29.3.09

Segera Memulai, Lalu Menata

Pengantar

Puji Tuhan, kali ini rasanya perlu dengan tepukan di dada tiga kali sambil memandang cermin saja, juga sujud tiga kali semenit: tulisanku masuk lagi di koran. Yap, dalam sebulan, tiga kali masuk koran!

Kali ini yang masuk adalah artikel kepenulisan/sastra di Ruang Baca Koran Tempo. Aku membahas tentang proses menulis para penulis. Aku berterima kasih untuk Feby Indirani yang telah memberitahu aku alamat e-mail Pak Purwanto Setiadi. Terima kasih juga untuk Pak Purwanto Setiadi yang telah meloloskan tulisanku.

Terakhir, terima kasihku kepada seorang sahabat lama: Albert Alexander. Dengan kebaikan hatinya yang besar, dia membelikan aku Koran Tempo yang beredar di Jakarta, yang masih bersuplemen Ruang Baca, lalu akan mengirimkannya buatku. Di Malang, suplemen Ruang Baca tidak dilampirkan lagi.

Ruang Baca bisa ditilik online: www.ruangbaca.com. Tapi, waktu aku menulis ini, Ruang Baca belum di-update, masih yang bulan Februari. Jadi, aku posting di sini artikel itu dalam versi awal -- biasanya editor koran mengubahnya sedikit-sedikit sebelum dimuat.

Demikian pengantarku. Selamat menyimak. Oya, artikel ini kubuat pertama-tama untuk teman-teman Forum Penulis Kota Malang (FPKM). Selanjutnya, juga untuk Anda. ***

Segera Memulai, Lalu Menata

Memulai dengan Sederhana

"Saya tidak pernah memutuskan untuk menjadi penulis. Pada awalnya saya tidak berharap mendapatkan nafkah dengan dibacanya karya saya. Saya menulis sebagai seorang anak yang gembira ketika memahami hidup lewat pikiran saya...," demikian Nadine Gordimer berujar ketika menerima anugerah Nobel Sastra.

Ia menulis sejak kecil, berusaha memetakan apa yang ia lihat, cium dan rasa dalam berbagai hal, hingga suatu ketika cerita pertamanya diterbitkan saat berusia 15 tahun.

Beberapa orang menemukan panggilan hidupnya ketika mereka memulai sesuatu yang mengasyikkan. Begitu sederhana. Mereka tak menunggu mimpi, penglihatan supernatural, atau bisikan magis di telinga rohani mereka. Mereka, seperti Nadine Gordimer: memulai, menekuni, lalu menemukan keajaiban di kemudian hari.

Sayangnya, mungkin beberapa dari kita kadang abai terhadap kesederhanaan. Saya mengenal seorang yang mengaku kutu buku, suka membeli banyak buku, suka pergi ke perpustakaan untuk membaca buku; tapi banyak bukunya yang sudah ia beli tidak dijamah-jamah, apalagi tuntas terbaca.

Dalam konteks proses kreatif, keadaan di muka rasanya dapat menjadi cermin para pekerja kreatif: mungkinkah kita juga kadang terlalu sibuk dalam memikirkan banyak hal untuk kreasi yang kita buat -- seperti teman saya yang mengaku doyan buku tapi tak tuntas-tuntas membaca buku itu -- tapi tanpa melakukan suatu langkah kreatif apa pun? Segalanya jadi rumit kalau sudah begini.

Inspirasi datang ketika kita mau memulai sesuatu, bukan hanya berpangku tangan dan murung merenung. Mari kita mulai berkarya. Sejelek apa pun karya kita, dan apa pun bentuknya, kita semua memiliki peluang untuk menemukan keajaiban dari karya itu. Nah, berkaitan dengan hal-ihwal di atas, yang kemudian menjadi persoalan utama dalam berkarya adalah tentang kesegeraan memulai. Seringkali penulis muda bingung: kapan aku harus mulai menulis?

Pembelajaran dari Beberapa Penulis

John Steinbeck, yang dipuja-puja karena keberhasilan novelnya The Grapes of Wrath yang memenangkan penghargaan bergengsi Pulitzer, mempunyai kebiasaan menulis yang sangat menarik.

Pagi hari, begitu bangun tidur, ia langsung bergegas menuju meja kerjanya. Apa pun pikiran yang melintas di kepalanya untuk dituliskan di pagi itu, ia tulis saja. Ia tulis dan tulis, tanpa mempertimbangkan akan jadi apa karya itu. Itu bisa sebuah karya baru, sebuah halaman atau episode lanjutan dari novel yang sedang dibuatnya, atau apa saja. Intinya, ia segera memulai, tanpa banyak pertimbangan.

Kemudian, ia istirahat, lalu membersihkan diri. Setelah mandi, ia duduk lagi di meja kerja yang sama, menghadapi tulisan yang tadi telah dibuatnya, menata lagi tulisan yang dibuatnya itu menjadi tulisan yang baik.

Penulis lain, Stephen King, dalam memoarnya yang terkenal On Writing mengulas secara gamblang kebiasaan atau proses kreatifnya dalam menulis novel-novelnya. Salah satunya adalah yang ia sebut-sebut dengan istilah Pintu Tertutup dan Pintu Terbuka. Pintu Tertutup adalah suatu kerja menulis di mana kita benar-benar mengasingkan diri. Ia menyarankan agar bila perlu kita mengunci kamar, menutup semua korden -- intinya memutuskan semua hubungan dengan dunia luar. Garap novelmu tiap hari, menulislah sebanyak-banyaknya dalam Pintu Tertutup itu, begitu kurang lebih King berpesan.

Terkait dengan konsistensi dalam istilah Pintu Tertutup King ini, setiap orang dapat berbeda pandangan dan kebiasaan. Kate DiCamillo, pemenang penghargaan Newbery Medal untuk bukunya The Tale of Desperaux tampak santai, tidak ngoyo. Kalau King bersaksi bahwa ia akan menggarap novelnya tiap hari tanpa istirahat -- dan menganjurkan kita beristirahat hanya sehari dalam seminggu serta menggarap naskah kalau bisa belasan atau puluhan halaman tiap hari -- DiCamillo menggarap novelnya dua halaman sehari dari hari Senin sampai Jumat. Ia melakukannya pada waktu subuh sebelum berangkat kerja di toko buku.

Ya, tiap pengarang memiliki kebiasaan berbeda dalam hal di atas karena, mungkin, sedikit banyak, hal itu dipengaruhi oleh jenis, bentuk dan tebal-tipisnya karya yang mereka buat. Yang penting dalam penerapan konsistensi ini adalah keyakinan yang selalu ada dalam benak penulis bahwa ia sedang membuat sesuatu yang benar-benar layak untuk dibaca, paling tidak untuk menghargai dirinya sendiri, seperti yang pernah diucapkan oleh Toni Morrison, bahwa jikalau kita tidak menemukan sebuah buku yang ingin kita baca, maka sebenarnya diri kitalah yang seharusnya membuat buku itu. Kerap jadi kendala, dalam soal keyakinan ini, adalah kebimbangan yang menghinggapi benak penulis ketika berada di tengah-tengah proses pembuatan karyanya. Akmal Nasery Basral, penulis novel Imperia, dalam sebuah bincang-bincangnya dengan saya di kota Malang pernah menyatakan, "Mengawali novel dengan keyakinan bahwa apa yang akan kita tulis adalah sesuatu yang luar biasa itu pasti terjadi pada diri tiap penulis. Kita bersemangat dibuatnya. Namun, apakah keyakinan itu tetap ada ketika kita sedang menggarap novel tersebut di tengah jalan, itu soal lain -- itu butuh perjuangan tersendiri."

Kemudian, begitu tiba waktunya menulis novel selesai, King menyarankan agar kita istirahat selama beberapa hari atau minggu. "Tutup novelmu, jangan sentuh sama sekali," katanya. Ia bahkan bercerita, pernah memanfaatkan waktu-waktu istirahat ini dengan menggarap novel pendek lainnya. Salah satu yang terkenal adalah The Girl Who Loved Tom Gordon. Tujuan istirahat ini, paling tidak akan membuat kita sanggup untuk merenungi kembali tujuan kita menulis novel, sambil mengumpulkan kembali gagasan-gagasan hebat yang jadi pemantik kita dalam menuliskan karya tersebut, dan yang paling utama adalah merehatkan pikiran yang suntuk setelah sekian waktu berjuang menghasilkan sebuah karya.

Setelah istirahat itu, mari kita tilik lagi karya yang sudah kita buat. Inilah saat-saat di mana kita kemudian hidup dalam Pintu Terbuka. Di sini perlu kita berbenah, menata segalanya jadi lebih baik. Ia menyarankan bahwa yang lebih perlu dilakukan bukan menambah-nambahi halaman novel, tapi sebaliknya: memangkas bagian-bagian tak penting. Kita juga bisa belajar dari Leo Tolstoy dalam hal ini. Sempat dikisahkan bahwa novel Anna Karenina karyanya dieditnya berkali-kali. Ini terjadi karena ia selalu butuh mengubah apa yang telah ditulisnya. Konon ada yang mengatakan hingga lebih dari seratus kali ia mengeditnya. Bukankah ini menjadi bukti bahwa penulis besar pun kadang dapat memulai segala sesuatu dengan tidak sempurna?

Segera Memulai

Selama ini, hal yang terbalik mungkin dijalani oleh sebagian dari kita -- terutama yang dijuluki perfeksionis. Dalam membuat segala sesuatu, kita ingin segenap proses yang ada di dalamnya berjalan sempurna. Ya, moga-moga beberapa penulis hebat yang saya sebut di atas bisa jadi teladan bagi kita untuk tidak selalu harus mengawali segala sesuatu dengan sesempurna mungkin. Memang ada penulis yang sekali berkarya, ia langsung memberi dampak dan pengaruh yang luar biasa, dan kemudian lenyap bagai ditelan bumi. Contohnya adalah Harper Lee, yang mendapatkan Pulitzer untuk novelnya To Kill a Mockingbird, karya pertama dan terakhirnya. Karyanya itu hingga kini masih dipelajari, dan dianggap sebagai novel yang berpesan moral amat tinggi -- utamanya dalam soal saling memahami dalam hubungan antar-manusia.

Namun sayangnya, tidak banyak orang yang, meminjam puisi Chairil Anwar, "Sekali berarti. Sudah itu mati."

Melihat keragaman proses kreatif para penulis tadi, kembali kita merenungi lagi persoalan awal yang jadi pembahasan utama di tulisan ini. Apa yang kita anggap sempurna di suatu waktu, nyatanya bisa kita anggap tak ada apa-apanya di kemudian hari, setelah pembelajaran kita makin banyak, dan wawasan kita makin luas.

Bahkan, nyatanya juga, jikalau kita ada dalam suatu proses hendak menghasilkan suatu karya selalu ingin selalu sempurna, seringkali kita tidak memulai-mulainya. Memang, awal yang sempurna dan akhir yang sempurna itu luar biasa hebat. Namun, bukankah hidup ini tak selalu berjalan sempurna? Awal yang kacau tapi berakhir sempurna, saya yakin jauh lebih baik daripada tidak memiliki awal sama sekali akibat selalu ingin mengawali segala sesuatu dengan sempurna.

Selamat memulai, selamat berkarya!

