Pengantar
Puji Tuhan, kali ini rasanya perlu dengan tepukan di dada tiga kali sambil memandang cermin saja, juga sujud tiga kali semenit: tulisanku masuk lagi di koran. Yap, dalam sebulan, tiga kali masuk koran!
Kali ini yang masuk adalah artikel kepenulisan/sastra di Ruang Baca Koran Tempo. Aku membahas tentang proses menulis para penulis. Aku berterima kasih untuk Feby Indirani yang telah memberitahu aku alamat e-mail Pak Purwanto Setiadi. Terima kasih juga untuk Pak Purwanto Setiadi yang telah meloloskan tulisanku.
Terakhir, terima kasihku kepada seorang sahabat lama: Albert Alexander. Dengan kebaikan hatinya yang besar, dia membelikan aku Koran Tempo yang beredar di Jakarta, yang masih bersuplemen Ruang Baca, lalu akan mengirimkannya buatku. Di Malang, suplemen Ruang Baca tidak dilampirkan lagi.
Ruang Baca bisa ditilik online: www.ruangbaca.com. Tapi, waktu aku menulis ini, Ruang Baca belum di-update, masih yang bulan Februari. Jadi, aku posting di sini artikel itu dalam versi awal -- biasanya editor koran mengubahnya sedikit-sedikit sebelum dimuat.
Demikian pengantarku. Selamat menyimak. Oya, artikel ini kubuat pertama-tama untuk teman-teman Forum Penulis Kota Malang (FPKM). Selanjutnya, juga untuk Anda. ***
Segera Memulai, Lalu Menata
Memulai dengan Sederhana
"Saya tidak pernah memutuskan untuk menjadi penulis. Pada awalnya saya tidak berharap mendapatkan nafkah dengan dibacanya karya saya. Saya menulis sebagai seorang anak yang gembira ketika memahami hidup lewat pikiran saya...," demikian Nadine Gordimer berujar ketika menerima anugerah Nobel Sastra.
Ia menulis sejak kecil, berusaha memetakan apa yang ia lihat, cium dan rasa dalam berbagai hal, hingga suatu ketika cerita pertamanya diterbitkan saat berusia 15 tahun.
Beberapa orang menemukan panggilan hidupnya ketika mereka memulai sesuatu yang mengasyikkan. Begitu sederhana. Mereka tak menunggu mimpi, penglihatan supernatural, atau bisikan magis di telinga rohani mereka. Mereka, seperti Nadine Gordimer: memulai, menekuni, lalu menemukan keajaiban di kemudian hari.
Sayangnya, mungkin beberapa dari kita kadang abai terhadap kesederhanaan. Saya mengenal seorang yang mengaku kutu buku, suka membeli banyak buku, suka pergi ke perpustakaan untuk membaca buku; tapi banyak bukunya yang sudah ia beli tidak dijamah-jamah, apalagi tuntas terbaca.
Dalam konteks proses kreatif, keadaan di muka rasanya dapat menjadi cermin para pekerja kreatif: mungkinkah kita juga kadang terlalu sibuk dalam memikirkan banyak hal untuk kreasi yang kita buat -- seperti teman saya yang mengaku doyan buku tapi tak tuntas-tuntas membaca buku itu -- tapi tanpa melakukan suatu langkah kreatif apa pun? Segalanya jadi rumit kalau sudah begini.
Inspirasi datang ketika kita mau memulai sesuatu, bukan hanya berpangku tangan dan murung merenung. Mari kita mulai berkarya. Sejelek apa pun karya kita, dan apa pun bentuknya, kita semua memiliki peluang untuk menemukan keajaiban dari karya itu. Nah, berkaitan dengan hal-ihwal di atas, yang kemudian menjadi persoalan utama dalam berkarya adalah tentang kesegeraan memulai. Seringkali penulis muda bingung: kapan aku harus mulai menulis?
Pembelajaran dari Beberapa Penulis
John Steinbeck, yang dipuja-puja karena keberhasilan novelnya The Grapes of Wrath yang memenangkan penghargaan bergengsi Pulitzer, mempunyai kebiasaan menulis yang sangat menarik.
Pagi hari, begitu bangun tidur, ia langsung bergegas menuju meja kerjanya. Apa pun pikiran yang melintas di kepalanya untuk dituliskan di pagi itu, ia tulis saja. Ia tulis dan tulis, tanpa mempertimbangkan akan jadi apa karya itu. Itu bisa sebuah karya baru, sebuah halaman atau episode lanjutan dari novel yang sedang dibuatnya, atau apa saja. Intinya, ia segera memulai, tanpa banyak pertimbangan.
Kemudian, ia istirahat, lalu membersihkan diri. Setelah mandi, ia duduk lagi di meja kerja yang sama, menghadapi tulisan yang tadi telah dibuatnya, menata lagi tulisan yang dibuatnya itu menjadi tulisan yang baik.
Penulis lain, Stephen King, dalam memoarnya yang terkenal On Writing mengulas secara gamblang kebiasaan atau proses kreatifnya dalam menulis novel-novelnya. Salah satunya adalah yang ia sebut-sebut dengan istilah Pintu Tertutup dan Pintu Terbuka. Pintu Tertutup adalah suatu kerja menulis di mana kita benar-benar mengasingkan diri. Ia menyarankan agar bila perlu kita mengunci kamar, menutup semua korden -- intinya memutuskan semua hubungan dengan dunia luar. Garap novelmu tiap hari, menulislah sebanyak-banyaknya dalam Pintu Tertutup itu, begitu kurang lebih King berpesan.
Terkait dengan konsistensi dalam istilah Pintu Tertutup King ini, setiap orang dapat berbeda pandangan dan kebiasaan. Kate DiCamillo, pemenang penghargaan Newbery Medal untuk bukunya The Tale of Desperaux tampak santai, tidak ngoyo. Kalau King bersaksi bahwa ia akan menggarap novelnya tiap hari tanpa istirahat -- dan menganjurkan kita beristirahat hanya sehari dalam seminggu serta menggarap naskah kalau bisa belasan atau puluhan halaman tiap hari -- DiCamillo menggarap novelnya dua halaman sehari dari hari Senin sampai Jumat. Ia melakukannya pada waktu subuh sebelum berangkat kerja di toko buku.
Ya, tiap pengarang memiliki kebiasaan berbeda dalam hal di atas karena, mungkin, sedikit banyak, hal itu dipengaruhi oleh jenis, bentuk dan tebal-tipisnya karya yang mereka buat. Yang penting dalam penerapan konsistensi ini adalah keyakinan yang selalu ada dalam benak penulis bahwa ia sedang membuat sesuatu yang benar-benar layak untuk dibaca, paling tidak untuk menghargai dirinya sendiri, seperti yang pernah diucapkan oleh Toni Morrison, bahwa jikalau kita tidak menemukan sebuah buku yang ingin kita baca, maka sebenarnya diri kitalah yang seharusnya membuat buku itu. Kerap jadi kendala, dalam soal keyakinan ini, adalah kebimbangan yang menghinggapi benak penulis ketika berada di tengah-tengah proses pembuatan karyanya. Akmal Nasery Basral, penulis novel Imperia, dalam sebuah bincang-bincangnya dengan saya di kota Malang pernah menyatakan, "Mengawali novel dengan keyakinan bahwa apa yang akan kita tulis adalah sesuatu yang luar biasa itu pasti terjadi pada diri tiap penulis. Kita bersemangat dibuatnya. Namun, apakah keyakinan itu tetap ada ketika kita sedang menggarap novel tersebut di tengah jalan, itu soal lain -- itu butuh perjuangan tersendiri."
Kemudian, begitu tiba waktunya menulis novel selesai, King menyarankan agar kita istirahat selama beberapa hari atau minggu. "Tutup novelmu, jangan sentuh sama sekali," katanya. Ia bahkan bercerita, pernah memanfaatkan waktu-waktu istirahat ini dengan menggarap novel pendek lainnya. Salah satu yang terkenal adalah The Girl Who Loved Tom Gordon. Tujuan istirahat ini, paling tidak akan membuat kita sanggup untuk merenungi kembali tujuan kita menulis novel, sambil mengumpulkan kembali gagasan-gagasan hebat yang jadi pemantik kita dalam menuliskan karya tersebut, dan yang paling utama adalah merehatkan pikiran yang suntuk setelah sekian waktu berjuang menghasilkan sebuah karya.
Setelah istirahat itu, mari kita tilik lagi karya yang sudah kita buat. Inilah saat-saat di mana kita kemudian hidup dalam Pintu Terbuka. Di sini perlu kita berbenah, menata segalanya jadi lebih baik. Ia menyarankan bahwa yang lebih perlu dilakukan bukan menambah-nambahi halaman novel, tapi sebaliknya: memangkas bagian-bagian tak penting. Kita juga bisa belajar dari Leo Tolstoy dalam hal ini. Sempat dikisahkan bahwa novel Anna Karenina karyanya dieditnya berkali-kali. Ini terjadi karena ia selalu butuh mengubah apa yang telah ditulisnya. Konon ada yang mengatakan hingga lebih dari seratus kali ia mengeditnya. Bukankah ini menjadi bukti bahwa penulis besar pun kadang dapat memulai segala sesuatu dengan tidak sempurna?
Segera Memulai
Selama ini, hal yang terbalik mungkin dijalani oleh sebagian dari kita -- terutama yang dijuluki perfeksionis. Dalam membuat segala sesuatu, kita ingin segenap proses yang ada di dalamnya berjalan sempurna. Ya, moga-moga beberapa penulis hebat yang saya sebut di atas bisa jadi teladan bagi kita untuk tidak selalu harus mengawali segala sesuatu dengan sesempurna mungkin. Memang ada penulis yang sekali berkarya, ia langsung memberi dampak dan pengaruh yang luar biasa, dan kemudian lenyap bagai ditelan bumi. Contohnya adalah Harper Lee, yang mendapatkan Pulitzer untuk novelnya To Kill a Mockingbird, karya pertama dan terakhirnya. Karyanya itu hingga kini masih dipelajari, dan dianggap sebagai novel yang berpesan moral amat tinggi -- utamanya dalam soal saling memahami dalam hubungan antar-manusia.
Namun sayangnya, tidak banyak orang yang, meminjam puisi Chairil Anwar, "Sekali berarti. Sudah itu mati."
Melihat keragaman proses kreatif para penulis tadi, kembali kita merenungi lagi persoalan awal yang jadi pembahasan utama di tulisan ini. Apa yang kita anggap sempurna di suatu waktu, nyatanya bisa kita anggap tak ada apa-apanya di kemudian hari, setelah pembelajaran kita makin banyak, dan wawasan kita makin luas.
Bahkan, nyatanya juga, jikalau kita ada dalam suatu proses hendak menghasilkan suatu karya selalu ingin selalu sempurna, seringkali kita tidak memulai-mulainya. Memang, awal yang sempurna dan akhir yang sempurna itu luar biasa hebat. Namun, bukankah hidup ini tak selalu berjalan sempurna? Awal yang kacau tapi berakhir sempurna, saya yakin jauh lebih baik daripada tidak memiliki awal sama sekali akibat selalu ingin mengawali segala sesuatu dengan sempurna.
Selamat memulai, selamat berkarya!
Sidik Nugroho, penulis lepas dan guru SD Pembangunan Jaya 2
http://tuanmalam.blogspot.com
6 comments:
Karena baca di Ruang Baca Koran Tempo maka saya dapatkan blog bagus ini. Apa kabar? Salam kenal?
wah,selamat (lagi) buat sampeyan si Tuan Malam hehe... ingat, tasyakuran kemarin belum lunas, berarti double ya hehe..
On Writing-nya King memang luar biasa. Selalu kubaca setiap kali aku mlempem (kayak krupuk kena air)..
Di jogja juga gak ada Ruang Baca-nya.
ya,udah semangat-semangat-semangat!!! hehe...thanks, tulisan panjenengan sungguh inspiratif.Lanjutkan!
@ Paman Tyo: Kabar baik. Terima kasih sudah mampir. Salam kenal.
@ Iqbal: Tasyakuran, lagi dan lagi, hehehe... Sayang kita jauh. Kalau di Jogja, mari nikmati wedang jahe di Malioboro! :-)
King memang mantap. Dia menyuntikkan energi yang besar untuk banyak penulis. Ya... lanjutkan!
wah, sudah berani menulis by line: 'penulis lepas' nih. sip mas. terus berkarya. gantikan gonawan mohammad, emha ainun nadjib. menulis terus. dimuat gak dimuat.
tugas penulis menulis.
tugas redaktur memuat atau mengabaikannya, ha-ha-ha.
terima kasih, masmpep. yap, terus menulis... hingga titik tinta penghabisan.
Hm...kayaknya menulis itu butuh waktu yang buanyak deh...
Post a Comment