Refleksi hidup berdasarkan kutipan dan pemikiran tiga tokoh Prancis: Arthur Rimbaud, Claude Debussy, dan Victor Hugo.
Hidup adalah Perjalanan
"Perlu ada upaya melihat,
upaya melihat dengan menjungkirbalikkan segala makna yang sudah ada,
untuk sampai pada yang tak dikenal,
hidup sejati yang berada di tempat lain ..."
Sepenggal puisi di atas adalah karya Arthur Rimbaud. Tahun 1874, saat berusia dua puluh tahun, ia tergila-gila berkelana ke mana-mana, hingga ia akhirnya meninggal di Marseille pada 10 Oktober 1891.
Nah, dia pernah "nyasar" ke Indonesia!
Apa yang menyebabkan dia ke Indonesia hingga kini masih samar. Diduga, itu karena ia mendengar kisah-kisah tentang Hindia-Belanda waktu bekerja sebagai kuli di pelabuhan. Pada bulan Juli tahun 1876 ia sampai di Indonesia. Ia sempat ada di Jakarta dan di Salatiga. Berada di tangsi militer jiwanya gundah. Penyair ini tidak cocok. Ya, dia nyasar. Diam-diam ia meninggalkan Indonesia dan kembali ke negerinya, Prancis.
Puisinya di atas adalah sebentuk pemetaan dari realitas-demi-realitas tangkapannya hasil kelana-demi-kelana. Renungan memang jadi sangat luar biasa bila dipadu dengan kelana. Bahwa kebahagiaan-kesedihan yang berusaha kita gerapai suka-dukanya kadang terenungi keliru dan semrawut ketika dihadapkan dengan kelana.
Di dunia ini, akan selalu ada "tempat lain" (kutipan dari puisi yang ditulis Rimbaud di atas) untuk kita cari dalam rangka membentuk makna sebuah sisi kehidupan. Manusia selalu mencari dan tidak puas, sehingga baiklah kita menyadari sebuah keadaan penting: bahwa saat ini, di sini, ada sesuatu yang penting dan berharga untuk kita raih. Bahwa saat ini, di sini, ada sesuatu yang harus kita kerjakan dan beri perhatian untuk membuat hidup kita memiliki makna.
Hidup adalah Keindahan
Tahun 1889, Prancis memperingati seabad revolusinya. Negara itu melaksanakan peresmian menara Eiffel. Di kaki menara metalik raksasa itu tampak beberapa gong perunggu dan gamelan Jawa. Seorang komponis muda berbakat terpana ketika mendengar suaranya dan di kemudian hari berkomentar: "Jika Anda mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, Anda harus mengakui bahwa musik kita tak lebih dari sekedar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling." Komponis itu bernama Claude Debussy.
Terlepas dari kemampuan orang Barat yang tampak lebih lihai daripada kita dalam mengajarkan musik lewat partitur, penggolongan irama, bahkan tablatur untuk gitar, Debussy terkesan dengan "getaran keindahan suara itu sendiri." Suara itu beresonansi secara indah, membuatnya boyak terhadap harmonisasi nada-nada yang selama ini menjadi kekuatan dan pesona bagi musik-musik Barat.
Debussy memadukan musik Barat dan gamelan, karena dirasanya gamelan adalah sebuah seni bernilai tinggi, sementara kita selama ini yang hidup "bersama gamelan" mungkin menganggap musik Barat bernilai lebih tinggi.
Debussy, dalam jiwanya yang gelisah, mencoba tafsirkan apa yang ia gapai dan tangkap dalam kepekaannya lewat karya yang sarat kombinasi. Belajar dari seniman ini, kita seolah diajak melihat bahwa keindahan ada di mana-mana. Memaknai keindahan, jiwa kita yang fana dan sementara ini kerap berubah-ubah selera. Musik adalah seni. Hidup adalah seni. Menghayati hidup bagai menghayati seni. Keduanya butuh kepekaan.
Hidup adalah Sementara
Condamné à mort!
Dihukum mati! Ya, siapa yang dapat memetakan pikiran seseorang yang tinggal beberapa saat saja menjalani hidup? Victor Hugo mencoba tuturkan apa-apa saja yang melintasi benak seseorang yang akan dihukum mati dalam novelnya Le dernier jour d’un condamné (Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati).
Di sana, digambarkan bahwa setiap menit berisi gagasan. Mimpi bagai menyatu dengan kenyataan. Kepedihan membaur dengan kengerian. Hidup, setiap saat, serasa amat berarti. Bahkan, segala sesuatu yang dilihat, dirasa, diraba — semuanya dicoba untuk dicari-cari detilnya, sebagai bahan untuk dituangkan dalam kata-kata yang terbatas, untuk memaknai hidup dalam waktu yang merambat.
Salah satu renungan terpidana yang menghenyakkan adalah: "Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan." Bukankah benar demikian? Bukankah suatu saat kita mati? Yang menjadi masalahnya adalah: kadang kita lupa suatu saat kita akan mati.
Kematian memang bukan akhir segalanya. Namun, cara kita menyongsong kematian itu penting. Itu tergantung pada hingga sejauh mana kita mempertahankan apa yang kita percayai selama hidup kita. Kalau selama hidup kita goyah iman, bagaimana kita bisa yakin dengan iman itu kalau maut menjemput? C.S. Lewis berkata, "Engkau tidak akan pernah tahu seberapa besar kepercayaanmu mengenai sesuatu hal sampai hal itu menjadi masalah antara hidup dan mati." Ya, hingga nafas terakhir terhembuskan, setialah pada iman kita!
= Sidik Nugroho
Mari nikmati malam, yang diciptakan untuk jadi teman bagi renungan, juga teman menjelang mimpi.
28.9.09
25.9.09
Ke Yogya, Semarang, dan Dua Warung Soto
: Catatan Perjalanan Liburan, 20-25 September 2009
Malioboro, Parang Tritis, dan Jatimulyo
Malioboro di dini hari Lebaran hari pertama lalu sepi sekali.
Aku, Ko Ardian dan Ko Phillip akhirnya sampai di sini. Keliling Yogya, lalu menuju ke sebuah hotel di Jalan Surokarsan. Tidur beberapa jam.
Dua hari kami tinggal di sini. Belanja beberapa oleh-oleh di Malioboro, juga mampir ke Parang Tritis. Malioboro agak ramai di hari pertama Lebaran. Kemudian sangat ramai di hari kedua Lebaran. Parang Tritis, sayang, kotor sekali.
Selama di Yogya aku juga sempat bertemu dengan guru menulisku, Arie Saptaji. Aku ke rumahnya di Jatimulyo. Di rumah ini aku sempat disuguhi tontonan apik. (Matur nuwun, Denmas!) Judul film itu adalah Psycho, garapan Alfred Hitchcock. Disebut-sebut sebagai masterpiece, karena mampu membangun suspense yang tampaknya bikin tempat duduk penonton panas, akibat gelisah menanti jawaban: "Uuuh, siapakah pembunuh Marion?"
Terima kasih kuhaturkan juga untuk Josua Sirait -- yang tampak lebih gemuk sejak kali terakhir aku ketemu dengannya 4 tahunan lalu -- yang telah mengantar-jemput aku ke kediaman sang guru di Jatimulyo. (Kapan-kapan jumpa lagi, Bro!)
Borobudur, Pandanaran, Sam Po Kong, dan Wihara Watugong
Dari Yogyakarta, kami bertiga menuju ke Borobudur. Kami pergi bersama dua teman kami, sepasang kekasih yang lagi kasmaran: Kwarta dan Siska. (Mereka juga menemani kami ke Parang Tritis sebelumnya.) Tampak mesra keduanya, bergandengan tangan di banyak kesempatan -- sesekali berangkulan. Duuuh!
Borobudur ramai sekali pada hari ini. Aku dan keempat kawanku juga kepanasan di sini. Aku membeli beberapa oleh-oleh untuk keluargaku.
Setelah dari Borobudur, kami kembali lagi ke Yogya. Di hari ketiga kami ada di Yogya, kami menyempatkan diri mampir ke rumah adik sepupu Ko Ardian. Tanpa rencana, adik sepupunya itu mengajak kami ke kuil orang Konghucu yang bermenara tinggi di Semarang. "Apakah itu Sam Po Kong?" tanyaku. Ia tidak tahu.
Aku yang pernah tinggal tiga tahun di Semarang, selama SMA, tidak pernah banyak mencari tahu tempat-tempat seperti kuil, masjid, gereja, atau apa pun yang diminati para peziarah spiritualis.
Kami berangkat. Yogya-Semarang hampir empat jam kami tempuh karena jalanan sedang sangat macet. Untunglah saat itu cuaca tak begitu panas. Cuaca agak mendung. Aku melihat Bukit Menoreh dengan kagum. Indah sekali: sawah-sawah di kaki bukit sedang mengemas.
Sampai di Semarang, kami mampir dulu ke Jalan Pandanaran, pusat oleh-oleh khas Semarang: bandeng presto, wingko babat, dan lumpia.
Di belakang Jalan Pandanaran ada kampung bernama Randusari, dekat dengan kuburan tengah kota bernama Bergota. Di Randusari-lah aku tinggal waktu SMA dulu, bersama mendiang nenekku. Aku bahkan kenal dengan beberapa orang yang jual oleh-oleh di Jalan Pandanaran. Aku menyempatkan diri selama beberapa menit menginjakkan kaki ke kampungku dulu, berdiri di depan rumahku. Rasa kangen pada masa lalu mencuat-cuat kembali.