Sidik Nugroho, penulis lepas dan guru SD Pembangunan Jaya 2
http://tuanmalam.blogspot.com

27.3.09

Tentang Resensi yang Dimuat Jawa Pos

Tentang resensi yang dimuat di Jawa Pos minggu lalu, cukup banyak teman yang mengucapkan selamat dan pujian. Yang aku senangi dan tak terduga, ada seorang ibu yang tertarik ingin belajar menulis resensi buku. Ibu ini ingin belajar menulis, tapi tidak show-up, seperti yang ia sebut dalam e-mailnya yang kulampirkan di bawah. Ini korespondensi kami. Semoga secuil pengisahan proses kreatif ini bisa bermanfaat.

***

E-mail dari Ibu itu:

Pak, apa yang perlu diketahui pertama kali agar bisa menulis resensi buku? Jok (jangan) di jawab beli bukunya dulu & dibaca lo ya, kalo itu ya dah pastilah... Saya pingin bisa, pingin belajar tentang tulis menulis, tapi belajarnya tdk show up... Kalo pak sidik tdk keberatan jawab... thanks banget....

***

Jawaban saya:

Bu,

Terima kasih sudah mau sharing. Untuk menulis resensi, sebenarnya tidak ada panduan khusus. Apalagi sekarang pola resensi sangat dinamis, tidak banyak mengikuti aturan (dalam hal ini bentuk atau isi) model lawas. Kebetulan, saya dulu baca bukunya Daniel Samad berjudul Dasar-dasar Meresensi Buku. Buku itu cukup membantu. Ada beberapa contoh resensi buku di buku itu: dari nonfiksi hingga fiksi.

Namun, hal yang justru paling penting adalah belajar dari para resensor yang karya-karyanya sudah sering dimuat di media massa -- saat ini. Saya kemarin bolak-balik belajar dari Hernadi Tanzil (http://bukuygkubaca.blogspot.com) dan Nur Mursidi (http://etalasebuku.blogspot.com). Saya tidak minta arahan dari mereka, ya... cuma menyimak blog mereka gitu. Saya perhatikan aspek-aspek apa yang biasa mereka sampaikan dalam resensi buku -- bisa kelebihan-kekurangan buku, tema yang diangkat, kualitas bahasa/tata-bahasa, latar belakang penulis, target pembaca, dan lain-lain.

Kemudian saya tentukan buku untuk diresensi. Saya ambil buku yang saya rasa bisa saya resensi. Dalam hal ini saya menilik kemampuan saya. Untuk latihan, saya tidak mungkin ambil buku tentang filsafat, politik, atau apa pun jenis yang di luar minat atau kemampuan saya. Saya pun tidak langsung beli buku baru. Saya latihan meresensi buku lawas. Kalau Ibu lihat di blog saya (http://tuanmalam.blogspot.com) ada beberapa buku lawas yang saya jadikan ajang latihan menulis resensi. Begitu saya merasa resensi saya sudah cukup bagus, saya memberanikan diri menulis resensi buku baru, lalu mengirimkannya ke koran. Eh, ndilalah kok ya dimuat, hehehe....

Begitulah, Bu. Semoga bisa membantu. Kalau ada yang mau ditanyakan, silahkan menghubungi lagi. Saya akan jawab semampu dan sesempat saya.

Salam,
Pak Sidik

22.3.09

Lagi, Tulisanku Masuk Jawa Pos

Ya, lagi, tulisanku masuk Jawa Pos, Minggu, 22 Maret 2009. Ini kali kedua. Puji Tuhan, aku senang sekali. Kali ini yang masuk adalah resensi buku. Untuk pengalaman ini aku mengucapkan terima kasih kepada pertama-tama, Arie Saptaji, yang dulu -- kini dia agak jarang menulis resensi lagi -- resensi-resensi filmnya selalu kusimak. Kedua, Wawan Eko Yulianto, teman sharing soal perbukuan-kepenulisan yang juga sering menulis resensi. Ketiga, dua teman di dunia maya: Hernadi Tanzil dan Nur Mursidi, yang resensi-resensinya sering aku baca dan pelajari.

Terima kasih juga buat Pak Arief Santosa dan Taufik Lamade, dua redaktur di Jawa Pos yang sudah meloloskan resensi ini.

Ini resensinya. Selamat menyimak!

+++

Kasih Sepanjang Jalan, Mukjizat Sejauh Doa

Judul buku: Ma Yan
Penulis: Sanie B. Kuncoro
Penerbit: Bentang Jogjakarta
Cetakan: I, Januari 2009
Tebal: viii + 254 halaman
---

TAHUN lalu Tiongkok sukses besar menjadi tuan rumah olimpiade. Mata dunia terbelalak ketika pesta skala dunia itu tergarap apik nan gemilang. Namun, negara mahabesar itu masih menyimpan warga yang hidup dalam penderitaan dan kelaparan. Masih ada sebuah desa, Zhangjiashu namanya, yang di abad 21 ini membawa kisah perjuangan sebuah keluarga yang layak nian untuk dihayati.

Ma Yan, gadis beranjak remaja di Desa Zhangjiashu, suatu ketika dimarahi habis-habisan oleh ibunya karena gagal dalam ujian bahasa Tiongkok, mata pelajaran terutama di sekolahnya. ''Setelah semua kerja keras yang kita lakukan, hanya inikah hasilmu?'' tanya ibunya dengan sengit.

Ibunya kemudian memarahi dia dengan kata-kata yang bagi Ma Yan cukup pedas di telinga. ''Kalimat-kalimat kemarahan ibu, alangkah tajamnya, barangkali lebih tajam dari pisau pengerat daging terkeras sekalipun,'' cerita Ma Yan.

Dalam kekesalannya, sang ibu sempat berujar kalau Ma Yan sebenarnya tak layak mendapat roti buatan ibunya. Nilai ujian Ma Yan tak sebanding dengan pengorbanan ibunya. Namun, tak terduga, ibunya malah bersikap lain tak lama setelah amarah besar itu. Diam-diam, lewat bibi Ma Yan, ibunya mengirimkan beberapa buah donat yang nikmat, dan baju hangat untuk melindungi Ma Yan dari hawa dingin.

