5.4.09

Asshole dan Assessment

Selasa sore, 31 Maret, pantatku sudah tidak karu-karuan rasanya. Setelah mengantar tiga naskah ke Penerbit Andi cabang Surabaya di daerah Tenggilis, gejala ambeien mulai terasa. Namun, aku masih tetap cuek. Malamnya -- nah lo, rasain! -- aku selalu kebelet buang air. Dan yang keluar darah, darah dan darah. Celana pendekku berlumuran darah di atas tempat tidur. Dengan sisa-sisa tenaga, kukendarai sepeda motorku, kubeli Ambeven di apotik terdekat. Tapi masih saja: darah terus keluar. Hingga jam tiga pagi aku tidak bisa tidur tenang.

Paginya, aku memaksakan diriku menyeterika baju seragam mengajar. Segera kukenakan, dan aku memang niat berangkat ke sekolah karena hari ini, tanggal 1, hingga tanggal 3, ada assessment (penilaian kinerja guru menggunakan tim penilai dari luar). Tapi, aku sudah tidak kuat. Aku putar arah, langsung menuju rumah sakit Siti Hajar.

Di UGD Siti Hajar dokternya cukup sigap. Dia suruh aku buka celana, njengking, lalu... ini dia bagian yang ngeri. Dia mengambil semacam tabung besar -- sebesar semprotan Baygon cair yang tradisional, bukan yang spray, kurasa kau tahu maksudku -- yang berbentuk seperti pensil. Di pangkal tabung itu ada bagian yang menjadi penyemprotnya. Ujungnya ia masukkan di pantatku lalu penyemprotnya ia tekan. Aku menjerit dan menangis saat itu. Edan tenan, benar-benar sakit!

Semprotan sabun yang dikeluarkan oleh alat itu ternyata bertujuan membantuku untuk memasukkan (maaf) duburku. "Nanti gunakan empat jarimu untuk menekan dan mendorong, sabun tadi akan membantunya masuk," kata dokter. Ketika berjalan menuju kamar mandi dari ruang UGD aku merasa seperti sudah berusia 80 tahun: aku berjalan pelan sekali. Langkah-langkah kakiku hanya mampu bergerak sejauh 10-15 sentimeter.

Celakanya, begitu sampai di kamar mandi, aku kebelet pup. Dan, aku melakukannya! Nah, amblaslah sabun pelicin tadi yang bertujuan melancarkan masuknya (maaf) duburku ke bagian dalam pantatku.

Keluar dari kamar mandi, aku berjalan pelan-pelan lagi. Begitu kuceritai aku pup, dokternya mesam-mesem. "Ya sudah, yang penting obat dari saya nanti diminum," katanya. Aku duduk-duduk dulu di situ beberapa menit, menunggu nyeri di pantatku sirna.

Aku berjalan menuju apotek rumah sakit, mengambil obat. Seorang asing yang baik hati membantuku mengambilkan obat dan membayar di apotek. Setelah mengambil obat, aku duduk-duduk lagi di koridor rumah sakit. Kutelepon beberapa teman. Ada yang tertawa mendengar sakitku, ada yang berduka. Tak lama kemudian dua temanku yang baik hati -- yang dulu satu kos denganku -- menawari aku untuk istirahat di rumah kontrakan mereka. Ya, rumah kontrakan mereka lebih dekat daripada kosku dari rumah sakit.

Akhirnya aku istirahat di rumah kontrakan itu dengan tenang. Siang bangun sekali, cari makan. Tidur lagi hingga lewat maghrib. Aku kemudian istirahat dua hari sesuai petunjuk dokter.

Tentang assessment-ku yang tertunda dua hari karena sakitku itu, puji Tuhan, aku mendapat anugerah khusus: akan ada tim yang akan meng-assess aku -- hanya aku! -- hari Selasa, tanggal 7 April nanti. Aku bersyukur untuk hal ini, walau kadang masih geli juga membayangkan:

Gara-gara (maaf) asshole sakit, assessment jadi tertunda! ***

Catatan:

Aku tidak sedang bermaksud memaki dengan menulis "asshole". "Asshole" dalam tulisanku ini kuartikan "dubur", walau orang barat sana lebih sering menggunakannya sebagai makian. Bagiku, sama seperti kata "anjing". Kata itu bisa jadi judul yang indah bila berbunyi: "Anjing yang Setia", namun juga berangasan bila "Dasar Orang itu Bagai Anjing". Mohon koreksi bila aku kelewatan dan ada di antara Anda yang tidak berkenan.

No comments: