"Ketik Reg, spasi Mama, spasi Porong... kirim ke tit tut tit tut...."
Mama Lauren turut meramalkan kalau bencana lumpur di Porong akan berlangsung selama puluhan tahun. Entah benar entah tidak. Kata Mama, wilayah yang tergenang lumpur bakal mencapai Waru, yang jaraknya sekitar 20 kilometer ke utara dari pusat semburan lumpur. Mama mia! Jauh juga ternyata. Memang, sejak 29 Mei 2006 hingga kini belum ada tanda-tanda lumpur panas akan berhenti muncrat.
26 Juli 2009, udara sangat cerah pada sore hari. Dari Malang yang sejuk aku berangkat jam 15.45 menuju Porong. Sampai di Porong sekitar jam 16.45. Di Porong hawa juga terasa tak terlalu panas. Aku sempat kaget melihat sebagian wilayah yang dulunya tertutup lumpur mengeras dan padat dari Siring Kuning (sebuah titik yang sering dijadikan perhentian bis dan angkot) ke bagian selatan -- sekarang sudah tertutup tanah coklat.
Orang bebas mengendarai motor menuju ke "kawah" yang dulunya merupakan kawasan tertutup lumpur. Namun, kebebasan itu tak penuh. Di jalan turun menuju "kawah", beberapa preman bilang, "Mas, rong ewu, Mas." Ya, biaya untuk menikmati jalan-jalan di kawah lumpur dua ribu rupiah.
Genangan (juga termasuk "kawah") lumpur kini sudah sangat luas. Sejauh ini diperkirakan 530 hektar (data pada bulan Mei 2009). Tiga tahun lumpur menyembur, belum ada hasil yang maksimal dalam penanganan semburan; selain dua upaya utama: pengalihan semburan lumpur ke Kali Porong di bagian selatan menuju laut, dan pembangunan tanggul-tanggul dalam beberapa bagian untuk mencegah luapan lumpur menjalar ke pemukiman penduduk.
Pada akhir Mei lalu, tepat ketika usia bencana lumpur ini tiga tahun, ribuan warga yang sebagian besar berasal dari perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) menggelar aksi demo ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di Surabaya. Demo mereka memuat penolakan atas pemotongan uang ganti rugi. Masalah penggantirugian hingga kini masih saja jadi kemelut panjang, belum selesai-selesai. Diperkirakan ada sepuluh ribu rumah yang terendam, juga belasan pabrik dan beberapa sekolah SD hingga SMA. Namun, Pemprov Jatim tak berpangku tangan. Pada 8 Juni lalu sudah dibangun jalan tol pengganti jalur yang terputus akibat semburan lumpur. Direncanakan, jalan tol baru itu selesai pada tengah tahun 2010.
Langkah ini dianggap sangat tepat diambil mengingat salah satu hambatan -- utamanya kegiatan ekonomi -- terbesar di jalur Surabaya-Malang adalah kemacetan di sekitar Pasar Porong. Kemacetan terutama terjadi hampir di tiap akhir minggu (hari Jumat sore sampai Minggu pagi). Walaupun bagian jalan yang ada di dekat Siring Kuning ke utara sudah dibangun sedmikian lebar dalam dua ruas (satu ruas bisa dilewati empat mobil pada ruas utara menuju selatan), tetap saja kemacetan di Pasar Porong terjadi -- karena lebar jalan makin kecil.
Solusi demi solusi digagas dalam mengubah image Porong yang mengerikan sebagai pusat bencana -- kini menjadi tempat wisata. Wisata Lumpur, demikian kini orang-orang menyebut "kawah" yang terbentuk akibat semburan lumpur panas itu. Kata "wisata" seakan-akan menggantikan kata "bencana" yang dulu merebak bagai teror. Kenangan pahit akan rumah-rumah yang terendam lumpur, demonstrasi-demonstrasi massa yang cukup intens, juga pengungsian demi pengungsian yang harus terjadi akibat bencana semburan lumpur, rasa-rasanya perlahan-lahan pudar. Orang-orang dari segenap penjuru Indonesia, bahkan mancanegara, menikmati pemandangan yang indah di "kawah" akibat bencana ini.
Bahkan, para pemuda setempat main sepakbola di "kawah" bekas semburan lumpur itu. Mereka bermain bola di dekat atap masjid, satu-satunya bangunan dekat jalan raya yang masih ada sisanya akibat genangan lumpur. Ya, karena masjid itu cukup tinggi.
Masih ada pengharapan di balik tiap bencana. Demikian pula di Porong. Dan senja kali ini menghaturkan pengharapan itu dalam canda dan riang para pemain bola, juga dalam wajah mesra sepasang muda-mudi dari Malang yang asyik berfoto di "kawah" bekas semburan lumpur. Beruntung mereka, bertemu denganku yang dengan senang hati mau memfoto mereka berdua. Entah kenapa, keduanya malu bergandengan tangan atau berangkulan mesra ketika kufoto. Mama mia!
16.45, kini sudah bergerak lambat-lambat.... Ya, kini senja makin tua. Dan matahari tampak semakin merah, udara makin dingin. Sayup-sayup terdengar suara adzan. Beberapa burung yang aku tak tahu namanya melintas-lintas di bagian utara "kawah" kering yang kupijak: sebuah bagian lain yang tampak bagai danau.
Kunyalakan starter motor Smash-ku. Kutinggalkan "kawah" yang sebenarnya tak jauh-jauh amat dari tempat kosku ini -- sekitar 10 kilometer. Dalam perjalanan aku mengingat-ingat sebuah puisi yang dulu pernah kubuat ketika melintasi Porong pada bulan Agustus-September tahun lalu:
Catatan Porong
kusam, gosong
lemah jiwa, angan kosong
siang-malam: bolong
lapar-haus: tolong!
harapan sunyi
tak dapat ternyanyi
di sini
tapi masih ada mimpi
***
Sidik Nugroho, 26 Juli 2009
Untuk milis Apresiasi Sastra
Mari nikmati malam, yang diciptakan untuk jadi teman bagi renungan, juga teman menjelang mimpi.
26.7.09
25.7.09
Woman and Kids
Title: The Last Temptation of Christ
Director: Martin Scorsese
Release: August 1988, USA
Jesus of Nazareth, Jesus (Campus Crusades for Christ), The Passion of The Christ and another movies of Jesus of the Bible assumed in the same way: they were told the story about Jesus as Messiah. The focus on these movies was the miracles and salvation He brings to the world. Christians worship and adore Him as God, but sometimes forget that He was fully a man, too, when He lives in this planet. That was the movie attempt to show: the both-side personality of Jesus as God and man.
To make the story acceptable, the movie makers don't use the Bible as the main source in its screenplay. The manly of Jesus that shows on this movie have became a controversial talking. But, in the opening credit, said that it was written by fictional exploration of Jesus' life. So, it would be better to see the movie based on that view.
William Dafoe, plays as Jesus, looks great in his performance. Then, I think, the other character that has a big significance in this movie was Judas (Harveoy Keitel). In the Bible there is nothing special mentioned in relationship between Jesus and Judas, like that told in this movie: Judas is so close with Jesus; even He not starts His ministries yet.
While I'm seeing the movie, it makes my mind sounded some questions. The most hard-answered question is this: Why Jesus told Judas that his "duty" (that is, betray and over Him to crucify by taking some money) is a harder job than die on the cross to forgive human sins – that was Jesus does? That shows in this movie, Judas was commanded directly by Jesus to do the "duty". He looks so sad when he accepted the "duty". He loves Jesus. Maybe, the answer is this: the salvation must be comes through the death, so the one who makes the death happens, he has done his "duty". The "duty" must be doing, even Judas doesn't like it at all to do. But, I'm not sure this was the right answer.
The screenwriter (Paul Schrader) of the movie is brilliant. He challenges us to think about men usually need in life: woman and kids... a family… a common happiness. What if Jesus decides not to obey what God has commanded Him to do? Then he makes an imagination that Jesus gets married and has some children. It comes when Jesus almost finished His salvation on the cross. Based on the Bible, the last temptation was not the imagination. Gethsemane, that was the place He found the last temptation: to do God's will or not.
This movie looks like to challenge our reflection. What kind of self-will-obsessions conflicts in a person who has the-both personalities? Roger Ebert, the famous movie-reviewer write, "I cannot think of another film on a religious subject that has challenged me more fully. The film has offended those whose ideas about God and man it does not reflect. But then, so did Jesus." Perhaps, when Jesus decides not to die on the cross, Christianity knows the consequences: neither salvation, nor eternal life after death people will find.
Sidik Nugroho, 2006
Director: Martin Scorsese
Release: August 1988, USA
Jesus of Nazareth, Jesus (Campus Crusades for Christ), The Passion of The Christ and another movies of Jesus of the Bible assumed in the same way: they were told the story about Jesus as Messiah. The focus on these movies was the miracles and salvation He brings to the world. Christians worship and adore Him as God, but sometimes forget that He was fully a man, too, when He lives in this planet. That was the movie attempt to show: the both-side personality of Jesus as God and man.
To make the story acceptable, the movie makers don't use the Bible as the main source in its screenplay. The manly of Jesus that shows on this movie have became a controversial talking. But, in the opening credit, said that it was written by fictional exploration of Jesus' life. So, it would be better to see the movie based on that view.
William Dafoe, plays as Jesus, looks great in his performance. Then, I think, the other character that has a big significance in this movie was Judas (Harveoy Keitel). In the Bible there is nothing special mentioned in relationship between Jesus and Judas, like that told in this movie: Judas is so close with Jesus; even He not starts His ministries yet.
While I'm seeing the movie, it makes my mind sounded some questions. The most hard-answered question is this: Why Jesus told Judas that his "duty" (that is, betray and over Him to crucify by taking some money) is a harder job than die on the cross to forgive human sins – that was Jesus does? That shows in this movie, Judas was commanded directly by Jesus to do the "duty". He looks so sad when he accepted the "duty". He loves Jesus. Maybe, the answer is this: the salvation must be comes through the death, so the one who makes the death happens, he has done his "duty". The "duty" must be doing, even Judas doesn't like it at all to do. But, I'm not sure this was the right answer.
The screenwriter (Paul Schrader) of the movie is brilliant. He challenges us to think about men usually need in life: woman and kids... a family… a common happiness. What if Jesus decides not to obey what God has commanded Him to do? Then he makes an imagination that Jesus gets married and has some children. It comes when Jesus almost finished His salvation on the cross. Based on the Bible, the last temptation was not the imagination. Gethsemane, that was the place He found the last temptation: to do God's will or not.
This movie looks like to challenge our reflection. What kind of self-will-obsessions conflicts in a person who has the-both personalities? Roger Ebert, the famous movie-reviewer write, "I cannot think of another film on a religious subject that has challenged me more fully. The film has offended those whose ideas about God and man it does not reflect. But then, so did Jesus." Perhaps, when Jesus decides not to die on the cross, Christianity knows the consequences: neither salvation, nor eternal life after death people will find.
Sidik Nugroho, 2006
23.7.09
Amour pour la vie || Cinta untuk selamanya
J'étais curieux
Je ferai ce qu'il vous plaira
Ah, pourquoi ? À quoi bon ? Qu'importe ? a-t-il réplique
Je l'avoue, j'espérais encore
Je gardais le silence
Je suis calme et pétrifie
Je pense, que je ne penserai plus ce soir
Tout est fini, bien fini ...
Maintenant, Dieu merci, je n'espère plus
J'avais le paradis dans le coeur
Je compris, Je me suis dit
Un jour viendra
: Amour pour la vie
===
Aku penasaran
Aku melakukan semua demi menyenangkanmu
Ah, kenapa? Apa gunanya? Apa pentingnya? jawabmu
Kuakui, saat itu aku masih berharap
Aku diam dalam keheningan
Aku sunyi dan terpaku
Kupikir, aku tidak akan berpikir lagi malam ini
Semua telah selesai, benar-benar selesai ...
Sekarang, terima kasih Tuhan, aku tidak berharap lagi
Di dadaku ada surga
Aku mengerti, aku berkata pada diriku sendiri
Suatu hari akan tiba
: Cinta untuk selamanya
~sn. 2008~
Je ferai ce qu'il vous plaira
Ah, pourquoi ? À quoi bon ? Qu'importe ? a-t-il réplique
Je l'avoue, j'espérais encore
Je gardais le silence
Je suis calme et pétrifie
Je pense, que je ne penserai plus ce soir
Tout est fini, bien fini ...
Maintenant, Dieu merci, je n'espère plus
J'avais le paradis dans le coeur
Je compris, Je me suis dit
Un jour viendra
: Amour pour la vie
===
Aku penasaran
Aku melakukan semua demi menyenangkanmu
Ah, kenapa? Apa gunanya? Apa pentingnya? jawabmu
Kuakui, saat itu aku masih berharap
Aku diam dalam keheningan
Aku sunyi dan terpaku
Kupikir, aku tidak akan berpikir lagi malam ini
Semua telah selesai, benar-benar selesai ...
Sekarang, terima kasih Tuhan, aku tidak berharap lagi
Di dadaku ada surga
Aku mengerti, aku berkata pada diriku sendiri
Suatu hari akan tiba
: Cinta untuk selamanya
~sn. 2008~
17.7.09
Kangen Dibalas Cuek
Suatu malam di Bandung yang dingin. Saat liburan, Juni 2009. Malam itu saya ingin menyampaikan kangen pada seorang gadis yang lagi saya dekati dan doakan. Ia tinggal di Surabaya. Saya telepon, tapi tidak diangkat. Di-sms, juga tidak dibalas. Saya mulai kesal. Kesal, karena selama saya sedang liburan, hampir semua telepon tidak diangkat. Sms saya juga tidak pernah dibalasnya. Saya tidak habis pikir kenapa dia bertingkah seperti itu. Saya juga tidak tahu sedang berbuat salah apa.
Ketika pulang liburan, ternyata saya mendapati kalau dia kini sedang menjalin hubungan dengan pria lain. Rasa cemburu, diabaikan, dan ditolak pastilah ada – apalagi karena selama ini di mata saya dia tampak memberikan setitik harapan bahwa upaya pendekatan saya bakal ditanggapi baik. Tapi nyatanya tidak demikian. Kangen saya dibalas cueknya.
Saudara, pernahkah kita kecele? Kita merasa kita berarti, nyatanya kita tak berarti apa-apa di mata seseorang. Namun, kalau direnungi, yang salah bukan seseorang itu, tapi kita juga. Kita telah salah berharap.
Dalam kehidupan ini, tidak semua perbuatan baik dibalas dengan hal yang sama. Bahkan perbuatan baik itu sendiri kerap dilakukan tidak tulus -- mengharap pamrih. Ketika saya mendapati kenyataan ini, saya belajar bahwa kehidupan yang kerap susah ditebak ini tak pantas disesali dengan bermuram durja. Jikalau perbuatan dan niat baik itu memang ada dalam diri kita, maka Tuhan tidak akan tinggal diam. Ia akan mengganjar kita dengan memperhatikan niat dan ketulusan hati kita. (~s.n~)
Ketika pulang liburan, ternyata saya mendapati kalau dia kini sedang menjalin hubungan dengan pria lain. Rasa cemburu, diabaikan, dan ditolak pastilah ada – apalagi karena selama ini di mata saya dia tampak memberikan setitik harapan bahwa upaya pendekatan saya bakal ditanggapi baik. Tapi nyatanya tidak demikian. Kangen saya dibalas cueknya.
Saudara, pernahkah kita kecele? Kita merasa kita berarti, nyatanya kita tak berarti apa-apa di mata seseorang. Namun, kalau direnungi, yang salah bukan seseorang itu, tapi kita juga. Kita telah salah berharap.
Dalam kehidupan ini, tidak semua perbuatan baik dibalas dengan hal yang sama. Bahkan perbuatan baik itu sendiri kerap dilakukan tidak tulus -- mengharap pamrih. Ketika saya mendapati kenyataan ini, saya belajar bahwa kehidupan yang kerap susah ditebak ini tak pantas disesali dengan bermuram durja. Jikalau perbuatan dan niat baik itu memang ada dalam diri kita, maka Tuhan tidak akan tinggal diam. Ia akan mengganjar kita dengan memperhatikan niat dan ketulusan hati kita. (~s.n~)
15.7.09
Persahabatan dan Mimpi-mimpi Kami
: Naskah drama siswa-siswi kelas 4 SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo
PEMBUKAAN
Ini adalah sebuah drama tentang persahabatan dan perjuangan hidup. Kita hidup, berjuang, meraih mimpi… (Aji)
… karena kita yakin bahwa nafas hidup adalah anugerah yang patut disyukuri. Selamat menikmati, dan mari kita menghayati hidup dan kehidupan ini! (Anin)
Cocok… cocok cocok cocok cocok cocok mimpinya!
Mimpi… mimpi mimpi mimpi emang mimpi apaan?
Cocok… cocok cocok cocok cocok cocok mimpinya!
Mimpi… mimpi mimpi mimpi emang mimpi apaan?
(Nyanyian oleh Varell, Aldo, Alief, Ratu, Joseph)
BABAK 1
Aditya – (Bangun dari tidur, mengerjap-ngerjapkan mata.) “Wah, aku mimpi ngeri banget semalam! Uhhh… aku harap mimpi ini nggak jadi kenyataan!” (Dengan wajah tampak bingung dan sedih.)
Amira – (Menghampiri Adit.) “Mimpi apa to, Pak? Santai… santai. Kalem, Pak!”
Aditya – “Anak kita, Farhan… dia seperti masuk dalam ruangan yang gelap… lalu teriak-teriak minta tolong gitu! Aku jadi sedih!” (Tampak resah dan mengerutkan dahi.)
Farhan – (Masuk ke dalam ruangan.) “Pak, Bu… aku berangkat sekolah dulu ya… Dadah!” (Farhan meninggalkan orang tuanya. Lalu percakapan terjadi antara Aditya dan Amira.)
Amira – “Semoga anak kita baik-baik saja, Pak.”
Aditya – “Ya… semoga saja! Semoga mimpiku bukan jadi pertanda buruk.”
Farhan adalah anak yang sabar. Dia sering membantu ibunya jualan klepon. Dititipkannya klepon-klepon itu di warung sekolah. Namun, beberapa temannya yang nakal suka mengejeknya. (Jenny)
Ada kodok trekotrek trekotrek di pinggir kali trekotrek trekotrek
Mencari makan trekotrek trekotrek lucu sekali
Ada Farhan trekotrek trekotrek membawa klepon trekotrek trekotrek
Sambil sekolah trekotrek trekotrek lucu sekali
(Nyanyian oleh Nadhira, Ian, Owen, Axcel)
Azka – “Sudahlah, Farhan. Jangan kamu pedulikan mereka yang suka ngolokin kamu itu.”
Caraka – “Iya, kamu kan bukan pencuri atau perampok. Yang jelas kamu sudah membantu ibumu. Itu bagus!”
Farhan – “Iya, kawan-kawan. Aku senang kalian bisa bersahabat denganku.”
Diva – “Kami juga senang bersahabat denganmu!”
Fefe – “Kita kan lima sekawan yang tak terpisahkan!”
Kelima orang itu lalu menuju ke kantin Mbah Ezra. Mbah Ezra jualan berbagai macam makanan dan minuman di kantin sekolah. Ia disukai anak-anak karena lucu. Di sanalah Farhan menitipkan klepon buatan ibunya. (Viola)
Ezra – (Dengan suara serak.) “Oh, Farhan cucuku… apa kabarmu, Nak? Bawa berapa klepon hari ini?”
Farhan – “Bawa tiga puluh, Mbah. Gimana kabarnya, Mbah? Sehat kan, Mbah?”
Ezra – “Mbah agak sakit flu. Pusing, dan masuk angin, kelihatannya.”
Diva – “Pusing, kesel dan masuk angin ya, Mbah?”
Ezra – “Iya. Lho kok kamu tahu mbah juga sering kesel?”
Vida – “Kalo Mbah sakit pusing, kesel-kesel dan masuk angin, ke Puskesmas aja.”
Caraka – “Iya, Mbah. Puskesmas: Pusing, Kesel-kesel dan Masuk Angin.”
Ezra – “Iya, ya… Ntar deh saya ke sana.”
Mereka kemudian meninggalkan Mbah Ezra seorang diri. Di perjalanan menuju kelas mereka saling berbicara. (Jenny)
Caraka – “Omong-omong Mbah Ezra tadi sakit flu bukan ya?”
Farhan – “Bukan, dia cuma udah tua. Kasihan ya.”
Vida – “Kalo flu hati-hati lho… Jangan-jangan dia kena flu babi!”
Diva – “Hus! Ngawur kamu!”
BABAK 2
Suatu hari setelah pulang sekolah, Farhan berjalan seorang diri. Saat itu ia sedang melamun nasibnya yang tidak bahagia, seperti teman-temannya yang lain. (Viola)
Farhan – “Kadang aku ingin punya mobil, tidak selalu jalan kaki ke sekolah. Betapa teman-temanku beruntung… sementara aku sering malang dan hidup kekurangan. Tapi nggak apa-apalah. Yang penting enjoy…”
Farhan tidak sadar ketika sedang melamun ia berjalan menuju ke tengah jalan, ada seorang pengendara sepeda motor yang lagi mengendarai motornya dengan laju. (Jenny)
Daffa – (Sambil kaget karena melihat Farhan di tengah jalan.) “Woi, woi, wooooi! Awas oi! Jalan kok nengah-nengah sih! Piye to kon iki!” (Farhan ditabrak… Hidungnya berdarah.) “Hah! Haaah! Tolong toloooong. Lontooong, eh toloooong! Ada orang ketabrak! Ada orang ketabrak!”
Untunglah, saat itu ada Fanie dan Ehud yang lagi jalan-jalan siang. Mereka kaget mendengar teriakan. (Viola)
Fanie – “Eh, ada orang ditabrak! Yuk tolongi yuk!”
Ehud – “Yuk, kita tolong!”
Mereka segera menolong, lalu membawa ke rumah sakit. Di rumah sakit ada suster Esther yang menyambut mereka. (Jenny)
(Di rumah sakit terjadi percakapan biasa antara suster dan pasien.)
Farhan kemudian dirawat. Ia lalu tertidur pulas… Saat tidur ia bermimpi dirinya sedang ditinggalkan seorang diri. Ia kesepian. Orang tuanya belum tahu kejadian yang menimpa dirinya. Dalam mimpinya, ia tiba-tiba mendengar sebuah nyanyian yang indah… (Viola)
You’re not alone, for I’m here with you…
Though we’re apart, you’re always in my heart…
(Fefe, Aretha)
BABAK 3
Saat lagu itu selesai dinyanyikan, ayah, ibu, dan keempat teman Farhan datang di sampingnya. (Jenny)
Adit – “Ternyata… ini arti mimpiku… Anakku dirawat di rumah sakit!” (Adit menangis tersedu-sedu.)
Amira – “Sudahlah, Pak… Kalem saja. Dia nggak apa-apa. Kepalanya cuma benjol sedikit. Besok juga sudah pulang kan?
(Diva, Vida, Caraka dan Azka menghibur Farhan dengan kata-kata spontan. Intinya supaya Farhan tidak sedih.)
Farhan – “Aku dengar dari Ibu kalau Bapak mungkin bermimpi buruk tentang aku. Tapi aku punya mimpi yang lain, Pak.”
Adit – “Apa itu, Nak?”
Farhan – “Aku mendengar suara yang indah dalam mimpiku tadi. Mungkin, kita dapat mengubah mimpi kita: dari buruk menjadi baik.”
Azka – “Dan ada kami, teman-temannya, yang akan mewujudkan mimpi itu bersama-sama!”
Hari ini, di sebuah rumah sakit, telah terjadi sebuah sukacita. Saat semua sedang tersenyum bahagia, masuklah seorang pria tua yang cukup mengagetkan semuanya. (Viola)
Mbah Ezra – “Saya dengar-dengar, Farhan masuk rumah sakit ya?”
Diva – “Lho Mbah Ezra datang!”
Vida, Caraka, Azka, Farhan – “Mbah Ezra datang!”
Mbah Ezra – (Sambil memeluk Farhan yang terbaring lemah.) “Cucuku, Mbah kemarin dari Puskesmas, sekarang kok gantian kamu to yang masuk rumah sakit?” (Suaranya sedih.)
Farhan – “Sudahlah, Pak. Saya tidak apa-apa kok. Sebentar lagi saya akan titip klepon lagi kok!”
PENUTUPAN
Semua siswa kelas 4 tampil menyanyikan lagu:
Menarilah dan terus tertawa,
walau dunia tak seindah surga.
Walau dia cuma jual klepon,
tapi kisah hidupnya…semangat!
Kelas 4: Semangat!!!
Nah, inilah sebuah drama tentang persahabatan dan perjuangan hidup. Kita hidup, berjuang, meraih mimpi… (Aji)
… karena kita yakin bahwa nafas hidup adalah anugerah yang patut disyukuri. Semoga menikmati, dan mari kita menghayati hidup dan kehidupan ini! (Anin)
Drama Assembly kelas 4 tahun ajaran baru 2009-2010.
Sidik Nugroho, wali kelas 4, 14-15 Juli 2009
PEMBUKAAN
Ini adalah sebuah drama tentang persahabatan dan perjuangan hidup. Kita hidup, berjuang, meraih mimpi… (Aji)
… karena kita yakin bahwa nafas hidup adalah anugerah yang patut disyukuri. Selamat menikmati, dan mari kita menghayati hidup dan kehidupan ini! (Anin)
Cocok… cocok cocok cocok cocok cocok mimpinya!
Mimpi… mimpi mimpi mimpi emang mimpi apaan?
Cocok… cocok cocok cocok cocok cocok mimpinya!
Mimpi… mimpi mimpi mimpi emang mimpi apaan?
(Nyanyian oleh Varell, Aldo, Alief, Ratu, Joseph)
BABAK 1
Aditya – (Bangun dari tidur, mengerjap-ngerjapkan mata.) “Wah, aku mimpi ngeri banget semalam! Uhhh… aku harap mimpi ini nggak jadi kenyataan!” (Dengan wajah tampak bingung dan sedih.)
Amira – (Menghampiri Adit.) “Mimpi apa to, Pak? Santai… santai. Kalem, Pak!”
Aditya – “Anak kita, Farhan… dia seperti masuk dalam ruangan yang gelap… lalu teriak-teriak minta tolong gitu! Aku jadi sedih!” (Tampak resah dan mengerutkan dahi.)
Farhan – (Masuk ke dalam ruangan.) “Pak, Bu… aku berangkat sekolah dulu ya… Dadah!” (Farhan meninggalkan orang tuanya. Lalu percakapan terjadi antara Aditya dan Amira.)
Amira – “Semoga anak kita baik-baik saja, Pak.”
Aditya – “Ya… semoga saja! Semoga mimpiku bukan jadi pertanda buruk.”
Farhan adalah anak yang sabar. Dia sering membantu ibunya jualan klepon. Dititipkannya klepon-klepon itu di warung sekolah. Namun, beberapa temannya yang nakal suka mengejeknya. (Jenny)
Ada kodok trekotrek trekotrek di pinggir kali trekotrek trekotrek
Mencari makan trekotrek trekotrek lucu sekali
Ada Farhan trekotrek trekotrek membawa klepon trekotrek trekotrek
Sambil sekolah trekotrek trekotrek lucu sekali
(Nyanyian oleh Nadhira, Ian, Owen, Axcel)
Azka – “Sudahlah, Farhan. Jangan kamu pedulikan mereka yang suka ngolokin kamu itu.”
Caraka – “Iya, kamu kan bukan pencuri atau perampok. Yang jelas kamu sudah membantu ibumu. Itu bagus!”
Farhan – “Iya, kawan-kawan. Aku senang kalian bisa bersahabat denganku.”
Diva – “Kami juga senang bersahabat denganmu!”
Fefe – “Kita kan lima sekawan yang tak terpisahkan!”
Kelima orang itu lalu menuju ke kantin Mbah Ezra. Mbah Ezra jualan berbagai macam makanan dan minuman di kantin sekolah. Ia disukai anak-anak karena lucu. Di sanalah Farhan menitipkan klepon buatan ibunya. (Viola)
Ezra – (Dengan suara serak.) “Oh, Farhan cucuku… apa kabarmu, Nak? Bawa berapa klepon hari ini?”
Farhan – “Bawa tiga puluh, Mbah. Gimana kabarnya, Mbah? Sehat kan, Mbah?”
Ezra – “Mbah agak sakit flu. Pusing, dan masuk angin, kelihatannya.”
Diva – “Pusing, kesel dan masuk angin ya, Mbah?”
Ezra – “Iya. Lho kok kamu tahu mbah juga sering kesel?”
Vida – “Kalo Mbah sakit pusing, kesel-kesel dan masuk angin, ke Puskesmas aja.”
Caraka – “Iya, Mbah. Puskesmas: Pusing, Kesel-kesel dan Masuk Angin.”
Ezra – “Iya, ya… Ntar deh saya ke sana.”
Mereka kemudian meninggalkan Mbah Ezra seorang diri. Di perjalanan menuju kelas mereka saling berbicara. (Jenny)
Caraka – “Omong-omong Mbah Ezra tadi sakit flu bukan ya?”
Farhan – “Bukan, dia cuma udah tua. Kasihan ya.”
Vida – “Kalo flu hati-hati lho… Jangan-jangan dia kena flu babi!”
Diva – “Hus! Ngawur kamu!”
BABAK 2
Suatu hari setelah pulang sekolah, Farhan berjalan seorang diri. Saat itu ia sedang melamun nasibnya yang tidak bahagia, seperti teman-temannya yang lain. (Viola)
Farhan – “Kadang aku ingin punya mobil, tidak selalu jalan kaki ke sekolah. Betapa teman-temanku beruntung… sementara aku sering malang dan hidup kekurangan. Tapi nggak apa-apalah. Yang penting enjoy…”
Farhan tidak sadar ketika sedang melamun ia berjalan menuju ke tengah jalan, ada seorang pengendara sepeda motor yang lagi mengendarai motornya dengan laju. (Jenny)
Daffa – (Sambil kaget karena melihat Farhan di tengah jalan.) “Woi, woi, wooooi! Awas oi! Jalan kok nengah-nengah sih! Piye to kon iki!” (Farhan ditabrak… Hidungnya berdarah.) “Hah! Haaah! Tolong toloooong. Lontooong, eh toloooong! Ada orang ketabrak! Ada orang ketabrak!”
Untunglah, saat itu ada Fanie dan Ehud yang lagi jalan-jalan siang. Mereka kaget mendengar teriakan. (Viola)
Fanie – “Eh, ada orang ditabrak! Yuk tolongi yuk!”
Ehud – “Yuk, kita tolong!”
Mereka segera menolong, lalu membawa ke rumah sakit. Di rumah sakit ada suster Esther yang menyambut mereka. (Jenny)
(Di rumah sakit terjadi percakapan biasa antara suster dan pasien.)
Farhan kemudian dirawat. Ia lalu tertidur pulas… Saat tidur ia bermimpi dirinya sedang ditinggalkan seorang diri. Ia kesepian. Orang tuanya belum tahu kejadian yang menimpa dirinya. Dalam mimpinya, ia tiba-tiba mendengar sebuah nyanyian yang indah… (Viola)
You’re not alone, for I’m here with you…
Though we’re apart, you’re always in my heart…
(Fefe, Aretha)
BABAK 3
Saat lagu itu selesai dinyanyikan, ayah, ibu, dan keempat teman Farhan datang di sampingnya. (Jenny)
Adit – “Ternyata… ini arti mimpiku… Anakku dirawat di rumah sakit!” (Adit menangis tersedu-sedu.)
Amira – “Sudahlah, Pak… Kalem saja. Dia nggak apa-apa. Kepalanya cuma benjol sedikit. Besok juga sudah pulang kan?
(Diva, Vida, Caraka dan Azka menghibur Farhan dengan kata-kata spontan. Intinya supaya Farhan tidak sedih.)
Farhan – “Aku dengar dari Ibu kalau Bapak mungkin bermimpi buruk tentang aku. Tapi aku punya mimpi yang lain, Pak.”
Adit – “Apa itu, Nak?”
Farhan – “Aku mendengar suara yang indah dalam mimpiku tadi. Mungkin, kita dapat mengubah mimpi kita: dari buruk menjadi baik.”
Azka – “Dan ada kami, teman-temannya, yang akan mewujudkan mimpi itu bersama-sama!”
Hari ini, di sebuah rumah sakit, telah terjadi sebuah sukacita. Saat semua sedang tersenyum bahagia, masuklah seorang pria tua yang cukup mengagetkan semuanya. (Viola)
Mbah Ezra – “Saya dengar-dengar, Farhan masuk rumah sakit ya?”
Diva – “Lho Mbah Ezra datang!”
Vida, Caraka, Azka, Farhan – “Mbah Ezra datang!”
Mbah Ezra – (Sambil memeluk Farhan yang terbaring lemah.) “Cucuku, Mbah kemarin dari Puskesmas, sekarang kok gantian kamu to yang masuk rumah sakit?” (Suaranya sedih.)
Farhan – “Sudahlah, Pak. Saya tidak apa-apa kok. Sebentar lagi saya akan titip klepon lagi kok!”
PENUTUPAN
Semua siswa kelas 4 tampil menyanyikan lagu:
Menarilah dan terus tertawa,
walau dunia tak seindah surga.
Walau dia cuma jual klepon,
tapi kisah hidupnya…semangat!
Kelas 4: Semangat!!!
Nah, inilah sebuah drama tentang persahabatan dan perjuangan hidup. Kita hidup, berjuang, meraih mimpi… (Aji)
… karena kita yakin bahwa nafas hidup adalah anugerah yang patut disyukuri. Semoga menikmati, dan mari kita menghayati hidup dan kehidupan ini! (Anin)
Drama Assembly kelas 4 tahun ajaran baru 2009-2010.
Sidik Nugroho, wali kelas 4, 14-15 Juli 2009
14.7.09
Tak Ada Rahasia
Eddie Lembong, dalam sebuah wawancara menyatakan sesuatu yang penting tentang keberhasilan. Ia seorang pimpinan Perhimpunan INTI (Indonesia-Tionghoa). “Rahasia dagang itu tidak ada... Karena ada jarak, dan kami (orang Tionghoa) dianggap makmur, mereka (orang pribumi) menganggap pasti ada rahasia yang kami sembunyikan. Nanti kalau masyarakat bisa belajar, mereka akan kaget sendiri, sebab kami memang tidak memiliki rahasia apa-apa.”
Saya sepakat dengan apa yang dinyatakan Eddie Lembong. Tidak ada rahasia (khusus) dalam mencapai suatu keberhasilan. Kita menuai apa yang kita tabur. Kesialan menjadi bahan refleksi. Kegagalan menjadi batu loncatan. Dan seterusnya. Kita sudah terlalu sering mendengarnya.
Persoalan lain, dari pernyataan Eddie di atas, kadang kala kita berpikir ras lain lebih hebat daripada kita. Bukan hanya orang Tionghoa. Orang Eropa, Amerika, Arab, atau lainnya, kita anggap lebih bermartabat, lebih berbudaya, lebih berhasil dan sederet “lebih” lainnya -- sementara kita memutuskan meringkuk berada di belakang, atau bahkan jauh di belakang mereka.
Mentalitas ini perlu diubah. Kita yang selama ini berkubang dalam lumpur kesialan, iri terhadap kelebihan orang lain, dan mengasihani diri sendiri, perlu bangkit dengan cara pandang yang positif dalam menapaki hidup. “Semua impian kita dapat menjadi nyata kalau kita mempunyai keberanian untuk mengejarnya,” kata Walt Disney. Nah, kini, bila kita ingin mimpi kita menjadi kenyataan, kita tidak boleh kebanyakan tidur. Mari kita bangun! (~s.n~)
Saya sepakat dengan apa yang dinyatakan Eddie Lembong. Tidak ada rahasia (khusus) dalam mencapai suatu keberhasilan. Kita menuai apa yang kita tabur. Kesialan menjadi bahan refleksi. Kegagalan menjadi batu loncatan. Dan seterusnya. Kita sudah terlalu sering mendengarnya.
Persoalan lain, dari pernyataan Eddie di atas, kadang kala kita berpikir ras lain lebih hebat daripada kita. Bukan hanya orang Tionghoa. Orang Eropa, Amerika, Arab, atau lainnya, kita anggap lebih bermartabat, lebih berbudaya, lebih berhasil dan sederet “lebih” lainnya -- sementara kita memutuskan meringkuk berada di belakang, atau bahkan jauh di belakang mereka.
Mentalitas ini perlu diubah. Kita yang selama ini berkubang dalam lumpur kesialan, iri terhadap kelebihan orang lain, dan mengasihani diri sendiri, perlu bangkit dengan cara pandang yang positif dalam menapaki hidup. “Semua impian kita dapat menjadi nyata kalau kita mempunyai keberanian untuk mengejarnya,” kata Walt Disney. Nah, kini, bila kita ingin mimpi kita menjadi kenyataan, kita tidak boleh kebanyakan tidur. Mari kita bangun! (~s.n~)
11.7.09
c'est la vie vue de près
kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di hari depan. dalam hitungan detik, segalanya dapat berubah.
9 juli malam aku dapat kabar bapakku sakit. ia pingsan setelah ikut kelas pengajaran di gereja.
dia lagi duduk di meja makan, mengukur tensinya, pakai pengukur tensi digital di rumah. kepalanya pusing waktu itu. hasil pengukuran ternyata sangat rendah, hanya 60. ia kaget, seketika tak sadarkan diri. ibuku panik, teriak-teriak memohon bantuan orang di sekitar rumah kami. tapi karena ruang makan kami ada di belakang, tak ada yang mendengar teriakan itu.
ibuku segera akan bergegas menuju depan rumah. saat mau melangkah, sebuah "tangan" ajaib memegang tangannya, menghentikan niatnya berlari. ibuku melihat bapakku tak memegangnya. bapak sudah terbaring di kursi tanpa daya sekitar semenit. ibuku seketika itu diingatkan oleh suatu pengalamannya dulu kalau orang pingsan tidak boleh didudukkan. ia langsung menggeser kursi yang diduduki bapakku sekuat tenaga, sambil kedua tangannya menidurkan bapakku di lantai.
saat ini mobil di rumah kami sedang dipinjam saudara. ibuku sudah bingung mau diapakan nih bapakku. untunglah, pada saat ia menuju ke depan rumah setelah membaringkan bapak, ada tetangga yang lewat, pakai mobil, baru saja pulang dari mal. bersyukurlah, tetangga itu murah hati. ia segera mengantarkan ibu dan bapakku ke seorang dokter kepercayaan bapakku.
oleh dokter itu bapak kemudian disuruh untuk opname di r.s. panti nirmala. dan, puji tuhan, semua hasil pemeriksaan dari laboratorium menyatakan kondisinya baik. semula ada indikasi gejala stroke ringan, tapi hasil ct scan menyatakan kondisinya baik-baik saja, sejauh ini.
jadi, sebab utama sakit ini karena pagi hari, 9 juli, bapakku berjalan kaki lebih jauh daripada rute biasanya. maklum, bapakku ini orang yang suka jalan sendirian untuk cari hawa segar, selain menanam-merawat berbagai tanaman hias di belakang rumah.
aku mendapat kabar bapak dibawa ke rumah sakit jam 10-an malam. aku bimbang pulang atau tidak. tidak bisa tidur, jam setengah satu malam aku putuskan ke terminal bungurasih, dapat bis ke malang jam 2 pagi.
ketika menjagai bapak yang sakit, pikiranku semata-mata tertuju pada berbagai penderitaan yang dialami macam-macam orang. cerita yang paling menohok adalah ketika aku mendengar seorang penunggu pasien di rumah sakit: ia sedang menunggui ibunya yang rusuknya sedang dipasangi 16 buah pipa alumunium akibat kecelakaan. sebuah kecelakaan yang mengerikan: 9 orang di dalam sebuah mobil jatuh ke jurang dalam perjalanan dari pacitan. 2 orang meninggal.
ketika pikiranku dilintasi berbagai penderitaan, pagi hari aku senantiasa merenung: betapa fana kehidupan ini. betapa bersyukur aku untuk kehidupan yang ada. kebetulan, r.s. panti nirmala ada di dekat pusat keramaian di kota malang; dekat pasar besar di malang.
pagi hari saat mencari makan aku melihat tukang becak tua yang rantainya selalu lepas dari gear ketika mengangkut ibu yang membawa dagangan sayur. ada mbah tua berambut putih yang menghidangkan teh untuk satu orang gila yang hitam-legam. ada seorang pria paruh baya yang rambutnya gundul dan menempelkan kepalanya di sebuah tiang yang menjadi penyangga rambu lalu lintas, dengan wajah memelas.
dan ada ibuku, yang kesetiaannya tak pernah kuragukan, untuk suami dan anak-anaknya. yang bikin aku heran adalah keputusannya untuk berpuasa saat badannya kini sudah tak lagi muda, dan ia harus riwa-riwi ke sana kemari untuk mengurus askes, peralatan-perawatan bapakku yang sakit, dll. aku berusaha mencegahnya, namun ia merasa masih cukup kuat untuk puasa.
dan masih banyak lagi.
***
aku menghayati: selain ibadah pemakaman, rumah sakit mungkin tempat lain yang menarik untuk menjadi pemantik renungan. di rumah sakit aku berpikir lebih jernih dalam menghadapi berbagai kesialan yang kualami akhir-akhir ini.
"pergi ke rumah duka lebih baik daripada ke rumah pesta," kata nabi sulaiman. "orang yang berbahagia adalah orang yang mengingat hari kematiannya setiap saat," kata nabi muhammad. dan bicara tentang kematian, aku juga tidak akan pernah lupa novel "hari terakhir seorang terpidana mati" karya victor hugo. di sana ia dengan mantap membahasakan pikiran seorang yang menganggap berarti apa pun yang ia lihat menjelang detik-detik terakhir hari eksekusinya.
mungkin beberapa bagian terakhir yang kutulis ini agak berlebihan jikalau ada yang membacanya dalam keadaan sibuk. aku mohon maaf jikalau kesannya hiperbolis. namun, saat ini aku sama seperti hugo, merasa bahwa setiap waktu berarti; dan kehidupan (utamanya yang kini baru kusaksikan: kesahajaan orang-orang sederhana di sebuah keramaian pasar), dengan segala yang terjadi di dalamnya mampu mendatangkan perenungan yang menuntun kepada kedamaian.
itulah yang disebut oleh victor hugo: "c'est la vie vue de près".
"inilah kehidupan yang dilihat dari dekat".
kantor pos alun-alun kota malang, 11 juli, sebelum jam 9 pagi
9 juli malam aku dapat kabar bapakku sakit. ia pingsan setelah ikut kelas pengajaran di gereja.
dia lagi duduk di meja makan, mengukur tensinya, pakai pengukur tensi digital di rumah. kepalanya pusing waktu itu. hasil pengukuran ternyata sangat rendah, hanya 60. ia kaget, seketika tak sadarkan diri. ibuku panik, teriak-teriak memohon bantuan orang di sekitar rumah kami. tapi karena ruang makan kami ada di belakang, tak ada yang mendengar teriakan itu.
ibuku segera akan bergegas menuju depan rumah. saat mau melangkah, sebuah "tangan" ajaib memegang tangannya, menghentikan niatnya berlari. ibuku melihat bapakku tak memegangnya. bapak sudah terbaring di kursi tanpa daya sekitar semenit. ibuku seketika itu diingatkan oleh suatu pengalamannya dulu kalau orang pingsan tidak boleh didudukkan. ia langsung menggeser kursi yang diduduki bapakku sekuat tenaga, sambil kedua tangannya menidurkan bapakku di lantai.
saat ini mobil di rumah kami sedang dipinjam saudara. ibuku sudah bingung mau diapakan nih bapakku. untunglah, pada saat ia menuju ke depan rumah setelah membaringkan bapak, ada tetangga yang lewat, pakai mobil, baru saja pulang dari mal. bersyukurlah, tetangga itu murah hati. ia segera mengantarkan ibu dan bapakku ke seorang dokter kepercayaan bapakku.
oleh dokter itu bapak kemudian disuruh untuk opname di r.s. panti nirmala. dan, puji tuhan, semua hasil pemeriksaan dari laboratorium menyatakan kondisinya baik. semula ada indikasi gejala stroke ringan, tapi hasil ct scan menyatakan kondisinya baik-baik saja, sejauh ini.
jadi, sebab utama sakit ini karena pagi hari, 9 juli, bapakku berjalan kaki lebih jauh daripada rute biasanya. maklum, bapakku ini orang yang suka jalan sendirian untuk cari hawa segar, selain menanam-merawat berbagai tanaman hias di belakang rumah.
aku mendapat kabar bapak dibawa ke rumah sakit jam 10-an malam. aku bimbang pulang atau tidak. tidak bisa tidur, jam setengah satu malam aku putuskan ke terminal bungurasih, dapat bis ke malang jam 2 pagi.
ketika menjagai bapak yang sakit, pikiranku semata-mata tertuju pada berbagai penderitaan yang dialami macam-macam orang. cerita yang paling menohok adalah ketika aku mendengar seorang penunggu pasien di rumah sakit: ia sedang menunggui ibunya yang rusuknya sedang dipasangi 16 buah pipa alumunium akibat kecelakaan. sebuah kecelakaan yang mengerikan: 9 orang di dalam sebuah mobil jatuh ke jurang dalam perjalanan dari pacitan. 2 orang meninggal.
ketika pikiranku dilintasi berbagai penderitaan, pagi hari aku senantiasa merenung: betapa fana kehidupan ini. betapa bersyukur aku untuk kehidupan yang ada. kebetulan, r.s. panti nirmala ada di dekat pusat keramaian di kota malang; dekat pasar besar di malang.
pagi hari saat mencari makan aku melihat tukang becak tua yang rantainya selalu lepas dari gear ketika mengangkut ibu yang membawa dagangan sayur. ada mbah tua berambut putih yang menghidangkan teh untuk satu orang gila yang hitam-legam. ada seorang pria paruh baya yang rambutnya gundul dan menempelkan kepalanya di sebuah tiang yang menjadi penyangga rambu lalu lintas, dengan wajah memelas.
dan ada ibuku, yang kesetiaannya tak pernah kuragukan, untuk suami dan anak-anaknya. yang bikin aku heran adalah keputusannya untuk berpuasa saat badannya kini sudah tak lagi muda, dan ia harus riwa-riwi ke sana kemari untuk mengurus askes, peralatan-perawatan bapakku yang sakit, dll. aku berusaha mencegahnya, namun ia merasa masih cukup kuat untuk puasa.
dan masih banyak lagi.
***
aku menghayati: selain ibadah pemakaman, rumah sakit mungkin tempat lain yang menarik untuk menjadi pemantik renungan. di rumah sakit aku berpikir lebih jernih dalam menghadapi berbagai kesialan yang kualami akhir-akhir ini.
"pergi ke rumah duka lebih baik daripada ke rumah pesta," kata nabi sulaiman. "orang yang berbahagia adalah orang yang mengingat hari kematiannya setiap saat," kata nabi muhammad. dan bicara tentang kematian, aku juga tidak akan pernah lupa novel "hari terakhir seorang terpidana mati" karya victor hugo. di sana ia dengan mantap membahasakan pikiran seorang yang menganggap berarti apa pun yang ia lihat menjelang detik-detik terakhir hari eksekusinya.
mungkin beberapa bagian terakhir yang kutulis ini agak berlebihan jikalau ada yang membacanya dalam keadaan sibuk. aku mohon maaf jikalau kesannya hiperbolis. namun, saat ini aku sama seperti hugo, merasa bahwa setiap waktu berarti; dan kehidupan (utamanya yang kini baru kusaksikan: kesahajaan orang-orang sederhana di sebuah keramaian pasar), dengan segala yang terjadi di dalamnya mampu mendatangkan perenungan yang menuntun kepada kedamaian.
itulah yang disebut oleh victor hugo: "c'est la vie vue de près".
"inilah kehidupan yang dilihat dari dekat".
kantor pos alun-alun kota malang, 11 juli, sebelum jam 9 pagi
7.7.09
Kritik Sosial, Aura Kasih dan Semangat Rocker
Review album terbaru God Bless 36th
Judul Album: 36th
Artis: God Bless
Tahun: 2009
Jumlah lagu: 10
Label: Nagaswara
God Bless bisa dibilang sebagai grup rock papan atas -- teratas malah -- di Indonesia. Selama 36 tahun malang-melintang di blantika musik Nusantara, baru enam album mereka rilis. Di album keenam yang diberi judul 36th ini, mereka mencoba menawarkan sesuatu yang lain dari yang ditawarkan oleh band-band yang juga terkategori band beraliran rock dewasa ini.
N.A.T.O. (No Action Talk Only) menjadi lagu pembuka dari album ini. Menghentak dan penuh vitalitas. Dengan lirik yang kritis dan sedikit gaul, disertai musik rancak yang cukup atraktif, N.A.T.O. sukses menjadi pembuka yang mantap, mengingatkan kita pada Bis Kota, sebuah lagu God Bless masa silam.
N.A.T.O. disusul Prahara Timur Tengah. Kali ini, citarasa musik Timur Tengah digarap apik dengan turut menyertakan kata-kata bahasa Arab dalam syairnya: "Wa laa yughoyyir, hatta tughoyyir". Bila dihayati, lagu seperti Prahara Timur Tengah inilah salah satu hal yang membuat God Bless tampil beda. God Bless, dengan caranya yang khas, selalu menyajikan akulturasi musik, bahkan ketika Ian Antono, Donny Fattah dan Achmad Albar membentuk Gong 2000. Di grup itu mereka menciptakan lagu Bara Timur yang kental dengan sentuhan nuansa musik Jawa-Bali. Musikalitas mereka mungkin tak secanggih grup band atau musisi hebat di Barat sana, tapi ciri khas mereka dalam memadukan berbagai elemen musik, juga nuansa etnik dari berbagai kebudayaan, lalu menyajikannya dalam sebuah karya, benar-benar patut dipuji.
Lagu Biarkan Hijau, bertema sama seperti N.A.T.O. dan Prahara Timur Tengah -- memuat kritik sosial atas kondisi yang terjadi. Biarkan Hijau iramanya sedikit mirip seperti beberapa lagu Deep Purple yang kental dengan hentakan-hentakan khas. Namun, tak semua lagu di album ini berirama keras dan memuat kritik sosial. Kita semua tahu, God Bless juga dikenal sebagai band pelantun balada atau tembang cinta yang juga ciamik.
Lagu bertema cinta dalam album ini ada dua: Kar'na Kuingin Kau Bahagia dan Pudar. Sayangnya, entah mungkin karena faktor usia, lagu-lagu cinta ini kurang gregetnya. Mungkin juga penciptanya (kebetulan sama-sama diciptakan oleh Cahya Sadar) sudah tak lagi muda. Lagu cinta mereka tak lagi berkekuatan seperti Rumah Kita, atau Huma di Atas Bukit, misalnya. Mungin juga, lagu-lagu cinta yang bersahaja, yang menawarkan kesetiaan dan pengabdian, memang asing di zaman yang sarat dengan syair lagu selingkuh dan pacaran putus-nyambung ini.
Di lagu Pudar, entah sengaja atau tidak, kesannya malah main-main. Dua bait akhirnya berbunyi: "Namun masih adakah hangat untuk didekap, kala peluh cinta sudah dingin tanpa aura... kasih". Lho, kok Aura Kasih?
Lagu yang agak lucu -- tidak tahu nih: sengaja atau tidak sengaja dibuat lucu -- adalah Sahabat. Kalau kita tidak disuguhi suara gonggong anjing di bagian tengah dan akhir lagu, kita bisa mengira yang tidak-tidak atas syair lagu ini. Suara Achmad Albar yang rasanya tidak pas dibikin centil dalam lagu ini, dapat dianalogikan dengan seorang binaragawan seperti Ade Rai yang suka dolanan Barbie. Ya, rocker kok centil sih? Tidak pas, tidak alami dan tidak wajar saja kedengarannya. Jadi lucu.
Syair yang kurang apik tergarap ada pada lagu Dunia Gila dan Syair untuk Sahabat. Dunia Gila, syairnya terkesan fatalis dan kelewat hiperbolis, seolah-olah tidak ada lagi ruang renungan untuk kebaikan terkecil yang dilakukan seorang insan. Sementara Syair untuk Sahabat berupaya puitis dan reflektif, namun terangkai dalam nada yang kurang lincah dipilih, sehingga kesannya muram dan mengambang.
Memang, tak semua lagu dalam sebuah album musik menjadi hits. Seperti yang telah diuraikan di atas, sebuah album dapat memuat berbagai lagu yang kadang mengecewakan. Namun, menjadi hits atau tidak, ada sebuah lagu yang paling apik dan matang tergarap di album ini. Judulnya Jalan Pulang. Mengamati liriknya yang kental dengan balutan pesan spiritual dan humanisme, kita akan terpana: "Kembalilah memohon pada-Nya, tegarkan hatimu dan ketuklah pintu-Nya."
Belum lagi, di lagu itu, tampaknya ada sentuhan nuansa musik gerejawi, dalam sebuah bagian yang dijuduli Choir. Masih lanjut, tak habis di situ, di bagian akhir ada pula dinamika lain yang dikembangkan, yang amat variatif, mengingatkan kita pada karya-karya keempat personil Queen yang kerap memvariasikan musiknya dengan berbagai dinamika dan perubahan tempo. Lagu ini membuat kita teringat pada lagu God Bless lain berjudul Selamat Pagi Indonesia yang kental dengan dinamika.
Lagu terakhir adalah Rock 'n' Roll Hidupku. Mendengar lagu ini jadi teringat EdanE yang pada beberapa tahun silam menulis lagu Rock in '82. Di dalamnya ada kata-kata: "Hidupku rock 'n' roll, Jack!" Lagu yang cukup berenergi, walau agak disayangkan, suara Achmad Albar di lagu ini dibuat lebih berat, mirip Rod Stewart. Rock 'n' Roll Hidupku adalah lagu yang cukup gamblang dalam menjelaskan siapa God Bless: idealismenya, citarasa bermusiknya, hingga jatidirinya.
Di masa silam, God Bless adalah bintang-bintang rock kelas atas. Achmad Albar adalah seorang artis yang cukup sering jadi bintang sampul Aktuil, majalah asuhan Remy Sylado. God Bless melantunkan lagu Semut Hitam, dan semua orang di stadion mana pun yang mendengarnya akan bergoyang kepala dan berjingkrak penuh semangat. Begitu pula dengan Bis Kota dan Kehidupan: energi kita serasa disentil untuk bangkit lagi. Rumah Kita, Huma di Atas Bukit, Syair Kehidupan dan Balada Sejuta Wajah, membuat kita merenung dalam-dalam arti cinta yang penuh kesederhanaan, juga kehidupan. Sementara Musisi dan Selamat Pagi Indonesia membuat kita terpana akan sebuah suguhan musik yang tergarap rapi dan berkualitas, tanpa harus canggih dan terlalu rumit.
Upaya akulturatif memadukan jenis, warna dan nuansa musik, serta penyampaian kritik sosial yang selalu representatif dengan keadaan dan kejadian aktual, memang telah membuat God Bless di sepanjang perjalanan bermusiknya memiliki tempat tersendiri dalam hati berbagai kalangan masyarakat Indonesia. God Bless tak akan terlupakan. Dan, terutama, dalam membangkitkan semangat hidup, peran God Bless rasanya masih sulit digantikan grup band lain di masa kini.
Sidik Nugroho
Peminat musik rock dan penyuka gitar
http://tuanmalam.blogspot.com
Judul Album: 36th
Artis: God Bless
Tahun: 2009
Jumlah lagu: 10
Label: Nagaswara
God Bless bisa dibilang sebagai grup rock papan atas -- teratas malah -- di Indonesia. Selama 36 tahun malang-melintang di blantika musik Nusantara, baru enam album mereka rilis. Di album keenam yang diberi judul 36th ini, mereka mencoba menawarkan sesuatu yang lain dari yang ditawarkan oleh band-band yang juga terkategori band beraliran rock dewasa ini.
N.A.T.O. (No Action Talk Only) menjadi lagu pembuka dari album ini. Menghentak dan penuh vitalitas. Dengan lirik yang kritis dan sedikit gaul, disertai musik rancak yang cukup atraktif, N.A.T.O. sukses menjadi pembuka yang mantap, mengingatkan kita pada Bis Kota, sebuah lagu God Bless masa silam.
N.A.T.O. disusul Prahara Timur Tengah. Kali ini, citarasa musik Timur Tengah digarap apik dengan turut menyertakan kata-kata bahasa Arab dalam syairnya: "Wa laa yughoyyir, hatta tughoyyir". Bila dihayati, lagu seperti Prahara Timur Tengah inilah salah satu hal yang membuat God Bless tampil beda. God Bless, dengan caranya yang khas, selalu menyajikan akulturasi musik, bahkan ketika Ian Antono, Donny Fattah dan Achmad Albar membentuk Gong 2000. Di grup itu mereka menciptakan lagu Bara Timur yang kental dengan sentuhan nuansa musik Jawa-Bali. Musikalitas mereka mungkin tak secanggih grup band atau musisi hebat di Barat sana, tapi ciri khas mereka dalam memadukan berbagai elemen musik, juga nuansa etnik dari berbagai kebudayaan, lalu menyajikannya dalam sebuah karya, benar-benar patut dipuji.
Lagu Biarkan Hijau, bertema sama seperti N.A.T.O. dan Prahara Timur Tengah -- memuat kritik sosial atas kondisi yang terjadi. Biarkan Hijau iramanya sedikit mirip seperti beberapa lagu Deep Purple yang kental dengan hentakan-hentakan khas. Namun, tak semua lagu di album ini berirama keras dan memuat kritik sosial. Kita semua tahu, God Bless juga dikenal sebagai band pelantun balada atau tembang cinta yang juga ciamik.
Lagu bertema cinta dalam album ini ada dua: Kar'na Kuingin Kau Bahagia dan Pudar. Sayangnya, entah mungkin karena faktor usia, lagu-lagu cinta ini kurang gregetnya. Mungkin juga penciptanya (kebetulan sama-sama diciptakan oleh Cahya Sadar) sudah tak lagi muda. Lagu cinta mereka tak lagi berkekuatan seperti Rumah Kita, atau Huma di Atas Bukit, misalnya. Mungin juga, lagu-lagu cinta yang bersahaja, yang menawarkan kesetiaan dan pengabdian, memang asing di zaman yang sarat dengan syair lagu selingkuh dan pacaran putus-nyambung ini.
Di lagu Pudar, entah sengaja atau tidak, kesannya malah main-main. Dua bait akhirnya berbunyi: "Namun masih adakah hangat untuk didekap, kala peluh cinta sudah dingin tanpa aura... kasih". Lho, kok Aura Kasih?
Lagu yang agak lucu -- tidak tahu nih: sengaja atau tidak sengaja dibuat lucu -- adalah Sahabat. Kalau kita tidak disuguhi suara gonggong anjing di bagian tengah dan akhir lagu, kita bisa mengira yang tidak-tidak atas syair lagu ini. Suara Achmad Albar yang rasanya tidak pas dibikin centil dalam lagu ini, dapat dianalogikan dengan seorang binaragawan seperti Ade Rai yang suka dolanan Barbie. Ya, rocker kok centil sih? Tidak pas, tidak alami dan tidak wajar saja kedengarannya. Jadi lucu.
Syair yang kurang apik tergarap ada pada lagu Dunia Gila dan Syair untuk Sahabat. Dunia Gila, syairnya terkesan fatalis dan kelewat hiperbolis, seolah-olah tidak ada lagi ruang renungan untuk kebaikan terkecil yang dilakukan seorang insan. Sementara Syair untuk Sahabat berupaya puitis dan reflektif, namun terangkai dalam nada yang kurang lincah dipilih, sehingga kesannya muram dan mengambang.
Memang, tak semua lagu dalam sebuah album musik menjadi hits. Seperti yang telah diuraikan di atas, sebuah album dapat memuat berbagai lagu yang kadang mengecewakan. Namun, menjadi hits atau tidak, ada sebuah lagu yang paling apik dan matang tergarap di album ini. Judulnya Jalan Pulang. Mengamati liriknya yang kental dengan balutan pesan spiritual dan humanisme, kita akan terpana: "Kembalilah memohon pada-Nya, tegarkan hatimu dan ketuklah pintu-Nya."
Belum lagi, di lagu itu, tampaknya ada sentuhan nuansa musik gerejawi, dalam sebuah bagian yang dijuduli Choir. Masih lanjut, tak habis di situ, di bagian akhir ada pula dinamika lain yang dikembangkan, yang amat variatif, mengingatkan kita pada karya-karya keempat personil Queen yang kerap memvariasikan musiknya dengan berbagai dinamika dan perubahan tempo. Lagu ini membuat kita teringat pada lagu God Bless lain berjudul Selamat Pagi Indonesia yang kental dengan dinamika.
Lagu terakhir adalah Rock 'n' Roll Hidupku. Mendengar lagu ini jadi teringat EdanE yang pada beberapa tahun silam menulis lagu Rock in '82. Di dalamnya ada kata-kata: "Hidupku rock 'n' roll, Jack!" Lagu yang cukup berenergi, walau agak disayangkan, suara Achmad Albar di lagu ini dibuat lebih berat, mirip Rod Stewart. Rock 'n' Roll Hidupku adalah lagu yang cukup gamblang dalam menjelaskan siapa God Bless: idealismenya, citarasa bermusiknya, hingga jatidirinya.
Di masa silam, God Bless adalah bintang-bintang rock kelas atas. Achmad Albar adalah seorang artis yang cukup sering jadi bintang sampul Aktuil, majalah asuhan Remy Sylado. God Bless melantunkan lagu Semut Hitam, dan semua orang di stadion mana pun yang mendengarnya akan bergoyang kepala dan berjingkrak penuh semangat. Begitu pula dengan Bis Kota dan Kehidupan: energi kita serasa disentil untuk bangkit lagi. Rumah Kita, Huma di Atas Bukit, Syair Kehidupan dan Balada Sejuta Wajah, membuat kita merenung dalam-dalam arti cinta yang penuh kesederhanaan, juga kehidupan. Sementara Musisi dan Selamat Pagi Indonesia membuat kita terpana akan sebuah suguhan musik yang tergarap rapi dan berkualitas, tanpa harus canggih dan terlalu rumit.
Upaya akulturatif memadukan jenis, warna dan nuansa musik, serta penyampaian kritik sosial yang selalu representatif dengan keadaan dan kejadian aktual, memang telah membuat God Bless di sepanjang perjalanan bermusiknya memiliki tempat tersendiri dalam hati berbagai kalangan masyarakat Indonesia. God Bless tak akan terlupakan. Dan, terutama, dalam membangkitkan semangat hidup, peran God Bless rasanya masih sulit digantikan grup band lain di masa kini.
Sidik Nugroho
Peminat musik rock dan penyuka gitar
http://tuanmalam.blogspot.
Proses Kurang Kreatif Mencatati Hal-hal yang Ada-ada Saja
Proses Kreatif Catatan Perjalanan untuk Milis Apresiasi Sastra
Pengumuman diadakannya apresiasi catatan perjalanan oleh milis Apresiasi Sastra di Yahoogroups kutemukan saat aku lagi ada di Bandung. Sebelum ke Bandung, aku ada di Jakarta dalam rangka studi banding dengan guru-guru seyayasan tempatku bekerja. Sebelum aku berangkat studi banding ke Jakarta, Arie Saptaji melayangkan sebuah komen di facebook atas status yang kutulis -- status yang intinya menyatakan kalau aku akan ke luar Sidoarjo selama beberapa hari. Tanyanya: "berapa banyak tulisan/renungan yang akan kauhasilkan dalam perjalananmu itu?"
Dari situ, aku yang sebelumnya tidak pernah menulis catatan perjalanan, jadi berhasrat menulis. Sebagai seorang yang setiap bulan menulis renungan-renungan rohani pendek, tulisanku pun akhirnya jadi bersifat reflektif. Sekedar memetik hikmah, dangkal, masih dalam taraf pembelajaran, walaupun hasilnya cukup panjang: 14 halaman kuarto dengan ketikan 1 spasi.
Hal-hal yang kutulis dalam catatan perjalanan lebih banyak bukan mengenai sebuah tempat, apalagi budaya atau sejarahnya; tapi interaksi dengan beberapa orang, percakapan, dan kejadian-kejadian yang kuanggap dramatis. Bobotnya sangat jauh di bawah Mas Sigit Susanto yang menulis catatan perjalanan dengan memasukkan unsur-unsur politik, sastra dan budaya dari tempat-tempat yang dikunjunginya; atau Mas Wawan Eko Yulianto, penulis kocak yang tampaknya bakal menyajikan cerita-cerita seru dan lucu dari pengamatannya yang detil atas kehidupan berbahasa orang-orang yang dijumpainya.
Sempat merasa keder, memberanikan diri ikut dalam ajang penuh tantangan dan berkelas "wadoh!" seperti ini. Apalagi kalau mengingat-ingat yang aku tulis cuma tentang pertemuan dengan pakdeku yang sudah sepuh, mantan drumer-ku yang akan punya anak, kangenku pada seorang wanita yang ditanggapi dengan dingin, dan kecoa yang menggerayangi punggungku ketika aku berada di atas Bianglala -- wahana kereta gantung yang berputar-putar di Dufan itu lho. Semua terkesan agak mengada-ada -- ada-ada saja. "Isooo' ae," kata orang Jawa Timur.
Namun, ya... kuanggap ini semua sebagai pembelajaran lah. Suatu ketika aku ingin juga bisa menulis catatan perjalanan dengan memasukkan beberapa unsur budaya yang menjadikannya lebih berbobot, seperti tulisan terbaru J. Sumardianta, Pak Guru yang hobi tracking itu, ketika menulis tentang keheningan di Watu Wayang, sebuah lembah dekat Yogya. Tempatnya tidak jauh dari tempat ia tinggal, namun tulisan itu disajikan dengan bahasa yang apik dan filosofis, menjadikan tulisannya menarik disimak di Kompas.
Mungkin, dalam waktu dekat aku juga ingin menulis sesuatu tentang Porong. Mungkin setelah Pemilu ini. Sebabnya, bila Anwar Holid alias Wartax dengan bersahaja mampu menghadirkan tulisan-tulisan jujur tentang apa yang ia lakukan sehari-hari dalam ruang kehidupan yang memang ia tinggali, aku jadi merasa bersalah karena selama ini hanya melintas-lintas saja di daerah semburan lumpur Lapindo yang dekat dengan tempat kosku, yang kalau diamati lebih sungguh, rasanya akan memberikan banyak sekali bahan untuk ditulis dan direnungkan.
Begitulah, kawan-kawan sekalian, sekilas pengantar dan pemanasan dariku. Selamat mengapresiasi. Terima kasih bila sudah membaca.
Oya, omong-omong, adakah kutipan penting yang perlu dipakai untuk menutup tulisan ini sehingga membuatnya ketularan tampak penting? Belum ada, kelihatannya. Kalau ada, nanti aku dikira mengada-ada.
Tabik dan senyum lebar,
Sidik Nugroho
Pesan sponsor: Beberapa tulisan kurang mutu yang kadang mengada-ada bisa diakses di http://tuanmalam.blogspot.com, termasuk catatan perjalanan dalam label Catatan.
Pengumuman diadakannya apresiasi catatan perjalanan oleh milis Apresiasi Sastra di Yahoogroups kutemukan saat aku lagi ada di Bandung. Sebelum ke Bandung, aku ada di Jakarta dalam rangka studi banding dengan guru-guru seyayasan tempatku bekerja. Sebelum aku berangkat studi banding ke Jakarta, Arie Saptaji melayangkan sebuah komen di facebook atas status yang kutulis -- status yang intinya menyatakan kalau aku akan ke luar Sidoarjo selama beberapa hari. Tanyanya: "berapa banyak tulisan/renungan yang akan kauhasilkan dalam perjalananmu itu?"
Dari situ, aku yang sebelumnya tidak pernah menulis catatan perjalanan, jadi berhasrat menulis. Sebagai seorang yang setiap bulan menulis renungan-renungan rohani pendek, tulisanku pun akhirnya jadi bersifat reflektif. Sekedar memetik hikmah, dangkal, masih dalam taraf pembelajaran, walaupun hasilnya cukup panjang: 14 halaman kuarto dengan ketikan 1 spasi.
Hal-hal yang kutulis dalam catatan perjalanan lebih banyak bukan mengenai sebuah tempat, apalagi budaya atau sejarahnya; tapi interaksi dengan beberapa orang, percakapan, dan kejadian-kejadian yang kuanggap dramatis. Bobotnya sangat jauh di bawah Mas Sigit Susanto yang menulis catatan perjalanan dengan memasukkan unsur-unsur politik, sastra dan budaya dari tempat-tempat yang dikunjunginya; atau Mas Wawan Eko Yulianto, penulis kocak yang tampaknya bakal menyajikan cerita-cerita seru dan lucu dari pengamatannya yang detil atas kehidupan berbahasa orang-orang yang dijumpainya.
Sempat merasa keder, memberanikan diri ikut dalam ajang penuh tantangan dan berkelas "wadoh!" seperti ini. Apalagi kalau mengingat-ingat yang aku tulis cuma tentang pertemuan dengan pakdeku yang sudah sepuh, mantan drumer-ku yang akan punya anak, kangenku pada seorang wanita yang ditanggapi dengan dingin, dan kecoa yang menggerayangi punggungku ketika aku berada di atas Bianglala -- wahana kereta gantung yang berputar-putar di Dufan itu lho. Semua terkesan agak mengada-ada -- ada-ada saja. "Isooo' ae," kata orang Jawa Timur.
Namun, ya... kuanggap ini semua sebagai pembelajaran lah. Suatu ketika aku ingin juga bisa menulis catatan perjalanan dengan memasukkan beberapa unsur budaya yang menjadikannya lebih berbobot, seperti tulisan terbaru J. Sumardianta, Pak Guru yang hobi tracking itu, ketika menulis tentang keheningan di Watu Wayang, sebuah lembah dekat Yogya. Tempatnya tidak jauh dari tempat ia tinggal, namun tulisan itu disajikan dengan bahasa yang apik dan filosofis, menjadikan tulisannya menarik disimak di Kompas.
Mungkin, dalam waktu dekat aku juga ingin menulis sesuatu tentang Porong. Mungkin setelah Pemilu ini. Sebabnya, bila Anwar Holid alias Wartax dengan bersahaja mampu menghadirkan tulisan-tulisan jujur tentang apa yang ia lakukan sehari-hari dalam ruang kehidupan yang memang ia tinggali, aku jadi merasa bersalah karena selama ini hanya melintas-lintas saja di daerah semburan lumpur Lapindo yang dekat dengan tempat kosku, yang kalau diamati lebih sungguh, rasanya akan memberikan banyak sekali bahan untuk ditulis dan direnungkan.
Begitulah, kawan-kawan sekalian, sekilas pengantar dan pemanasan dariku. Selamat mengapresiasi. Terima kasih bila sudah membaca.
Oya, omong-omong, adakah kutipan penting yang perlu dipakai untuk menutup tulisan ini sehingga membuatnya ketularan tampak penting? Belum ada, kelihatannya. Kalau ada, nanti aku dikira mengada-ada.
Tabik dan senyum lebar,
Sidik Nugroho
Pesan sponsor: Beberapa tulisan kurang mutu yang kadang mengada-ada bisa diakses di http://tuanmalam.blogspot.com, termasuk catatan perjalanan dalam label Catatan.
5.7.09
Bab 1: Rumah-rumah yang Terbakar
MALANG benar nasib Lestari.
Ini terjadi pada suatu malam di musim dingin, mendekati akhir tahun. Rumah mungil yang ia tinggali bersama ayahnya terbakar habis. Sebenarnya bukan hanya rumah mereka yang terbakar, namun dua puluh tiga rumah! Dua puluh buah yang bernasib sama dengan mereka: habis terbakar tanpa sisa; tiga lainnya lainnya hanya mengalami kerusakan yang tak begitu parah.
Walau saat itu musim hujan, perkampungan yang ditinggali Tari -- nama panggilan Lestari -- di salah satu sudut Kota Harmon yang sejuk tidak diguyur hujan pada malam saat kebakaran itu terjadi. Tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa yang menjadi penyebab kebakaran itu. Hanya saja, orang-orang di sana beranggapan bahwa kebakaran dimulai dari rumah seorang bapak yang suka merokok. Api merambat dengan cepat karena angin bertiup cukup kencang. Mungkin saja puntung rokok yang belum dimatikan, kemudian mengenai kertas atau bahan lain yang mudah terbakar api, yang menjadi penyebabnya.
Penderitaan Tari bertambah berat, semangatnya pun kian menipis, ketika ayahnya memutuskan untuk meninggalkannya dan pergi ke Kota Sindire. Ia akan berangkat seminggu setelah kebakaran itu. Ia hendak mencari pekerjaan baru di sana. Selama enam hari sebelum ayahnya pergi, Tari dan ayahnya menumpang tinggal di rumah Ibu Indah. Ibu Indah berada di kota yang sama dengannya, di Kota Harmon. Ia merawat Tari dan Pak Sapta, ayahnya, dengan ramah. Ia menambahkan jatah beras, lauk pauk dan sayur yang ia masak. Apa yang terhidang bagi Ibu Indah dan ketiga anaknya untuk disantap saat jam makan tiba, itulah yang juga disantap Tari dan ayahnya.
Ibu Indah adalah teman baik Ibu Tari yang sudah meninggal dua tahun lalu. Mereka berdua bersahabat sejak kecil, ke mana-mana selalu bersama. Menurut ayah Tari, wajahnya sangat mirip dengan Tari. Ia meninggal karena sakit demam yang tinggi -- mungkin demam berdarah.
Di masa-masa itu, ayah Tari berencana menitipkan Tari kepada seorang temannya yang ada di Kuiet, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar delapan puluh kilometer dari Kota Harmon dan lebih tinggi. Temannya itu bernama Raiksa, seorang pengembara dan penulis. Ia mantan guru yang suka menulis cerita dan hidup bersama beberapa anak yang tak punya ayah, ibu, atau keduanya. Pak Sapta ingin agar Tari tetap bersekolah selama ia pergi ke Sindire. Dan ia juga ingin agar Tari terawasi dengan baik. Untuk urusan seperti ini ia benar-benar mempercayai Pak Raiksa, seorang pria yang sudah pernah menjadi guru selama puluhan tahun dan berpengalaman mendidik anak-anak.
"Apakah Pak Raiksa orang baik, Pak?"
"Baik atau tidak? Hmm, bapak akan ceritakan sesuatu untuk menunjukkan kepadamu apakah dia baik atau tidak.
"Dia selalu bangun jam empat pagi. Dia kemudian mengajak anak-anak untuk bangun dan berdoa bersama. Setelah mandi, mereka makan bersama. Ketika anak-anak bersekolah, dia mencuci baju dan semua pakaiannya sendiri, bahkan kadangkala mencucikan baju anak-anak yang masih kecil yang dititipkan kepadanya. Mereka dianggapnya belum kuat untuk mencuci bajunya sendiri. Setelah mencuci dia pasti menulis sesuatu. Bila anak-anak pulang sekolah dia telah menunggu mereka di meja makan untuk makan siang bersama."
Tari tertarik mendengar kisah Pak Raiksa. Matanya mulai berbinar. "Terus...?" katanya penasaran.
"Ia menyuruh anak-anak untuk istirahat siang. Bila sore, ia sering mengajaki mereka berjalan-jalan. Kadangkala ia juga mengajak mereka bermain petak umpet atau permainan lainnya. Kadangkala, yah, tidak melakukan apa-apa. Sore adalah waktu bebas bagi setiap anak untuk melakukan apa saja yang disukainya.
"Ketika malam tiba, ia menyuruh anak-anak untuk belajar setelah makan malam bersama. Saat anak-anak belajar, ia kembali menulis."
"Agak membosankan juga. Tapi, kurasa dari cerita Bapak aku bisa menangkap sedikit gambaran tentang Pak Raiksa."
"Jangan salah sangka kalau ia terlalu pendiam dan tenang, atau bahkan penakut dan penyendiri. Ia juga suka berpetualang. Ia pernah menghabiskan sebulan penuh untuk mendaki gunung atau memancing di Pantai Harigia. Ia juga suka mengembara untuk mencari harta karun atau sekedar melihat berbagai tumbuhan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Walaupun ia tak suka menghapal nama-nama tumbuhan, ia sangat menyukai tetumbuhan, terutama bunga."
"Waw!" teriak Tari dengan mata berbinar. "Oh ya, dari mana dia memperoleh uang untuk membiayai hidup dan pendidikan anak-anak yang sudah tak lagi ditanggung orang tuanya?"
"Dari hasil menulis. Ia juga punya banyak harta yang ia dapati selama mengembara."
"Dari mana dia dapat bahan, atau cerita untuk ditulis?"
"Seringkali dari hasil pengembaraannya. Cerita-ceritanya banyak diminati anak-anak. Ia selalu menggunakan nama samaran." Di sini Pak Sapta terhenti sejenak. Agak ragu lalu ia melanjutkan, " Hmm, kau mungkin pernah membaca buku karya Tuan Malam di perpustakaan sekolahmu?"
"Waw, Si Tuan Malam!" teriak Tari riang. "Aku sudah membaca lima buah bukunya. Pergi ke Kota Mencari Obat, Dua Makam di Bukit Kelam, Tersesat di Pegunungan Hantu Malam dan Jejak Kembara di Lembah Orang Mati. Empat buah buku itu kurang lebih sama: mengisahkan tentang petualangan melawan raksasa dan makhluk-makhluk jahat. Terakhir, yang baru selesai kubaca berjudul Riwayat Hilangnya Daun Lontar Raja di Narikanta, yang mengisahkan pencariannya akan harta karun!"
"Bapak terpaksa jujur padamu apa yang dikerjakannya. Bapak tahu kalau bukunya disukai banyak sekali anak-anak walaupun bapak tak pernah membacanya. Sebenarnya, bapak sudah melanggar pesan beliau."
"Apa itu, Pak?"
"Kalau Tuan Malam jangan diberitahu siapapun bahwa ia adalah Pak Raiksa."
Wajahnya kini berseri-seri. Ya, membayangkan dirimu tinggal bersama pengarang terhebat yang bukunya disukai anak-anak seusiamu sungguh luar biasa! Dari kedalaman hatinya, Pak Sapta tahu bahwa putrinya akan senang bertemu dengan Pak Raiksa. Putrinya itu punya rasa ingin tahu yang besar. Ia suka hal-hal baru. Petualangan? Jangan tanya! Buku-buku petualangan banyak yang sudah dilahapnya walau ia masih kecil -- umurnya baru sepuluh tahun.
"Pak, berapa lama Bapak akan bekerja di Kota Sindire?" kata Tari memecah kesunyian.
"Tidak tahulah, Nak. Yang jelas, bapak akan pulang setelah mendapatkan uang cukup untuk mendirikan rumah dan memulai usaha baru."
"Memang dari Kuiet ke Sindire jauh ya, Pak?"
"Apa kau tidak diajari guru di sekolahmu? Masa mereka tak mengajarimu tentang peta dan kota-kota?"
"Tidak, Pak. Mungkin belum."
"Ah, kuharap mereka segera mengajarkannya! Kuiet-Sindire itu cukup dekat, Sayang. Tidak sampai satu pekan perjalanan menempuhnya. Waktu perjalanan itu sudah termasuk istirahat malam selama lima jam, makan siang, dan santai sejenak minum bir. Dekat, Nak. Jangan kuatir."
Pak Sapta belum tahu pasti apa yang bakal dikerjakannya di sana. Ia menyatakan pada Tari kalau kemungkinannya ada dua: membantu temannya menjadi peternak kuda atau pedagang perhiasan. Di Sindire banyak sekali emas dan barang-barang perhiasan lainnya. Di sana juga banyak kuda-kuda bagus yang biasanya dibeli dengan harga mahal dari penduduk kota itu. Tapi, yang jelas, pertama-tama ia akan mencari Pak Ari. Dia teman Pak Sapta waktu muda. "Sekalipun cuma menjadi pembantu peternak atau pedagang jelas butuh pengetahuan, tidak bisa langsung memulainya begitu saja. Bapak akan belajar dari Pak Ari. Doakanlah agar dia lekas bertemu dengan bapak," katanya. Pak Ari sudah mengirimkan surat balasan setelah Pak Sapta mengiriminya surat. Ia berjanji kepada Pak Sapta untuk memberinya pekerjaan.
"Mengapa Bapak tidak lanjutkan saja usaha menjual pakaian yang dulu Bapak lakukan?"
"Modalnya dari mana, Nak? Kau tahu, bukan, uang kita dan semua barang berharga kita habis lenyap dalam semalam. Menjadi pedagang atau peternak di Sindire saja masih merupakan kemungkinan, karena bapak berharap bertemu teman baik bapak. Bapak sudah tidak punya apa-apa lagi, tinggal pakaian yang melekat di badan kita berdua, Nak! Selain pakaian itu, bapak hanya punya ini...."
Pak Sapta mengeluarkan sebuah kantong dari kain katun dan menunjukkannya pada Tari. Ia mengeluarkan semua uang yang ada di dalamnya. Jumlahnya sedikit, hanya seratus empat puluh ranta.
"Hanya ini, Nak! Hanya ini modal bapak dalam bertarung untuk hidup di kemudian hari," kata Pak Sapta setengah berbisik.
Tari memandangi ayahnya dengan sedih. Ia tak berkata apa-apa lagi. Seratus empat puluh ranta di masa itu cukup untuk membeli tiga setel pakaian pria dewasa. Umumnya, orang-orang di kota Harmon, bahkan hampir di seluruh Pulau Harigia -- atau disebut juga Negeri Harigia -- pada masa ini hidup dengan biaya lima belas ranta sehari untuk sekeluarga dengan dua atau tiga anak kecil yang masih sekolah.
Ayah Tari berbalik membelakangi Tari, menatapi malam yang kelam. Tari menghampiri ayahnya dan merangkul pinggangnya yang kurus.
"Pak, Tari akan baik-baik saja dengan Pak Raiksa. Bapak jangan banyak menguatirkan Tari, ya? Dan, kalau bisa Bapak membawa bekal yang banyak sehingga uang itu tak terpakai di perjalanan untuk membeli apa pun."
Pak Sapta memandangi anaknya kagum. Pikiran anak itu matang. Sambil tersenyum ia mengelus-elus rambut Tari yang panjang. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja. Di luar rumah malam melarut, mendingin dan mengelam.
Tari pergi tidur bersama ayahnya. Di ranjang ia berpikir tentang apa yang akan ia hadapi di tahun baru bersama Pak Raiksa dan teman-teman barunya di Kota Kuiet. Tentu akan menyenangkan. Namun, kadangkala ia teringat akan hari-hari di mana ia pernah membantu ayahnya berjualan pakaian dan hidup dalam rumah mereka yang telah hangus terbakar -- rumah mungil yang rapi, indah, dan sejuk, tentunya. Ia mengingat ibunya juga: wanita muda yang berambut mata panjang-indah dan bertatapan lembut. Kata-kata dan nyanyian yang pernah didendangkan ibunya kadangkala masih ia nyanyikan. Ia tak mampu menandingi kemerduan seuara ibunya yang menurutnya mampu bernyanyi seperti air yang mengalir sejuk dari Sungai Hariman di Perbukitan Permata dekat kota Harmon. Yang paling tak terlupakan adalah lagu Tidurlah Sayang, Esok Kau Terbang.
Tidurlah sayang, esok kau terbang
Menari di awan mengenakan gaun biru
Tidurlah sayang, esok kau jelang
Dengan hati dan semangat baru
Jangan kauingat segala derita hari ini
Karena susah tadi cukuplah sudah
Ingat selalu esok ada cahaya mentari
Yang siap usir segala derita-payah
Gaun biru 'kan kubuat untukmu
Bila kaubesar dan remaja kaujelang
Kaukelak 'kan riang mengenakan gaun itu
Tidurlah sayang, esok kau terbang
Tidurlah sayang, esok kau jelang
Gaun biru untukmu, menarilah dengan iringan laguku
Air matanya menitik perlahan mengenang lagu yang indah itu. Kata-katanya masih belum dipahaminya dengan baik. Namun, ia menangkap sebuah janji: bahwa ibunya kelak akan membuatkannya sebuah gaun biru yang tentulah akan indah bila dipakainya buat menari. Ibunya memang pandai membuat pakaian. Sebagian pakaian yang dijual ayahnya selama ibunya hidup adalah hasil buatan ibunya sendiri. Ibunya juga pandai menari dan menyanyi. Lagu tadi ciptaannya sendiri, khusus tercipta untuk Tari.
Menari sambil terbang di awan? Oh, itu tentu kelakar ibunya. Tapi, andaikan ia dapat terbang dan menari di awan, oh... begitu indah!
Tari juga mengingat kamarnya, yang di salah satu dindingnya tergantung gambar yang pertama kali ia buat. Gambar itu ia beri bingkai yang indah. Gambar itu telah hangus terbakar. Namun ia tak akan pernah melupakan gambar itu, suatu saat ia akan menggambarnya lagi: gunung tinggi, awan-awan tipis, perahu kecil, jalan setapak dan sebuah sungai kecil yang mengalir dari sebuah air terjun.
Demikianlah, Tari tidak bisa tidur setelah dua jam berbaring di kasur malam itu. Kadang gundah, kadang gembira. Ia menangis, juga tertawa. Kemudian ia terlelap tanpa mimpi.
Sedangkan Pak Sapta melalui malam itu dengan gelisah. Kenangan akan rumah mungil yang dibangun dari hasil keringat sendiri, lalu luluh disantap api, bukankah itu sulit untuk ditepis bila lenyap dan kemudian ditinggal pergi jauh?
: Malang, Sidoarjo, sekitar Juli 2008 hingga Januari 2009
Ini terjadi pada suatu malam di musim dingin, mendekati akhir tahun. Rumah mungil yang ia tinggali bersama ayahnya terbakar habis. Sebenarnya bukan hanya rumah mereka yang terbakar, namun dua puluh tiga rumah! Dua puluh buah yang bernasib sama dengan mereka: habis terbakar tanpa sisa; tiga lainnya lainnya hanya mengalami kerusakan yang tak begitu parah.
Walau saat itu musim hujan, perkampungan yang ditinggali Tari -- nama panggilan Lestari -- di salah satu sudut Kota Harmon yang sejuk tidak diguyur hujan pada malam saat kebakaran itu terjadi. Tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa yang menjadi penyebab kebakaran itu. Hanya saja, orang-orang di sana beranggapan bahwa kebakaran dimulai dari rumah seorang bapak yang suka merokok. Api merambat dengan cepat karena angin bertiup cukup kencang. Mungkin saja puntung rokok yang belum dimatikan, kemudian mengenai kertas atau bahan lain yang mudah terbakar api, yang menjadi penyebabnya.
Penderitaan Tari bertambah berat, semangatnya pun kian menipis, ketika ayahnya memutuskan untuk meninggalkannya dan pergi ke Kota Sindire. Ia akan berangkat seminggu setelah kebakaran itu. Ia hendak mencari pekerjaan baru di sana. Selama enam hari sebelum ayahnya pergi, Tari dan ayahnya menumpang tinggal di rumah Ibu Indah. Ibu Indah berada di kota yang sama dengannya, di Kota Harmon. Ia merawat Tari dan Pak Sapta, ayahnya, dengan ramah. Ia menambahkan jatah beras, lauk pauk dan sayur yang ia masak. Apa yang terhidang bagi Ibu Indah dan ketiga anaknya untuk disantap saat jam makan tiba, itulah yang juga disantap Tari dan ayahnya.
Ibu Indah adalah teman baik Ibu Tari yang sudah meninggal dua tahun lalu. Mereka berdua bersahabat sejak kecil, ke mana-mana selalu bersama. Menurut ayah Tari, wajahnya sangat mirip dengan Tari. Ia meninggal karena sakit demam yang tinggi -- mungkin demam berdarah.
Di masa-masa itu, ayah Tari berencana menitipkan Tari kepada seorang temannya yang ada di Kuiet, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar delapan puluh kilometer dari Kota Harmon dan lebih tinggi. Temannya itu bernama Raiksa, seorang pengembara dan penulis. Ia mantan guru yang suka menulis cerita dan hidup bersama beberapa anak yang tak punya ayah, ibu, atau keduanya. Pak Sapta ingin agar Tari tetap bersekolah selama ia pergi ke Sindire. Dan ia juga ingin agar Tari terawasi dengan baik. Untuk urusan seperti ini ia benar-benar mempercayai Pak Raiksa, seorang pria yang sudah pernah menjadi guru selama puluhan tahun dan berpengalaman mendidik anak-anak.
"Apakah Pak Raiksa orang baik, Pak?"
"Baik atau tidak? Hmm, bapak akan ceritakan sesuatu untuk menunjukkan kepadamu apakah dia baik atau tidak.
"Dia selalu bangun jam empat pagi. Dia kemudian mengajak anak-anak untuk bangun dan berdoa bersama. Setelah mandi, mereka makan bersama. Ketika anak-anak bersekolah, dia mencuci baju dan semua pakaiannya sendiri, bahkan kadangkala mencucikan baju anak-anak yang masih kecil yang dititipkan kepadanya. Mereka dianggapnya belum kuat untuk mencuci bajunya sendiri. Setelah mencuci dia pasti menulis sesuatu. Bila anak-anak pulang sekolah dia telah menunggu mereka di meja makan untuk makan siang bersama."
Tari tertarik mendengar kisah Pak Raiksa. Matanya mulai berbinar. "Terus...?" katanya penasaran.
"Ia menyuruh anak-anak untuk istirahat siang. Bila sore, ia sering mengajaki mereka berjalan-jalan. Kadangkala ia juga mengajak mereka bermain petak umpet atau permainan lainnya. Kadangkala, yah, tidak melakukan apa-apa. Sore adalah waktu bebas bagi setiap anak untuk melakukan apa saja yang disukainya.
"Ketika malam tiba, ia menyuruh anak-anak untuk belajar setelah makan malam bersama. Saat anak-anak belajar, ia kembali menulis."
"Agak membosankan juga. Tapi, kurasa dari cerita Bapak aku bisa menangkap sedikit gambaran tentang Pak Raiksa."
"Jangan salah sangka kalau ia terlalu pendiam dan tenang, atau bahkan penakut dan penyendiri. Ia juga suka berpetualang. Ia pernah menghabiskan sebulan penuh untuk mendaki gunung atau memancing di Pantai Harigia. Ia juga suka mengembara untuk mencari harta karun atau sekedar melihat berbagai tumbuhan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Walaupun ia tak suka menghapal nama-nama tumbuhan, ia sangat menyukai tetumbuhan, terutama bunga."
"Waw!" teriak Tari dengan mata berbinar. "Oh ya, dari mana dia memperoleh uang untuk membiayai hidup dan pendidikan anak-anak yang sudah tak lagi ditanggung orang tuanya?"
"Dari hasil menulis. Ia juga punya banyak harta yang ia dapati selama mengembara."
"Dari mana dia dapat bahan, atau cerita untuk ditulis?"
"Seringkali dari hasil pengembaraannya. Cerita-ceritanya banyak diminati anak-anak. Ia selalu menggunakan nama samaran." Di sini Pak Sapta terhenti sejenak. Agak ragu lalu ia melanjutkan, " Hmm, kau mungkin pernah membaca buku karya Tuan Malam di perpustakaan sekolahmu?"
"Waw, Si Tuan Malam!" teriak Tari riang. "Aku sudah membaca lima buah bukunya. Pergi ke Kota Mencari Obat, Dua Makam di Bukit Kelam, Tersesat di Pegunungan Hantu Malam dan Jejak Kembara di Lembah Orang Mati. Empat buah buku itu kurang lebih sama: mengisahkan tentang petualangan melawan raksasa dan makhluk-makhluk jahat. Terakhir, yang baru selesai kubaca berjudul Riwayat Hilangnya Daun Lontar Raja di Narikanta, yang mengisahkan pencariannya akan harta karun!"
"Bapak terpaksa jujur padamu apa yang dikerjakannya. Bapak tahu kalau bukunya disukai banyak sekali anak-anak walaupun bapak tak pernah membacanya. Sebenarnya, bapak sudah melanggar pesan beliau."
"Apa itu, Pak?"
"Kalau Tuan Malam jangan diberitahu siapapun bahwa ia adalah Pak Raiksa."
Wajahnya kini berseri-seri. Ya, membayangkan dirimu tinggal bersama pengarang terhebat yang bukunya disukai anak-anak seusiamu sungguh luar biasa! Dari kedalaman hatinya, Pak Sapta tahu bahwa putrinya akan senang bertemu dengan Pak Raiksa. Putrinya itu punya rasa ingin tahu yang besar. Ia suka hal-hal baru. Petualangan? Jangan tanya! Buku-buku petualangan banyak yang sudah dilahapnya walau ia masih kecil -- umurnya baru sepuluh tahun.
"Pak, berapa lama Bapak akan bekerja di Kota Sindire?" kata Tari memecah kesunyian.
"Tidak tahulah, Nak. Yang jelas, bapak akan pulang setelah mendapatkan uang cukup untuk mendirikan rumah dan memulai usaha baru."
"Memang dari Kuiet ke Sindire jauh ya, Pak?"
"Apa kau tidak diajari guru di sekolahmu? Masa mereka tak mengajarimu tentang peta dan kota-kota?"
"Tidak, Pak. Mungkin belum."
"Ah, kuharap mereka segera mengajarkannya! Kuiet-Sindire itu cukup dekat, Sayang. Tidak sampai satu pekan perjalanan menempuhnya. Waktu perjalanan itu sudah termasuk istirahat malam selama lima jam, makan siang, dan santai sejenak minum bir. Dekat, Nak. Jangan kuatir."
Pak Sapta belum tahu pasti apa yang bakal dikerjakannya di sana. Ia menyatakan pada Tari kalau kemungkinannya ada dua: membantu temannya menjadi peternak kuda atau pedagang perhiasan. Di Sindire banyak sekali emas dan barang-barang perhiasan lainnya. Di sana juga banyak kuda-kuda bagus yang biasanya dibeli dengan harga mahal dari penduduk kota itu. Tapi, yang jelas, pertama-tama ia akan mencari Pak Ari. Dia teman Pak Sapta waktu muda. "Sekalipun cuma menjadi pembantu peternak atau pedagang jelas butuh pengetahuan, tidak bisa langsung memulainya begitu saja. Bapak akan belajar dari Pak Ari. Doakanlah agar dia lekas bertemu dengan bapak," katanya. Pak Ari sudah mengirimkan surat balasan setelah Pak Sapta mengiriminya surat. Ia berjanji kepada Pak Sapta untuk memberinya pekerjaan.
"Mengapa Bapak tidak lanjutkan saja usaha menjual pakaian yang dulu Bapak lakukan?"
"Modalnya dari mana, Nak? Kau tahu, bukan, uang kita dan semua barang berharga kita habis lenyap dalam semalam. Menjadi pedagang atau peternak di Sindire saja masih merupakan kemungkinan, karena bapak berharap bertemu teman baik bapak. Bapak sudah tidak punya apa-apa lagi, tinggal pakaian yang melekat di badan kita berdua, Nak! Selain pakaian itu, bapak hanya punya ini...."
Pak Sapta mengeluarkan sebuah kantong dari kain katun dan menunjukkannya pada Tari. Ia mengeluarkan semua uang yang ada di dalamnya. Jumlahnya sedikit, hanya seratus empat puluh ranta.
"Hanya ini, Nak! Hanya ini modal bapak dalam bertarung untuk hidup di kemudian hari," kata Pak Sapta setengah berbisik.
Tari memandangi ayahnya dengan sedih. Ia tak berkata apa-apa lagi. Seratus empat puluh ranta di masa itu cukup untuk membeli tiga setel pakaian pria dewasa. Umumnya, orang-orang di kota Harmon, bahkan hampir di seluruh Pulau Harigia -- atau disebut juga Negeri Harigia -- pada masa ini hidup dengan biaya lima belas ranta sehari untuk sekeluarga dengan dua atau tiga anak kecil yang masih sekolah.
Ayah Tari berbalik membelakangi Tari, menatapi malam yang kelam. Tari menghampiri ayahnya dan merangkul pinggangnya yang kurus.
"Pak, Tari akan baik-baik saja dengan Pak Raiksa. Bapak jangan banyak menguatirkan Tari, ya? Dan, kalau bisa Bapak membawa bekal yang banyak sehingga uang itu tak terpakai di perjalanan untuk membeli apa pun."
Pak Sapta memandangi anaknya kagum. Pikiran anak itu matang. Sambil tersenyum ia mengelus-elus rambut Tari yang panjang. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja. Di luar rumah malam melarut, mendingin dan mengelam.
Tari pergi tidur bersama ayahnya. Di ranjang ia berpikir tentang apa yang akan ia hadapi di tahun baru bersama Pak Raiksa dan teman-teman barunya di Kota Kuiet. Tentu akan menyenangkan. Namun, kadangkala ia teringat akan hari-hari di mana ia pernah membantu ayahnya berjualan pakaian dan hidup dalam rumah mereka yang telah hangus terbakar -- rumah mungil yang rapi, indah, dan sejuk, tentunya. Ia mengingat ibunya juga: wanita muda yang berambut mata panjang-indah dan bertatapan lembut. Kata-kata dan nyanyian yang pernah didendangkan ibunya kadangkala masih ia nyanyikan. Ia tak mampu menandingi kemerduan seuara ibunya yang menurutnya mampu bernyanyi seperti air yang mengalir sejuk dari Sungai Hariman di Perbukitan Permata dekat kota Harmon. Yang paling tak terlupakan adalah lagu Tidurlah Sayang, Esok Kau Terbang.
Tidurlah sayang, esok kau terbang
Menari di awan mengenakan gaun biru
Tidurlah sayang, esok kau jelang
Dengan hati dan semangat baru
Jangan kauingat segala derita hari ini
Karena susah tadi cukuplah sudah
Ingat selalu esok ada cahaya mentari
Yang siap usir segala derita-payah
Gaun biru 'kan kubuat untukmu
Bila kaubesar dan remaja kaujelang
Kaukelak 'kan riang mengenakan gaun itu
Tidurlah sayang, esok kau terbang
Tidurlah sayang, esok kau jelang
Gaun biru untukmu, menarilah dengan iringan laguku
Air matanya menitik perlahan mengenang lagu yang indah itu. Kata-katanya masih belum dipahaminya dengan baik. Namun, ia menangkap sebuah janji: bahwa ibunya kelak akan membuatkannya sebuah gaun biru yang tentulah akan indah bila dipakainya buat menari. Ibunya memang pandai membuat pakaian. Sebagian pakaian yang dijual ayahnya selama ibunya hidup adalah hasil buatan ibunya sendiri. Ibunya juga pandai menari dan menyanyi. Lagu tadi ciptaannya sendiri, khusus tercipta untuk Tari.
Menari sambil terbang di awan? Oh, itu tentu kelakar ibunya. Tapi, andaikan ia dapat terbang dan menari di awan, oh... begitu indah!
Tari juga mengingat kamarnya, yang di salah satu dindingnya tergantung gambar yang pertama kali ia buat. Gambar itu ia beri bingkai yang indah. Gambar itu telah hangus terbakar. Namun ia tak akan pernah melupakan gambar itu, suatu saat ia akan menggambarnya lagi: gunung tinggi, awan-awan tipis, perahu kecil, jalan setapak dan sebuah sungai kecil yang mengalir dari sebuah air terjun.
Demikianlah, Tari tidak bisa tidur setelah dua jam berbaring di kasur malam itu. Kadang gundah, kadang gembira. Ia menangis, juga tertawa. Kemudian ia terlelap tanpa mimpi.
Sedangkan Pak Sapta melalui malam itu dengan gelisah. Kenangan akan rumah mungil yang dibangun dari hasil keringat sendiri, lalu luluh disantap api, bukankah itu sulit untuk ditepis bila lenyap dan kemudian ditinggal pergi jauh?
: Malang, Sidoarjo, sekitar Juli 2008 hingga Januari 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)