Ketika melihat donat dan baju hangat itu, Ma Yan tak kuasa menahan diri dari tangis. Betapa besar kasih seorang ibu. Anak yang benar-benar dimarahi, benar-benar disayangi pula!

Kisah-kisah yang menyentuh seperti di atas menghiasi banyak halaman novel ini. Hanya saja, hampir selalu dilampiri dengan khotbah tentang hakikat hidup dan perjuangan meraih mimpi oleh penulisnya. Itulah yang sedikit mengganggu, sehingga iming-iming di sampul belakang buku yang menyatakan bahwa ''novel ini akan membuat Anda berurai air mata'', terkesan sedikit berlebihan. Kita tampaknya --tentunya tanpa sengaja dilakukan oleh penulis-- diberi ruang terbatas untuk tenggelam dalam imaji yang penuh, karena muatan yang hampir sama besar dengan jalinan kisah di sepanjang buku ini adalah khotbah dan renungan dari para pencerita.

Para pencerita di novel ini ada tiga. Pertama, Ma Yan. Ia tekun menulis catatan perjuangannya meraih pendidikan. Kedua, ibunya. Ketiga, penulis sendiri, yang dalam hal ini lewat pemetaan renungan dan pemikiran Pierre Haski, jurnalis Prancis yang suatu ketika mampir ke Zhangjiashu. Nah, bila novel ini memang merupakan suatu kisah nyata, pilihan penulis untuk memasukkan tiga pencerita agak berlebihan. Sebab, kisah ini awalnya adalah catatan-catatan Ma Yan. Setelah mengalami konflik yang cukup berat untuk bertahan sekolah, ibunya bertemu dengan Pierre Haski. Ia serahkan catatan-catatan itu, lalu jadilah kisah ini.

Bila catatan-catatan itu kemudian dirajut menjadi sebuah tulisan dari sudut pandang Pierre Haski dan Ma Yan saja, tentu akan lebih pas. Ibu Ma Yan tak memiliki catatan apa pun, bahkan tidak bisa baca-tulis, bagaimana mungkin penulis bisa menggambarkan isi benaknya sedemikian banyak di dalam novel?

Juga, yang menjadi tanya besar: bagaimana kisah ini sampai di tangan Sanie B. Kuncoro? Apakah Sanie bertemu dengan Pierre Haski di Prancis, lalu mereka kemudian ke Tiongkok mewawancarai lagi Ma Yan dan keluarganya? Kita tidak tahu. Sangat disayangkan, proses kreatif ini tidak disampaikan dalam bab awal, prolog, atau catatan akhir, atau apalah. Hingga bagian akhir, yang ada hanyalah adegan manis kala Pierre Haski mengikuti seorang ibu dan anak yang berjalan bergandengan tangan. Gandengan tangan yang mengingatkannya pada tangan ibu Ma Yan, yang terkisah di dalam novel sebagai tangan berwarna tembaga, akibat lelah dan panas ditempa kerja keras dan sinar mentari.

Terlepas dari kekurangan-kekurangan itu, novel ini tergarap dengan bahasa yang sangat rapi. Detail-detail tentang kondisi alam, pergantian musim, dan mata pencaharian para penduduk Zhangjiashu dikisahkan dengan menarik dan wajar.

Selain itu, cerita perjuangan ibu dan ayah Ma Yan di novel ini menyentuh hati. Rasanya banyak orang telah tahu kegigihan orang-orang Tiongkok. Mereka terkenal tegar, selain gigih, dalam menghadapi berbagai kemelut hidup. Bila Anda pernah menyaksikan film indah besutan Zhang Yimou berjudul Not One Less yang mengisahkan kegigihan dan ketegaran seorang guru muda dalam mendidik anak-anaknya yang nakal di suatu pedalaman Tiongkok, maka Ma Yan mengisahkan kegigihan dan ketegaran seorang gadis beranjak remaja dalam menempuh pendidikan.

Dan, kekuatan niat menempuh pendidikan itu juga dirangkai dengan kisah kekuatan doa. Suatu malam Ma Yan menjalankan salat tahajud ketika menyerahkan ibunya kepada Tuhan, agar senantiasa dilindungi. Ibunya harus menempuh perjalanan 400 kilometer menuju perbatasan Ning Xia dan Mongolia Dalam, diangkut dengan traktor, mencari uang untuk anaknya itu. Kasih ibu sepanjang jalan, membuat Ma Yan menghaturkan doanya dengan sujud syukur nan penuh harapan.

Dan, ketika kasih ibu sepanjang jalan dinyatakan, mukjizat demi mukjizat pun terjadi dalam kehidupan Ma Yan dan keluarganya lewat doa-doa yang dihaturkan kepada Sang Pemilik Hidup. (*)

*) Sidik Nugroho, Guru Sekolah Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo

19.3.09

Memulai, Menekuni, Lalu Menemukan Keajaiban

"Saya tidak pernah memutuskan untuk menjadi penulis. Pada awalnya saya tidak berharap mendapatkan nafkah dengan dibacanya karya saya. Saya menulis sebagai seorang anak yang gembira ketika memahami hidup lewat pikiran saya...," demikian Nadine Gordimer berujar ketika menerima Nobel Sastra.

Ia menulis sejak kecil, berusaha memetakan apa yang ia lihat, cium dan rasa dalam berbagai hal, hingga suatu ketika cerita pertamanya diterbitkan saat berusia 15 tahun.

Beberapa orang menemukan panggilan hidupnya ketika mereka memulai sesuatu yang mengasyikkan. Begitu sederhana. Mereka tak menunggu mimpi, penglihatan supernatural, atau bisikan magis di telinga rohani mereka. Mereka, seperti Nadine Gordimer: memulai, menekuni, lalu menemukan keajaiban di kemudian hari.

