Di hari ultah bapakku ke-59, kuposting dua renungan ini. Mengenang kasih dan pengabdiannya, serasa dua renungan ini masih tak sebanding. Renungan ini, satu tentang bapakku, satunya lagi tentang bapak orang lain. Hiduplah pengabdian dan semangat para bapak!
Menggarap Ketikan Bapak
"Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10)
Dulu, waktu kuliah saya sering diminta ayah saya untuk mengetik beberapa data. Waktu itu saya ingat, tidak banyak mata kuliah yang saya ambil, sehingga saya masih memiliki beberapa waktu luang. Data-data itu sebagian besar merupakan luas, lokasi, atau pembagian tanah yang dimiliki oleh orang-orang di beberapa kecamatan di Blitar. Saat itu ayah saya bekerja di Badan Pertanahan Nasional di Blitar, dan sering bertugas melakukan pengukuran tanah.
Dia berkata kepada saya, "Sebenarnya semua ketikan ini bisa saja dikerjakan oleh staf bapak di kantor. Tapi bapak menugaskanmu supaya uang yang bapak berikan untuk mengupah staf itu, bapak berikan buatmu."
Semula saya sempat berpikir bapak saya pelit -- memberi uang setelah saya melakukan sesuatu dulu. Saya pernah menjalani tugas itu dengan gerutuan. Ketikan-ketikan itu bukan naskah biasa seperti mengarang cerita. Banyak data, angka, nama orang, dan desa yang tidak boleh diketik salah. Bahkan, sempat suatu ketika saya hampir tak mau lagi mengetik. Namun, seiring berjalannya waktu saya sadar, bapak saya telah melakukan suatu cara yang sangat benar dalam mendidikkan sebuah prinsip yang penting.
Prinsip itu berkaitan dengan dua hal. Pertama, saya sudah semakin dewasa -- sudah harus tahu bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Kedua, saya diajarinya untuk bekerja profesional -- ketikan harus tergarap sesempurna mungkin.
Dan, kini, saya tidak pernah melupakan saat-saat itu. Saat-saat menyenangkan ketika saya dapat membeli sesuatu dari hasil kerja keras sendiri.
Menyukakan Bapak
"Anak bebal adalah bencana bagi ayahnya..." (Amsal 19:13)
Seorang pria berusia hampir kepala empat turun dari sepeda motor, mengangkat sebuah kardus yang berisi beberapa mi instan, aneka kopi-susu instan, gula, dan beberapa bungkus rokok. Hari sudah siang, matahari bersinar terik sekali.
Di sebuah warung kopi saya berada siang itu. Saya menyaksikan pria itu -- yang adalah anak dari pemilik warung kopi itu -- dengan kagum dan desah panjang. Perasaan saya lebih tersentuh ketika ayahnya berbisik kepada saya, "Kadang aku kasihan melihat anakku itu. Dia hanya dapat waktu istirahat sebentar, tapi selalu membantuku kulakan."
Sudah lama saya mengenal Mbah No, pemilik warung kopi itu. Usianya sudah 64, ke mana-mana masih pakai sepeda genjot. Syukurlah, anaknya itu begitu pengertian dengan teratur membantunya. Saya berkata dengan bahasa Jawa halus, "Kau berhasil, Mbah. Kau berhasil mendidiknya." Mbah No menatap saya dengan mata merah ketika saya mengucapkannya. Ia lalu mengangguk-angguk kecil.
Anak Mbah No yang sudah bekerja dan berkeluarga, di dalam kesibukannya tetap masih mau membantu bapaknya. Dari bapak dan anak ini saya merenung dalam-dalam kasih-sayang yang terbina antara bapak dan anak.
Betapa indah bila memiliki anak-anak yang pengertian kepada bapaknya. Anak yang tahu apa yang bapaknya perlukan, dan dengan kerelaannya menyukakan hati bapaknya. Mungkin kita, para pembaca, bukanlah anak-anak yang demikian. Kalau benar adanya, mari kita berbenah: yuk menjadi anak yang menyukakan hati bapak kita.
Sidik Nugroho, Oktober 2009
No comments:
Post a Comment