5.7.09

Bab 1: Rumah-rumah yang Terbakar

MALANG benar nasib Lestari.

Ini terjadi pada suatu malam di musim dingin, mendekati akhir tahun. Rumah mungil yang ia tinggali bersama ayahnya terbakar habis. Sebenarnya bukan hanya rumah mereka yang terbakar, namun dua puluh tiga rumah! Dua puluh buah yang bernasib sama dengan mereka: habis terbakar tanpa sisa; tiga lainnya lainnya hanya mengalami kerusakan yang tak begitu parah.

Walau saat itu musim hujan, perkampungan yang ditinggali Tari -- nama panggilan Lestari -- di salah satu sudut Kota Harmon yang sejuk tidak diguyur hujan pada malam saat kebakaran itu terjadi. Tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa yang menjadi penyebab kebakaran itu. Hanya saja, orang-orang di sana beranggapan bahwa kebakaran dimulai dari rumah seorang bapak yang suka merokok. Api merambat dengan cepat karena angin bertiup cukup kencang. Mungkin saja puntung rokok yang belum dimatikan, kemudian mengenai kertas atau bahan lain yang mudah terbakar api, yang menjadi penyebabnya.

Penderitaan Tari bertambah berat, semangatnya pun kian menipis, ketika ayahnya memutuskan untuk meninggalkannya dan pergi ke Kota Sindire. Ia akan berangkat seminggu setelah kebakaran itu. Ia hendak mencari pekerjaan baru di sana. Selama enam hari sebelum ayahnya pergi, Tari dan ayahnya menumpang tinggal di rumah Ibu Indah. Ibu Indah berada di kota yang sama dengannya, di Kota Harmon. Ia merawat Tari dan Pak Sapta, ayahnya, dengan ramah. Ia menambahkan jatah beras, lauk pauk dan sayur yang ia masak. Apa yang terhidang bagi Ibu Indah dan ketiga anaknya untuk disantap saat jam makan tiba, itulah yang juga disantap Tari dan ayahnya.

Ibu Indah adalah teman baik Ibu Tari yang sudah meninggal dua tahun lalu. Mereka berdua bersahabat sejak kecil, ke mana-mana selalu bersama. Menurut ayah Tari, wajahnya sangat mirip dengan Tari. Ia meninggal karena sakit demam yang tinggi -- mungkin demam berdarah.

Di masa-masa itu, ayah Tari berencana menitipkan Tari kepada seorang temannya yang ada di Kuiet, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar delapan puluh kilometer dari Kota Harmon dan lebih tinggi. Temannya itu bernama Raiksa, seorang pengembara dan penulis. Ia mantan guru yang suka menulis cerita dan hidup bersama beberapa anak yang tak punya ayah, ibu, atau keduanya. Pak Sapta ingin agar Tari tetap bersekolah selama ia pergi ke Sindire. Dan ia juga ingin agar Tari terawasi dengan baik. Untuk urusan seperti ini ia benar-benar mempercayai Pak Raiksa, seorang pria yang sudah pernah menjadi guru selama puluhan tahun dan berpengalaman mendidik anak-anak.

"Apakah Pak Raiksa orang baik, Pak?"

"Baik atau tidak? Hmm, bapak akan ceritakan sesuatu untuk menunjukkan kepadamu apakah dia baik atau tidak.

"Dia selalu bangun jam empat pagi. Dia kemudian mengajak anak-anak untuk bangun dan berdoa bersama. Setelah mandi, mereka makan bersama. Ketika anak-anak bersekolah, dia mencuci baju dan semua pakaiannya sendiri, bahkan kadangkala mencucikan baju anak-anak yang masih kecil yang dititipkan kepadanya. Mereka dianggapnya belum kuat untuk mencuci bajunya sendiri. Setelah mencuci dia pasti menulis sesuatu. Bila anak-anak pulang sekolah dia telah menunggu mereka di meja makan untuk makan siang bersama."

Tari tertarik mendengar kisah Pak Raiksa. Matanya mulai berbinar. "Terus...?" katanya penasaran.

"Ia menyuruh anak-anak untuk istirahat siang. Bila sore, ia sering mengajaki mereka berjalan-jalan. Kadangkala ia juga mengajak mereka bermain petak umpet atau permainan lainnya. Kadangkala, yah, tidak melakukan apa-apa. Sore adalah waktu bebas bagi setiap anak untuk melakukan apa saja yang disukainya.

"Ketika malam tiba, ia menyuruh anak-anak untuk belajar setelah makan malam bersama. Saat anak-anak belajar, ia kembali menulis."

"Agak membosankan juga. Tapi, kurasa dari cerita Bapak aku bisa menangkap sedikit gambaran tentang Pak Raiksa."

"Jangan salah sangka kalau ia terlalu pendiam dan tenang, atau bahkan penakut dan penyendiri. Ia juga suka berpetualang. Ia pernah menghabiskan sebulan penuh untuk mendaki gunung atau memancing di Pantai Harigia. Ia juga suka mengembara untuk mencari harta karun atau sekedar melihat berbagai tumbuhan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Walaupun ia tak suka menghapal nama-nama tumbuhan, ia sangat menyukai tetumbuhan, terutama bunga."

"Waw!" teriak Tari dengan mata berbinar. "Oh ya, dari mana dia memperoleh uang untuk membiayai hidup dan pendidikan anak-anak yang sudah tak lagi ditanggung orang tuanya?"

"Dari hasil menulis. Ia juga punya banyak harta yang ia dapati selama mengembara."

"Dari mana dia dapat bahan, atau cerita untuk ditulis?"

"Seringkali dari hasil pengembaraannya. Cerita-ceritanya banyak diminati anak-anak. Ia selalu menggunakan nama samaran." Di sini Pak Sapta terhenti sejenak. Agak ragu lalu ia melanjutkan, " Hmm, kau mungkin pernah membaca buku karya Tuan Malam di perpustakaan sekolahmu?"

"Waw, Si Tuan Malam!" teriak Tari riang. "Aku sudah membaca lima buah bukunya. Pergi ke Kota Mencari Obat, Dua Makam di Bukit Kelam, Tersesat di Pegunungan Hantu Malam dan Jejak Kembara di Lembah Orang Mati. Empat buah buku itu kurang lebih sama: mengisahkan tentang petualangan melawan raksasa dan makhluk-makhluk jahat. Terakhir, yang baru selesai kubaca berjudul Riwayat Hilangnya Daun Lontar Raja di Narikanta, yang mengisahkan pencariannya akan harta karun!"

"Bapak terpaksa jujur padamu apa yang dikerjakannya. Bapak tahu kalau bukunya disukai banyak sekali anak-anak walaupun bapak tak pernah membacanya. Sebenarnya, bapak sudah melanggar pesan beliau."

"Apa itu, Pak?"

"Kalau Tuan Malam jangan diberitahu siapapun bahwa ia adalah Pak Raiksa."

Wajahnya kini berseri-seri. Ya, membayangkan dirimu tinggal bersama pengarang terhebat yang bukunya disukai anak-anak seusiamu sungguh luar biasa! Dari kedalaman hatinya, Pak Sapta tahu bahwa putrinya akan senang bertemu dengan Pak Raiksa. Putrinya itu punya rasa ingin tahu yang besar. Ia suka hal-hal baru. Petualangan? Jangan tanya! Buku-buku petualangan banyak yang sudah dilahapnya walau ia masih kecil -- umurnya baru sepuluh tahun.

"Pak, berapa lama Bapak akan bekerja di Kota Sindire?" kata Tari memecah kesunyian.

"Tidak tahulah, Nak. Yang jelas, bapak akan pulang setelah mendapatkan uang cukup untuk mendirikan rumah dan memulai usaha baru."

"Memang dari Kuiet ke Sindire jauh ya, Pak?"

"Apa kau tidak diajari guru di sekolahmu? Masa mereka tak mengajarimu tentang peta dan kota-kota?"

"Tidak, Pak. Mungkin belum."

"Ah, kuharap mereka segera mengajarkannya! Kuiet-Sindire itu cukup dekat, Sayang. Tidak sampai satu pekan perjalanan menempuhnya. Waktu perjalanan itu sudah termasuk istirahat malam selama lima jam, makan siang, dan santai sejenak minum bir. Dekat, Nak. Jangan kuatir."

Pak Sapta belum tahu pasti apa yang bakal dikerjakannya di sana. Ia menyatakan pada Tari kalau kemungkinannya ada dua: membantu temannya menjadi peternak kuda atau pedagang perhiasan. Di Sindire banyak sekali emas dan barang-barang perhiasan lainnya. Di sana juga banyak kuda-kuda bagus yang biasanya dibeli dengan harga mahal dari penduduk kota itu. Tapi, yang jelas, pertama-tama ia akan mencari Pak Ari. Dia teman Pak Sapta waktu muda. "Sekalipun cuma menjadi pembantu peternak atau pedagang jelas butuh pengetahuan, tidak bisa langsung memulainya begitu saja. Bapak akan belajar dari Pak Ari. Doakanlah agar dia lekas bertemu dengan bapak," katanya. Pak Ari sudah mengirimkan surat balasan setelah Pak Sapta mengiriminya surat. Ia berjanji kepada Pak Sapta untuk memberinya pekerjaan.

"Mengapa Bapak tidak lanjutkan saja usaha menjual pakaian yang dulu Bapak lakukan?"

"Modalnya dari mana, Nak? Kau tahu, bukan, uang kita dan semua barang berharga kita habis lenyap dalam semalam. Menjadi pedagang atau peternak di Sindire saja masih merupakan kemungkinan, karena bapak berharap bertemu teman baik bapak. Bapak sudah tidak punya apa-apa lagi, tinggal pakaian yang melekat di badan kita berdua, Nak! Selain pakaian itu, bapak hanya punya ini...."

Pak Sapta mengeluarkan sebuah kantong dari kain katun dan menunjukkannya pada Tari. Ia mengeluarkan semua uang yang ada di dalamnya. Jumlahnya sedikit, hanya seratus empat puluh ranta.

"Hanya ini, Nak! Hanya ini modal bapak dalam bertarung untuk hidup di kemudian hari," kata Pak Sapta setengah berbisik.

Tari memandangi ayahnya dengan sedih. Ia tak berkata apa-apa lagi. Seratus empat puluh ranta di masa itu cukup untuk membeli tiga setel pakaian pria dewasa. Umumnya, orang-orang di kota Harmon, bahkan hampir di seluruh Pulau Harigia -- atau disebut juga Negeri Harigia -- pada masa ini hidup dengan biaya lima belas ranta sehari untuk sekeluarga dengan dua atau tiga anak kecil yang masih sekolah.

Ayah Tari berbalik membelakangi Tari, menatapi malam yang kelam. Tari menghampiri ayahnya dan merangkul pinggangnya yang kurus.

"Pak, Tari akan baik-baik saja dengan Pak Raiksa. Bapak jangan banyak menguatirkan Tari, ya? Dan, kalau bisa Bapak membawa bekal yang banyak sehingga uang itu tak terpakai di perjalanan untuk membeli apa pun."

Pak Sapta memandangi anaknya kagum. Pikiran anak itu matang. Sambil tersenyum ia mengelus-elus rambut Tari yang panjang. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja. Di luar rumah malam melarut, mendingin dan mengelam.

Tari pergi tidur bersama ayahnya. Di ranjang ia berpikir tentang apa yang akan ia hadapi di tahun baru bersama Pak Raiksa dan teman-teman barunya di Kota Kuiet. Tentu akan menyenangkan. Namun, kadangkala ia teringat akan hari-hari di mana ia pernah membantu ayahnya berjualan pakaian dan hidup dalam rumah mereka yang telah hangus terbakar -- rumah mungil yang rapi, indah, dan sejuk, tentunya. Ia mengingat ibunya juga: wanita muda yang berambut mata panjang-indah dan bertatapan lembut. Kata-kata dan nyanyian yang pernah didendangkan ibunya kadangkala masih ia nyanyikan. Ia tak mampu menandingi kemerduan seuara ibunya yang menurutnya mampu bernyanyi seperti air yang mengalir sejuk dari Sungai Hariman di Perbukitan Permata dekat kota Harmon. Yang paling tak terlupakan adalah lagu Tidurlah Sayang, Esok Kau Terbang.

Tidurlah sayang, esok kau terbang
Menari di awan mengenakan gaun biru
Tidurlah sayang, esok kau jelang
Dengan hati dan semangat baru

Jangan kauingat segala derita hari ini
Karena susah tadi cukuplah sudah
Ingat selalu esok ada cahaya mentari
Yang siap usir segala derita-payah

Gaun biru 'kan kubuat untukmu
Bila kaubesar dan remaja kaujelang
Kaukelak 'kan riang mengenakan gaun itu
Tidurlah sayang, esok kau terbang

Tidurlah sayang, esok kau jelang
Gaun biru untukmu, menarilah dengan iringan laguku

Air matanya menitik perlahan mengenang lagu yang indah itu. Kata-katanya masih belum dipahaminya dengan baik. Namun, ia menangkap sebuah janji: bahwa ibunya kelak akan membuatkannya sebuah gaun biru yang tentulah akan indah bila dipakainya buat menari. Ibunya memang pandai membuat pakaian. Sebagian pakaian yang dijual ayahnya selama ibunya hidup adalah hasil buatan ibunya sendiri. Ibunya juga pandai menari dan menyanyi. Lagu tadi ciptaannya sendiri, khusus tercipta untuk Tari.

Menari sambil terbang di awan? Oh, itu tentu kelakar ibunya. Tapi, andaikan ia dapat terbang dan menari di awan, oh... begitu indah!

Tari juga mengingat kamarnya, yang di salah satu dindingnya tergantung gambar yang pertama kali ia buat. Gambar itu ia beri bingkai yang indah. Gambar itu telah hangus terbakar. Namun ia tak akan pernah melupakan gambar itu, suatu saat ia akan menggambarnya lagi: gunung tinggi, awan-awan tipis, perahu kecil, jalan setapak dan sebuah sungai kecil yang mengalir dari sebuah air terjun.

Demikianlah, Tari tidak bisa tidur setelah dua jam berbaring di kasur malam itu. Kadang gundah, kadang gembira. Ia menangis, juga tertawa. Kemudian ia terlelap tanpa mimpi.

Sedangkan Pak Sapta melalui malam itu dengan gelisah. Kenangan akan rumah mungil yang dibangun dari hasil keringat sendiri, lalu luluh disantap api, bukankah itu sulit untuk ditepis bila lenyap dan kemudian ditinggal pergi jauh?

: Malang, Sidoarjo, sekitar Juli 2008 hingga Januari 2009

No comments: