Judul Buku: Gajah Sang Penyihir (The Magician's Elephant)
Penulis: Kate DiCamillo
Ilustrasi: Yoko Tanaka
Penerjemah: Dini Pandia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: September, 2009
Tebal buku: 148 halaman
Peter Augustus Duchene adalah pria kecil yang malang. Dibesarkan di sebuah apartemen kumuh oleh Vilna Lutz, seorang mantan tentara tua yang suka membentak-bentak dan menyuruh-nyuruh, hidupnya terkesan muram. Sampai suatu ketika ia melihat seorang peramal, dan tertarik membayarkan satu florit untuk mendengar apa kata peramal itu. Padahal, seharusnya ia memakai satu florit itu untuk membeli ikan dan roti, seperti yang disuruhkan Vilna kepadanya.
Peramal itu, oleh Peter ditanyai sebuah hal yang paling meresahkan batinnya: apakah adiknya yang bernama Adele masih hidup? Jawaban yang diberikan sang peramal mengagetkannya: Adele masih hidup. Dan untuk menjumpai Adele, si peramal berkata: "Kau harus mengikuti gajahnya... gajah betina itu akan membawamu ke sana."
Harapan dalam diri Peter tersulut. Ia gembira, sekaligus bimbang dan bingung. Bagaimana tidak? Seekor gajah akan membawanya kepada Adele? Yang benar saja --gajah dari mana? Selain itu, Vilna Lutz tua yang sakit-sakitan itu, yang mengaku sebagai sahabat ayah Peter, menyatakan bahwa ramalan itu palsu. Sejak Peter hidup dengannya, Vilna telah menjejalkan kisah hidupnya yang lain: bahwa ayah Peter dulu adalah tentara yang hebat seperti dirinya, dan ia tak punya saudara lagi. Peter bahkan dilatih tiap hari dengan pelajaran seputar ketentaraan agar dapat menjadi tentara yang baik suatu ketika.
Namun, dengan cara yang ajaib, gajah itu benar-benar muncul, meresahkan segenap penduduk kota Baltese. Datangnya tak terduga pada sebuah acara yang digelar seorang penyihir. Penyihir itu, awalnya hendak membuat kejutan dengan menghadirkan hanya sebuket bunga lili dengan kemampuan sihirnya. Tak dinyana, ketika sihirnya ia mainkan, dari atas atap gedung opera seekor gajah yang besarnya bukan kepalang turun di tengah-tengah hadirin!
Gajah itu membuat remuk kaki seorang bangsawan bernama Madam LaVaughn. Ia harus duduk di kursi roda karena kecelakaan itu. Berita kedatangan gajah pun menyebar di seantero kota Baltese. Peter pun mendengarnya -- harapannya menemukan titik terang.
Dengan bantuan seorang polisi berbadan kecil bernama Leo Mattiene yang murah hati, seorang tukang batu pemberani yang suka tertawa sendiri bernama Bartok Whynn, Madam La Vaughn dan pelayannya yang bernama Hans Ickman, maka pencarian Peter akan Adele pun menjadi kisah yang menarik.
Kisah yang digarap Kate DiCamillo ini agak berbeda dari beberapa bukunya yang sebelumnya. Sebelum ini ia telah menulis beberapa cerita anak (yang juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Gramedia): The Tiger Rising, The Miraculous Journey of Edward Toulane, Because of Winn Dixie dan The Tale of Desperaux. Dua yang terakhir disebut sudah difilmkan. Bedanya adalah, baru ini Kate DiCamillo mengangkat hal berbau sihir dalam ceritanya. Ya, tetap juga ada kesamaan: tokoh berupa binatang tetap tampil sebagai tokoh dominan dalam bukunya kali ini. Namun, kisah-kisah di buku-bukunya yang sudah-sudah lebih banyak dibumbui dengan tema persahabatan, keluarga, atau kepahlawanan.
Apa pun tema yang digarap oleh Kate selalu menarik diikuti hingga tuntas, termasuk yang dilakukannya kali ini. Ini tak lain karena ia adalah seorang penulis yang berdedikasi penuh untuk menulis cerita anak-anak. Dalam sebuah wawancara ia mengaku menulis dua halaman dari hari Senin sampai Jumat sebelum bekerja di toko buku. Tulisan-tulisannya senantiasa tertutur rapi dan tak menjemukan. Ia pernah mendapatkan Newbery Medal, sebuah penghargaan untuk buku cerita anak-anak terbaik untuk bukunya The Tale of Desperaux.
Buku The Magician's Elephant merangkum kecerdasan Kate DiCamillo bercerita: runut, imajinatif, dan kaya akan frasa yang disebutkan beberapa kali untuk membentuk imajinasi pembaca agar menyelami situasi yang sedang terjadi di kota Baltese. Baltese adalah sebuah kota yang tak ada di belahan dunia mana pun -- sebuah negeri antah-berantah. Dalam sebuah wawancara lain, Kate menyebutkan setelah ia selesai menggarap bukunya ini, ia menonton sebuah film yang berlatar kota Bruges di Belgia. Ia menyatakan kota itu, Bruges, mirip dengan Baltese yang ia ciptakan.
Untuk melukiskan Baltese, juga para tokoh, dan situasi penting yang terjadi di sepanjang cerita, beruntunglah Kate mendapatkan Yoko Tanaka. Yoko, walau hanya mengandalkan nuansa hitam-putih dalam membuat ilustrasi, mampu mewakili imajinasi yang awalnya ada pada Kate. Gambar-gambar yang dibuatnya hampir semuanya terkesan muram. Ini mewakili situasi kota Baltese yang selalu mendung, namun tak kunjung disiram salju atau hujan.
Salah satu ilustrasi yang menarik adalah gambar yang dibuat Yoko ketika melukiskan sebuah kamar Rumah Yatim-Piatu Susteran Cahaya Abadi (halaman 56). Kamar tidur itu berlangit-langit tinggi dan artistik. Di sana ada 14 tempat tidur yang semuanya ditiduri oleh anak-anak yang sedang lelap, kecuali sebuah tempat tidur. Seorang gadis kecil terjaga di tempat tidur itu, duduk di tepi tempat tidurnya. Rambutnya yang dikepang dua dengan lucu, membuat kita yang mengamatinya ingin memeluknya. Dialah Adele, adik Peter yang di suatu malam resah tak bisa tidur akibat mimpi yang baru saja dialaminya.
Mimpi Adele hadir dalam tidurnya, bagai membawa harapan yang ada di benak Peter, abangnya, untuk bertemu dengannya. Namun, Adele yang masih belum genap tujuh tahun dan tidak tahu dengan lengkap jati-dirinya hanya bisa meraba-raba apakah mimpi itu akan mengubah hidupnya. Ia hanya tahu bahwa mimpi itu aneh, namun menyenangkan dan membahagiakannya.
Nah, akan bertemukah dua kakak beradik ini nantinya? Ke manakah gajah itu nantinya akan dibawa? Buku ini terlalu bagus untuk Anda lewatkan, bila Anda menyukai imajinasi yang sering melintasi benak anak-anak kecil. Yang jelas, Peter dikisahkan tak setengah-setengah berjuang menemukan Adele. Walau tak pernah dilihatnya, Peter menyayangi adiknya itu sepenuh hatinya. Perjuangan Peter ini, pada akhirnya membidikkan pertanyaan yang membongkar kesejatian pengharapan dan keyakinan kita akan sesuatu hal yang hendak kita gapai: Sudah sungguh-sungguhkah kita mengejarnya sejauh ini? ***
Sidik Nugroho, guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo yang menyukai cerita anak-anak
Malang, 30 November 2009
No comments:
Post a Comment