupku. Penting, sehingga pagi ini aku mengambil sedikit waktu untuk merefleksikan apa saja yang harus kuperbuat untuk masa depanku selanjutnya.
Aku tidak bisa menuliskan dengan detil apa yang kuharapkan terjadi di masa depanku. Namun, bertolak dari apa yang kualami di masa kini, tampaknya aku akan tetap menggeluti dunia pendidikan dan penulisan.
Pertama, pendidikan. Mendidik seorang anak begitu berat, bagiku. Tugas seorang guru beda dengan dosen. Dosen lebih banyak mengajar, guru lebih banyak mendidik. Dalam mendidik anak, begitu banyak suka-duka yang telah kujalani selama ini. Ada anak yang hampir di tiap pagi minta digendong kalau bertemu denganku; ada juga anak yang kelakuannya selalu bikin aku kesal karena tak pernah mau taat.
Yang bikin aku bertahan dalam mendidik adalah pengenanganku akan beberapa guru dalam hidupku di masa lalu. Guru-guru yang telah mengubah jalan hidupku. Tanpa mereka, aku tak akan pernah menjadi seperti yang sekarang. Dan mungkin, aku juga ditentukan seperti beberapa guruku di masa lalu itu -- bagi anak-anak yang sekarang harus kudidik.
Tentang dunia kepenulisan, hanya satu alasan yang membuat aku bertahan: aku tak bisa tak menulis. Sebagai seorang muda yang sangat rindu bisa beraktualisasi, aku seperti penulis-penulis muda lainnya: rajin berkarya, rajin pula berusaha mempublikasikan karya-karyaku. Sejauh ini aku telah menulis sebuah buku yang sudah terbit dan beberapa renungan yang terbit bulanan. Ada pula beberapa tulisanku yang nyangkut di koran dan majalah.
Namun, yang belum terpublikasikan masih banyak. Ada dua buah novel, tiga buah novelet, puluhan cerpen, puluhan artikel/opini, puluhan resensi, bahkan ratusan puisi yang hampir semuanya pernah ditolak untuk diterbitkan oleh penerbit buku, koran, atau majalah. Semua ini dapat membuatku menemukan puluhan alasan mengapa aku harus berhenti menulis.
Namun, aku tetap bertahan pada alasan "aku tak bisa tak menulis" ketika merenungi lagi bahwa kegagalan publikasi yang kubuat semata-mata hanyalah kepanjangan dari dua hal: itu semua adalah ujian dan pembelajaran. Aku diuji untuk sabar; aku membelajari diri untuk berkarya lebih baik, juga membelajari diri untuk menemukan cara lain dalam mempublikasikan karya-karyaku.
***
Begitulah...
Oh, ulang tahun! Haha, aku sudah kepala tiga. Orang bilang aku harus segera cari pacar. Cari istri tepatnya. Aku sepakat, walau kadang kurang bersemangat menjalaninya. Ya, pe-er ini memang harus kuanggap penting, kalau aku tak mau melakukan apa yang dulu pernah ingin kulakukan: menjadi biarawan. Ya, selama beberapa tahun, aku sempat juga ingin jadi biarawan -- mereka kelihatan keren.
Tapi, yang terakhir, entah belum atau sudah mendapat istri, sepuluh, dua puluh, bahkan beberapa puluh tahun dari sekarang, tampaknya aku akan tetap menjadi seorang guru dan penulis -- di mana pun aku berada.
Enjoying life, loving peace, and rock and roll -- always!
Sidoarjo, 24 Oktober 2009, 06.30-07.15
Sidik Nugroho
Itu sms dari ibuku yang kupanggil Mamah pagi tadi.
Tiga puluh tahun lalu ibuku melahirkan aku dengan sangat menderita. Aku tidak lahir selama tiga hari di rumah sakit; padahal selama tiga hari itu, ibuku telah kesakitan. Aku akhirnya lahir dengan bantuan sedot. Dulu, dokter kuatir kalau bayi yang lahir disedot bisa mengalami gangguan otak.
Ternyata, aku tidak demikian. Aku sehat-sehat saja sekarang. Aku baik-baik saja hingga kini. Puji Tuhan. Kalau pun ada orang yang menganggap otakku kurang waras, kupastikan dia sedang sakit hati padaku.
Terima kasih, Tuhan, kau telah membawaku masuk dan mengenal dunia. Kubalas sms ibuku: "Terima kasih, Mah. Doa dan restu ibu sepanjang jalan, hidup indah tak terkatakan."
***
Nah, hingga tadi malam, aku lupa kalau hari ini aku ultah. Dengan beberapa teman, semalam aku karaoke-an di sebuah tempat karaoke. Pulang dari tempat karaoke, seorang teman mampir ke tempat kosku. Setelah dia pulang, dan ketika aku merenung seorang diri di depan kos sambil menyaksikan lampu merkuri di depan kos -- aku baru sadar: besok (hari ini) aku sudah kepala tiga. Ya, usiaku genap tiga puluh kini.
Bagiku, tak ada yang istimewa dengan sebuah ulang tahun. Aku lebih memilih orang tidak tahu kapan ulang tahunku. Sebabnya aku terhitung jarang mengikuti atau mengadakan acara-acara ulang tahun. Paling-paling, di keluargaku, kalau ada yang ulang tahun, kami doa bersama; atau membuat beberapa nasi bungkus untuk dibagikan ke gelandangan di Pasar Besar Kota Malang.
Namun, kali ini aku sudah kepala tiga. Momen ini -- kalau dipikir-pikir -- rasanya penting juga bagi hidupku. Penting, sehingga pagi ini aku mengambil sedikit waktu untuk merefleksikan apa saja yang harus kuperbuat untuk masa depanku selanjutnya.
Aku tidak bisa menuliskan dengan detil apa yang kuharapkan terjadi di masa depanku. Namun, bertolak dari apa yang kualami di masa kini, tampaknya aku akan tetap menggeluti dunia pendidikan dan penulisan.
Pertama, pendidikan. Mendidik seorang anak begitu berat, bagiku. Tugas seorang guru beda dengan dosen. Dosen lebih banyak mengajar, guru lebih banyak mendidik. Dalam mendidik anak, begitu banyak suka-duka yang telah kujalani selama ini. Ada anak yang hampir di tiap pagi minta digendong kalau bertemu denganku; ada juga anak yang kelakuannya selalu bikin aku kesal karena tak pernah mau taat.
Yang bikin aku bertahan dalam mendidik adalah pengenanganku akan beberapa guru dalam hidupku di masa lalu. Guru-guru yang telah mengubah jalan hidupku. Tanpa mereka, aku tak akan pernah menjadi seperti yang sekarang. Dan mungkin, aku juga ditentukan seperti beberapa guruku di masa lalu itu -- bagi anak-anak yang sekarang harus kudidik.
Tentang dunia kepenulisan, hanya satu alasan yang membuat aku bertahan: aku tak bisa tak menulis. Sebagai seorang muda yang sangat rindu bisa beraktualisasi, aku seperti penulis-penulis muda lainnya: rajin berkarya, rajin pula berusaha mempublikasikan karya-karyaku. Sejauh ini aku telah menulis sebuah buku yang sudah terbit dan beberapa renungan yang terbit bulanan. Ada pula beberapa tulisanku yang nyangkut di koran dan majalah.
Namun, yang belum terpublikasikan masih banyak. Ada dua buah novel, tiga buah novelet, puluhan cerpen, puluhan artikel/opini, puluhan resensi, bahkan ratusan puisi yang hampir semuanya pernah ditolak untuk diterbitkan oleh penerbit buku, koran, atau majalah. Semua ini dapat membuatku menemukan puluhan alasan mengapa aku harus berhenti menulis.
Namun, aku tetap bertahan pada alasan "aku tak bisa tak menulis" ketika merenungi lagi bahwa kegagalan publikasi yang kubuat semata-mata hanyalah kepanjangan dari dua hal: itu semua adalah ujian dan pembelajaran. Aku diuji untuk sabar; aku membelajari diri untuk berkarya lebih baik, juga membelajari diri untuk menemukan cara lain dalam mempublikasikan karya-karyaku.
***
Begitulah...
Oh, ulang tahun! Haha, aku sudah kepala tiga. Orang bilang aku harus segera cari pacar. Cari istri tepatnya. Aku sepakat, walau kadang kurang bersemangat menjalaninya. Ya, pe-er ini memang harus kuanggap penting, kalau aku tak mau melakukan apa yang dulu pernah ingin kulakukan: menjadi biarawan. Ya, selama beberapa tahun, aku sempat juga ingin jadi biarawan -- mereka kelihatan keren.
Tapi, yang terakhir, entah belum atau sudah mendapat istri, sepuluh, dua puluh, bahkan beberapa puluh tahun dari sekarang, tampaknya aku akan tetap menjadi seorang guru dan penulis -- di mana pun aku berada.
Enjoying life, loving peace, and rock and roll -- always!
Sidoarjo, 24 Oktober 2009, 06.30-07.15
Sidik Nugroho
21.10.09
Dua Renungan tentang Bapak
Di hari ultah bapakku ke-59, kuposting dua renungan ini. Mengenang kasih dan pengabdiannya, serasa dua renungan ini masih tak sebanding. Renungan ini, satu tentang bapakku, satunya lagi tentang bapak orang lain. Hiduplah pengabdian dan semangat para bapak!
Menggarap Ketikan Bapak
"Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10)
Dulu, waktu kuliah saya sering diminta ayah saya untuk mengetik beberapa data. Waktu itu saya ingat, tidak banyak mata kuliah yang saya ambil, sehingga saya masih memiliki beberapa waktu luang. Data-data itu sebagian besar merupakan luas, lokasi, atau pembagian tanah yang dimiliki oleh orang-orang di beberapa kecamatan di Blitar. Saat itu ayah saya bekerja di Badan Pertanahan Nasional di Blitar, dan sering bertugas melakukan pengukuran tanah.
Dia berkata kepada saya, "Sebenarnya semua ketikan ini bisa saja dikerjakan oleh staf bapak di kantor. Tapi bapak menugaskanmu supaya uang yang bapak berikan untuk mengupah staf itu, bapak berikan buatmu."
Semula saya sempat berpikir bapak saya pelit -- memberi uang setelah saya melakukan sesuatu dulu. Saya pernah menjalani tugas itu dengan gerutuan. Ketikan-ketikan itu bukan naskah biasa seperti mengarang cerita. Banyak data, angka, nama orang, dan desa yang tidak boleh diketik salah. Bahkan, sempat suatu ketika saya hampir tak mau lagi mengetik. Namun, seiring berjalannya waktu saya sadar, bapak saya telah melakukan suatu cara yang sangat benar dalam mendidikkan sebuah prinsip yang penting.
Prinsip itu berkaitan dengan dua hal. Pertama, saya sudah semakin dewasa -- sudah harus tahu bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Kedua, saya diajarinya untuk bekerja profesional -- ketikan harus tergarap sesempurna mungkin.
Dan, kini, saya tidak pernah melupakan saat-saat itu. Saat-saat menyenangkan ketika saya dapat membeli sesuatu dari hasil kerja keras sendiri.
Menyukakan Bapak
"Anak bebal adalah bencana bagi ayahnya..." (Amsal 19:13)
Seorang pria berusia hampir kepala empat turun dari sepeda motor, mengangkat sebuah kardus yang berisi beberapa mi instan, aneka kopi-susu instan, gula, dan beberapa bungkus rokok. Hari sudah siang, matahari bersinar terik sekali.
Di sebuah warung kopi saya berada siang itu. Saya menyaksikan pria itu -- yang adalah anak dari pemilik warung kopi itu -- dengan kagum dan desah panjang. Perasaan saya lebih tersentuh ketika ayahnya berbisik kepada saya, "Kadang aku kasihan melihat anakku itu. Dia hanya dapat waktu istirahat sebentar, tapi selalu membantuku kulakan."
Sudah lama saya mengenal Mbah No, pemilik warung kopi itu. Usianya sudah 64, ke mana-mana masih pakai sepeda genjot. Syukurlah, anaknya itu begitu pengertian dengan teratur membantunya. Saya berkata dengan bahasa Jawa halus, "Kau berhasil, Mbah. Kau berhasil mendidiknya." Mbah No menatap saya dengan mata merah ketika saya mengucapkannya. Ia lalu mengangguk-angguk kecil.
Anak Mbah No yang sudah bekerja dan berkeluarga, di dalam kesibukannya tetap masih mau membantu bapaknya. Dari bapak dan anak ini saya merenung dalam-dalam kasih-sayang yang terbina antara bapak dan anak.
Betapa indah bila memiliki anak-anak yang pengertian kepada bapaknya. Anak yang tahu apa yang bapaknya perlukan, dan dengan kerelaannya menyukakan hati bapaknya. Mungkin kita, para pembaca, bukanlah anak-anak yang demikian. Kalau benar adanya, mari kita berbenah: yuk menjadi anak yang menyukakan hati bapak kita.
Sidik Nugroho, Oktober 2009
Menggarap Ketikan Bapak
"Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10)
Dulu, waktu kuliah saya sering diminta ayah saya untuk mengetik beberapa data. Waktu itu saya ingat, tidak banyak mata kuliah yang saya ambil, sehingga saya masih memiliki beberapa waktu luang. Data-data itu sebagian besar merupakan luas, lokasi, atau pembagian tanah yang dimiliki oleh orang-orang di beberapa kecamatan di Blitar. Saat itu ayah saya bekerja di Badan Pertanahan Nasional di Blitar, dan sering bertugas melakukan pengukuran tanah.
Dia berkata kepada saya, "Sebenarnya semua ketikan ini bisa saja dikerjakan oleh staf bapak di kantor. Tapi bapak menugaskanmu supaya uang yang bapak berikan untuk mengupah staf itu, bapak berikan buatmu."
Semula saya sempat berpikir bapak saya pelit -- memberi uang setelah saya melakukan sesuatu dulu. Saya pernah menjalani tugas itu dengan gerutuan. Ketikan-ketikan itu bukan naskah biasa seperti mengarang cerita. Banyak data, angka, nama orang, dan desa yang tidak boleh diketik salah. Bahkan, sempat suatu ketika saya hampir tak mau lagi mengetik. Namun, seiring berjalannya waktu saya sadar, bapak saya telah melakukan suatu cara yang sangat benar dalam mendidikkan sebuah prinsip yang penting.
Prinsip itu berkaitan dengan dua hal. Pertama, saya sudah semakin dewasa -- sudah harus tahu bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Kedua, saya diajarinya untuk bekerja profesional -- ketikan harus tergarap sesempurna mungkin.
Dan, kini, saya tidak pernah melupakan saat-saat itu. Saat-saat menyenangkan ketika saya dapat membeli sesuatu dari hasil kerja keras sendiri.
Menyukakan Bapak
"Anak bebal adalah bencana bagi ayahnya..." (Amsal 19:13)
Seorang pria berusia hampir kepala empat turun dari sepeda motor, mengangkat sebuah kardus yang berisi beberapa mi instan, aneka kopi-susu instan, gula, dan beberapa bungkus rokok. Hari sudah siang, matahari bersinar terik sekali.
Di sebuah warung kopi saya berada siang itu. Saya menyaksikan pria itu -- yang adalah anak dari pemilik warung kopi itu -- dengan kagum dan desah panjang. Perasaan saya lebih tersentuh ketika ayahnya berbisik kepada saya, "Kadang aku kasihan melihat anakku itu. Dia hanya dapat waktu istirahat sebentar, tapi selalu membantuku kulakan."
Sudah lama saya mengenal Mbah No, pemilik warung kopi itu. Usianya sudah 64, ke mana-mana masih pakai sepeda genjot. Syukurlah, anaknya itu begitu pengertian dengan teratur membantunya. Saya berkata dengan bahasa Jawa halus, "Kau berhasil, Mbah. Kau berhasil mendidiknya." Mbah No menatap saya dengan mata merah ketika saya mengucapkannya. Ia lalu mengangguk-angguk kecil.
Anak Mbah No yang sudah bekerja dan berkeluarga, di dalam kesibukannya tetap masih mau membantu bapaknya. Dari bapak dan anak ini saya merenung dalam-dalam kasih-sayang yang terbina antara bapak dan anak.
Betapa indah bila memiliki anak-anak yang pengertian kepada bapaknya. Anak yang tahu apa yang bapaknya perlukan, dan dengan kerelaannya menyukakan hati bapaknya. Mungkin kita, para pembaca, bukanlah anak-anak yang demikian. Kalau benar adanya, mari kita berbenah: yuk menjadi anak yang menyukakan hati bapak kita.
Sidik Nugroho, Oktober 2009
18.10.09
Suramadu, W.R. Supratman, dan Refleksi Romantika dan Imajinasi
Sabtu siang, 17 Oktober 2009, setelah lelah menggarap dua buah naskah seharian, aku akhirnya tertidur. Paginya, sebenarnya ada rencana pulang ke Malang, namun karena banyaknya tugas yang harus kukerjakan di Sidoarjo, rencana itu urung. Jam tiga sore, ketika bangun, aku merasa harus pergi ke suatu tempat. Aku ingin pergi sendirian -- mencari inspirasi. Aku tidak tahu mau ke mana. Namun, di dalam tas kecil yang kucangklong, kubawa kamera digitalku.
Kukendarai terus motorku, sampai akhirnya terlintas pikiran itu: Suramadu! Ya, ke jembatan Suramadu, ke Madura. Kelihatannya asyik juga!
***
Surabaya-Madura P.P.
Aku menghubungi temanku yang punya rumah dan keluarga di Madura. Ah, dia lagi sibuk mau malam mingguan di Surabaya ternyata. Padahal aku ingin sekali menjelajah Madura, terutama melihat orang-orang yang tidur pakai alas pasir itu. Salahku memang, mendadak mengabarinya. Keinginan itu batal. Aku memutuskan jalan terus.
Daerah Kenjeran yang kulalui sebelum jembatan Suramadu ramai sekali. Setelah membayar karcis tol 3000 rupiah, aku takjub melihat panjangnya jembatan itu. Panjaaang sekali. Jembatan tol itu dibagi dua bagian. Bagian timur untuk pelintas dari Madura; bagian selatan untuk pelintas dari Surabaya. Masing-masing bagian jalan dibagi lagi: para pengendara sepeda motor diberi bagian khusus di bagian tepi. Ketika melintas di atasnya, angin cukup kuat menerpa badanku. Di sebelah kiri dan kananku membentang Selat Madura yang kali ini berlangit muram. Cuaca tidak sedang mendung, namun awan putih pekat menggantung di sebelah barat dan timur jembatan itu.
Sampailah aku pada gundukan tertinggi di jembatan itu. Di gundukan itu ada tiang-tiang tinggi yang dibangun. Tiang-tiang itu tampak gagah dan dari jauh kelihatan bagai menara. Ketika melintasinya, banyak orang yang melambatkan laju sepeda motornya, mengamat-amati panorama dan keadaan sekeliling. Di bagian inilah banyak orang yang menghentikan kendaraannya barang sesaat untuk berfoto-ria. Termasuk aku.
Madura akhirnya sampai. Tanah di sana tampak gersang. Lahan berpasir putih kecokelatan di sepanjang tepi jalan menuju Bangkalan (kota yang berada sekitar tujuh kilometer dari ujung pulau), dipenuhi banyak tenda temporer yang menyediakan beraneka jualan. Aku mampir beli pulsa. Kukabari beberapa teman aku ada di Madura. Mereka kaget.
Setelah melalui jembatan ini, sambil minum es di sebuah warung, aku jadi teringat pada jembatan-jembatan bernama hubungan yang pernah kubangun di masa lalu. Tak jarang beberapa hubungan itu kandas karena sulit sekali menyatukan berbagai perbedaan, walau ada pula jembatan berupa hubungan persahabatan yang hingga kini kujalani dengan penuh semangat.
Ada pula jembatan yang pernah kubangun dengan begitu indah. Di sepanjang tepi jembatan kupasang lampu merkuri dan lampu hias penuh warna. Sebuah jembatan bernama romantika yang sayangnya harus terputus akibat berbagai tantangan hidup.
Jembatan Suramadu yang menyatukan dua pulau telah dibangun dengan biaya besar, perencanaan besar, dan pemikiran-pemikiran besar. Ketika mengaitkannya dengan hidupku, sambil mengingat dan merenungkan apa yang dikatakan teman, keluarga dan sahabat-sahabatku, aku merasa masih tertinggal jauh. Aku masih belum banyak berdaya-juang dan berpengorbanan untuk membangun sebuah jembatan yang kokoh: Jembatan dengan bahan dasar kasih-sayang, komitmen, dan dedikasi yang tulus untuk seseorang.
Aku menunggu senja tiba di Madura.
Namun, senja di langit Pulau Garam ini tak bagus. Sunset-nya kurang ciamik kali ini. Ah, sudahlah, tidak apa-apa, yang penting aku sudah ke Madura. Dan jembatan ini telah memberiku sebuah ilham.
***
Makam W.R. Supratman
Ketika sampai lagi di Surabaya, di Jalan Kenjeran, aku melihat sebuah tulisan di tepi jalan: makam W.R. Supratman. Aku pernah melihat makam ini ketika ke Kenjeran beberapa bulan lalu. Waktu itu aku ingin sekali ke sini. Nah, kesempatan itu tiba!
Seorang pria di pinggir jalan memberitahu bahwa juru kunci makam ini ada di belakang makam. Rumahnya kutuju, lalu aku pun diantarnya masuk ke dalam makam. Di makam ini, ada tiga bangunan yang penting: makam itu sendiri, patung W.R. Supratman yang sedang memainkan biola, dan monumen yang memuat sejarah singkat hidupnya.
Bagian di monumen yang membuat aku tertarik adalah kisah yang menyebutkan bahwa W.R. Supratman, selain sebagai musisi jazz yang berbakat di zamannya, juga pernah menjadi wartawan di surat kabar Kaoem Moeda. Wah, dia suka menulis juga ternyata. Bagian lain yang penting adalah cerita yang menyebutkan kalau lagu yang diciptakannya seringkali mengundang amukan orang Belanda.
Terlepas dari desas-desus yang menyatakan Indonesia Raya adalah lagu jiplakan, W.R. Supratman yang mati muda ini, dalam kisah hidupnya yang dituturkan dengan singkat di monumen batu di situ, bagiku adalah sosok yang imajinatif. Dan imajinasinya ia gunakan untuk sesuatu yang mewakili visi bangsa Indonesia ketika itu. Imajinasinya adalah imajinasi yang bervisi. Visi dalam imajinasinya merupakan representasi dan akumulasi hasrat hidup orang banyak: Indonesia merdeka.
Itulah sebabnya ia selalu dikenang.
Ketika dia meninggal di usia muda, Indonesia belum merdeka; baru 7 tahun setelah itu. Namun, sebelum meninggal ia berkata: "Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, berjuang dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka." Akhirnya, pejuang yang menyatakan diri berjuang dengan biolanya itu, kini pun memiliki makam yang agak unik: ruang untuk menabur bunga di makamnya dibentuk mirip biola.
***
Hari sudah malam. Sudah hampir jam delapan. Aku pulang ke Sidoarjo, dan menuliskan kisah ini.
Ketika menuliskannya, aku berpikir: Mungkin, di akhir-minggu lainnya, aku ingin membuat catatan seperti ini lagi. Mungkin sebulan sekali atau dua kali. Rasanya, di sekitarku masih banyak tempat yang menarik untuk ditulis. Ada museum, panti asuhan, candi, dan tempat-tempat lainnya -- tempat-tempat yang dapat melahirkan refleksi yang indah dan wajar, tidak perlu mengada-ada. Sayangnya, banyak orang hanya bersemangat menuliskan cerita liburannya ke Eropa, daripada menceritakan kunjungannya ke candi atau museum yang ada di dekat rumahnya.
Arthur Rimbaud, penyair dan petualang itu pernah bilang:
Perlu ada upaya melihat,
upaya melihat dengan menjungkirbalikkan segala makna yang sudah ada,
untuk sampai pada yang tak dikenal,
hidup sejati yang berada di tempat lain...
Akan selalu ada "tempat lain" untuk memaknai hidup. Ya, kadangkala, tempat itu dekat kok dengan kita.
Sidoarjo, 17-18 Oktober 2009
Kukendarai terus motorku, sampai akhirnya terlintas pikiran itu: Suramadu! Ya, ke jembatan Suramadu, ke Madura. Kelihatannya asyik juga!
***
Surabaya-Madura P.P.
Aku menghubungi temanku yang punya rumah dan keluarga di Madura. Ah, dia lagi sibuk mau malam mingguan di Surabaya ternyata. Padahal aku ingin sekali menjelajah Madura, terutama melihat orang-orang yang tidur pakai alas pasir itu. Salahku memang, mendadak mengabarinya. Keinginan itu batal. Aku memutuskan jalan terus.
Daerah Kenjeran yang kulalui sebelum jembatan Suramadu ramai sekali. Setelah membayar karcis tol 3000 rupiah, aku takjub melihat panjangnya jembatan itu. Panjaaang sekali. Jembatan tol itu dibagi dua bagian. Bagian timur untuk pelintas dari Madura; bagian selatan untuk pelintas dari Surabaya. Masing-masing bagian jalan dibagi lagi: para pengendara sepeda motor diberi bagian khusus di bagian tepi. Ketika melintas di atasnya, angin cukup kuat menerpa badanku. Di sebelah kiri dan kananku membentang Selat Madura yang kali ini berlangit muram. Cuaca tidak sedang mendung, namun awan putih pekat menggantung di sebelah barat dan timur jembatan itu.
Sampailah aku pada gundukan tertinggi di jembatan itu. Di gundukan itu ada tiang-tiang tinggi yang dibangun. Tiang-tiang itu tampak gagah dan dari jauh kelihatan bagai menara. Ketika melintasinya, banyak orang yang melambatkan laju sepeda motornya, mengamat-amati panorama dan keadaan sekeliling. Di bagian inilah banyak orang yang menghentikan kendaraannya barang sesaat untuk berfoto-ria. Termasuk aku.
Madura akhirnya sampai. Tanah di sana tampak gersang. Lahan berpasir putih kecokelatan di sepanjang tepi jalan menuju Bangkalan (kota yang berada sekitar tujuh kilometer dari ujung pulau), dipenuhi banyak tenda temporer yang menyediakan beraneka jualan. Aku mampir beli pulsa. Kukabari beberapa teman aku ada di Madura. Mereka kaget.
Setelah melalui jembatan ini, sambil minum es di sebuah warung, aku jadi teringat pada jembatan-jembatan bernama hubungan yang pernah kubangun di masa lalu. Tak jarang beberapa hubungan itu kandas karena sulit sekali menyatukan berbagai perbedaan, walau ada pula jembatan berupa hubungan persahabatan yang hingga kini kujalani dengan penuh semangat.
Ada pula jembatan yang pernah kubangun dengan begitu indah. Di sepanjang tepi jembatan kupasang lampu merkuri dan lampu hias penuh warna. Sebuah jembatan bernama romantika yang sayangnya harus terputus akibat berbagai tantangan hidup.
Jembatan Suramadu yang menyatukan dua pulau telah dibangun dengan biaya besar, perencanaan besar, dan pemikiran-pemikiran besar. Ketika mengaitkannya dengan hidupku, sambil mengingat dan merenungkan apa yang dikatakan teman, keluarga dan sahabat-sahabatku, aku merasa masih tertinggal jauh. Aku masih belum banyak berdaya-juang dan berpengorbanan untuk membangun sebuah jembatan yang kokoh: Jembatan dengan bahan dasar kasih-sayang, komitmen, dan dedikasi yang tulus untuk seseorang.
Aku menunggu senja tiba di Madura.
Namun, senja di langit Pulau Garam ini tak bagus. Sunset-nya kurang ciamik kali ini. Ah, sudahlah, tidak apa-apa, yang penting aku sudah ke Madura. Dan jembatan ini telah memberiku sebuah ilham.
***
Makam W.R. Supratman
Ketika sampai lagi di Surabaya, di Jalan Kenjeran, aku melihat sebuah tulisan di tepi jalan: makam W.R. Supratman. Aku pernah melihat makam ini ketika ke Kenjeran beberapa bulan lalu. Waktu itu aku ingin sekali ke sini. Nah, kesempatan itu tiba!
Seorang pria di pinggir jalan memberitahu bahwa juru kunci makam ini ada di belakang makam. Rumahnya kutuju, lalu aku pun diantarnya masuk ke dalam makam. Di makam ini, ada tiga bangunan yang penting: makam itu sendiri, patung W.R. Supratman yang sedang memainkan biola, dan monumen yang memuat sejarah singkat hidupnya.
Bagian di monumen yang membuat aku tertarik adalah kisah yang menyebutkan bahwa W.R. Supratman, selain sebagai musisi jazz yang berbakat di zamannya, juga pernah menjadi wartawan di surat kabar Kaoem Moeda. Wah, dia suka menulis juga ternyata. Bagian lain yang penting adalah cerita yang menyebutkan kalau lagu yang diciptakannya seringkali mengundang amukan orang Belanda.
Terlepas dari desas-desus yang menyatakan Indonesia Raya adalah lagu jiplakan, W.R. Supratman yang mati muda ini, dalam kisah hidupnya yang dituturkan dengan singkat di monumen batu di situ, bagiku adalah sosok yang imajinatif. Dan imajinasinya ia gunakan untuk sesuatu yang mewakili visi bangsa Indonesia ketika itu. Imajinasinya adalah imajinasi yang bervisi. Visi dalam imajinasinya merupakan representasi dan akumulasi hasrat hidup orang banyak: Indonesia merdeka.
Itulah sebabnya ia selalu dikenang.
Ketika dia meninggal di usia muda, Indonesia belum merdeka; baru 7 tahun setelah itu. Namun, sebelum meninggal ia berkata: "Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, berjuang dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka." Akhirnya, pejuang yang menyatakan diri berjuang dengan biolanya itu, kini pun memiliki makam yang agak unik: ruang untuk menabur bunga di makamnya dibentuk mirip biola.
***
Hari sudah malam. Sudah hampir jam delapan. Aku pulang ke Sidoarjo, dan menuliskan kisah ini.
Ketika menuliskannya, aku berpikir: Mungkin, di akhir-minggu lainnya, aku ingin membuat catatan seperti ini lagi. Mungkin sebulan sekali atau dua kali. Rasanya, di sekitarku masih banyak tempat yang menarik untuk ditulis. Ada museum, panti asuhan, candi, dan tempat-tempat lainnya -- tempat-tempat yang dapat melahirkan refleksi yang indah dan wajar, tidak perlu mengada-ada. Sayangnya, banyak orang hanya bersemangat menuliskan cerita liburannya ke Eropa, daripada menceritakan kunjungannya ke candi atau museum yang ada di dekat rumahnya.
Arthur Rimbaud, penyair dan petualang itu pernah bilang:
Perlu ada upaya melihat,
upaya melihat dengan menjungkirbalikkan segala makna yang sudah ada,
untuk sampai pada yang tak dikenal,
hidup sejati yang berada di tempat lain...
Akan selalu ada "tempat lain" untuk memaknai hidup. Ya, kadangkala, tempat itu dekat kok dengan kita.
Sidoarjo, 17-18 Oktober 2009
16.10.09
Apa yang Perlu Dipermasalahkan?
"TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya." (Mazmur 34:19)
Mazmur 30
Daniel Defoe disebut-sebut sebagai novelis yang mewakili zamannya ketika menuliskan Robinson Crusoe. Robinson, tokoh utama dalam novel itu adalah seorang pria berprinsip kuat, petualang sejati, dan berapi-api. Karakternya yang kuat itu tercipta akibat sebuah titik balik dalam hidupnya.
Ia terdampar di sebuah pulau suatu waktu setelah kapalnya meledak. Ia tak punya banyak barang lagi. Tak berdaya. Suatu pagi ia membuka Alkitab dan menemukan ayat: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau" (Ibrani 13:5).
Membacanya, ia merenung: "Jika Allah tidak meninggalkan saya... apa yang perlu dipermasalahkan, meski seluruh dunia meninggalkan saya...?" Ia melanjutkan renungannya dengan suatu tindakan: dia menyukuri apa yang dia hadapi. Dia melanjutkan hidupnya.
Pernahkah kita berada pada suatu masa ketika kita merasa bagai terdampar di sebuah pulau keterasingan? Kala itu semua terasa muram, tak ada lagi yang peduli akan apa yang kita temui dan perubahan nasib kita. Saat itulah sebenarnya kita perlu menyadari adanya sebuah penyertaan abadi yang tak pernah surut adanya: penyertaan Tuhan.
Hidup penuh ketidakpastian yang tak bisa dihindari siapa pun. Ketika pada akhirnya pengharapan kita yang sudah disatukan dengan kebulatan tekad untuk berjuang, dipadu pula dengan segenap upaya yang gigih menembus sebuah tantangan serasa tetap menemukan jalan buntu, maka kita berhak akan adanya wujud nyata dari penyertaan Tuhan yang abadi itu: sebuah mukjizat. (~s.n~)
"Kegigihan, pada akhirnya akan tetap lebih dikenang daripada keengganan, walau kita tidak men.dapatkan apa yang kita harapkan."
Mazmur 30
Daniel Defoe disebut-sebut sebagai novelis yang mewakili zamannya ketika menuliskan Robinson Crusoe. Robinson, tokoh utama dalam novel itu adalah seorang pria berprinsip kuat, petualang sejati, dan berapi-api. Karakternya yang kuat itu tercipta akibat sebuah titik balik dalam hidupnya.
Ia terdampar di sebuah pulau suatu waktu setelah kapalnya meledak. Ia tak punya banyak barang lagi. Tak berdaya. Suatu pagi ia membuka Alkitab dan menemukan ayat: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau" (Ibrani 13:5).
Membacanya, ia merenung: "Jika Allah tidak meninggalkan saya... apa yang perlu dipermasalahkan, meski seluruh dunia meninggalkan saya...?" Ia melanjutkan renungannya dengan suatu tindakan: dia menyukuri apa yang dia hadapi. Dia melanjutkan hidupnya.
Pernahkah kita berada pada suatu masa ketika kita merasa bagai terdampar di sebuah pulau keterasingan? Kala itu semua terasa muram, tak ada lagi yang peduli akan apa yang kita temui dan perubahan nasib kita. Saat itulah sebenarnya kita perlu menyadari adanya sebuah penyertaan abadi yang tak pernah surut adanya: penyertaan Tuhan.
Hidup penuh ketidakpastian yang tak bisa dihindari siapa pun. Ketika pada akhirnya pengharapan kita yang sudah disatukan dengan kebulatan tekad untuk berjuang, dipadu pula dengan segenap upaya yang gigih menembus sebuah tantangan serasa tetap menemukan jalan buntu, maka kita berhak akan adanya wujud nyata dari penyertaan Tuhan yang abadi itu: sebuah mukjizat. (~s.n~)
"Kegigihan, pada akhirnya akan tetap lebih dikenang daripada keengganan, walau kita tidak men.dapatkan apa yang kita harapkan."
13.10.09
Hidup ini Seperti Novel
Pria muda yang baru saja berusia 17 tahun itu hampir berhasil bunuh diri. Yang menggagalkan upaya itu adalah ayahnya. Ketika pria muda itu gagal bunuh diri, ayahnya mengajaknya jalan-jalan, dan mengatakan sesuatu untuk menentramkan batinnya yang kalut:
"Hidup ini seperti novel. Penuh ketegangan. Kau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi sampai kau membuka halamannya. Setiap hari adalah halaman yang berbeda, dan setiap hari bisa penuh kejutan. Kau tak akan pernah tahu apa yang akan ada selanjutnya sebelum kau buka halaman itu."
Pernahkah kita seperti Sheldon? Kita muak dengan hidup, karena hidup ini terlalu tegang. Kita jenuh dengan apa yang kita jalani, karena kejutan yang kita alami dalam hidup ini kerap tak nyaman bagi batin kita. Kita enggan untuk menembus sebuah tantangan, karena telah terlalu sering gagal dan dikecewakan. Kita jadi bagai didera siksaan yang berat -- lalu memutuskan hendak mengakhiri semuanya.
Sidik Nugroho, 13 Oktober 2009
"Hidup ini seperti novel. Penuh ketegangan. Kau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi sampai kau membuka halamannya. Setiap hari adalah halaman yang berbeda, dan setiap hari bisa penuh kejutan. Kau tak akan pernah tahu apa yang akan ada selanjutnya sebelum kau buka halaman itu."
Kata-kata itu menusuk hati pemuda itu sangat dalam. Ia sadar dan terperangah. Di kemudian hari ia dicatat sebagai salah satu penulis novel yang karya-karyanya paling banyak dibaca orang. Pria itu bernama Sidney Sheldon.
Pernahkah kita seperti Sheldon? Kita muak dengan hidup, karena hidup ini terlalu tegang. Kita jenuh dengan apa yang kita jalani, karena kejutan yang kita alami dalam hidup ini kerap tak nyaman bagi batin kita. Kita enggan untuk menembus sebuah tantangan, karena telah terlalu sering gagal dan dikecewakan. Kita jadi bagai didera siksaan yang berat -- lalu memutuskan hendak mengakhiri semuanya.
Tunggu dulu, perjalanan mesti dilanjutkan. Dan alasan yang terutama bagi kita untuk memutuskan terus berjalan adalah adanya suatu akhir yang manis, yang pantas untuk kita harapkan. Sebuah novel memang dapat berakhir sedih, namun kehidupan yang dijalani dengan hati yang tabah -- niscaya -- akan berakhir indah. Lanjutkan!
Sidik Nugroho, 13 Oktober 2009
Kutulis dengan pujian dan terima kasih kepada M. Iqbal Dawami, untuk secuil kisah Sidney Sheldon yang ia tulis dalam bukunya yang maknyus berjudul Cita-cita.
6.10.09
Bangkit dari Kubur
"Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu." (Yohanes 14:2)
Ibrani 9:11-27
Kejadian ini dialami oleh kakek saya, paman ibu saya. Waktu itu tahun 1960-an, kakek saya menjadi seorang pelaut yang berlayar ke beberapa negara. Suatu kali ia berlayar dekat Cina. Kali ini sebuah bencana terjadi: kapalnya meledak. Ia meloloskan diri menggunakan pelampung dan kayu pecahan kapal.
Ia selamat, mendarat di daratan Cina setelah terapung-apung di laut selama beberapa hari. Di Cina ia bekerja, mengumpulkan uang untuk kembali ke Blora, Jawa Tengah, asalnya, selama beberapa tahun.
Tibalah waktunya ia kembali pulang di suatu siang. Salah satu keponakannya yang sedang metani (mencari uban) rambut ibunya, samar menyambut seorang yang turun dari dokar. Ketika pria dari atas dokar itu memperkenalkan diri, seisi rumah gempar, bahkan ada yang pingsan! Bagaimana tidak, pria yang sudah dianggap mati kini ada di depan rumah -- bagai bangkit dari kubur!
Kejadian di atas jarang terjadi. Namun, pernahkah kita merenung, bahwa dengan orang-orang yang sudah mati, suatu saat kita akan bertemu lagi? Ya, roh kita tak tinggal dalam kubur. Kita akan bangkit dari kubur.
Di kerajaan surga nanti kita akan berkumpul dengan saudara-saudara kita yang menjaga iman dan kesetiaannya, asal selama kita di dunia kita mempertahankan iman dan kesetiaan kita juga. Kehidupan ini, kehidupan sebelum mati, harus kita jalani dengan segenap ketulusan dan kekudusan demi mendapatkan pertemuan penuh sukacita dan kejutan itu. Karenanya, mari kita persiapkan segalanya, sebelum roh kita bangkit dari kubur. (~s.n~)
Ibrani 9:11-27
Kejadian ini dialami oleh kakek saya, paman ibu saya. Waktu itu tahun 1960-an, kakek saya menjadi seorang pelaut yang berlayar ke beberapa negara. Suatu kali ia berlayar dekat Cina. Kali ini sebuah bencana terjadi: kapalnya meledak. Ia meloloskan diri menggunakan pelampung dan kayu pecahan kapal.
Ia selamat, mendarat di daratan Cina setelah terapung-apung di laut selama beberapa hari. Di Cina ia bekerja, mengumpulkan uang untuk kembali ke Blora, Jawa Tengah, asalnya, selama beberapa tahun.
Tibalah waktunya ia kembali pulang di suatu siang. Salah satu keponakannya yang sedang metani (mencari uban) rambut ibunya, samar menyambut seorang yang turun dari dokar. Ketika pria dari atas dokar itu memperkenalkan diri, seisi rumah gempar, bahkan ada yang pingsan! Bagaimana tidak, pria yang sudah dianggap mati kini ada di depan rumah -- bagai bangkit dari kubur!
Kejadian di atas jarang terjadi. Namun, pernahkah kita merenung, bahwa dengan orang-orang yang sudah mati, suatu saat kita akan bertemu lagi? Ya, roh kita tak tinggal dalam kubur. Kita akan bangkit dari kubur.
Di kerajaan surga nanti kita akan berkumpul dengan saudara-saudara kita yang menjaga iman dan kesetiaannya, asal selama kita di dunia kita mempertahankan iman dan kesetiaan kita juga. Kehidupan ini, kehidupan sebelum mati, harus kita jalani dengan segenap ketulusan dan kekudusan demi mendapatkan pertemuan penuh sukacita dan kejutan itu. Karenanya, mari kita persiapkan segalanya, sebelum roh kita bangkit dari kubur. (~s.n~)
5.10.09
menghitung jerawatmu, kala senja itu
: mengenang sebuah adegan di sebuah warung di payung, batu, beberapa tahun silam
punggung tanganku hangat banget
akibat sepoi nafasmu,
ketika sebuah jariku menghitung beberapa bintik jerawat
di sekitar pipimu.
kita telah lelah mengisi jeda dialog dengan desah panjang,
atau sesekali lirikan
: aku meliriki tangan kananmu, kau meliriki tangan kiriku.
"dua belas biji," kataku. "kayak jumlah murid yesus. tapi kecil-kecil kok jerawatmu, dik."
tadi di hitungan kesembilan,
jariku akhirnya kusentuhkan ke pipimu.
di hitungan kesepuluh,
kau terpejam.
di hitungan kesebelas,
aku menggeser dudukku.
dekat-dekat ah...
di hitungan keduabelas,
senja usai
dan, lho... hujan kok tiba-tiba turun?
"lampu-lampu menyala!" kataku dua kali.
matamu terbuka, wajahmu pun bagai bercahaya.
di pundakku aku mengendus bau sampo.
sebagian rambutmu bikin geli sebagian leherku.
"sekarang gantian, mas," katamu sambil memegang tanganku. "aku ingin menghitung jumlah rambut di tanganmu. boleh kan?"
aneh, aku jadi mecucu sambil tersenyum.
sidoarjo, hari abri 2009
punggung tanganku hangat banget
akibat sepoi nafasmu,
ketika sebuah jariku menghitung beberapa bintik jerawat
di sekitar pipimu.
kita telah lelah mengisi jeda dialog dengan desah panjang,
atau sesekali lirikan
: aku meliriki tangan kananmu, kau meliriki tangan kiriku.
"dua belas biji," kataku. "kayak jumlah murid yesus. tapi kecil-kecil kok jerawatmu, dik."
tadi di hitungan kesembilan,
jariku akhirnya kusentuhkan ke pipimu.
di hitungan kesepuluh,
kau terpejam.
di hitungan kesebelas,
aku menggeser dudukku.
dekat-dekat ah...
di hitungan keduabelas,
senja usai
dan, lho... hujan kok tiba-tiba turun?
"lampu-lampu menyala!" kataku dua kali.
matamu terbuka, wajahmu pun bagai bercahaya.
di pundakku aku mengendus bau sampo.
sebagian rambutmu bikin geli sebagian leherku.
"sekarang gantian, mas," katamu sambil memegang tanganku. "aku ingin menghitung jumlah rambut di tanganmu. boleh kan?"
aneh, aku jadi mecucu sambil tersenyum.
sidoarjo, hari abri 2009
1.10.09
diburu seperti anjing
"tangkap!" keras sekali suara-suara itu mengucap kata yang sama. hampir bikin telinga pekak. "sikat! hajar!"
"jangan sampai lolos!" kata sebuah suara pengepung sambil mengacungkan sebuah tongkat pemukul. "dia bikin anakku rabies! hampir mati!"
mereka dikomando mengepung buruan yang mereka dapatkan.
"hampiiir matiii! bayangkan!"
para pengepung merapat demi mendengarnya, turut mendelik lebar dan memajukan bibir, membentuk lingkaran yang makin lama makin kecil.
buruan itu, seekor anjing, tampak ciut. seringainya pudar, lenyap.
si anjing meregang nyawa menyambut perlakuan atas dirinya. sambil menghembuskan nafas terakhir, ia berusaha menggerakkan sebuah kakinya yang digebuk terakhir.
***
"jangan biarkan dia lolos!" teriak seorang warga di suatu perumahan. ada kayu yang baru saja patah dalam genggaman tangannya. "yang punya minyak tanah, bawa keluar!"
"biar kapok dia!" kata sebuah suara. "cih!"
rintihan pilu dan derai tangis pria yang diludahi itu tak lagi tersuara. celananya sobek, pahanya terluka hebat. aspal seluas dua meter persegi jadi merah.
sebuah pencurian motor telah gagal.
seorang pria berlari cepat, datang membawa botol berisi minyak tanah. diguyurkan isi botol itu pada pria yang kini terkapar.
seorang pria lain menyulut korek api.
***
"pak! paaak!" suara seorang anak kecil. "aku sekarang sudah sembuh."
"aku dapat pinjaman dari pak rt," kata istrinya. "besok anak kita sudah sekolah lagi, pak."
pria itu terbangun. "uhhh!" katanya. dan, "hah?" tanyanya padanya si anak dan istrinya. ia bengong, dan seketika bingung.
samar-samar, kemudian makin jelas, ia melihat seorang pria yang ia ingat duduk di sebelahnya: seorang pria yang tampil ketika batang korek menyala melayang di udara. tangan pria itu gesit sekali mengangkap korek menyala itu. "kau...," ia tak kuasa berkata-kata, mengalihkan wajah, memandangi langit-langit di kamar rumah sakit.
ia hendak menggerakkan sebuah kakinya. tapi, kok? lho?
ia baru sadar, ia telah diamputasi.
***
ia akan meninggalkan rumah sakit. ia menunggu istrinya, anaknya, dan polisi. ia membaca sebuah buku pemberian pria bertangan gesit; di sebuah halaman tertulis:
"aku percaya adanya tuhan, sehingga aku percaya adanya upah untuk jerih-lelahku."
***
sidoarjo, 30 september 2009
inspirasi dari:
- http://www.pos-kupang.com/read/artikel/35610
- http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailopiniindex&kid=2&id=1262
- biografi mini ned kelly; "If I come across Ned Kelly I’ll shoot him like a dog." (Const Strahan, one police officer); http://www.ironoutlaw.com/html/history_01.html
"jangan sampai lolos!" kata sebuah suara pengepung sambil mengacungkan sebuah tongkat pemukul. "dia bikin anakku rabies! hampir mati!"
mereka dikomando mengepung buruan yang mereka dapatkan.
"hampiiir matiii! bayangkan!"
para pengepung merapat demi mendengarnya, turut mendelik lebar dan memajukan bibir, membentuk lingkaran yang makin lama makin kecil.
buruan itu, seekor anjing, tampak ciut. seringainya pudar, lenyap.
si anjing meregang nyawa menyambut perlakuan atas dirinya. sambil menghembuskan nafas terakhir, ia berusaha menggerakkan sebuah kakinya yang digebuk terakhir.
***
"jangan biarkan dia lolos!" teriak seorang warga di suatu perumahan. ada kayu yang baru saja patah dalam genggaman tangannya. "yang punya minyak tanah, bawa keluar!"
"biar kapok dia!" kata sebuah suara. "cih!"
rintihan pilu dan derai tangis pria yang diludahi itu tak lagi tersuara. celananya sobek, pahanya terluka hebat. aspal seluas dua meter persegi jadi merah.
sebuah pencurian motor telah gagal.
seorang pria berlari cepat, datang membawa botol berisi minyak tanah. diguyurkan isi botol itu pada pria yang kini terkapar.
seorang pria lain menyulut korek api.
***
"pak! paaak!" suara seorang anak kecil. "aku sekarang sudah sembuh."
"aku dapat pinjaman dari pak rt," kata istrinya. "besok anak kita sudah sekolah lagi, pak."
pria itu terbangun. "uhhh!" katanya. dan, "hah?" tanyanya padanya si anak dan istrinya. ia bengong, dan seketika bingung.
samar-samar, kemudian makin jelas, ia melihat seorang pria yang ia ingat duduk di sebelahnya: seorang pria yang tampil ketika batang korek menyala melayang di udara. tangan pria itu gesit sekali mengangkap korek menyala itu. "kau...," ia tak kuasa berkata-kata, mengalihkan wajah, memandangi langit-langit di kamar rumah sakit.
ia hendak menggerakkan sebuah kakinya. tapi, kok? lho?
ia baru sadar, ia telah diamputasi.
***
ia akan meninggalkan rumah sakit. ia menunggu istrinya, anaknya, dan polisi. ia membaca sebuah buku pemberian pria bertangan gesit; di sebuah halaman tertulis:
"aku percaya adanya tuhan, sehingga aku percaya adanya upah untuk jerih-lelahku."
***
sidoarjo, 30 september 2009
inspirasi dari:
- http://www.pos-kupang.com/
- http://www.balipost.co.id/
- biografi mini ned kelly; "If I come across Ned Kelly I’ll shoot him like a dog." (Const Strahan, one police officer); http://www.ironoutlaw.com/
Subscribe to:
Posts (Atom)