13.12.09

Perang di Mata Anak-anak

Judul: Lakposhtha parvaz mikonand (Turtles Can Fly)
Sutradara dan Skenario: Bahman Ghobadi
Aktor: Soran Ebrahim, Avaz Latif, Saddam Hossein Feysal, Hiresh Feysal Rahman, Abdol Rahman Karim, Ajil Zibari
Tahun: 2004

Saya mengira sedang menyewa sebuah film anak-anak yang lucu. Judulnya menarik: Turtles Can Fly. Ketika menontonnya, segera saya menyukai Satellite, tokoh utama di film ini yang sangat ceriwis, penuh semangat, dan ambisius. Dan ketika menyimaknya terus, karakter Satellite yang terkesan kocak itu sangat kontras dengan apa yang hendak disampaikan film ini. Film ini menampilkan simbol-simbol kedukaan yang dalam dan pedih tentang negeri yang tak luput dirundung perang.

Turtles Can Fly adalah sebuah film asal Irak yang berusaha memotret kehidupan anak-anak yang menjadi pengungsi pada masa Saddam Husein ditangkap. Kisahnya fiktif, namun berdaya-gugah luar biasa. Kisahnya berpangkal pada seorang anak yang dijuluki Satellite oleh orang-orang di sekitarnya, yang sehari-harinya bekerja sebagai pengumpul ranjau. Ia dijuluki demikian karena tampak mahir pada hal-hal yang berhubungan dengan teknologi.

Ranjau-ranjau yang dikumpulkan di tempat tinggal anak itu -- yakni di sebuah tempat pengungsian -- sangatlah banyak. Hampir tiap hari Satellite mengerahkan puluhan anak untuk bekerja memungut ranjau-ranjau itu. Ranjau-ranjau itu sangat berbahaya. Bila diinjak bisa meledak -- bisa bikin kaki lumpuh atau buntung.

Sebuah bagian yang menarik dari film ini adalah kisah tentang kehadiran seorang anak kecil yang belum genap berusia tiga tahun. Ia datang bersama dua kakak-beradik. Seorang dari mereka adalah lelaki kecil yang tak punya dua tangan. Yang seorang lain adalah wanita, adik laki-laki buntung itu; ia selalu memasang wajah muram. Sementara anak kecil ini bukan siapa-siapa mereka berdua. Mereka menemukannya sedang merintih perih waktu pasukan Amerika sedang membombardir sebuah perumahan penduduk Irak. Oleh kemurahan hati kedua kakak-beradik itu, akhirnya si anak kecil turut dibawa ke mana-mana.

Suatu ketika si anak kecil terjebak di antara beberapa ranjau di sekitarnya. Adegan yang menegangkan pun disuguhkan: Satellite akan menolong anak itu. Ia berteriak-teriak memohon anak itu agar tak bergerak sedikit pun, karena sebuah ranjau yang ada di dekatnya dapat menghabisi nyawanya, satu kali saja ia salah injak. Saat ia berteriak-teriak, beberapa anak yang lain pun menangis pilu. Ranjau yang membahayakan itu, ya, sekali lagi, salah terinjak sedikit saja, meledaklah dia. Dan... darrr! Ranjau itu meledak, lalu menghantam kaki Satellite.

Anak-anak sebenarnya menakuti perang, walau mungkin mereka suka menonton film perang. Turtles Can Fly menyingkapkan dengan telak bagaimana sebuah perang mengubah kehidupan jiwa anak-anak. Penulis naskah (sekaligus sutradara) film ini patut diacungi jempol. Film ini menghadirkan berbagai adegan lucu, yang, namun, di balik semua kelucuan itu tersimpanlah duka yang mendalam akibat kehilangan, kelaparan, dendam dan peperangan.

Satellite yang menyukai Amerika dengan segala atributnya (ia suka sekali berbahasa Amerika, bergaya seperti orang Amerika, dan menyukai tokoh-tokoh film Amerika) suatu ketika harus melepas segala junjungannya terhadap Amerika ketika intervensi Amerika terhadap kondisi politik di Irak semakin besar. Patung Saddam akhirnya ditumbangkan, dan seorang sahabatnya membawakan bagi Satellite sebuah kaki Saddam yang patah. Sahabatnya itu berkata kalau kaki itu akan mahal bila dijual. Satellite memandang wajah sahabatnya dengan aneh. Ya, ia sendiri baru saja nyaris kehilangan kakinya akibat ledakan ranjau!

Karena ini film berlatar suasana dan waktu perang, maka tentu ada kematian di dalamnya. Satellite pada akhirnya harus merelakan hatinya tercabik-cabik ketika melihat beberapa kematian yang mengerikan dalam hidupnya. Emosi yang terpantik dalam benak saya ketika melihat film ini, membuat saya mengingat sebuah film lain yang berjudul Mean Creek, yang mengisahkan tentang beberapa anak remaja yang pada akhirnya harus menemukan sebuah kenyataan pedih ketika mereka dihadapkan pada sebuah kematian teman mereka.

Tunas-tunas muda, jiwa yang selalu ingin merdeka, yang direnggut oleh maut dari kehidupan ini akibat kebengisan para penguasa, itulah salah satu dampak terburuk sebuah perang. Masa yang seharusnya dilalui dengan keceriaan berganti dengan kemuraman. Anak-anak akan tetap menjadi anak-anak, di mana pun mereka berada di dunia ini. Dan inilah wajah anak-anak yang harapannya bisa pupus seketika akibat berbagai ranjau bernama peperangan. Tawa mereka akan jadi sebuah kenangan yang paling dirindukan di seantero negeri, menjadi inspirasi bagi nyanyian-nyanyian perdamaian, dan kiranya menghantui mimpi-mimpi para penguasa haus darah.

Nah, jadi apa makna judul Turtles Can Fly? Jikalau kura-kura dapat terbang di dalam air, melihat matahari ketika mereka ingin menyembul ke permukaan, maka -- duhai para penguasa! -- para anak-anak ini tak bisa selamanya ditenggelamkan dalam danau berdarah akibat ranjau yang selalu terpasang dan senjata yang selalu terangkat! Turunkan senjata, buang semua ranjau, dan biarkan kami -- para anak-anak -- ini terbang, seperti kura-kura menyambut mentari pengharapan.

Yah, kira-kira, mungkin begitu maksud judul film ini.

Sidik Nugroho
13 Desember 2009

No comments: