1 Maret 2009, jam sepuluh malam lewat. Aku dan dua temanku mengoleskan minyak urapan di rumah kontrakan baru yang dihuni dua temanku itu. Sehari sebelumnya, 28 Februari 2009, aku membantu mereka angkut-angkut barang dari tempat kos ke rumah kontrakan itu. Ya, kita bertiga dulu teman satu kos.
Nah, oleh dua temanku itu, aku didaulat untuk memimpin doa memasuki rumah baru. Hal yang amat jarang aku lakukan selama dua-tiga tahun terakhir. Agak canggung aku menerimanya, tapi puji Tuhan doa lancar kuucapkan.
Kami bertiga berdoa sambil mengelilingi lilin kecil yang menyala di tengah-tengah kami dan sebotol minyak urapan yang akan kami gunakan untuk dioleskan di beberapa bagian rumah -- yang dalam keyakinan kami sebagai orang Kristen menjadi simbol perlindungan Tuhan atas berbagai (kemungkinan) serangan kuasa kegelapan yang termanifestasi lewat sakit-penyakit, konflik, atau petaka lainnya.
Ketika selesai memimpin doa, aku lalu menumpahkan beberapa tetes minyak di tanganku. Dan ketika mengoleskan minyak itu ke beberapa bagian rumah sambil berkata, "Dalam nama Yesus", aku mengenang masa-masa di mana Tuhan kulayani dengan sepenuh cinta.
***
17 April 1997. "Jesus... Lord Jesus... Lord Jesus, You're my first love, how I love You...." Begitu lagu yang aku dengar di suatu petang menjelang malam di sebuah kelas Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro di Tembalang, Semarang. Aku masih remaja 17 tahun saat itu. Aku masih ingat benar jaket yang kukenakan. Dalam sebuah acara bertajuk Hell's Bells, aku menemukan cinta pertamaku. Aku lahir baru.
Sejak hari itu aku selalu melayani Tuhan dengan semangat di Gereja Kristen Baithany Jubilee di Semarang. Mula-mula aku menjadi penginjil jalanan dan pemain gitar di gereja. Aku bersemangat mendoakan siapa pun orang dan teman-temanku. Tanpa disuruh siapa pun, aku pergi ke rumah-rumah sakit seorang diri pakai sepeda, mendoakan kesembuhan orang-orang yang mau kudoakan dengan caraku. (Belakangan, kudengar beberapa jemaat JKI (Jemaat Kristen Injili) Injil Kerajaan gembalaan Pdt. Petrus Agung Purnomo yang terkenal itu juga gencar melakukan penginjilan dan pelayanan holistik.)
Satu tahun lebih berlalu, aku pindah ke Malang. Aku tamat SMU. Di Malang, aku pertama-tama menjadi pendoa di GPdI (Gereja Pentakosta di Indonesia) Elohim di Batu. Karena kejauhan, aku pindah gereja di Gereja Anugerah Pembaharuan (GAP) di Malang. Aku langsung dipercaya melayani sebagai ketua Tim Musik dan Penyembahan, sebabnya gereja ini satu pergerakan dengan gerejaku dulu yang di Semarang. Gereja ini sangat kecil. Kami hanya menggunakan sebuah rumah kontrakan untuk beribadah. Melihat gerejaku kekurangan bahan bacaan, kusumbang semua buku dan kaset rohani yang kumiliki, lalu kusulap sebuah ruangan di sekretariat gerejaku menjadi perpustakaan. Tanpa diminta aku juga membuat warta gereja yang disambut antusias oleh teman-temanku waktu itu. Aku juga mulai melatih anak-anak memainkan gitar, bas dan ketipung. Lahirlah sebuah tim musik yang sedikit amburadul tapi penuh semangat. Kami amat senang ketika jemaat makin banyak. Kami harus menyewa gedung. Tiap hari Minggu kami selalu menggotong alat musik dan sound system sebelum ibadah. Kami senang walau pun lelah. Rasanya tim musik ini akhirnya tampil lebih keren!
Di GAP Malang aku banyak dilatih memimpin. Pernah, dalam suatu ketika aku memimpin dua buah kelompok sel bersamaan. Namun, sisi negatifnya adalah: karena terlalu banyaknya kegiatan gereja, kuliahku jadi agak terbengkalai.
Banyak sekali kesan selama aku pelayanan di GAP, salah satunya adalah mendoakan seorang gadis remaja yang kerasukan setan di sebuah kos putri jam 2 malam! Selama aku pelayanan, inilah salah satu pengalaman yang mengajarkan kepadaku bentuk manifestasi kuasa kegelapan yang nyata dalam diri seseorang: gadis itu matanya merah, dan suaranya berubah menjadi suara laki-laki!
Karena perbedaan visi pribadiku tentang pergerakan anak muda dengan visi jemaat yang ada di GAP, di bulan Februari tahun 2002 aku memutuskan keluar dari GAP. Sama sekali tidak ada konflik, apalagi kudeta -- aku keluar baik-baik. Bahkan hingga saat ini aku dan GAP -- yang kini berubah nama menjadi MSI (Morning Star Indonesia) -- masih berteman sangat baik dan cukup akrab.
Keluar dari GAP aku mulai menekuni dunia tulis-menulis. November 2002, aku jadi pemenang ketiga lomba cerpen di kampus. Di tahun ini aku tak banyak mengambil pelayanan, hanya menjadi pendoa di Gereja Bethany Indonesia. Aku terkenal sebagai "Pendoa Jam Empat Pagi" di Menara Doa. Menara Doa di gerejaku diadakan 24 jam, dibagi 12 sesi -- tiap sesi dua jam. Dari Senin sampai Jumat selama hampir setahun aku mengambil jadwal berdoa di sesi jam 4 sampai jam 6 pagi. Sebuah sesi yang kuamati paling sepi. Namun, aku mencoba gigih karena saat itu terilhami kuat dengan seorang tokoh kebangunan rohani bernama John Wesley yang selalu berdoa jam 4 pagi.
Dari Ruang Menara Doa yang sepi, terdengarlah berita tentangku di Gereja Bethany Indonesia yang besar. Orang-orang kemudian memintaku jadi pengajar di gereja. Aku ditarik ke Youth Bethany Malang, dan tak lama kemudian menjadi ketua Dewasa Muda. Di tahun 2003, dalam usiaku yang masih lebih muda dari sebagian besar jemaat Dewasa Muda, aku diminta menjadi ketuanya -- sebuah beban yang berat!
Pada saat yang bersamaan, Youth Bethany Malang mereorganisasi setiap departemennya: dari Sekolah Minggu, Remaja, Pemuda hingga Dewasa Muda untuk disolidkan. Nah, yang paling diutamakan dalam membangun kesolidan itu adalah pengadaan pengajaran. Dan akulah yang ditunjuk menjadi ketuanya. Kususun bahan pengajarannya, kuberi nama pengajaran itu Firm Foundations (F2), dengan ayat utama Mazmur 11:3. Pesertanya cukup banyak. Di F2 angkatan ke-2, tema yang kuusung adalah "The unshakable Shaker", sebuah julukan yang diberikan kepada tokoh bernama John Fox. Aku sangat berkesan dengan murid-muridku di F2, yang sebagian besar lebih muda 5-7 tahun dari aku. Sabtu sore aku mengoordinasi Dewasa Muda, Minggu pagi mengoordinasi atau mengajar di F2. Aku semakin sering mengajar dan berkhotbah.
Aku hampir menjadi pendeta. Tinggal ikut sebuah ujian, gelar Pdp (Pendeta Pembantu) sebenarnya bisa kudapatkan saat itu. Tapi, aku tak berniat jadi full-timer di gereja walau orang-orang memulai memanggilku Pak Pendeta. Aku bahkan berkhotbah sampai ke luar kota. Dalam beberapa kesempatan aku sempat ikut pelayanan misi ke Sumberpucung dan Wates yang masuk di Kabupaten Blitar.
Selain mengajar dan berkhotbah, aku juga terlibat dalam pelayanan gelandangan. Tiap Jumat malam aku dan beberapa teman berkeliling di Pasar Besar kota Malang, membagikan nasi-nasi bungkus dan susu untuk beberapa gelandangan. Beberapa dari antara mereka ada yang sering minta didoakan juga. Aku tak pernah lupa pernah dua kali berkhotbah di antara para gelandangan Nasrani yang kita angkut sebulan sekali untuk beribadah ke sebuah gereja. Ini benar-benar usaha berkomunikasi yang menantang.
Kegiatan-kegiatan pelayanan ini akhirnya menjadi tambahan alasanku mengapa kuliahku terbengkalai. Belum lagi, selama aku melayani di gereja, aku juga memberi les privat kepada anak-anak, dan seminggu dua kali jualan telur puyuh rebus yang kutitipkan di warung-warung kopi dan STMJ. Aku juga mulai getol menulis, dan beberapa tulisanku mulai dimuat di media cetak. Orang tuaku masih mampu membayari aku kuliah, tapi aku yang suka dengan kemandirian dan lebih merasa nyaman bila membeli buku dengan hasil jerih payahku sendiri, berusaha mencari tambahan penghasilan.
Tak lama setelah F2 angkatan ke-2 diwisuda mendekati akhir tahun 2004, gembala sidang memutuskan penggabungan departemen Pemuda dan Dewasa Muda. Aku dipilih menjadi ketuanya. Namun, gembala sidang yang tahu aku suka menulis malah memintaku meninggalkan pelayanan di Pemuda yang digabung dengan Dewasa Muda itu waktu aku belum sampai setengah tahun memimpin di sana. Aku diminta mengurusi tabloid gereja yang bernama Menorah.
Namun, Menorah hanya terbit satu kali di tahun 2005. Tim redaksi yang direncanakan tak terbentuk. Aku memutuskan merampungkan skripsiku, hingga diwisuda bulan Maret 2006. Di masa-masa ini, hingga mendekati akhir tahun 2007 aku mulai lebih banyak berkaryatulis, dan memutuskan untuk menjadi guru sekolah minggu di gereja. Sempat aku diminta lagi untuk mengajar beberapa kelas pengajaran di gereja, namun tak sesering dulu.
Bulan Maret 2007 aku mendapat panggilan wawancara di Sidoarjo. Diterima. 20 Maret sampai 20 Juni aku jadi guru magang. 2 Juli aku menjadi guru di SD Pembangunan Jaya 2. Hingga kini.
Beberapa orang bertanya sekarang aku melayani di bidang apa dan di mana. Aku kadang agak bingung menjawabnya karena sering malang-melintang gereja akibat kalau akhir minggu tak tentu -- kadang ada di Malang, kadang di Sidoarjo. Sebenarnya hingga kini aku masih melayani Tuhan, dengan membuat renungan-renungan yang terbit tiap bulan. Namun, bukan hanya itu, kini aku memiliki pandangan yang lebih luas tentang pelayanan: menjadi guru pun juga melayani Dia. Pelayanan tidak harus selalu ada dalam gereja dan/atau berkaitan secara langsung dengan hal-hal yang gerejawi.
Hampir semua temanku di masa aku remaja menebak kalau tidak jadi pemusik, aku mungkin jadi pendeta. Tebakan mereka salah semua. Kini aku menjadi guru dan penulis lepas. Dan ketika merenungkan jalan hidupku yang terbentang hampir 12 tahun sejak aku mengalami cinta pertamaku pada Tuhanku, betapa aku bersyukur:
Semua kenangan itu tak lalu dan tak layu. Hari-hari di mana aku memeras keringat mengangkat alat musik dan sound system yang berat kadang masih melintas. Pagi-pagi di mana aku menghaturkan doa sambil diiringi petikan gitarku di Menara Doa yang sepi kadang masih ingin kuulang lagi. Betapa mengharukan bila mengingat saat-saat di mana aku benar-benar merasa pengajaran yang kusampaikan menyemangati para muridku hingga kadang beberapa di antaranya mengepalkan tinju tanda setuju.