Sayangnya, mungkin beberapa dari kita kadang abai terhadap kesederhanaan. Saya mengenal seorang yang mengaku kutu buku, suka membeli banyak buku, suka pergi ke perpustakaan untuk membaca buku; tapi banyak bukunya yang sudah ia beli tidak dijamah-jamah, apalagi tuntas terbaca. Keadaan ini rasanya dapat menjadi cermin para pekerja kreatif: kita kadang terlalu sibuk dalam memikirkan banyak hal untuk kreasi yang kita buat, tapi tanpa melakukan suatu langkah kreatif apa pun.

Inspirasi datang ketika kita mau memulai sesuatu, bukan hanya berpangku tangan dan murung merenung. Mari kita berkarya. Sejelek apa pun karya kita, dan apa pun bentuknya, kita semua memiliki peluang untuk menemukan keajaiban dari karya itu. Selamat berkarya! (~s.n~)

"Keajaiban yang datang tiba-tiba hanya ada di dongeng; di dunia ini kita mendapatkannya dengan kerja keras dan pengerahan segenap daya-upaya."

14.3.09

Bukan Dinasihati, tapi Tambah Dimarahi

"Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah." (Maleakhi 4:6)

Menghadapi anak-anak nakal memang susah. Di sekolah tempat saya mengajar para guru dibiasakan untuk menuliskan catatan di buku agenda siswa bila seorang siswa berbuat onar selama di sekolah. Tujuannya agar siswa dapat dinasihati lebih lanjut di rumah oleh para orang tua. Nah, suatu ketika, seorang siswa membuat ulah.

Saya segera mengambil agendanya, hendak menuliskan sesuatu. Saat itulah siswa tersebut malah menangis. Tangisannya membuat hati saya sedih. Katanya sambil terisak, "Pak, kalau ditulisi di agenda, aku akan tambah dimarahi. Bahkan, kadang aku dipukul." Dia juga menceritakan kalau orang tuanya tidak peduli dengan apa pun alasan ia berbuat nakal; ia sudah terlanjur dicap nakal -- selalu nakal.

Sebagai guru yang tiap hari menghadapi ratusan siswa, saya tidak hapal kondisi keluarga tiap anak didik saya. Saya sempat kesal dengan tindakan orang tua yang saya harapkan memberikan tambahan nasihat baik-baik, justru tambah memarahi, tanpa mau mendengar dulu persoalan yang sebenarnya.

Kekesalan saya mungkin justru dikesalkan pula oleh para orang tua itu, karena bisa saja mereka menganggap saya tidak tahu banyak tentang tindak-tanduk anaknya di rumah. Yah... memang membesarkan anak bukan perkara yang mudah! Serba sulit dan menantang. Di atas semua itu, mari kita serahkan anak-anak kita kepada Tuhan. Jikalau Ia menitipkan kepada kita seorang anak untuk dibesarkan, Ia juga mempunyai kuasa untuk mengubah hati anak-anak itu untuk bertumbuh-kembang sesuai rencana-Nya.

"Mendidik berarti memberikan diri kita untuk dijadikan panutan, pertama-tama, lalu sumber pengetahuan."

8.3.09

George Mueller: Bapak untuk Anak-anak Yatim-Piatu


"Hampir tujuh puluh tahun lamanya setiap kekurangan mengenai pekerjaan Tuhan ini (panti asuhan yang ia pimpin dan dirikan) selalu Tuhan cukupkan. Jumlah anak-anak piatu di Panti Asuhan ini meningkat terus dan hingga kini mencapai 9500 orang. Meskipun demikian, belum pernah sekalipun mereka tidak mendapatkan makanan. Sudah beratus-ratus kami memulai hari tanpa uang satu senpun di tangan kami, tetapi Bapa Samawi selalu memberikan kepada kami kecukupan pada saatnya yang tepat....

"Saya telah menerima kiriman sejumlah 7.500.000 dolar sebagai jawaban atas doa saya. Dan dari 200.000 dolar yang kami gunakan dalam setahun semuanya telah datang pada waktu yang kami perlukan benar. Tak seorangpun dapat berkata bahwa saya telah meminta dari dia walau sesenpun. Kami tidak mempunyai badan-badan pengurus atau panitia, tidak menjalankan pemungutan derma, tidak punya jemaat atau lembaga yang membiayai kami. Semua keperluan kami telah Tuhan cukupkan sebagai jawaban doa kami yang sungguh-sungguh."

Itulah kata-kata yang diucapkan George Mueller kepada Charles R. Parsons saat Parsons mengunjunginya. Catatan dari kunjungan itu kemudian menjadi sebuah buku terkenal berjudul An Hour with George Mueller.

***

George Mueller dilahirkan di Kroppensstedt, Jerman, pada tanggal 27 September 1805. Ia adalah seorang anak yang sangat nakal awalnya. Waktu berumur 10 tahun, ia sudah berani mencuri uang ayahnya. Menjelang remaja, kenakalannya semakin menjadi-jadi. Ia suka mabuk-mabukan dan melakukan berbagai tindakan asusila lainnya.

Ia seringkali menginap di hotel-hotel yang mahal selama beberapa hari, lalu kabur tanpa membayar sewa hotelnya. Ayahnyalah yang akhirnya terpaksa datang untuk melunasi rekening hotel tersebut. Karena tingkah lakunya yang demikian nakal, George pernah mendekam di penjara selama satu bulan. Kembali sang ayah yang baik hati datang untuk menebus anak kesayangannya itu.

Pertobatan Mueller terjadi saat ia berusia sekitar 20 tahun. Waktu itu ia berkuliah di Universitas Halle. Ia bertobat dengan pertolongan delapan orang teman kampusnya yang awalnya sering ia jadikan sebagai bahan olokan karena dianggap terlalu rohani. Sejak pertobatannya, ia bersungguh-sungguh di dalam mengasihi dan melayani Tuhan hingga ia meninggal dunia pada usia 92 tahun.

