25.12.09

Bulan Penuh Buku dan Catatan Seputar Buku-bukuku

Bulan Penuh Buku

Desember 2009 bagiku adalah sebuah bulan penuh buku. Di awal dan tengah bulan Desember 2009 aku menemukan tiga buah buku bagus:

1. Tangan untuk Utik karya Bamby Cahyadi,
2. I Can (Not) Hear karya Feby Indirani dan San Wirakusuma, dan
3. Amira and Three Cups of Tea karya Greg Mortenson.

Kemudian, tak dinyana, di Yogyakarta, aku bertemu dengan Iqbal Dawami, seorang peresensi buku yang memberiku empat buah buku yang ia terima dari penerbit:

4. Kamus Khazar karya Milorad Pavic,
5. Yesus Sang Anak Manusia karya Kahlil Gibran,
6. Band yang Dilupakan Waktu - Biografi Guns N Roses karya Paul Stenning, dan
7. Jembatan yang Terbakar karya John Flanagan.

Oleh Iqbal Dawami juga aku dikenalkan ke Mas Imam dari Penerbit Bentang yang memberiku dua buku:

8. Perahu Kertas karya Dee, dan
9. Ramayana Mahabarata karya R.K. Narayan.

Enam buku yang kudapat di Yogya itu tak semua kubawa pulang. Perahu Kertas dan Kamus Khazar kuberikan ke Arie Saptaji.

Kembali ke Malang dari Yogya, aku penasaran dengan foto Fiya Hentihu tentang buku Soe Hok-gie, juga tulisan Pak Tanzil tentang buku yang sama -- dua-duanya di Facebook. Kubeli buku itu:

10. Soe Hok-gie... Sekali Lagi

Sambil jalan-jalan di Toga Mas setelah membeli buku Hok-gie, akhirnya kudapat sebuah buku lain yang kunantikan sejak awal bulan Desember:

11. Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com

Jadi, hingga malam Natal tahun ini, aku telah mendapatkan 11 buah buku. Jumlah yang cukup banyak bagiku. Gara-gara kejadian ini, aku hendak cerita sedikit tentang hal-ihlwal buku-buku yang kupunya dan dunia perbukuanku. Sumonggo dilanjut membaca, kalau dirasa perlu dibaca.

***

Mengenai Resensi Buku

Iqbal Dawami, Nur Mursidi, dan Hernadi Tanzil, menurutku adalah orang-orang yang beruntung karena sering mendapat buku gratis dari penerbit. Aku terhitung jarang. Sejak resensiku atas buku Ma Yan karya Sanie B. Kuncoro dimuat Jawa Pos pada tanggal 22 Maret lalu, aku hanya mendapat satu buku gratis yang dikirim langsung oleh penerbitnya: Mata Keenam, terbitan Gloria Graffa. Aku sudah meminta kiriman buku gratis dari beberapa penerbit, beberapa membalas dan berjanji mengirim. Tapi, ah... manusia kan banyak yang suka lupa. Biasa itu.

Namun, puji Tuhan, resensiku atas buku Mata Keenam nongol di koran Sinar Harapan. Sebelumnya, di Sinar Harapan juga, resensiku atas buku karya Arie Saptaji yang berjudul Pacaran Asyik dan Cerdas yang nongol duluan. Jadi, begitulah perjalananku meresensi buku sepanjang tahun ini. Ada belasan resensi buku yang kubuat, namun baru tiga buah yang menjebol koran.

Semakin sering aku menulis resensi, semakin terasa manfaatnya bagiku, dan juga bagi penulis buku yang kita resensi -- bila ia membaca resensi itu. Menulis resensi bukan semata-mata agar dimuat koran, dan lalu mendapat uang. Ini adalah suatu upaya mengapresiasi secara wajar sebuah karya dengan memberikan pujian, kritik, masukan dan berbagai sudut pandang; sekaligus melatih-mengasah kemampuan menulis, utamanya dalam menganalisa suatu karya.

Di dua bulan terakhir ini (Desember 2009 dan Januari 2010), aku berencana meresensi empat buah buku saja:

1. Tangan untuk Utik karya Bamby Cahyadi,
2. I Can (Not) Hear karya Feby Indirani dan San Wirakusuma,
3. Amira and Three Cups of Tea karya Greg Mortenson, dan
4. Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com yang dieditori P. Chusnato Sukiman.

Karena sepanjang Desember pekerjaan di sekolah tempat aku mengajar sangat banyak (Ujian Akhir Semester, pengolahan nilai dan pembagian rapot, dan persiapan acara Natal), hanya satu dari empat buku yang hendak kuresensi tadi yang baru sempat kubaca -- itu pun belum tuntas: I Can (Not) Hear.

***

Mengenai Koleksi Buku

Sejak dulu, aku merasa bukan seorang kolektor. Aku masih ingat ketika ada di sebuah gereja yang kecil dan tidak punya banyak buku pengajaran dan bacaan. Gereja Anugerah Pembaharuan namanya. Waktu itu aku masih kuliah. Tanpa pikir panjang, kusumbang semua buku dan kaset rohani yang kumiliki untuk gereja yang melas dan mungil itu. Buku yang kusumbangkan lebih dari empat puluh buah dan kaset yang kusumbangkan lebih dari dua puluh buah.

Padahal, buku dan kaset-kaset itu kubeli dari hasil pekerjaanku yang kujalani sambil kuliah. Waktu itu aku bekerja memberi les privat, jualan telur puyuh matang ke beberapa warung kopi, dan sesekali menulis cerpen (beberapa tulisanku nyantol di majalah-majalah keren dan gaul seperti GFresh!, Sahabat Pena dan AnekaYess!).

Saat aku bekerja, hal yang sama terulangi lagi. Aku memiliki bujet 100 sampai 150 ribu per bulan untuk membeli buku. Buku-buku yang kubeli sejak kuliah, ditambah dengan yang kudapat saat bekerja, membuat lemari bukuku yang ada di Malang tidak cukup lagi. Akhirnya beberapa buku kubawa ke Sidoarjo, ke tempat kosku. Teman-teman kos pada heran ketika suatu waktu aku pindah kos dengan sebuah angkot yang penuh berisi barang. Di antara barang-barang itu, yang terbanyak adalah buku. Ada sekitar dua ratus buku yang aku bawa.

Karena hal ini, lemari yang disediakan ibu kos untuk menaruh pakaian, malah jadi lemari buku. Pakaianku beberapa kugantung di dinding pakai hanger dan paku. Bulan demi bulan berlalu, lemariku itu makin penuh dengan buku yang kubeli. Buku pun bertumpuk-tumpuk di lantai kamar kosku. Sampai akhirnya aku membuat keputusan menyumbangkan lebih dari tiga puluh bukuku untuk sekolah tempat aku mengajar, dan memberikan beberapa buku kepada beberapa teman.

Jujur, tidak semua buku yang kubeli kubaca sampai tuntas. Aku pembaca yang malas, bukan pembaca yang tekun. Kalau kuperkirakan, hanya sekitar 70 persen buku yang sudah kubeli yang kubaca tuntas. Kerap kali, aku memutuskan membeli buku -- termasuk yang kemudian lalai kubaca setelah kumiliki -- dengan alasan utama: takut kehabisan.

Kini, ketika melihat lagi buku-buku yang bertumpuk di samping mejaku, aku merenung lagi: perlukah sebenarnya mengoleksi buku? Ini kutanyakan karena buku kadang dapat memberikan sebuah kenangan tersendiri. Contohnya, aku tidak akan lupa ketika membaca dengan penuh penghayatan serial Lord of the Rings hingga tak sadar subuh sudah datang.

Namun, ada kalanya aku juga merasa bersalah kalau mendiamkan sebuah buku yang kuanggap bagus hanya tegak tak bergerak dalam lemariku -- sementara ada teman yang kutahu benar memerlukannya. Dan kadang, ada pula cerita lain: teman yang meminjam bukuku menghilangkannya. Kurasa, cukup banyak masalah bisa datang ketika kita berniat mengoleksi buku, namun juga mempunyai banyak teman yang suka membaca (dan meminjam) buku.

Nah, hingga akhir tahun ini, aku pun masih belum kepikiran membuat sebuah perpustakaan kecil untukku sendiri suatu ketika. Aku bukan perawat buku yang baik. Bila kurasa aku tidak memerlukan lagi sebuah buku, ya kuberikan saja kepada orang yang kuanggap akan menyukai buku itu.

Tapi, mungkin, insya Allah, suatu hari nanti, perpustakaan kecil itu kubangun. Dengan sepenuh cinta... hihihi.

***

Wrekso, Malam Natal 2009

24.12.09

Satu Oktaf Keselamatan

"Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya." (Lukas 2:14)

Baca: Lukas 2:8-20

Perhatikanlah nada-nada dalam lagu Joy to the World. Nada-nadanya hanya dalam kisaran satu oktaf tangga nada mayor. Ya, seuntai nada-nada yang jumlahnya hanya delapan, namun tergarap begitu indah, menjadi sebuah nyanyian yang dinyanyikan sepanjang masa.

Lagu ini hendak menegaskan bahwa sukacita telah lahir dan didatangkan oleh Allah ke dalam dunia. Penebusan Tuhan berlaku atas umat-Nya. Kegelapan menyingkir; sorak kemenangan pun kekhidmatan dikobarkan oleh koor malaikat dalam hati beberapa gembala yang menjadi saksi kelahiran-Nya.

Karena begitu sederhana, lagu ini mudah dimainkan. Karena begitu sederhana, lagu ini mudah dihapalkan. Karena begitu bersemangat, lagu ini disukai dan dinyanyikan dengan gegap-gempita. Dan karena begitu indah, lagu ini tak mudah dilupakan.

Lagu ini tampaknya hendak menjadi representasi karya keselamatan Kristus. Kristus lahir dengan cara yang begitu sederhana. Ia tumbuh dengan cara yang sederhana, dalam keluarga yang sederhana pula. Namun, semangat dan gelora ilahi yang ada dalam diri-Nya begitu besar sepanjang hidup-Nya. Ia taat pada Tuhan, sehingga lewat penebusan-Nya, lahirlah kemenangan yang gilang-gemilang.

Di Natal kali ini, ketika menyanyikan lagu ini, mari kita syukuri satu oktaf kemenangan yang Ia telah berikan kepada kita. Satu oktaf nada -- bukan terlalu banyak nada -- yang sederhana, namun begitu besar maknanya, begitu indah lantunannya, dan begitu gempita syair dan iramanya, dalam menggugah hati kita untuk bergirang lagi bagi-Nya! (~s.n~)

"Bila Yesus datang, kegelapan menyingkir." (Pahatan pada dinding sebuah istana di Skotlandia)

20.12.09

simpang tiga

jalan remang
kesunyian
menjalarkan resah
di benak dan kaki

di kaki langit ini
kueja lagi
segala...
jejak-langkah

sidoarjo, 19.12.2009

15.12.09

Selamat Ulang Tahun! Usiamu Tiga Tahun!

"Tetapi Yesus memanggil mereka dan berkata: "Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah." (Lukas 18:16)

Bill Wilson, pendeta dari Gereja Metro itu suatu ketika pernah mendapat sebuah kartu ulang tahun. Kartu itu tampaknya diambil dari sebuah tong sampah, digosok-gosok oleh seorang anak biar tampak bersih, dan kemudian diberikan kepada Bill. Anak kecil itu, sama seperti anak-anak lain yang dilayani Bill, adalah anak-anak miskin yang berada di Brooklyn. Perceraian, bunuh diri, narkotika, dan berbagai tindakan kriminal lainnya sudah sangat biasa di wilayah ini.

Ketika menerimanya, Bill kaget. Di kartu itu ada tulisan: "Selamat Ulang Tahun, Usiamu Tiga Tahun!" Bill nyatanya tak berusia tiga tahun. Namun, ia terkesan dengan pemberian itu. Pemberian yang tulus, dan membuatnya selalu suka berada di tengah anak-anak.

Yesus mengingatkan kita agar mengasihi anak-anak. Ia membiarkan anak-anak datang mendekat kepada-Nya dalam sebuah kisah di Injil. Ia tak menghalang-halangi mereka datang untuk bercengkerama dengan-Nya.

Dari anak-anak kita belajar tentang ketulusan dan kepercayaan. Ya, anak-anak begitu tulus -- walau memiliki kelemahan terbesar sebagai pribadi-pribadi yang egois. Bahkan, dari mereka kadang kita bisa belajar untuk sabar menunggu sebuah jawaban dan penggenapan sebuah janji. Tuhan menghendaki kita menghampiri-Nya sebagai seorang anak kecil. Anak kecil, dalam pengertian di mana kita memiliki hati yang selaras dengan perkataan dan perbuatan -- apa adanya. Tanpa kepalsuan. Anak kecil, yang juga senantiasa haus dan lapar untuk menerima sesuatu yang baru dan berarti bagi hidup ini. (~s.n~)

13.12.09

Perang di Mata Anak-anak

Judul: Lakposhtha parvaz mikonand (Turtles Can Fly)
Sutradara dan Skenario: Bahman Ghobadi
Aktor: Soran Ebrahim, Avaz Latif, Saddam Hossein Feysal, Hiresh Feysal Rahman, Abdol Rahman Karim, Ajil Zibari
Tahun: 2004

Saya mengira sedang menyewa sebuah film anak-anak yang lucu. Judulnya menarik: Turtles Can Fly. Ketika menontonnya, segera saya menyukai Satellite, tokoh utama di film ini yang sangat ceriwis, penuh semangat, dan ambisius. Dan ketika menyimaknya terus, karakter Satellite yang terkesan kocak itu sangat kontras dengan apa yang hendak disampaikan film ini. Film ini menampilkan simbol-simbol kedukaan yang dalam dan pedih tentang negeri yang tak luput dirundung perang.

Turtles Can Fly adalah sebuah film asal Irak yang berusaha memotret kehidupan anak-anak yang menjadi pengungsi pada masa Saddam Husein ditangkap. Kisahnya fiktif, namun berdaya-gugah luar biasa. Kisahnya berpangkal pada seorang anak yang dijuluki Satellite oleh orang-orang di sekitarnya, yang sehari-harinya bekerja sebagai pengumpul ranjau. Ia dijuluki demikian karena tampak mahir pada hal-hal yang berhubungan dengan teknologi.

Ranjau-ranjau yang dikumpulkan di tempat tinggal anak itu -- yakni di sebuah tempat pengungsian -- sangatlah banyak. Hampir tiap hari Satellite mengerahkan puluhan anak untuk bekerja memungut ranjau-ranjau itu. Ranjau-ranjau itu sangat berbahaya. Bila diinjak bisa meledak -- bisa bikin kaki lumpuh atau buntung.

Sebuah bagian yang menarik dari film ini adalah kisah tentang kehadiran seorang anak kecil yang belum genap berusia tiga tahun. Ia datang bersama dua kakak-beradik. Seorang dari mereka adalah lelaki kecil yang tak punya dua tangan. Yang seorang lain adalah wanita, adik laki-laki buntung itu; ia selalu memasang wajah muram. Sementara anak kecil ini bukan siapa-siapa mereka berdua. Mereka menemukannya sedang merintih perih waktu pasukan Amerika sedang membombardir sebuah perumahan penduduk Irak. Oleh kemurahan hati kedua kakak-beradik itu, akhirnya si anak kecil turut dibawa ke mana-mana.

Suatu ketika si anak kecil terjebak di antara beberapa ranjau di sekitarnya. Adegan yang menegangkan pun disuguhkan: Satellite akan menolong anak itu. Ia berteriak-teriak memohon anak itu agar tak bergerak sedikit pun, karena sebuah ranjau yang ada di dekatnya dapat menghabisi nyawanya, satu kali saja ia salah injak. Saat ia berteriak-teriak, beberapa anak yang lain pun menangis pilu. Ranjau yang membahayakan itu, ya, sekali lagi, salah terinjak sedikit saja, meledaklah dia. Dan... darrr! Ranjau itu meledak, lalu menghantam kaki Satellite.

Anak-anak sebenarnya menakuti perang, walau mungkin mereka suka menonton film perang. Turtles Can Fly menyingkapkan dengan telak bagaimana sebuah perang mengubah kehidupan jiwa anak-anak. Penulis naskah (sekaligus sutradara) film ini patut diacungi jempol. Film ini menghadirkan berbagai adegan lucu, yang, namun, di balik semua kelucuan itu tersimpanlah duka yang mendalam akibat kehilangan, kelaparan, dendam dan peperangan.

Satellite yang menyukai Amerika dengan segala atributnya (ia suka sekali berbahasa Amerika, bergaya seperti orang Amerika, dan menyukai tokoh-tokoh film Amerika) suatu ketika harus melepas segala junjungannya terhadap Amerika ketika intervensi Amerika terhadap kondisi politik di Irak semakin besar. Patung Saddam akhirnya ditumbangkan, dan seorang sahabatnya membawakan bagi Satellite sebuah kaki Saddam yang patah. Sahabatnya itu berkata kalau kaki itu akan mahal bila dijual. Satellite memandang wajah sahabatnya dengan aneh. Ya, ia sendiri baru saja nyaris kehilangan kakinya akibat ledakan ranjau!

Karena ini film berlatar suasana dan waktu perang, maka tentu ada kematian di dalamnya. Satellite pada akhirnya harus merelakan hatinya tercabik-cabik ketika melihat beberapa kematian yang mengerikan dalam hidupnya. Emosi yang terpantik dalam benak saya ketika melihat film ini, membuat saya mengingat sebuah film lain yang berjudul Mean Creek, yang mengisahkan tentang beberapa anak remaja yang pada akhirnya harus menemukan sebuah kenyataan pedih ketika mereka dihadapkan pada sebuah kematian teman mereka.

Tunas-tunas muda, jiwa yang selalu ingin merdeka, yang direnggut oleh maut dari kehidupan ini akibat kebengisan para penguasa, itulah salah satu dampak terburuk sebuah perang. Masa yang seharusnya dilalui dengan keceriaan berganti dengan kemuraman. Anak-anak akan tetap menjadi anak-anak, di mana pun mereka berada di dunia ini. Dan inilah wajah anak-anak yang harapannya bisa pupus seketika akibat berbagai ranjau bernama peperangan. Tawa mereka akan jadi sebuah kenangan yang paling dirindukan di seantero negeri, menjadi inspirasi bagi nyanyian-nyanyian perdamaian, dan kiranya menghantui mimpi-mimpi para penguasa haus darah.

Nah, jadi apa makna judul Turtles Can Fly? Jikalau kura-kura dapat terbang di dalam air, melihat matahari ketika mereka ingin menyembul ke permukaan, maka -- duhai para penguasa! -- para anak-anak ini tak bisa selamanya ditenggelamkan dalam danau berdarah akibat ranjau yang selalu terpasang dan senjata yang selalu terangkat! Turunkan senjata, buang semua ranjau, dan biarkan kami -- para anak-anak -- ini terbang, seperti kura-kura menyambut mentari pengharapan.

Yah, kira-kira, mungkin begitu maksud judul film ini.

Sidik Nugroho
13 Desember 2009

9.12.09

Menerjemahkan dengan Hati

Wanita itu, bahkan mungkin kita semua, tentunya bisa putus harapan ketika dokter memberi vonis: dalam tubuh ada kanker paru-paru stadium IIIB, dan usia hidup tinggal 4-6 bulan lagi.

Vonis itu merupakan hasil dari apa yang dialami wanita itu sejak awal Agustus 2004, bahkan sebelumnya. Di awal Agustus 2004, ia sedang mandi ketika merasakan sakit di bagian dada. Di hari-hari berikutnya ia menjalani serangkaian pemeriksaan medis yang bikin nyali ciut: semua bukti medis tampak memupuskan harapannya untuk terus bertahan hidup. Namun, ia tak kehilangan iman. Ia terus menaruh harapan pada Tuhan, berdoa dan mengharapkan mukjizat. Saat ia mengalami penyakit ini, baik buku dan film serial Harry Potter sedang meraup sukses di banyak negara.

Satu bulan berlalu, sepertiga rambutnya ambrol. Namun, tak lama setelah itu, mukjizat terjadi: ia disembuhkan Tuhan dengan cara ajaib. Wanita itu, Listiana Srisanti namanya, telah mengalami pertolongan Tuhan.

Listiana yang menerjemahkan serial Harry Potter dan beberapa buku terbitan Gramedia, memang dikenal sebagai salah satu penerjemah yang terbaik. Bahkan, ketika Memoar Seorang Geisha karya Arthur Golden diterjemahkan oleh Listiana, Arswendo Atmowiloto menyatakan: "... terjemahan Listiana jauh lebih menyentuh daripada buku aslinya. Mungkin Listiana mampu menghayati roh perempuan yang rapuh secara utuh ..."

Bila kita pernah membaca buku Geisha itu (cetakan pertama tahun 2002), dengan lirih diuraikan penderitaan jiwa seorang wanita yang tak berdaya akibat didera berbagai kesengsaraan hidup. Sebuah keadaan yang tampaknya juga mewakili kondisi jiwa-raga Listiana sebelum ia mengalami sakit yang mengerikan.

Seorang manusia yang rapuh dengan penyakit mengerikan, telah melakukan sesuatu yang tak dilakukan manusia-manusia yang merasa dirinya normal atau bahkan superior. Listiana menerjemahkan dengan hatinya, sehingga apa yang ia lakukan juga menjamah hati orang lain. Ia terus berkarya, namun tetap menjiwai apa yang ia lakukan dengan kepasrahan penuh pada Yang Ilahi.

Dalam ketidakberdayaan dan keterbatasan, acapkali kekuatan Ilahi yang lebih besar menolong kita untuk bisa melakukan sesuatu yang menjadi bagian atau pekerjaan kita. Dan, jikalau kita tetap bertekun, niscaya semua yang kita lakukan berakhir dan berbuah indah.

Sidik Nugroho
Sidoarjo, 9 Desember 2009
Catatan: Matur nuwun untuk Pak Sumardianta atas kisah Listiana Srisanti dalam bukunya yang berjudul Simply Amazing.

8.12.09

terima kasih, telah menganggap hidupku tak penting

: dua fragmen pengabaian

terima kasih, karena kau membuatku sadar
hidup ini tak sekedar mengejar mimpi
namun juga menakar arti caci-maki
dalam menyejatikan jati-diri

terima kasih, karena dalam tiap doamu
aku tak pernah kausebut dan kauingat
walau aku pernah memintamu sesekali bersyafaat
kaulupakan aku... aku tak melintas-lewat

terima kasih, karena kau selalu diam saja
dan menganggap sepi semua kemurahanku
kau tahu bahwa itu semua tak penting bagimu
dan bahwa hidupmu akan jauh lebih berwarna tanpaku

terima kasih, karena kau menyadarkanku pada kuasa waktu
yang mengurai makna derai tawa dan tangisku yang bising

kususur jejak-langkah yang sebelumnya hening
dan kini aku bersyukur, seraya sedikit merinding
: terima kasih, telah menganggap hidupku tak penting

***

lalu kulihat sebidang tanah di bumi terkoyak malam ini
dari sana muncul wajah-wajah buas hitam dan merah
mata membara, badan penuh luka, dan seringai amarah
menyatu dalam sosok-sosok tanpa raga yang tampak gerah

aku mengenal satu orang di antara mereka
: ada di buku sejarah! ada di buku pelajaran!
terkenal pekikannya, singa muda julukannya
dan ia kini membariskan para wajah: "maju jalan!"

para wajah menghentakkan kaki dengan seragam
langkah mereka terayun cepat, makin cepat, dan terbang!
di sebuah istana di pusat kota mereka berada sekarang
kunantikan apa yang akan dilakukan mereka dalam berang

"jikalau mereka yang hidup lupa memperjuangkan keadilan,
biarlah kami yang sudah mati bangkit menentang kesewenangan!"

demi tuhan, ngeri namun bergairah kudengar sorak dan riuh
yang membahana, kisruh, bising dan menggemuruh!

terima kasih, telah menganggap hidupku tak penting
tapi kini, aku tak lagi hanya menyusur jejak-langkah yang hening
aku pun memadu bising bersama sederetan wajah gerah
: "sialan kau penguasa! becuslah sedikit menangani resah!"

***

sidoarjo, 7 desember 2009, menjelang tengah malam
catatan: awalnya ingin membuat puisi ini diiringi lagunya afgan: "terima kasih cinta" -- tapi kok gak pas. nah, akhirnya, puisi ini lahir ditemani lagunya metallica: "sad but true" -- pas banget.

3.12.09

Gajah, Pengharapan, dan Keyakinan

Judul Buku: Gajah Sang Penyihir (The Magician's Elephant)
Penulis: Kate DiCamillo
Ilustrasi: Yoko Tanaka
Penerjemah: Dini Pandia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: September, 2009
Tebal buku: 148 halaman

Peter Augustus Duchene adalah pria kecil yang malang. Dibesarkan di sebuah apartemen kumuh oleh Vilna Lutz, seorang mantan tentara tua yang suka membentak-bentak dan menyuruh-nyuruh, hidupnya terkesan muram. Sampai suatu ketika ia melihat seorang peramal, dan tertarik membayarkan satu florit untuk mendengar apa kata peramal itu. Padahal, seharusnya ia memakai satu florit itu untuk membeli ikan dan roti, seperti yang disuruhkan Vilna kepadanya.

Peramal itu, oleh Peter ditanyai sebuah hal yang paling meresahkan batinnya: apakah adiknya yang bernama Adele masih hidup? Jawaban yang diberikan sang peramal mengagetkannya: Adele masih hidup. Dan untuk menjumpai Adele, si peramal berkata: "Kau harus mengikuti gajahnya... gajah betina itu akan membawamu ke sana."

Harapan dalam diri Peter tersulut. Ia gembira, sekaligus bimbang dan bingung. Bagaimana tidak? Seekor gajah akan membawanya kepada Adele? Yang benar saja --gajah dari mana? Selain itu, Vilna Lutz tua yang sakit-sakitan itu, yang mengaku sebagai sahabat ayah Peter, menyatakan bahwa ramalan itu palsu. Sejak Peter hidup dengannya, Vilna telah menjejalkan kisah hidupnya yang lain: bahwa ayah Peter dulu adalah tentara yang hebat seperti dirinya, dan ia tak punya saudara lagi. Peter bahkan dilatih tiap hari dengan pelajaran seputar ketentaraan agar dapat menjadi tentara yang baik suatu ketika.

Namun, dengan cara yang ajaib, gajah itu benar-benar muncul, meresahkan segenap penduduk kota Baltese. Datangnya tak terduga pada sebuah acara yang digelar seorang penyihir. Penyihir itu, awalnya hendak membuat kejutan dengan menghadirkan hanya sebuket bunga lili dengan kemampuan sihirnya. Tak dinyana, ketika sihirnya ia mainkan, dari atas atap gedung opera seekor gajah yang besarnya bukan kepalang turun di tengah-tengah hadirin!

Gajah itu membuat remuk kaki seorang bangsawan bernama Madam LaVaughn. Ia harus duduk di kursi roda karena kecelakaan itu. Berita kedatangan gajah pun menyebar di seantero kota Baltese. Peter pun mendengarnya -- harapannya menemukan titik terang.

Dengan bantuan seorang polisi berbadan kecil bernama Leo Mattiene yang murah hati, seorang tukang batu pemberani yang suka tertawa sendiri bernama Bartok Whynn, Madam La Vaughn dan pelayannya yang bernama Hans Ickman, maka pencarian Peter akan Adele pun menjadi kisah yang menarik.

Kisah yang digarap Kate DiCamillo ini agak berbeda dari beberapa bukunya yang sebelumnya. Sebelum ini ia telah menulis beberapa cerita anak (yang juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Gramedia): The Tiger Rising, The Miraculous Journey of Edward Toulane, Because of Winn Dixie dan The Tale of Desperaux. Dua yang terakhir disebut sudah difilmkan. Bedanya adalah, baru ini Kate DiCamillo mengangkat hal berbau sihir dalam ceritanya. Ya, tetap juga ada kesamaan: tokoh berupa binatang tetap tampil sebagai tokoh dominan dalam bukunya kali ini. Namun, kisah-kisah di buku-bukunya yang sudah-sudah lebih banyak dibumbui dengan tema persahabatan, keluarga, atau kepahlawanan.

Apa pun tema yang digarap oleh Kate selalu menarik diikuti hingga tuntas, termasuk yang dilakukannya kali ini. Ini tak lain karena ia adalah seorang penulis yang berdedikasi penuh untuk menulis cerita anak-anak. Dalam sebuah wawancara ia mengaku menulis dua halaman dari hari Senin sampai Jumat sebelum bekerja di toko buku. Tulisan-tulisannya senantiasa tertutur rapi dan tak menjemukan. Ia pernah mendapatkan Newbery Medal, sebuah penghargaan untuk buku cerita anak-anak terbaik untuk bukunya The Tale of Desperaux.

Buku The Magician's Elephant merangkum kecerdasan Kate DiCamillo bercerita: runut, imajinatif, dan kaya akan frasa yang disebutkan beberapa kali untuk membentuk imajinasi pembaca agar menyelami situasi yang sedang terjadi di kota Baltese. Baltese adalah sebuah kota yang tak ada di belahan dunia mana pun -- sebuah negeri antah-berantah. Dalam sebuah wawancara lain, Kate menyebutkan setelah ia selesai menggarap bukunya ini, ia menonton sebuah film yang berlatar kota Bruges di Belgia. Ia menyatakan kota itu, Bruges, mirip dengan Baltese yang ia ciptakan.

Untuk melukiskan Baltese, juga para tokoh, dan situasi penting yang terjadi di sepanjang cerita, beruntunglah Kate mendapatkan Yoko Tanaka. Yoko, walau hanya mengandalkan nuansa hitam-putih dalam membuat ilustrasi, mampu mewakili imajinasi yang awalnya ada pada Kate. Gambar-gambar yang dibuatnya hampir semuanya terkesan muram. Ini mewakili situasi kota Baltese yang selalu mendung, namun tak kunjung disiram salju atau hujan.

Salah satu ilustrasi yang menarik adalah gambar yang dibuat Yoko ketika melukiskan sebuah kamar Rumah Yatim-Piatu Susteran Cahaya Abadi (halaman 56). Kamar tidur itu berlangit-langit tinggi dan artistik. Di sana ada 14 tempat tidur yang semuanya ditiduri oleh anak-anak yang sedang lelap, kecuali sebuah tempat tidur. Seorang gadis kecil terjaga di tempat tidur itu, duduk di tepi tempat tidurnya. Rambutnya yang dikepang dua dengan lucu, membuat kita yang mengamatinya ingin memeluknya. Dialah Adele, adik Peter yang di suatu malam resah tak bisa tidur akibat mimpi yang baru saja dialaminya.

Mimpi Adele hadir dalam tidurnya, bagai membawa harapan yang ada di benak Peter, abangnya, untuk bertemu dengannya. Namun, Adele yang masih belum genap tujuh tahun dan tidak tahu dengan lengkap jati-dirinya hanya bisa meraba-raba apakah mimpi itu akan mengubah hidupnya. Ia hanya tahu bahwa mimpi itu aneh, namun menyenangkan dan membahagiakannya.

Nah, akan bertemukah dua kakak beradik ini nantinya? Ke manakah gajah itu nantinya akan dibawa? Buku ini terlalu bagus untuk Anda lewatkan, bila Anda menyukai imajinasi yang sering melintasi benak anak-anak kecil. Yang jelas, Peter dikisahkan tak setengah-setengah berjuang menemukan Adele. Walau tak pernah dilihatnya, Peter menyayangi adiknya itu sepenuh hatinya. Perjuangan Peter ini, pada akhirnya membidikkan pertanyaan yang membongkar kesejatian pengharapan dan keyakinan kita akan sesuatu hal yang hendak kita gapai: Sudah sungguh-sungguhkah kita mengejarnya sejauh ini? ***

Sidik Nugroho, guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo yang menyukai cerita anak-anak
Malang, 30 November 2009

1.12.09

Hidup Enggan, Mati Enggak Nolak

: Sebuah refleksi berdasarkan film, bukan resensi film

Judul: The Sea Inside (Mar adentro)
Sutradara dan Penulis Skenario: Alejandro Amenábar
Aktor: Javier Bardem, Belén Rueda, Lola Dueñas
Asal/Tahun: Spanyol, 2004

Feby Indirani, seorang teman saya, menulis sebuah review film yang menarik di Multiply. Sebuah film tentang kehidupan dan kematian. Di akhir review-nya yang bernas itu ia menyatakan mungkin akan jatuh hati kepada tokoh utama di film itu. Sebab utamanya karena Ramon, tokoh itu, memiliki kearifan dan selera humor yang tinggi.

Review itu kemudian membuat saya mencari-cari film itu untuk mengisi waktu luang di akhir minggu yang sering saya lalui sendirian. Saya sedang perlu film yang menghadirkan renungan yang subtil. Dan saya merasa, mungkin ini filmnya. Saya benar-benar penasaran dengan sosok Ramon: Seorang pria yang lumpuh, namun disukai banyak wanita. Bagaimana bisa?

Ramon Sampedra, mantan pelaut yang sudah berkeliling dunia sejak berusia 19 tahun, suatu ketika mengalami kecelakaan yang bisa dibilang memilukan, sekaligus menggelikan. Bagaimana tidak, sebagai seorang pelaut yang tentunya berpengalaman menerka kedalaman pantai, ia bisa saja menghindari kecelakaan itu. Namun, inilah yang justru terjadi: ia terjun bebas dari sebuah gundukan tanah yang cukup tinggi di tepi pantai, padahal pantai itu tak cukup dalam; kepalanya membentur dasar pantai dengan cukup kuat, lehernya patah seketika.

Selama 28 tahun setelah kecelakaan itu ia menghabiskan waktu berbaring di tempat tidur, mendengarkan siaran radio, menonton televisi, dan menulis dengan menggunakan mulut. Ia tampak murah senyum dan rileks menjalani hidup, walau akhirnya ia bosan dengan apa yang dihadapinya. Ia kemudian mengajukan diri untuk disuntik mati.

Pengajuan ini membawanya bertemu dengan Julia, seorang pengacara yang memiliki sakit lumpuh di kaki. Berbeda dengan Ramon yang selalu tampil penuh senyum di tiap kesempatan, Julia adalah sosok yang muram. Pertemuannya dengan Ramon mengubah hidupnya. Ia mendapatkan penghiburan dalam beban yang menghimpit hidupnya. Upayanya berjuang sebagai pengacara yang hendak memperjuangkan pengajuan Ramon disuntik mati jadi setengah-setengah. Ia lebih menyukai kebersamaannya dengan Ramon, daripada harus berjuang secara hukum agar Ramon bisa disuntik mati.

Apa yang Ramon perjuangkan akhirnya mendapat perhatian media. Televisi meliput kabar tentang dirinya. Seorang wanita lain, Rosa namanya, yang tinggal tak jauh dari rumah Ramon, datang menjenguknya. Rosa seorang ibu dua anak yang telah ditinggal suaminya, bekerja sebagai seorang penyiar radio. Seperti Julia, Rosa merasa aman dekat Ramon. Hadiah pertamanya buat Ramon adalah sebuah lagu romantis yang diputarnya lewat radio ketika ia sedang membawakan acara.

Julia dan Rosa selalu datang dalam kehidupan Ramon. Bahkan, konon, ada lima atau enam wanita yang memberi perhatian khusus buat Ramon dalam kehidupan Ramon yang sebenarnya. Di film ini, mereka disederhanakan menjadi dua. Dari setiap pembicaraan Ramon dengan mereka, juga dengan keluarganya, Ramon tetap kukuh dengan niatnya: disuntik mati. Ramon menganggap hidup adalah hak, bukan kewajiban. Keluarganya sangat menentang hal ini, terutama abangnya.

Sisi lain yang sebenarnya tak dapat dipungkiri Ramon adalah keberadaan harapan dalam hati kecilnya -- harapan untuk sembuh. Harapan itulah yang kemudian membuatnya berimajinasi dengan indah. Dalam film ini, ditunjukkan paling tidak dua kali, harapan Ramon yang akan disukai para penonton. Pertama adalah ketika Ramon mengimajinasi dirinya bisa terbang. Ia membayangkan dirinya keluar dari jendela kamarnya, terbang dengan laju melintasi perbukitan yang hijau di sekitar rumahnya. Dan mengakhirinya di pantai, sambil menyaksikan debur ombak dan merasakan angin laut menerpa tubuhnya.

Kedua adalah harapannya bercinta dengan Julia. Dalam suatu kunjungan Julia, Ramon menyatakan ia menyukai bau air laut yang kadang sampai ke kamarnya. Selain itu ia juga menyukai -- bahkan selalu mengingat -- parfum yang dipakai Julia. Julia kesengsem mendengarnya; dan ia bertanya apa saja yang Ramon akan lakukan seandainya Ramon tidak sakit dan Julia ada di sisinya. Ramon dengan lembut menyatakan apa-apa saja yang akan dilakukannya. Dan itu membuat Julia mabuk kepayang.

Tapi Ramon tak bisa terbang; dan ia tak bisa bercinta sepenuhnya dengan wanita. Karena itulah, saat atau kenangan yang paling sering melintasi benaknya adalah saat kepalanya membentur dasar pantai 28 tahun lalu itu. Ia berharap tak ada orang yang menyelamatkannya lagi. Ia berharap terbenam di dasar lautan dan menghadap Sang Khalik. Harapan itulah yang menjadi pemupus harapannya yang lain untuk terus hidup. Ramon menjadi sosok yang hidup dalam keputusasaan, namun bukan dengan semboyan "hidup enggan, mati tak mau". Ia lebih memilih "hidup enggan, mati enggak nolak".

Ketika merenungkan ketahanan dan kesabaran hidup Ramon selama 28 tahun, saya jadi teringat sebuah film lain yang sudah saya tonton berulang-ulang. Sebuah film tentang harapan juga -- harapan untuk bebas dan merdeka. Shawshank Redemption judulnya.

Shawshank Redemption mengisahkan kehidupan para napi kelas berat di penjara Shawshank. Dua orang napi, Red dan Andy, bersahabat dalam film ini. Red pernah menyatakan kalau Andy jangan berharap bebas. Andy merasa harus terus berharap, apalagi mengingat sebuah fakta bahwa ia ada di Shawshank karena sebuah kesalahan: Andy bukan pembunuh istrinya, sementara ia didakwa atas tuduhan membunuh istrinya.

Andy yang memupuk harapannya selama bertahun-tahun mendapatkan buah yang adil. "Harapan adalah sesuatu yang baik, bahkan mungkin sesuatu yang terbaik. Dan segala sesuatu yang baik tidak akan pernah punah," katanya di dalam sebuah surat kepada Red.

Andy adalah sebuah tokoh fiktif, ciptaan Stephen King. Sementara Ramon adalah tokoh yang nyata. Andy dan Ramon sama-sama terbelenggu -- satu oleh penjara, satu oleh kelumpuhan. Dua-duanya juga sama-sama menyukai pantai. Menjelang akhir kedua film itu, dikisahkan Andy menyukai pantai di daerah Zihuatanejo di Mexico, sementara Ramon menyukai pantai di daerah Boiro, Galicia, di Spanyol. Pantai-pantai yang indah.

The Sea Inside telah berhasil mendatangkan perenungan yang penting akan hakikat hidup. Sosok Ramon yang selalu tampil begitu santai sebenarnya merupakan gambaran jiwa yang berani. Ia tak tampil seperti, misalnya, William Wallace dalam Braveheart yang selalu bertempik-sorak, namun keyakinannya bahwa hidup adalah sebuah hak yang berharga begitu kuat terpancar dari wajah dan ekspresinya. Itulah yang membuatnya disukai orang-orang, terutama para wanita yang menawarkan diri untuk menemani dia dan mendengarkan apa saja darinya.

Mungkin kita tidak sepakat dengannya bahwa penderitaan yang terlampau berat harus diakhiri dengan kematian sebelum waktunya atau bunuh diri. Namun, Ramon memiliki banyak alasan yang cukup kuat -- logis dan manusiawi, tidak mengada-ada -- untuk melakukannya. Dan itulah yang menjadi cermin bagi kita yang tak lumpuh seperti Ramon saat ini: Berapa banyak alasan yang cukup kuat bagi kita untuk terus bertahan dan melanjutkan hidup ini?

Sidik Nugroho
Malang, 30 November 2009

Catatan: Review oleh Feby Indirani bisa dilihat di sini.