Semua karena anugerah Tuhan.
***
Malam ini, aku pun bersyukur ketika esok, saat mentari bersinar lagi, aku akan menemui murid-muridku: yang sebagian manis, dan sebagian bengal. Aku bersyukur untuk apa pun keadaan mereka. Menjadi guru ternyata tak kalah hebat dibandingkan menjadi seorang pendeta. Murid-murid adalah anugerah dari Tuhan.
Dan malam ini, aku juga bersyukur, ketika esok, dan seterusnya, malam-malam yang kulalui dapat kujalani dengan hadirnya inspirasi yang tiada henti. Selalu saja ada bahan untuk kutulis setiap hari -- dan kuyakin itu semua karena campur tangan-Nya. Itu juga anugerah-Nya.
Nah, ketika aku mengoleskan minyak urapan malam ini, aku menyadari, tak ada yang lebih indah selain hidup senantiasa dalam anugerah-Nya yang ajaib!
"TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau anugerah; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera." (Bilangan 6:25-26)
***
~s.n~
Sidoarjo, 2 Maret 2009, hampir subuh
8 comments:
Hi, salam kenal ya ;)
Senang baca post ini, jadi membuat saya lebih bersemangat dalam Dia..bersuka cita dan bersyukur dalam segala hal.
Teruslah berkarya dalam Dia, because without Him we are nothing!
Dan...saya suka juga description blog anda ;) Pas banget!
Hai Wawa... terima kasih sudah berkomentar. Puji syukur, bila tulisan ini menyemangati Anda.
Salam sejahtera,
Sidik Nugroho
Dik (sekali lagi maksudnya Sidik, bukan adik, he he he), rasanya "merinding" jika mengingat bagaimana Tuhan menuntun kita melalui hidup hingga sekarang ini, dan mencoba membayangkan kemana lagi Dia akan membawa kita. Beautiful posting bro, dan "hidup guru!" :)
@ Mas Nur:
Adik juga gak apa-apa. Kan saudara seiman dalam Tuhan, hehehe...
Jadi ingat apa kata D.L. Moody: "Sangatlah indah untuk bercakap-cakap dengan Tuhan; kita berjalan dalam padang belantara hari ini dan di tanah perjanjian besok pagi."
Yeah: hidup guru! Peace and grace!
ini ceritanya kebalikan dari saya deh..hehe..
Asik.. aku ikutan senang juga baca cerita ini. Lebih menginspirasi saya dan nambah ide lagi ... thank you
Liat blog saya yah di http://www.kodomo81.blogspot.com
Wah2 baru tau lho, pengalaman2 pelayanannya mas Sidik selama ini.
Ternyata posting yang tulus (tdk komersial), itu beda banget ya sama posting yg bertujuan komersial.
Artikelnya sangat meng-inspirasi.
Ok bgt.
Have a blessed life bro.
Hai ka sidik apa kabar ??
Setelah saya baca artikel perjalanan rohani kakak, sangat menginspirasi saya utk terus semangat dlm Tuhan.
Anyway, saya jemaat jubilee smg loh, sy lahir baru 2011, swaktu klas 3 sma, dan skg sy mau lulus kuliah. Saya masih semangat dlm Tuhan dan tidak kehilangan visi saya.
Karna saya tahu jemaat mana yg bergerak sesuai visi Tuhan dan mana yg hanya gereja yg fiemannya ada utk menyenangkan telinga manusia.
Banyak hal yg saya alami dgn jemaat jubilee, Tuhan semakin berbicara dan visi jgn semakin jelas. Dan saya menikmati itu semua
Good luck ya bro utk perjalanan imanmu selanjutnya. May God be with you :)
Post a Comment