Pada usia 25 tahun ia menikah dengan Mary Groves dan pindah dari Jerman ke Inggris untuk menggembalakan sebuah gereja dengan jemaat sebanyak 18 orang. Waktu berjalan dan ia rindu mendirikan sebuah panti asuhan bagi anak-anak terlantar. Untuk keperluan itu ia membutuhkan dana sebesar 1000 poundsterling. Bantuan-bantuan pun datang kepadanya. Pertama-tama ada seseorang yang memberikan bantuan sebesar 10 shilling kepadanya. Sebuah jumlah yang sangat sedikit. Namun, Mueller mengucap syukur kepada Bapa dan menyatakan bahwa itulah benih dari imannya. Kemudian orang lain datang memberikan sebuah lemari besar, 3 baskom air, sebuah wadah air minum, 28 piring makan, 4 pisau, 5 garpu, 3 tempat garam dan 4 cangkir. Demikianlah bantuan-bantuan lain datang sehingga akhirnya segenap kebutuhannya tercukupi.

Catatan-catatan berupa segala bantuan yang ia terima dapat kita ketahui dari buku hariannya. Di sana ia juga mencatat lebih dari 25.000 jawaban doa dari Tuhan atas setiap kebutuhan hidupnya. Ya, ia seorang pencatat yang detil.

George Mueller dipakai Tuhan secara luar biasa untuk mendirikan panti asuhan Kristen. Pada tahun 1845 ia sudah mempunyai 130 anak asuh dengan menyewa empat gedung. Kemudian ia berketetapan untuk mempunyai gedung sendiri yang bisa menampung 300 anak, padahal uang kasnya hanya 5 poundsterling. George mulai membawa semuanya ini kepada Tuhan dalam doa, dan pada tanggal 14 Januari 1846, sebulan setelah ia berdoa, datanglah sebuah sumbangan sejumlah 1000 poundsterling.

Doa yang dilandasi Firman Tuhan, itulah yang menjadi dasar kehidupan George Mueller. Melalui tulisannya yang berjudul Ibadah Terbaik Anda (diedit ulang oleh Melody Green), Mueller menyatakan bahwa sebelum berdoa, ia selalu merenungkan Firman Tuhan terlebih dahulu. Ia seringkali membawa Alkitab-nya ke luar rumah dan mencari tempat yang ia sukai untuk merenungkan Firman Tuhan. Hasil renungan inilah yang kemudian ia jadikan dasar bagi doa-doanya.

Selama hidupnya, ia telah mengasuh sekitar 9500 anak-anak yatim piatu dan kebutuhan-kebutuhan bagi mereka didapatkannya melalui doa. Selain memberi makan, mengasuh dan mendidik anak-anak, ia juga menyokong 189 pekabar Injil di berbagai belahan dunia, menyokong dana dari kira-kira 100 sekolah dengan jumlah murid sebanyak 9000 orang, dan menyebarkan traktat sebanyak 4.000.000 eksemplar untuk pemberitaan Injil setiap tahun.

Catatan:
Diposting lagi (sebelumnya sudah diposting di situs saya di Geocities) dalam rangka mengenang kematian Goerge Mueller, seorang hamba Tuhan yang setia, pada 10 Maret 1898. Hari masih sangat pagi, ia sedang sendirian di kamarnya, ketika Tuhan membawa pria saleh ini pergi.

4.3.09

kemarin hujan, sekarang mendung

surabaya hujan kemarin malam. di r.s. bhayangkara kukunjungi muridku yang terkena demam berdarah. lemah, terbaring tanpa daya. 9 tahun, gadis kurus, sesekali tersenyum, mencoba ramah pada aku gurunya. semoga cepat sembuh, nak.

sidoarjo, hujan juga kemarin malam. kurenungi paman yang telah menyatu dengan tanah dua hari lalu. masih muda, 45 tahun. adik ayahku, tinggal di trenggalek. seseorang yang dulu di-phk. keluarganya hidup sederhana, anak-anaknya masih kecil-kecil.

kemarin malam, dalam hujan, aku coba maknai segala rasa yang bertaut-taut membayangkan kepergian, kesakitan dan kehilangan. renunganku pupus, kala lelap tanpa kuundang datang menghadirkan mimpi.

sidoarjo mendung sekarang. mungkinkah, nanti malam, ada sebuah kehilangan dan kepergian lagi? ada sebuah kesakitan lagi?

tapi, ah... semoga tidak. damai di bumi, damai di surga.

~s.n~
: sidoarjo, sd pembangunan jaya 2, 4 maret, senja yang muram

2.3.09

Ketika Aku Mengoleskan Minyak Urapan

1 Maret 2009, jam sepuluh malam lewat. Aku dan dua temanku mengoleskan minyak urapan di rumah kontrakan baru yang dihuni dua temanku itu. Sehari sebelumnya, 28 Februari 2009, aku membantu mereka angkut-angkut barang dari tempat kos ke rumah kontrakan itu. Ya, kita bertiga dulu teman satu kos.

Nah, oleh dua temanku itu, aku didaulat untuk memimpin doa memasuki rumah baru. Hal yang amat jarang aku lakukan selama dua-tiga tahun terakhir. Agak canggung aku menerimanya, tapi puji Tuhan doa lancar kuucapkan.

Kami bertiga berdoa sambil mengelilingi lilin kecil yang menyala di tengah-tengah kami dan sebotol minyak urapan yang akan kami gunakan untuk dioleskan di beberapa bagian rumah -- yang dalam keyakinan kami sebagai orang Kristen menjadi simbol perlindungan Tuhan atas berbagai (kemungkinan) serangan kuasa kegelapan yang termanifestasi lewat sakit-penyakit, konflik, atau petaka lainnya.

Ketika selesai memimpin doa, aku lalu menumpahkan beberapa tetes minyak di tanganku. Dan ketika mengoleskan minyak itu ke beberapa bagian rumah sambil berkata, "Dalam nama Yesus", aku mengenang masa-masa di mana Tuhan kulayani dengan sepenuh cinta.

***

17 April 1997. "Jesus... Lord Jesus... Lord Jesus, You're my first love, how I love You...." Begitu lagu yang aku dengar di suatu petang menjelang malam di sebuah kelas Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro di Tembalang, Semarang. Aku masih remaja 17 tahun saat itu. Aku masih ingat benar jaket yang kukenakan. Dalam sebuah acara bertajuk Hell's Bells, aku menemukan cinta pertamaku. Aku lahir baru.

Sejak hari itu aku selalu melayani Tuhan dengan semangat di Gereja Kristen Baithany Jubilee di Semarang. Mula-mula aku menjadi penginjil jalanan dan pemain gitar di gereja. Aku bersemangat mendoakan siapa pun orang dan teman-temanku. Tanpa disuruh siapa pun, aku pergi ke rumah-rumah sakit seorang diri pakai sepeda, mendoakan kesembuhan orang-orang yang mau kudoakan dengan caraku. (Belakangan, kudengar beberapa jemaat JKI (Jemaat Kristen Injili) Injil Kerajaan gembalaan Pdt. Petrus Agung Purnomo yang terkenal itu juga gencar melakukan penginjilan dan pelayanan holistik.)

Satu tahun lebih berlalu, aku pindah ke Malang. Aku tamat SMU. Di Malang, aku pertama-tama menjadi pendoa di GPdI (Gereja Pentakosta di Indonesia) Elohim di Batu. Karena kejauhan, aku pindah gereja di Gereja Anugerah Pembaharuan (GAP) di Malang. Aku langsung dipercaya melayani sebagai ketua Tim Musik dan Penyembahan, sebabnya gereja ini satu pergerakan dengan gerejaku dulu yang di Semarang. Gereja ini sangat kecil. Kami hanya menggunakan sebuah rumah kontrakan untuk beribadah. Melihat gerejaku kekurangan bahan bacaan, kusumbang semua buku dan kaset rohani yang kumiliki, lalu kusulap sebuah ruangan di sekretariat gerejaku menjadi perpustakaan. Tanpa diminta aku juga membuat warta gereja yang disambut antusias oleh teman-temanku waktu itu. Aku juga mulai melatih anak-anak memainkan gitar, bas dan ketipung. Lahirlah sebuah tim musik yang sedikit amburadul tapi penuh semangat. Kami amat senang ketika jemaat makin banyak. Kami harus menyewa gedung. Tiap hari Minggu kami selalu menggotong alat musik dan sound system sebelum ibadah. Kami senang walau pun lelah. Rasanya tim musik ini akhirnya tampil lebih keren!

Di GAP Malang aku banyak dilatih memimpin. Pernah, dalam suatu ketika aku memimpin dua buah kelompok sel bersamaan. Namun, sisi negatifnya adalah: karena terlalu banyaknya kegiatan gereja, kuliahku jadi agak terbengkalai.

Banyak sekali kesan selama aku pelayanan di GAP, salah satunya adalah mendoakan seorang gadis remaja yang kerasukan setan di sebuah kos putri jam 2 malam! Selama aku pelayanan, inilah salah satu pengalaman yang mengajarkan kepadaku bentuk manifestasi kuasa kegelapan yang nyata dalam diri seseorang: gadis itu matanya merah, dan suaranya berubah menjadi suara laki-laki!

Karena perbedaan visi pribadiku tentang pergerakan anak muda dengan visi jemaat yang ada di GAP, di bulan Februari tahun 2002 aku memutuskan keluar dari GAP. Sama sekali tidak ada konflik, apalagi kudeta -- aku keluar baik-baik. Bahkan hingga saat ini aku dan GAP -- yang kini berubah nama menjadi MSI (Morning Star Indonesia) -- masih berteman sangat baik dan cukup akrab.

Keluar dari GAP aku mulai menekuni dunia tulis-menulis. November 2002, aku jadi pemenang ketiga lomba cerpen di kampus. Di tahun ini aku tak banyak mengambil pelayanan, hanya menjadi pendoa di Gereja Bethany Indonesia. Aku terkenal sebagai "Pendoa Jam Empat Pagi" di Menara Doa. Menara Doa di gerejaku diadakan 24 jam, dibagi 12 sesi -- tiap sesi dua jam. Dari Senin sampai Jumat selama hampir setahun aku mengambil jadwal berdoa di sesi jam 4 sampai jam 6 pagi. Sebuah sesi yang kuamati paling sepi. Namun, aku mencoba gigih karena saat itu terilhami kuat dengan seorang tokoh kebangunan rohani bernama John Wesley yang selalu berdoa jam 4 pagi.

Dari Ruang Menara Doa yang sepi, terdengarlah berita tentangku di Gereja Bethany Indonesia yang besar. Orang-orang kemudian memintaku jadi pengajar di gereja. Aku ditarik ke Youth Bethany Malang, dan tak lama kemudian menjadi ketua Dewasa Muda. Di tahun 2003, dalam usiaku yang masih lebih muda dari sebagian besar jemaat Dewasa Muda, aku diminta menjadi ketuanya -- sebuah beban yang berat!

Pada saat yang bersamaan, Youth Bethany Malang mereorganisasi setiap departemennya: dari Sekolah Minggu, Remaja, Pemuda hingga Dewasa Muda untuk disolidkan. Nah, yang paling diutamakan dalam membangun kesolidan itu adalah pengadaan pengajaran. Dan akulah yang ditunjuk menjadi ketuanya. Kususun bahan pengajarannya, kuberi nama pengajaran itu Firm Foundations (F2), dengan ayat utama Mazmur 11:3. Pesertanya cukup banyak. Di F2 angkatan ke-2, tema yang kuusung adalah "The unshakable Shaker", sebuah julukan yang diberikan kepada tokoh bernama John Fox. Aku sangat berkesan dengan murid-muridku di F2, yang sebagian besar lebih muda 5-7 tahun dari aku. Sabtu sore aku mengoordinasi Dewasa Muda, Minggu pagi mengoordinasi atau mengajar di F2. Aku semakin sering mengajar dan berkhotbah.

Aku hampir menjadi pendeta. Tinggal ikut sebuah ujian, gelar Pdp (Pendeta Pembantu) sebenarnya bisa kudapatkan saat itu. Tapi, aku tak berniat jadi full-timer di gereja walau orang-orang memulai memanggilku Pak Pendeta. Aku bahkan berkhotbah sampai ke luar kota. Dalam beberapa kesempatan aku sempat ikut pelayanan misi ke Sumberpucung dan Wates yang masuk di Kabupaten Blitar.

Selain mengajar dan berkhotbah, aku juga terlibat dalam pelayanan gelandangan. Tiap Jumat malam aku dan beberapa teman berkeliling di Pasar Besar kota Malang, membagikan nasi-nasi bungkus dan susu untuk beberapa gelandangan. Beberapa dari antara mereka ada yang sering minta didoakan juga. Aku tak pernah lupa pernah dua kali berkhotbah di antara para gelandangan Nasrani yang kita angkut sebulan sekali untuk beribadah ke sebuah gereja. Ini benar-benar usaha berkomunikasi yang menantang.

Kegiatan-kegiatan pelayanan ini akhirnya menjadi tambahan alasanku mengapa kuliahku terbengkalai. Belum lagi, selama aku melayani di gereja, aku juga memberi les privat kepada anak-anak, dan seminggu dua kali jualan telur puyuh rebus yang kutitipkan di warung-warung kopi dan STMJ. Aku juga mulai getol menulis, dan beberapa tulisanku mulai dimuat di media cetak. Orang tuaku masih mampu membayari aku kuliah, tapi aku yang suka dengan kemandirian dan lebih merasa nyaman bila membeli buku dengan hasil jerih payahku sendiri, berusaha mencari tambahan penghasilan.

Tak lama setelah F2 angkatan ke-2 diwisuda mendekati akhir tahun 2004, gembala sidang memutuskan penggabungan departemen Pemuda dan Dewasa Muda. Aku dipilih menjadi ketuanya. Namun, gembala sidang yang tahu aku suka menulis malah memintaku meninggalkan pelayanan di Pemuda yang digabung dengan Dewasa Muda itu waktu aku belum sampai setengah tahun memimpin di sana. Aku diminta mengurusi tabloid gereja yang bernama Menorah.

Namun, Menorah hanya terbit satu kali di tahun 2005. Tim redaksi yang direncanakan tak terbentuk. Aku memutuskan merampungkan skripsiku, hingga diwisuda bulan Maret 2006. Di masa-masa ini, hingga mendekati akhir tahun 2007 aku mulai lebih banyak berkaryatulis, dan memutuskan untuk menjadi guru sekolah minggu di gereja. Sempat aku diminta lagi untuk mengajar beberapa kelas pengajaran di gereja, namun tak sesering dulu.

Bulan Maret 2007 aku mendapat panggilan wawancara di Sidoarjo. Diterima. 20 Maret sampai 20 Juni aku jadi guru magang. 2 Juli aku menjadi guru di SD Pembangunan Jaya 2. Hingga kini.

Beberapa orang bertanya sekarang aku melayani di bidang apa dan di mana. Aku kadang agak bingung menjawabnya karena sering malang-melintang gereja akibat kalau akhir minggu tak tentu -- kadang ada di Malang, kadang di Sidoarjo. Sebenarnya hingga kini aku masih melayani Tuhan, dengan membuat renungan-renungan yang terbit tiap bulan. Namun, bukan hanya itu, kini aku memiliki pandangan yang lebih luas tentang pelayanan: menjadi guru pun juga melayani Dia. Pelayanan tidak harus selalu ada dalam gereja dan/atau berkaitan secara langsung dengan hal-hal yang gerejawi.

Hampir semua temanku di masa aku remaja menebak kalau tidak jadi pemusik, aku mungkin jadi pendeta. Tebakan mereka salah semua. Kini aku menjadi guru dan penulis lepas. Dan ketika merenungkan jalan hidupku yang terbentang hampir 12 tahun sejak aku mengalami cinta pertamaku pada Tuhanku, betapa aku bersyukur:

Semua kenangan itu tak lalu dan tak layu. Hari-hari di mana aku memeras keringat mengangkat alat musik dan sound system yang berat kadang masih melintas. Pagi-pagi di mana aku menghaturkan doa sambil diiringi petikan gitarku di Menara Doa yang sepi kadang masih ingin kuulang lagi. Betapa mengharukan bila mengingat saat-saat di mana aku benar-benar merasa pengajaran yang kusampaikan menyemangati para muridku hingga kadang beberapa di antaranya mengepalkan tinju tanda setuju.

Semua karena anugerah Tuhan.

***

Malam ini, aku pun bersyukur ketika esok, saat mentari bersinar lagi, aku akan menemui murid-muridku: yang sebagian manis, dan sebagian bengal. Aku bersyukur untuk apa pun keadaan mereka. Menjadi guru ternyata tak kalah hebat dibandingkan menjadi seorang pendeta. Murid-murid adalah anugerah dari Tuhan.

Dan malam ini, aku juga bersyukur, ketika esok, dan seterusnya, malam-malam yang kulalui dapat kujalani dengan hadirnya inspirasi yang tiada henti. Selalu saja ada bahan untuk kutulis setiap hari -- dan kuyakin itu semua karena campur tangan-Nya. Itu juga anugerah-Nya.

Nah, ketika aku mengoleskan minyak urapan malam ini, aku menyadari, tak ada yang lebih indah selain hidup senantiasa dalam anugerah-Nya yang ajaib!

"TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau anugerah; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera." (Bilangan 6:25-26)

***

~s.n~
Sidoarjo, 2 Maret 2009, hampir subuh