Ku-sms ibuku, kuberitahu aku sedang berada di depan rumah itu. Ia menangis, mengingat kenangan-kenangan yang ia lalui selama puluhan tahun di sana. Ya, bapak dan ibuku berasal dari satu kampung itu. Rumah keduanya berdekatan. Namun, aku tidak sempat melihat ke rumah kakek-nenek dari pihak bapak karena hari sudah malam, dan kami harus segera kembali ke Yogya malam itu juga.
***
Ya, selama SMA, aku sama sekali tak pernah ke Sam Po Kong. Aku cuma tahu nama itu menjadi judul novel Remy Sylado, dan itu adalah sebuah kelenteng. Itu saja.
Begitu masuk, dan berbincang-bincang dengan penjaga kelenteng itu, aku cukup takjub. Betapa tidak. Sam Po Kong dalam kisahnya adalah seorang pembawa ajaran Islam di pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, mulai pada tahun 1405 M. Walau Sam Po Kong seorang Konghucu, namun dia tertarik dengan ajaran Islam -- kemudian turut menyebarkannya. Di dalam kuil ini juga ada makam dari tiga pendamping Sam Po Kong: juru masak, juru mudi (kapal), dan yang satunya aku lupa juru apanya.
Ya, kuil Sam Po Kong yang berada di daerah Gedongbatu di Semarang ini, ternyata menyimpan catatan sejarah yang panjang. Tampaknya, kuil ini merupakan representasi dan simbol akulturasi masa lalu melihat catatan penggagas-pendirinya. Kuil Sam Po Kong terbuka untuk dikunjungi siapa saja -- orang dari agama mana saja.
Lampion-lampion merah, palang-palang tinggi penyangga kuil beratap merah yang indah, dan lilin-lilin raksasa yang kulihat pada malam yang gelap di kuil ini terkesan angker, namun romantis.
***
Namun, tujuan utama kami bukan kuil Sam Po Kong. Setelah bertanya-tanya pada penjaga kuil di Sam Po Kong, ternyata "kuil orang Konghucu yang bermenara tinggi" yang kami hendak tuju dari Yogya tadi ada di daerah Watugong, Srondol, dekat Ungaran. Tancap gas, kami menuju ke sana, sekalian pulang ke Yogya.
Menara itu ternyata tinggi sekali, ada tujuh tingkat. Ia mirip pagoda-pagoda yang ada di Thailand -- kalau tidak salah -- yang pernah aku lihat di sebuah kalender. Ia diletakkan di samping wihara yang dibangun di sekitar tempat itu. Di depannya ada patung Buddha yang sedang bertapa mencari kesempurnaan jiwa di bawah sebuah pohon yang rindang. Begitu hening tatapan Buddha yang tampak sedang bermeditasi di patung itu.
Kata Ko Phillip, menara itu fungsinya untuk mengurung para dewa-dewi yang berbuat jahat. Ia juga dibuat sebagai pengagungan terhadap Dewi Langit yang aku lupa siapa namanya.
Setelah menilik wihara dan pagoda-menara itu kami pulang ke Yogya. Selain dua tempat itu, aku masih penasaran dengan dua-tiga tempat ibadah atau pemujaan di Semarang.
Pertama adalah kuil atau kelenteng di sekitar daerah Anjasmoro yang katanya cantik banget. Kedua adalah Masjid Agung yang berada di daerah Dokter Cipto yang katanya bermenara sangat tinggi, bisa dinaiki, bahkan memiliki sebuah teropong yang bisa digunakan untuk mengamati seantero Semarang.
Yang ketiga, sebenarnya aku sudah tahu, cuma ingin sekali lihat dalamnya: Gereja Blenduk. Gereja ini bangunan Belanda di kawasan Pasar Johar Semarang yang terkenal dengan bangunan-bangunan lawasnya. Menurut seorang blogger yang kukenal, bagian dalam bangunan ini artistik sekali.
Kadang aku menyesal: mengapa tidak sejak SMA dulu suka dengan yang beginian?
Dan aku juga menyesal: datang ke Sam Po Kong dan ke Wihara Watugong saat malam hari -- langit tampak mendung dan gelap. Kami tidak bisa memfotonya.
Prambanan, BNS, dan Sedikit Catatan Tambahan tentang Dua Warung Soto
Sehari setelah dari Semarang, atau hari keempat perjalanan kami, akhirnya tibalah waktu untuk kembali. Kembali lewat Solo, Sragen, dan seterusnya, menuju kota Malang. Kami mampir ke Prambanan.
Di Prambanan juga banyak sekali orang datang -- seperti Borobudur. Ramai, dan panas. Namun, di sini aku merasa beruntung melihat candi ini dari dekat kali pertama dalam hidupku. Sebelumnya sudah pernah sih ke sini sendirian beberapa tahun lalu, namun waktu itu sudah menjelang maghrib, dan pintu masuk sudah tertutup.
Prambanan, bagiku adalah candi yang anggun. Walau sayang, batu-batu masih banyak berserakan. Memang, sekilas tampaknya susah sekali merekonstruksi reruntuhan batu yang amat banyak di sekitar kompleks candi itu menjadi candi-candi secara utuh -- satu demi satu.
Dari Prambanan kami bertiga kembali ke Jawa Timur. Ingin mampir ke Solo, tapi tidak jadi. Di daerah Ngawi dan Nganjuk jalanan macet. Karena macet, Ko Ardian yang menyupir mobil tak jadi langsung ke Malang. Dia agak lelah, selain jalan menuju ke Malang yang melewati Batu berkelok-kelok.
Kami kembali ke Sidoarjo. Tidur satu malam. Paginya menancap gas lagi ke Batu. Di Batu, aku sudah agak bosan dengan tempat-tempat wisatanya. Mungkin karena sudah 11 tahun aku tinggal di Malang hingga kini, dan cukup sering mengantar teman atau saudara ke situ.
Ko Ardian penasaran dengan tempat wisata Batu Night Spectacular alias BNS. Aku sih kurang suka dengan tempat ini -- kurang ada unsur budayanya gitu. Ko Ardian dan Ko Phillip, begitu melihat orang-orang tumplek-blek di tempat ini, juga beberapa wahana yang tampak dari pintu masuk rasa-rasanya lebih banyak ditujukan untuk anak-anak, mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. Kami turun dari Batu, jalan-jalan ke kota Malang.
Dari Malang kami kembali ke Batu lagi, namun tidak langsung ke hotel di Songgoriti. Kami mampir ke Payung. Aku sudah berkali-kali ke tempat ini, dan tidak ada yang berubah. Menunggu tengah malam datang, kami ngobrol-ngobrol.
Saat ngobrol, terlintaslah di benak kami bertiga, sesuatu yang sama. Apakah itu? Cewek! Ya, semua perjalanan memang rasanya nikmat kalau dijalani bersama seorang kekasih. Nah, kami tiga pria malang yang kesepian, sepakat: dalam perjalanan ini, memang akan lebih indah disertai makhluk yang satu itu. Dan yang paling malang di antara ketiganya, dalam hal ini, mungkin, aku.
Ko Ardian sudah punya calon pendamping hidup yang sedang liburan ke Bandung. Ko Phillip sudah beristri dan beranak dua -- semuanya ada di Bangka. Sementara aku, aku tidak punya seorang pasangan. Tapi, bagaimana pun, aku menikmati perjalanan ini. Sungguh, aku menikmatinya, bukan sekedar ngabang-ngabangi lambe lho!
Malam itu kulalui dengan ucapan syukur. Kami tidur. Seorang dari kami tidur mendengkur. Berakhir sudah perjalanan ini.
***
Terus, catatan tambahan tentang warung soto?
Begini. Ketika pulang dari Borobudur menuju ke Yogya, ada sebuah warung soto dan bakso. (Soto Bakso, demikian disebut di Magelang dan sekitarnya dengan cukup terkenal.) Di warung soto itu seorang gadis manis melayani kami dengan senyum yang sulit kulupakan. Kuputuskan untuk tidak kulihat sering-sering senyum itu, takut jerawat batu keluar di pipiku.
Gadis itu kemudian lenyap dari ingatanku. Untuk sementara.
Namun, tak sampai situ. Ketika perjalanan liburan ini hampir berakhir, kami mampir ke warung soto di dekat sebuah persimpangan di Batu. Olala, kali ini seorang gadis manis melayani kami dengan senyum yang juga tak kalah sulit dilupakan. Seorang gadis yang lain, dengan senyum yang tak kalah wadohai.
Ah, kedua gadis itu kini masih membekas dalam ingatan. Lahirlah puisi ini:
Dua warung soto
Dua kota berbeda
Dua gadis
Dua senyuman
Dua kenangan
Satu pria kesepian
Gundah memamah soto
Ah, lain kali kalau jalan-jalan, aku ingin cari warung soto lagi! Siapa yang mau ikut? Yuuuk.
Malang, 25 September 2009
Malioboro, Parang Tritis, dan Jatimulyo
Malioboro di dini hari Lebaran hari pertama lalu sepi sekali.
Aku, Ko Ardian dan Ko Phillip akhirnya sampai di sini. Keliling Yogya, lalu menuju ke sebuah hotel di Jalan Surokarsan. Tidur beberapa jam.
Dua hari kami tinggal di sini. Belanja beberapa oleh-oleh di Malioboro, juga mampir ke Parang Tritis. Malioboro agak ramai di hari pertama Lebaran. Kemudian sangat ramai di hari kedua Lebaran. Parang Tritis, sayang, kotor sekali.
Selama di Yogya aku juga sempat bertemu dengan guru menulisku, Arie Saptaji. Aku ke rumahnya di Jatimulyo. Di rumah ini aku sempat disuguhi tontonan apik. (Matur nuwun, Denmas!) Judul film itu adalah Psycho, garapan Alfred Hitchcock. Disebut-sebut sebagai masterpiece, karena mampu membangun suspense yang tampaknya bikin tempat duduk penonton panas, akibat gelisah menanti jawaban: "Uuuh, siapakah pembunuh Marion?"
Terima kasih kuhaturkan juga untuk Josua Sirait -- yang tampak lebih gemuk sejak kali terakhir aku ketemu dengannya 4 tahunan lalu -- yang telah mengantar-jemput aku ke kediaman sang guru di Jatimulyo. (Kapan-kapan jumpa lagi, Bro!)
Borobudur, Pandanaran, Sam Po Kong, dan Wihara Watugong
Dari Yogyakarta, kami bertiga menuju ke Borobudur. Kami pergi bersama dua teman kami, sepasang kekasih yang lagi kasmaran: Kwarta dan Siska. (Mereka juga menemani kami ke Parang Tritis sebelumnya.) Tampak mesra keduanya, bergandengan tangan di banyak kesempatan -- sesekali berangkulan. Duuuh!
Borobudur ramai sekali pada hari ini. Aku dan keempat kawanku juga kepanasan di sini. Aku membeli beberapa oleh-oleh untuk keluargaku.
Setelah dari Borobudur, kami kembali lagi ke Yogya. Di hari ketiga kami ada di Yogya, kami menyempatkan diri mampir ke rumah adik sepupu Ko Ardian. Tanpa rencana, adik sepupunya itu mengajak kami ke kuil orang Konghucu yang bermenara tinggi di Semarang. "Apakah itu Sam Po Kong?" tanyaku. Ia tidak tahu.
Aku yang pernah tinggal tiga tahun di Semarang, selama SMA, tidak pernah banyak mencari tahu tempat-tempat seperti kuil, masjid, gereja, atau apa pun yang diminati para peziarah spiritualis.
Kami berangkat. Yogya-Semarang hampir empat jam kami tempuh karena jalanan sedang sangat macet. Untunglah saat itu cuaca tak begitu panas. Cuaca agak mendung. Aku melihat Bukit Menoreh dengan kagum. Indah sekali: sawah-sawah di kaki bukit sedang mengemas.
Sampai di Semarang, kami mampir dulu ke Jalan Pandanaran, pusat oleh-oleh khas Semarang: bandeng presto, wingko babat, dan lumpia.
Di belakang Jalan Pandanaran ada kampung bernama Randusari, dekat dengan kuburan tengah kota bernama Bergota. Di Randusari-lah aku tinggal waktu SMA dulu, bersama mendiang nenekku. Aku bahkan kenal dengan beberapa orang yang jual oleh-oleh di Jalan Pandanaran. Aku menyempatkan diri selama beberapa menit menginjakkan kaki ke kampungku dulu, berdiri di depan rumahku. Rasa kangen pada masa lalu mencuat-cuat kembali.
Ku-sms ibuku, kuberitahu aku sedang berada di depan rumah itu. Ia menangis, mengingat kenangan-kenangan yang ia lalui selama puluhan tahun di sana. Ya, bapak dan ibuku berasal dari satu kampung itu. Rumah keduanya berdekatan. Namun, aku tidak sempat melihat ke rumah kakek-nenek dari pihak bapak karena hari sudah malam, dan kami harus segera kembali ke Yogya malam itu juga.
***
Ya, selama SMA, aku sama sekali tak pernah ke Sam Po Kong. Aku cuma tahu nama itu menjadi judul novel Remy Sylado, dan itu adalah sebuah kelenteng. Itu saja.
Begitu masuk, dan berbincang-bincang dengan penjaga kelenteng itu, aku cukup takjub. Betapa tidak. Sam Po Kong dalam kisahnya adalah seorang pembawa ajaran Islam di pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, mulai pada tahun 1405 M. Walau Sam Po Kong seorang Konghucu, namun dia tertarik dengan ajaran Islam -- kemudian turut menyebarkannya. Di dalam kuil ini juga ada makam dari tiga pendamping Sam Po Kong: juru masak, juru mudi (kapal), dan yang satunya aku lupa juru apanya.
Ya, kuil Sam Po Kong yang berada di daerah Gedongbatu di Semarang ini, ternyata menyimpan catatan sejarah yang panjang. Tampaknya, kuil ini merupakan representasi dan simbol akulturasi masa lalu melihat catatan penggagas-pendirinya. Kuil Sam Po Kong terbuka untuk dikunjungi siapa saja -- orang dari agama mana saja.
Lampion-lampion merah, palang-palang tinggi penyangga kuil beratap merah yang indah, dan lilin-lilin raksasa yang kulihat pada malam yang gelap di kuil ini terkesan angker, namun romantis.
***
Namun, tujuan utama kami bukan kuil Sam Po Kong. Setelah bertanya-tanya pada penjaga kuil di Sam Po Kong, ternyata "kuil orang Konghucu yang bermenara tinggi" yang kami hendak tuju dari Yogya tadi ada di daerah Watugong, Srondol, dekat Ungaran. Tancap gas, kami menuju ke sana, sekalian pulang ke Yogya.
Menara itu ternyata tinggi sekali, ada tujuh tingkat. Ia mirip pagoda-pagoda yang ada di Thailand -- kalau tidak salah -- yang pernah aku lihat di sebuah kalender. Ia diletakkan di samping wihara yang dibangun di sekitar tempat itu. Di depannya ada patung Buddha yang sedang bertapa mencari kesempurnaan jiwa di bawah sebuah pohon yang rindang. Begitu hening tatapan Buddha yang tampak sedang bermeditasi di patung itu.
Kata Ko Phillip, menara itu fungsinya untuk mengurung para dewa-dewi yang berbuat jahat. Ia juga dibuat sebagai pengagungan terhadap Dewi Langit yang aku lupa siapa namanya.
Setelah menilik wihara dan pagoda-menara itu kami pulang ke Yogya. Selain dua tempat itu, aku masih penasaran dengan dua-tiga tempat ibadah atau pemujaan di Semarang.
Pertama adalah kuil atau kelenteng di sekitar daerah Anjasmoro yang katanya cantik banget. Kedua adalah Masjid Agung yang berada di daerah Dokter Cipto yang katanya bermenara sangat tinggi, bisa dinaiki, bahkan memiliki sebuah teropong yang bisa digunakan untuk mengamati seantero Semarang.
Yang ketiga, sebenarnya aku sudah tahu, cuma ingin sekali lihat dalamnya: Gereja Blenduk. Gereja ini bangunan Belanda di kawasan Pasar Johar Semarang yang terkenal dengan bangunan-bangunan lawasnya. Menurut seorang blogger yang kukenal, bagian dalam bangunan ini artistik sekali.
Kadang aku menyesal: mengapa tidak sejak SMA dulu suka dengan yang beginian?
Dan aku juga menyesal: datang ke Sam Po Kong dan ke Wihara Watugong saat malam hari -- langit tampak mendung dan gelap. Kami tidak bisa memfotonya.
Prambanan, BNS, dan Sedikit Catatan Tambahan tentang Dua Warung Soto
Sehari setelah dari Semarang, atau hari keempat perjalanan kami, akhirnya tibalah waktu untuk kembali. Kembali lewat Solo, Sragen, dan seterusnya, menuju kota Malang. Kami mampir ke Prambanan.
Di Prambanan juga banyak sekali orang datang -- seperti Borobudur. Ramai, dan panas. Namun, di sini aku merasa beruntung melihat candi ini dari dekat kali pertama dalam hidupku. Sebelumnya sudah pernah sih ke sini sendirian beberapa tahun lalu, namun waktu itu sudah menjelang maghrib, dan pintu masuk sudah tertutup.
Prambanan, bagiku adalah candi yang anggun. Walau sayang, batu-batu masih banyak berserakan. Memang, sekilas tampaknya susah sekali merekonstruksi reruntuhan batu yang amat banyak di sekitar kompleks candi itu menjadi candi-candi secara utuh -- satu demi satu.
Dari Prambanan kami bertiga kembali ke Jawa Timur. Ingin mampir ke Solo, tapi tidak jadi. Di daerah Ngawi dan Nganjuk jalanan macet. Karena macet, Ko Ardian yang menyupir mobil tak jadi langsung ke Malang. Dia agak lelah, selain jalan menuju ke Malang yang melewati Batu berkelok-kelok.
Kami kembali ke Sidoarjo. Tidur satu malam. Paginya menancap gas lagi ke Batu. Di Batu, aku sudah agak bosan dengan tempat-tempat wisatanya. Mungkin karena sudah 11 tahun aku tinggal di Malang hingga kini, dan cukup sering mengantar teman atau saudara ke situ.
Ko Ardian penasaran dengan tempat wisata Batu Night Spectacular alias BNS. Aku sih kurang suka dengan tempat ini -- kurang ada unsur budayanya gitu. Ko Ardian dan Ko Phillip, begitu melihat orang-orang tumplek-blek di tempat ini, juga beberapa wahana yang tampak dari pintu masuk rasa-rasanya lebih banyak ditujukan untuk anak-anak, mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. Kami turun dari Batu, jalan-jalan ke kota Malang.
Dari Malang kami kembali ke Batu lagi, namun tidak langsung ke hotel di Songgoriti. Kami mampir ke Payung. Aku sudah berkali-kali ke tempat ini, dan tidak ada yang berubah. Menunggu tengah malam datang, kami ngobrol-ngobrol.
Saat ngobrol, terlintaslah di benak kami bertiga, sesuatu yang sama. Apakah itu? Cewek! Ya, semua perjalanan memang rasanya nikmat kalau dijalani bersama seorang kekasih. Nah, kami tiga pria malang yang kesepian, sepakat: dalam perjalanan ini, memang akan lebih indah disertai makhluk yang satu itu. Dan yang paling malang di antara ketiganya, dalam hal ini, mungkin, aku.
Ko Ardian sudah punya calon pendamping hidup yang sedang liburan ke Bandung. Ko Phillip sudah beristri dan beranak dua -- semuanya ada di Bangka. Sementara aku, aku tidak punya seorang pasangan. Tapi, bagaimana pun, aku menikmati perjalanan ini. Sungguh, aku menikmatinya, bukan sekedar ngabang-ngabangi lambe lho!
Malam itu kulalui dengan ucapan syukur. Kami tidur. Seorang dari kami tidur mendengkur. Berakhir sudah perjalanan ini.
***
Terus, catatan tambahan tentang warung soto?
Begini. Ketika pulang dari Borobudur menuju ke Yogya, ada sebuah warung soto dan bakso. (Soto Bakso, demikian disebut di Magelang dan sekitarnya dengan cukup terkenal.) Di warung soto itu seorang gadis manis melayani kami dengan senyum yang sulit kulupakan. Kuputuskan untuk tidak kulihat sering-sering senyum itu, takut jerawat batu keluar di pipiku.
Gadis itu kemudian lenyap dari ingatanku. Untuk sementara.
Namun, tak sampai situ. Ketika perjalanan liburan ini hampir berakhir, kami mampir ke warung soto di dekat sebuah persimpangan di Batu. Olala, kali ini seorang gadis manis melayani kami dengan senyum yang juga tak kalah sulit dilupakan. Seorang gadis yang lain, dengan senyum yang tak kalah wadohai.
Ah, kedua gadis itu kini masih membekas dalam ingatan. Lahirlah puisi ini:
Dua warung soto
Dua kota berbeda
Dua gadis
Dua senyuman
Dua kenangan
Satu pria kesepian
Gundah memamah soto
Ah, lain kali kalau jalan-jalan, aku ingin cari warung soto lagi! Siapa yang mau ikut? Yuuuk.
Malang, 25 September 2009
17.9.09
Arwah-Muka-Babi dan Istana Raja
: Kutipan novel yang sedang kugarap.
MELINTASI jalan sunyi di Lembah Orang Mati adalah salah satu impian terburuk yang pernah dialami siapa pun. Namun, tiga petualang kita: Rangga, Kak Jono dan Si Tuan Malam tampak mencoba tegar. Di hari kesepuluh petualangan mereka sejak meninggalkan Kuiet, kini mereka merasakan tantangan yang tampaknya akan lebih berat menghadang di depan. Hati mereka berat, langkah kaki terayun gundah.
Malam pertama melintasi Lembah Orang Mati benar-benar menegangkan. Kehadiran para arwah jahat terasa di sekitar para petualang kita. Di antara ketiganya, Kak Jono yang sesekali mendesah ketakutan dengan menarik napas panjang menggunakan mulutnya. Ia sering melihat sekelebat bayangan yang melintas dengan cepat. Rangga sempat melihat arwah yang mukanya mirip babi berkelebat di balik sebuah pohon. Seluruh badannya merinding seketika.
Tuan Malam tampak santai, namun menyipitkan matanya -- tanda ia selalu awas atas segala marabahaya. "Mereka biasanya sembunyi di gua-gua. Jadi, alihkan matamu dari gua-gua yang kautemui. Aku mendapat firasat agar lebih baik kita bersitirahat saja di bawah pohon-pohon yang kita temui," kata Si Tuan Malam.
Tuan Malam merasa arwah-arwah telah makin banyak berkumpul demi menyusun rencana yang makin matang mengacaukan kota-kota di Harigia. "Mereka tampaknya akan keluar dari segenap penjuru Harigia. Tapi, tenanglah, kehadiran kita tak terlalu banyak menimbulkan kecurigaan mereka. Kebanyakan, mereka yang ngumpul-ngumpul di sini adalah arwah-arwah yang bodoh dan berkesaktian rendah. Yang lebih pintar biasnya diutus para malaikat jahat untuk mengamati dan mengacau keadaan kota-kota di Harigia."
"Tadi aku melihat sebuah arwah yang wajahnya mirip babi, Pak! Matanya merah, seperti mata Si Wanita Biru itu," bisik Rangga dengan seru.
"Aku pernah tahu arwah-muka-babi itu. Mereka adalah arwah jahat yang paling banyak di Harigia. Jangan takut pada tampang mereka yang sangar. Mereka mudah sekali dikalahkan," kata Si Tuan Malam. "Sekarang, mari kita tidur saja. Lupakan mereka barang sesaat."
Tuan Malam dan keduanya lalu tidur di bawah pohon dengan menggunakan selimut. Saat mereka tidur, datanglah dua arwah-muka-babi yang berbicara dalam bahasa yang aneh. Keduanya berbadan samar-samar.
"Madangkasang sakana trisante lakehi?" tanya yang pertama. (Artinya: "Siapa gerangan tiga orang asing ini?")
"Nekakasang. Lakehi san trisante nika kalianu manungisang mancunia lawito." (Artinya: "Entahlah. Ketiga orang asing ini kelihatannya cuma tiga manusia yang kebetulan lewat.")
Keduanya lalu membicarakan sesuatu dalam bahasa biasa. "Aku curiga, mereka ini... jangan-jangan yang disebut Dewi Buntaly sebagai petualang," kata arwah pengucap "madangkasang" tadi.
"Nekakasang. Mereka cuma orang lewat. Mari kita beritahu teman kita!"
Keduanya lalu meninggalkan tiga petualang kita. Tuan Malam tak tertidur ketika keduanya datang -- hanya pura-pura tidur. Dia merasa aneh mendengar kedua bahasa itu. "Mungkinkah itu bahasa para arwah-muka-babi?" katanya dalam hati.
Tuan Malam lalu membangunkan Kak Jono dan Rangga. "Ada arwah yang baru saja ke sini, lalu mengamati kita. Sekarang mari kita pergi dari sini, sebelum dia memanggil teman-temannya yang lain. Kita cari persembunyian."
Kak Jono kaget ketika dibangunkan. "Pak Raiksa," katanya pada Si Tuan Malam. "Aku baru saja mimpi, ditunjukkan oleh seorang pria muda yang tampan, sebuah gua yang di depannya ada obor. Tak jauh dari sini. Mungkin kita harus menuju ke sana."
Pak Raiksa memandangi mata Kak Jono lekat-lekat. "Benarkah begitu?"
"Ya! Iya, Pak!" kata Kak Jono.
Mereka segera berkemas, lalu berjalan mengendap-endap menuju sebuah pohon lain. "Hati-hati. Berita petualangan kita sudah menyebar. Beruntung kita, tadi dua arwah-muka-babi yang mendatangi kita adalah arwah yang bodoh dan tak bersenjata."
Si Tuan Malam kemudian mengatupkan tangannya sebentar, mengatupkan kedua kelopak matanya pula. Ia kemudian "melihat" letak gua itu, setelah dua menit bersila. "Mari, kita menuju ke sana."
***
SAMPAILAH mereka akhirnya di depan gua itu. Obor itu tampaknya baru saja dinyalakan. Pak Raiksa sempat berpikir: siapa yang telah meletakkan obor itu di sini. Malaikatkah? Arwah baikkah? Pak Raiksa segera meraih obor itu, lalu mereka masuk ke dalam gua. Hawa di dalam gua benar-benar hangat.
"Aku juga telah 'melihat', begitu banyak arwah di sini. Namun, yang kurasakan dalam batinku, mereka lebih memikirkan cara-cara pengacauan ke sebuah kota Harigia. Mungkin ada gerombolan arwah lain yang memang dipersiapkan Buntaly untuk menghadang dan mengacau kita dalam petualangan ini -- arwah yang lebih pintar dan sakti."
"Apa pun rencana mereka, aku tak akan gentar, Pak!" kata Rangga. "Kita akan hadapi mereka."
"Jangan gegabah, Nak. Tenang saja. Naluri seorang petualang dan petarung sejati haruslah terasah dengan berbagai pertimbangan. Sekarang, mari kita lanjutkan tidur. Kita pasti aman di sini."
***
MEREKA bertiga melalui malam itu dengan tidur yang cukup pulas. Di pagi hari, Pak Raiksa menyatakan sesuatu. "Menjelang pagi tadi, aku mendapat semacam desakan agar kita melakukan pengintaian. Beranikah kalian melakukannya nanti malam? Aku mendapat firasat kalau beberapa arwah-muka-babi itu sedang menyelenggarakan rapat tak jauh dari sini."
Rangga dan Kak Jono berpandangan. Keduanya saling menganggukkan kepala.
"Mari kita atur strateginya, agar tidak ketahuan! Siang ini baiklah kita berpencar untuk melihat gua mana yang jadi kemungkinan terbesar diadakannya rapat arwah-muka-babi."
Ketiganya lalu berpencar setelah berganti pakaian lagi. Mereka mengamati gerak-gerik para arwah yang hampir semuanya tampak berbadan samar dari tiga pohon yang berbeda -- dari siang hingga menjelang sore. Rangga dan Kak Jono pertama-tama menyaksikan mereka dengan ngeri. Lama-lama, tapi mereka jadi terbiasa.
Para arwah-muka-babi jarang melakukan kegiatan di siang hari. Menjelang sore, ketahuanlah kini sebuah gua yang paling sering dilintasi arwah-muka-babi. Ketiganya lalu turun, kembali ke gua mereka sambil mengendap-endap.
Di gua, Rangga yang pertama kali bicara, "Bagaimana rencana kita selanjutnya, Tuan Malam?"
"Kita tak perlu melakukan penyerangan apa pun. Kita hanya akan mencuri dengar apa yang mereka rapatkan. Kita akan mendatangi mereka pelan-pelan. Tapi... ah, sialan!"
"Kenapa, Pak Raiksa?" tanya Kak Jono.
"Semoga saja mereka tak rapat menggunakan bahasa aneh yang semalam kudengar. Mereka bicara 'madangkasang', 'nekakasang', ah... bahasa aneh apa pula itu!"
"Ya, semoga mereka bicara dalam bahasa kita. Mereka semua dulu kan manusia seperti kita, dari Harigia juga," kata Rangga.
"Ya, mungkin hanya dua arwah yang mendekati kita semalam, yang berbahasa aneh seperti itu. Yah... semoga saja begitu."
Ketiganya lalu menyusun rencana sederhana. Ketiganya akan berganti pakaian lagi, mendekati gua itu dari arah yang berbeda.
"Pak Raiksa," Rangga bersuara dengan penuh semangat. "Apakah dalam pengintaian kita tadi siang ada arwah yang tak terlihat mata kita, yang mengamati gerak-gerik kita?"
"Aku sudah banyak belajar tentang Lembah Orang Mati ini di beberapa buku lain. Arwah-arwah di seluruh lembah ini biasanya berkelompok-berkelompok sesuai jenisnya. Dan mereka memang rata-rata malas bekerja di siang hari. Jadi, ya, rasanya kita tak perlu kuatir ada arwah-muka-babi atau arwah jenis lain yang juga mengintai kita di sini."
***
KETIGANYA lagi-lagi berjalan mengendap-endap di balik semak-semak yang tinggi dan sesekali menyelinap di balik pohon dari tiga arah yang berbeda. Hampir bersamaan, sampailah mereka di mulut gua yang mereka tuju. Di dalamnya terdengar bisik-bisik yang ribut sekali. Bahasa mereka banyak sekali.
"Tampaknya arwah-muka-babi ini memang punya banyak bahasa. Ribut sekali mereka!" kata Si Tuan Malam dengan kesal.
"Babi-babi perkasa!" diucapkan kata-kata itu sebanyak tiga kali oleh sebuah arwah-muka-babi yang suaranya lantang. "Dengarkan aku!"
"Babi-babi perkasa yang rakus dan mengerikan...," kata-kata itu disambut dengan pekik-sorak yang membahana. "Dengarkan. Besok malam kita akan mengacaukan para penduduk yang ada di Sekar Cemara. Gerombolan arwah yang lain telah dilepas menuju ke Nalika. Beberapa hari lagi, mungkin juga hari ini, gerombolan yang lain dilepas ke beberapa kota lain di Harigia. Bagian kita telah ditentukan oleh Dewi Buntaly: Sekar Cemara, kota para petarung!
"Kita, para babi yang tak pernah resah dan gundah karena menjunjung tinggi nafsu serakah, besok akan pesta besar! Pesta besar, hai babi-babi yang serakah! Mari kita sambut berkah melimpah!"
"Gila, semua ini benar-benar gila!" kata Tuan Malam kepada Kak Jono dan Rangga.
"Bila kita berhasil nantinya, kita akan tinggal di istana kita yang baru! Seorang raja akan diangkat Dewi Buntaly bagi kita. Sekar Cemara akan menjadi istana kita!" teriak pemimpin rapat dengan suara sekeras-kerasnya, disambut tepukan, suitan dan sorakan yang sekeras-kerasanya pula oleh para arwah-muka-babi. Semua itu membuat dinding gua itu bergetar. Kak Jono dan Rangga berpegangan sambil menggigil, demi merasakan gemuruh suara ratusan arwah itu.
"Babi-babi serakah ini akan mendirikan kerajaan di Sekar Cemara? Ah, yang benar saja!" kata Si Tuan Malam. "Kita harus menuju Sekar Cemara bersama mereka. Mimpi yang kualami di dekat Sungai Sejuk dua malam yang lalu ternyata bukan hanya demi kepentingan kita, tapi untuk keselamatan seluruh Sekar Cemara!" kata Tuan Malam.
***
Malang, 16-17 September 2009
MELINTASI jalan sunyi di Lembah Orang Mati adalah salah satu impian terburuk yang pernah dialami siapa pun. Namun, tiga petualang kita: Rangga, Kak Jono dan Si Tuan Malam tampak mencoba tegar. Di hari kesepuluh petualangan mereka sejak meninggalkan Kuiet, kini mereka merasakan tantangan yang tampaknya akan lebih berat menghadang di depan. Hati mereka berat, langkah kaki terayun gundah.
Malam pertama melintasi Lembah Orang Mati benar-benar menegangkan. Kehadiran para arwah jahat terasa di sekitar para petualang kita. Di antara ketiganya, Kak Jono yang sesekali mendesah ketakutan dengan menarik napas panjang menggunakan mulutnya. Ia sering melihat sekelebat bayangan yang melintas dengan cepat. Rangga sempat melihat arwah yang mukanya mirip babi berkelebat di balik sebuah pohon. Seluruh badannya merinding seketika.
Tuan Malam tampak santai, namun menyipitkan matanya -- tanda ia selalu awas atas segala marabahaya. "Mereka biasanya sembunyi di gua-gua. Jadi, alihkan matamu dari gua-gua yang kautemui. Aku mendapat firasat agar lebih baik kita bersitirahat saja di bawah pohon-pohon yang kita temui," kata Si Tuan Malam.
Tuan Malam merasa arwah-arwah telah makin banyak berkumpul demi menyusun rencana yang makin matang mengacaukan kota-kota di Harigia. "Mereka tampaknya akan keluar dari segenap penjuru Harigia. Tapi, tenanglah, kehadiran kita tak terlalu banyak menimbulkan kecurigaan mereka. Kebanyakan, mereka yang ngumpul-ngumpul di sini adalah arwah-arwah yang bodoh dan berkesaktian rendah. Yang lebih pintar biasnya diutus para malaikat jahat untuk mengamati dan mengacau keadaan kota-kota di Harigia."
"Tadi aku melihat sebuah arwah yang wajahnya mirip babi, Pak! Matanya merah, seperti mata Si Wanita Biru itu," bisik Rangga dengan seru.
"Aku pernah tahu arwah-muka-babi itu. Mereka adalah arwah jahat yang paling banyak di Harigia. Jangan takut pada tampang mereka yang sangar. Mereka mudah sekali dikalahkan," kata Si Tuan Malam. "Sekarang, mari kita tidur saja. Lupakan mereka barang sesaat."
Tuan Malam dan keduanya lalu tidur di bawah pohon dengan menggunakan selimut. Saat mereka tidur, datanglah dua arwah-muka-babi yang berbicara dalam bahasa yang aneh. Keduanya berbadan samar-samar.
"Madangkasang sakana trisante lakehi?" tanya yang pertama. (Artinya: "Siapa gerangan tiga orang asing ini?")
"Nekakasang. Lakehi san trisante nika kalianu manungisang mancunia lawito." (Artinya: "Entahlah. Ketiga orang asing ini kelihatannya cuma tiga manusia yang kebetulan lewat.")
Keduanya lalu membicarakan sesuatu dalam bahasa biasa. "Aku curiga, mereka ini... jangan-jangan yang disebut Dewi Buntaly sebagai petualang," kata arwah pengucap "madangkasang" tadi.
"Nekakasang. Mereka cuma orang lewat. Mari kita beritahu teman kita!"
Keduanya lalu meninggalkan tiga petualang kita. Tuan Malam tak tertidur ketika keduanya datang -- hanya pura-pura tidur. Dia merasa aneh mendengar kedua bahasa itu. "Mungkinkah itu bahasa para arwah-muka-babi?" katanya dalam hati.
Tuan Malam lalu membangunkan Kak Jono dan Rangga. "Ada arwah yang baru saja ke sini, lalu mengamati kita. Sekarang mari kita pergi dari sini, sebelum dia memanggil teman-temannya yang lain. Kita cari persembunyian."
Kak Jono kaget ketika dibangunkan. "Pak Raiksa," katanya pada Si Tuan Malam. "Aku baru saja mimpi, ditunjukkan oleh seorang pria muda yang tampan, sebuah gua yang di depannya ada obor. Tak jauh dari sini. Mungkin kita harus menuju ke sana."
Pak Raiksa memandangi mata Kak Jono lekat-lekat. "Benarkah begitu?"
"Ya! Iya, Pak!" kata Kak Jono.
Mereka segera berkemas, lalu berjalan mengendap-endap menuju sebuah pohon lain. "Hati-hati. Berita petualangan kita sudah menyebar. Beruntung kita, tadi dua arwah-muka-babi yang mendatangi kita adalah arwah yang bodoh dan tak bersenjata."
Si Tuan Malam kemudian mengatupkan tangannya sebentar, mengatupkan kedua kelopak matanya pula. Ia kemudian "melihat" letak gua itu, setelah dua menit bersila. "Mari, kita menuju ke sana."
***
SAMPAILAH mereka akhirnya di depan gua itu. Obor itu tampaknya baru saja dinyalakan. Pak Raiksa sempat berpikir: siapa yang telah meletakkan obor itu di sini. Malaikatkah? Arwah baikkah? Pak Raiksa segera meraih obor itu, lalu mereka masuk ke dalam gua. Hawa di dalam gua benar-benar hangat.
"Aku juga telah 'melihat', begitu banyak arwah di sini. Namun, yang kurasakan dalam batinku, mereka lebih memikirkan cara-cara pengacauan ke sebuah kota Harigia. Mungkin ada gerombolan arwah lain yang memang dipersiapkan Buntaly untuk menghadang dan mengacau kita dalam petualangan ini -- arwah yang lebih pintar dan sakti."
"Apa pun rencana mereka, aku tak akan gentar, Pak!" kata Rangga. "Kita akan hadapi mereka."
"Jangan gegabah, Nak. Tenang saja. Naluri seorang petualang dan petarung sejati haruslah terasah dengan berbagai pertimbangan. Sekarang, mari kita lanjutkan tidur. Kita pasti aman di sini."
***
MEREKA bertiga melalui malam itu dengan tidur yang cukup pulas. Di pagi hari, Pak Raiksa menyatakan sesuatu. "Menjelang pagi tadi, aku mendapat semacam desakan agar kita melakukan pengintaian. Beranikah kalian melakukannya nanti malam? Aku mendapat firasat kalau beberapa arwah-muka-babi itu sedang menyelenggarakan rapat tak jauh dari sini."
Rangga dan Kak Jono berpandangan. Keduanya saling menganggukkan kepala.
"Mari kita atur strateginya, agar tidak ketahuan! Siang ini baiklah kita berpencar untuk melihat gua mana yang jadi kemungkinan terbesar diadakannya rapat arwah-muka-babi."
Ketiganya lalu berpencar setelah berganti pakaian lagi. Mereka mengamati gerak-gerik para arwah yang hampir semuanya tampak berbadan samar dari tiga pohon yang berbeda -- dari siang hingga menjelang sore. Rangga dan Kak Jono pertama-tama menyaksikan mereka dengan ngeri. Lama-lama, tapi mereka jadi terbiasa.
Para arwah-muka-babi jarang melakukan kegiatan di siang hari. Menjelang sore, ketahuanlah kini sebuah gua yang paling sering dilintasi arwah-muka-babi. Ketiganya lalu turun, kembali ke gua mereka sambil mengendap-endap.
Di gua, Rangga yang pertama kali bicara, "Bagaimana rencana kita selanjutnya, Tuan Malam?"
"Kita tak perlu melakukan penyerangan apa pun. Kita hanya akan mencuri dengar apa yang mereka rapatkan. Kita akan mendatangi mereka pelan-pelan. Tapi... ah, sialan!"
"Kenapa, Pak Raiksa?" tanya Kak Jono.
"Semoga saja mereka tak rapat menggunakan bahasa aneh yang semalam kudengar. Mereka bicara 'madangkasang', 'nekakasang', ah... bahasa aneh apa pula itu!"
"Ya, semoga mereka bicara dalam bahasa kita. Mereka semua dulu kan manusia seperti kita, dari Harigia juga," kata Rangga.
"Ya, mungkin hanya dua arwah yang mendekati kita semalam, yang berbahasa aneh seperti itu. Yah... semoga saja begitu."
Ketiganya lalu menyusun rencana sederhana. Ketiganya akan berganti pakaian lagi, mendekati gua itu dari arah yang berbeda.
"Pak Raiksa," Rangga bersuara dengan penuh semangat. "Apakah dalam pengintaian kita tadi siang ada arwah yang tak terlihat mata kita, yang mengamati gerak-gerik kita?"
"Aku sudah banyak belajar tentang Lembah Orang Mati ini di beberapa buku lain. Arwah-arwah di seluruh lembah ini biasanya berkelompok-berkelompok sesuai jenisnya. Dan mereka memang rata-rata malas bekerja di siang hari. Jadi, ya, rasanya kita tak perlu kuatir ada arwah-muka-babi atau arwah jenis lain yang juga mengintai kita di sini."
***
KETIGANYA lagi-lagi berjalan mengendap-endap di balik semak-semak yang tinggi dan sesekali menyelinap di balik pohon dari tiga arah yang berbeda. Hampir bersamaan, sampailah mereka di mulut gua yang mereka tuju. Di dalamnya terdengar bisik-bisik yang ribut sekali. Bahasa mereka banyak sekali.
"Tampaknya arwah-muka-babi ini memang punya banyak bahasa. Ribut sekali mereka!" kata Si Tuan Malam dengan kesal.
"Babi-babi perkasa!" diucapkan kata-kata itu sebanyak tiga kali oleh sebuah arwah-muka-babi yang suaranya lantang. "Dengarkan aku!"
"Babi-babi perkasa yang rakus dan mengerikan...," kata-kata itu disambut dengan pekik-sorak yang membahana. "Dengarkan. Besok malam kita akan mengacaukan para penduduk yang ada di Sekar Cemara. Gerombolan arwah yang lain telah dilepas menuju ke Nalika. Beberapa hari lagi, mungkin juga hari ini, gerombolan yang lain dilepas ke beberapa kota lain di Harigia. Bagian kita telah ditentukan oleh Dewi Buntaly: Sekar Cemara, kota para petarung!
"Kita, para babi yang tak pernah resah dan gundah karena menjunjung tinggi nafsu serakah, besok akan pesta besar! Pesta besar, hai babi-babi yang serakah! Mari kita sambut berkah melimpah!"
"Gila, semua ini benar-benar gila!" kata Tuan Malam kepada Kak Jono dan Rangga.
"Bila kita berhasil nantinya, kita akan tinggal di istana kita yang baru! Seorang raja akan diangkat Dewi Buntaly bagi kita. Sekar Cemara akan menjadi istana kita!" teriak pemimpin rapat dengan suara sekeras-kerasnya, disambut tepukan, suitan dan sorakan yang sekeras-kerasanya pula oleh para arwah-muka-babi. Semua itu membuat dinding gua itu bergetar. Kak Jono dan Rangga berpegangan sambil menggigil, demi merasakan gemuruh suara ratusan arwah itu.
"Babi-babi serakah ini akan mendirikan kerajaan di Sekar Cemara? Ah, yang benar saja!" kata Si Tuan Malam. "Kita harus menuju Sekar Cemara bersama mereka. Mimpi yang kualami di dekat Sungai Sejuk dua malam yang lalu ternyata bukan hanya demi kepentingan kita, tapi untuk keselamatan seluruh Sekar Cemara!" kata Tuan Malam.
***
Malang, 16-17 September 2009
15.9.09
Refleksi Ziarah Menuju Mekah
Resensi film La Grand Voyage, dibuat untuk teman, sahabat, saudara dan handai-taulan yang sebentar lagi akan merayakan Idul Fitri.
Judul: Le Grand Voyage
Sutradara dan Penulis Skenario: Ismaël Ferroukhi
Aktor: Nicolas Cazalé, Mohamed Majd, Jacky Nercessian
Rilis: Prancis, November 2004
Reda dibesarkan di Prancis. Ayahnya asli orang Arab yang telah tinggal tiga puluh tahun di Prancis. Suatu ketika sang ayah ini ingin menunaikan ibadah haji. Sang ayah meminta Reda mengantarkannya menggunakan mobil yang sudah cukup tua. Mobil itu tampak lucu, karena salah satu pintu bagian depannya bercat oranye, sementara seluruh badannya yang lain tercat biru.
Bagi Reda, yang lucu justru bukan mobil itu. Dari Prancis ke Arab Saudi naik mobil? Yang benar saja! Namun, ayahnya bersikeras agar ia diantar anaknya ini naik mobil. Dalam perjalanan yang menempuh jarak sekitar 5000 kilometer ini terjadilah persinggungan sikap dan pilihan yang penuh warna antara ayah dan anak.
Konflik meruncing ketika mereka tersesat di suatu tempat. Sang ayah yang tidak bisa membaca, ikut melihat peta dan memutuskan sebuah arah untuk mereka tempuh. Reda yang resah sejak awal, mengejek ayahnya yang tidak bisa membaca namun dengan yakinnya menunjuk ke arah yang diyakininya itu.
***
Tak hanya menyuguhkan konflik yang cukup menggigit, film berbahasa Prancis ini memotret nilai-nilai spiritualitas yang meluntur ketika seseorang berada pada sebuah komunitas yang mengikuti budaya populer. Itulah yang terjadi pada Reda, seorang anak muda yang gaul, punya pacar orang Prancis beda agama bernama Lisa, yang kali ini hanya berdua saja dengan ayahnya yang sangat setia menunaikan kewajiban salatnya.
Suatu ketika, saat mereka diterpa udara yang dingin ketika hendak menuju Beograd, ayahnya menyatakan sebuah filosofi penting kepadanya, mengapa perjalanan ini ditempuh menggunakan mobil:
"Ketika air laut menguap menjadi awan, asinnya hilang." Ia berhenti sesaat. Ia melanjutkan, "Daripada menggunakan pesawat, lebih baik menggunakan kapal. Daripada menggunakan kapal, lebih baik menggunakan mobil. Daripada menggunakan mobil, lebih baik menggunakan kuda. Daripada menggunakan kuda, lebih baik menggunakan unta. Daripada menggunakan unta, lebih baik berjalan kaki."
Ya, perjalanan menuju Mekah kali ini, dalam pemandangan sang ayah, adalah ziarah penghayatan. Ia ingin melepaskan segala ikatan duniawi, bagai garam yang melekat di air laut, menuju pada Sang Khalik dengan hati suci. Di dalam perjalanan ini ia ingin memfokuskan diri kepada Allah dan Mekah, kota suci itu. Sementara Reda menganggap ini sebuah perjalanan liburan. Ia berharap bisa menemui hal-hal yang menyenangkan. Namun, karena begitu berbedanya pandangan hidup antara dia dan ayahnya, harapannya perlahan-lahan sirna.
Untunglah, harapan Reda bersemi lagi ketika ia dan ayahnya hendak memasuki Turki. Di sana ia bertemu dengan Mustafa, seorang muslim yang juga sudah tua mirip ayahnya, namun lebih gaul. Ia mengajak Reda ke rumahnya dan merokok dari sebuah pipa panjang.
Reda bahkan diajaknya minum bir di suatu malam. Tentang minum minuman keras ia punya filosofi yang menarik. Ia mengutipnya dari seorang sufi: "Minum bir bukan boleh atau tidak boleh. Itu tergantung dari kebesaran jiwamu. Kalau kau menuangkan bir ini dalam baskom, warna air di baskom itu akan berubah. Tapi kalau kau menuangkannya ke air laut, tidak ada perubahan." Reda tersenyum lebar. Ia pun minum sampai mabuk.
Mustafa hanya menemani mereka sebentar karena ayah Reda kehilangan uangnya. Mustafa mereka anggap pencurinya, walau ia mengaku bukan pencurinya. Kali ini Reda kesepian lagi, dan ia akhirnya mencari hiburan seorang diri.
Nah, hiburan yang kali ini dicari Reda benar-benar bikin ayahnya berang. Bagaimana tidak! Ia pergi ke bar di mana seorang gadis Arab yang seksi bergoyang-goyang dengan menggoda diiringi lagu Arab. Ia menyaksikan goyangan-goyangan itu sambil setengah teler. Ia dekati gadis itu, bergoyang-goyang dengannya, sampai ia kemudian berhasil membawanya ke kamar hotel. Malam-malam, keduanya tertangkap basah!
Mekah semakin dekat. Tak lama setelah peristiwa di hotel itu, Reda bertengkar lagi soal uang yang ayahnya berikan kepada seorang pengemis di gurun. Sampai di sini keadaan mereka berdua telah tersulut berbagai konflik yang cukup tinggi. Sang ayah memutuskan untuk menjual mobilnya agar Reda bisa pulang ke Prancis, dan ia akan berangkat sendirian menuju Mekah. Reda hampir melakukannya, tapi ia mengalami sebuah mimpi yang menyentak batinnya untuk harus menyertai ayahnya hingga ke Mekah.
Setelah mimpi itu, Reda tertegun melihat ayahnya salat dengan begitu takzim di atas pasir. Adegan ini, rasanya akan membuat kita terpana. Begitu indah, begitu khidmat. Saya mengingat adegan saat Amir dalam film Kiterunner bersujud dengan khusuk di sebuah masjid berkarpet indah. Saya teringat Yann Martel dalam Life of Pi yang mengagumi cara orang Islam beribadah dengan menganggap ritual salat itu begitu indah.
Reda tertegun melihat ayahnya yang sebelum salat menggunakan pasir sebagai air wudhu, karena persediaan air mereka telah habis. Ayahnya menjelaskan kepadanya bahwa ibadah haji adalah rukun kelima dalam ajaran Islam yang harus dilakukan oleh mereka yang mampu melakukannya: ziarah menuju Mekah adalah salah satu cara di mana umat Islam bisa menyucikan dirinya dari dosa-dosa mereka.
Perjalanan keduanya menuju Mekah kemudian berlangsung damai. Kali ini tampaknya mereka berdua telah sama-sama bertoleransi. Reda terbangun di Mekah sambil melihat foto Lisa, pacarnya, ada di stir mobil, di depannya persis. Selama ini ayahnya tak menyetujui hubungan Reda dengan Lisa. Ayahnya bahkan membuang handphone Reza dalam sebuah tong sampah ketika mereka belum lama meninggalkan Prancis.
***
Film Prancis tentang perjalanan menuju Mekah ini rasanya tepat untuk sesekali ditayangkan juga di stasiun-stasiun televisi kita. Selama ini film bernuansa religi yang diputar di tivi saat hari-hari besar umat Islam di nusantara adalah Children of Heaven garapan Majid Majidi. Bila Children of Heaven menanamkan dengan kuat arti pengorbanan dan pengucapan syukur, Le Grand Voyage mengajak pemirsanya untuk melihat bagaimana sebuah nilai-nilai agama yang penting dididikkan dalam diri seorang remaja.
Bisa dikatakan, ayah Reda berhasil mendidiknya. Ia memang belum memutuskan untuk menunaikan salat, seperti yang ia selalu saksikan dengan penuh keheranan -- bagaimana ayahnya bisa teratur melakukannya. Namun, ketika kembali dari Mekah, ia telah mengikuti teladan ayahnya memberikan sedekah kepada pengemis. Di Mekah, sebuah kejadian yang tak akan terlupakan oleh Reda, telah mengubah hidupnya selamanya. Perjalanan ini ternyata bukan milik ayahnya. Perjalanan ini (juga) miliknya.
Malang, 15 September 2009
Judul: Le Grand Voyage
Sutradara dan Penulis Skenario: Ismaël Ferroukhi
Aktor: Nicolas Cazalé, Mohamed Majd, Jacky Nercessian
Rilis: Prancis, November 2004
Reda dibesarkan di Prancis. Ayahnya asli orang Arab yang telah tinggal tiga puluh tahun di Prancis. Suatu ketika sang ayah ini ingin menunaikan ibadah haji. Sang ayah meminta Reda mengantarkannya menggunakan mobil yang sudah cukup tua. Mobil itu tampak lucu, karena salah satu pintu bagian depannya bercat oranye, sementara seluruh badannya yang lain tercat biru.
Bagi Reda, yang lucu justru bukan mobil itu. Dari Prancis ke Arab Saudi naik mobil? Yang benar saja! Namun, ayahnya bersikeras agar ia diantar anaknya ini naik mobil. Dalam perjalanan yang menempuh jarak sekitar 5000 kilometer ini terjadilah persinggungan sikap dan pilihan yang penuh warna antara ayah dan anak.
Konflik meruncing ketika mereka tersesat di suatu tempat. Sang ayah yang tidak bisa membaca, ikut melihat peta dan memutuskan sebuah arah untuk mereka tempuh. Reda yang resah sejak awal, mengejek ayahnya yang tidak bisa membaca namun dengan yakinnya menunjuk ke arah yang diyakininya itu.
***
Tak hanya menyuguhkan konflik yang cukup menggigit, film berbahasa Prancis ini memotret nilai-nilai spiritualitas yang meluntur ketika seseorang berada pada sebuah komunitas yang mengikuti budaya populer. Itulah yang terjadi pada Reda, seorang anak muda yang gaul, punya pacar orang Prancis beda agama bernama Lisa, yang kali ini hanya berdua saja dengan ayahnya yang sangat setia menunaikan kewajiban salatnya.
Suatu ketika, saat mereka diterpa udara yang dingin ketika hendak menuju Beograd, ayahnya menyatakan sebuah filosofi penting kepadanya, mengapa perjalanan ini ditempuh menggunakan mobil:
"Ketika air laut menguap menjadi awan, asinnya hilang." Ia berhenti sesaat. Ia melanjutkan, "Daripada menggunakan pesawat, lebih baik menggunakan kapal. Daripada menggunakan kapal, lebih baik menggunakan mobil. Daripada menggunakan mobil, lebih baik menggunakan kuda. Daripada menggunakan kuda, lebih baik menggunakan unta. Daripada menggunakan unta, lebih baik berjalan kaki."
Ya, perjalanan menuju Mekah kali ini, dalam pemandangan sang ayah, adalah ziarah penghayatan. Ia ingin melepaskan segala ikatan duniawi, bagai garam yang melekat di air laut, menuju pada Sang Khalik dengan hati suci. Di dalam perjalanan ini ia ingin memfokuskan diri kepada Allah dan Mekah, kota suci itu. Sementara Reda menganggap ini sebuah perjalanan liburan. Ia berharap bisa menemui hal-hal yang menyenangkan. Namun, karena begitu berbedanya pandangan hidup antara dia dan ayahnya, harapannya perlahan-lahan sirna.
Untunglah, harapan Reda bersemi lagi ketika ia dan ayahnya hendak memasuki Turki. Di sana ia bertemu dengan Mustafa, seorang muslim yang juga sudah tua mirip ayahnya, namun lebih gaul. Ia mengajak Reda ke rumahnya dan merokok dari sebuah pipa panjang.
Reda bahkan diajaknya minum bir di suatu malam. Tentang minum minuman keras ia punya filosofi yang menarik. Ia mengutipnya dari seorang sufi: "Minum bir bukan boleh atau tidak boleh. Itu tergantung dari kebesaran jiwamu. Kalau kau menuangkan bir ini dalam baskom, warna air di baskom itu akan berubah. Tapi kalau kau menuangkannya ke air laut, tidak ada perubahan." Reda tersenyum lebar. Ia pun minum sampai mabuk.
Mustafa hanya menemani mereka sebentar karena ayah Reda kehilangan uangnya. Mustafa mereka anggap pencurinya, walau ia mengaku bukan pencurinya. Kali ini Reda kesepian lagi, dan ia akhirnya mencari hiburan seorang diri.
Nah, hiburan yang kali ini dicari Reda benar-benar bikin ayahnya berang. Bagaimana tidak! Ia pergi ke bar di mana seorang gadis Arab yang seksi bergoyang-goyang dengan menggoda diiringi lagu Arab. Ia menyaksikan goyangan-goyangan itu sambil setengah teler. Ia dekati gadis itu, bergoyang-goyang dengannya, sampai ia kemudian berhasil membawanya ke kamar hotel. Malam-malam, keduanya tertangkap basah!
Mekah semakin dekat. Tak lama setelah peristiwa di hotel itu, Reda bertengkar lagi soal uang yang ayahnya berikan kepada seorang pengemis di gurun. Sampai di sini keadaan mereka berdua telah tersulut berbagai konflik yang cukup tinggi. Sang ayah memutuskan untuk menjual mobilnya agar Reda bisa pulang ke Prancis, dan ia akan berangkat sendirian menuju Mekah. Reda hampir melakukannya, tapi ia mengalami sebuah mimpi yang menyentak batinnya untuk harus menyertai ayahnya hingga ke Mekah.
Setelah mimpi itu, Reda tertegun melihat ayahnya salat dengan begitu takzim di atas pasir. Adegan ini, rasanya akan membuat kita terpana. Begitu indah, begitu khidmat. Saya mengingat adegan saat Amir dalam film Kiterunner bersujud dengan khusuk di sebuah masjid berkarpet indah. Saya teringat Yann Martel dalam Life of Pi yang mengagumi cara orang Islam beribadah dengan menganggap ritual salat itu begitu indah.
Reda tertegun melihat ayahnya yang sebelum salat menggunakan pasir sebagai air wudhu, karena persediaan air mereka telah habis. Ayahnya menjelaskan kepadanya bahwa ibadah haji adalah rukun kelima dalam ajaran Islam yang harus dilakukan oleh mereka yang mampu melakukannya: ziarah menuju Mekah adalah salah satu cara di mana umat Islam bisa menyucikan dirinya dari dosa-dosa mereka.
Perjalanan keduanya menuju Mekah kemudian berlangsung damai. Kali ini tampaknya mereka berdua telah sama-sama bertoleransi. Reda terbangun di Mekah sambil melihat foto Lisa, pacarnya, ada di stir mobil, di depannya persis. Selama ini ayahnya tak menyetujui hubungan Reda dengan Lisa. Ayahnya bahkan membuang handphone Reza dalam sebuah tong sampah ketika mereka belum lama meninggalkan Prancis.
***
Film Prancis tentang perjalanan menuju Mekah ini rasanya tepat untuk sesekali ditayangkan juga di stasiun-stasiun televisi kita. Selama ini film bernuansa religi yang diputar di tivi saat hari-hari besar umat Islam di nusantara adalah Children of Heaven garapan Majid Majidi. Bila Children of Heaven menanamkan dengan kuat arti pengorbanan dan pengucapan syukur, Le Grand Voyage mengajak pemirsanya untuk melihat bagaimana sebuah nilai-nilai agama yang penting dididikkan dalam diri seorang remaja.
Bisa dikatakan, ayah Reda berhasil mendidiknya. Ia memang belum memutuskan untuk menunaikan salat, seperti yang ia selalu saksikan dengan penuh keheranan -- bagaimana ayahnya bisa teratur melakukannya. Namun, ketika kembali dari Mekah, ia telah mengikuti teladan ayahnya memberikan sedekah kepada pengemis. Di Mekah, sebuah kejadian yang tak akan terlupakan oleh Reda, telah mengubah hidupnya selamanya. Perjalanan ini ternyata bukan milik ayahnya. Perjalanan ini (juga) miliknya.
Malang, 15 September 2009
9.9.09
52 Bungkus Nasi Bungkus
: renungan diri spontan tentang perbuatan baik di hari ulang tahun seorang ibu
9 September 2009, alias 9-9-09. Banyak orang menganggapnya sebagai hari baik, hari hoki. Entah benar, entah tidak, yang jelas saya punya sukacita lain. Bukan berawal dari anggapan banyak orang itu; tapi karena ibu saya ulang tahun pada hari ini.
Di ulang tahunnya kali ini, ibu saya membuat 52 nasi bungkus untuk gelandangan yang ada di sekitar Pasar Besar kota Malang. Sedari dulu, ia selalu menekankan pada anak-anaknya: kedermawanan tak ditentukan dari seberapa besar kekayaan seseorang; memberi kepada orang lain sebaiknya bukan ajang pamer atau berharap diberkati oleh Tuhan.
Saya masih bergumul untuk benar-benar bisa melakukan dua pemahaman itu. Saya kadang urung memberi bantuan dengan dalih hidup pas-pasan, padahal uangnya dipakai untuk hal-hal yang tak perlu. Saya masih susah untuk memberi dengan tulus; masih berharap ada orang yang tahu saya sedang berbuat baik, dipuji, Tuhan (rasanya) senang, lalu dapat berkat.
Kembali pada ibu saya. 52 tahun usianya hari ini, 52 bungkus nasi bungkus dibuatnya---untuk 52 gelandangan. Kami sekeluarga memang hampir selalu merayakan ulang tahun dengan cara begini. (Tapi bukan dengan mencocokkan jumlah nasi bungkus dan usia; hanya kali ini saja yang sama.) Sempat saya berpikir, apakah benar hal ini ada manfaatnya? Apakah benar kebaikan ini mendapatkan suatu balasan? Apakah benar semua ini dilakukan dengan ketulusan, bukan untuk pamer?
Ketika melakukan suatu perbuatan baik, melihat suatu perbuatan baik, atau bahkan menerima suatu perbuatan baik, saya suka merefleksikan motivasinya. Dan, sejauh ini, refleksi saya berakhir pada suatu titik kesimpulan: perbuatan baik hanyalah salah satu bentuk ucapan syukur, tak lebih. Kita tidak serta-merta jadi lebih mulia ketika bisa melakukan suatu perbuatan baik. "Semua pahlawan akan jadi membosankan pada akhirnya," kata seorang bijak yang saya lupa siapa namanya; dan ingin saya tambahkan:
"Semua pahlawan akan jadi membosankan pada akhirnya---bila ia terus menerus hidup dan (hanya) berbuat baik."
Ya, demikian saya menyimpulkan sejauh ini. Karena manusia tidak ada yang diciptakan begitu baik---begitu sempurna. Ketika merenungi lagi hal ini kali ini sekali lagi, betapa sering saya susah bersikap biasa dalam melakukan perbuatan baik. Juga ketika saya merenungi bahwa sesungguhnya, dalam hidup kita yang singkat ini, tampaknya jauh (dan akan jauh) lebih banyak perbuatan jahat yang kita lakukan daripada perbuatan baik.
Kini, saya bersyukur kepada Tuhan membayangkan ibu saya yang nanti malam akan membagi nasi bungkus, sama seperti saya bersyukur dapat menulis, dapat bernafas dan menuangkan isi kepala saya pada saat ini.
Caci-maki, dusta, olok-olok, nafsu tamak, nafsu birahi salah pelampiasan, dan amarah, dan lain-lain yang lebih kurang ajar dan memalukan untuk disebutkan, rasanya berpeluang lebih besar untuk masih ada dalam kehidupan saya di masa datang, karena isi kepala saya yang tak selalu dipenuhi dengan pikiran untuk berbuat baik. Kiranya, perbuatan baik yang hanya sesekali saya lakukan menjadikan hidup ini penuh warna yang lebih harmonis---gelap dan terang.
Dan kiranya, kegelapan itu juga semakin pudar. Karena, di hari ini, di hari ulang tahunnya, saya dikabari ibu saya bahwa ia akan selalu mendoakan saya---untuk menjadi pria yang lebih baik. Bukan agar siap mendapatkan jodoh. Bukan agar jadi orang yang terkenal mulia. Bukan, tapi kelihatannya, agar lebih sedap dilihat orang lain mana-mana---biar tak selalu cengengesan di mana-mana.
Begitulah, Ibu (dan sidang pembaca---bila memang ada yang membaca lamunan dan renungan singkat ini). Selamat merayakan ulang tahun bersama 52 bungkus nasi bungkus buatanmu, Ibu, yang tentunya lezat-nikmat dinikmati dalam malam yang mengelam kian pekat---kelak!
Sidoarjo, 9 September 2009, 19.10-20.15
9 September 2009, alias 9-9-09. Banyak orang menganggapnya sebagai hari baik, hari hoki. Entah benar, entah tidak, yang jelas saya punya sukacita lain. Bukan berawal dari anggapan banyak orang itu; tapi karena ibu saya ulang tahun pada hari ini.
Di ulang tahunnya kali ini, ibu saya membuat 52 nasi bungkus untuk gelandangan yang ada di sekitar Pasar Besar kota Malang. Sedari dulu, ia selalu menekankan pada anak-anaknya: kedermawanan tak ditentukan dari seberapa besar kekayaan seseorang; memberi kepada orang lain sebaiknya bukan ajang pamer atau berharap diberkati oleh Tuhan.
Saya masih bergumul untuk benar-benar bisa melakukan dua pemahaman itu. Saya kadang urung memberi bantuan dengan dalih hidup pas-pasan, padahal uangnya dipakai untuk hal-hal yang tak perlu. Saya masih susah untuk memberi dengan tulus; masih berharap ada orang yang tahu saya sedang berbuat baik, dipuji, Tuhan (rasanya) senang, lalu dapat berkat.
Kembali pada ibu saya. 52 tahun usianya hari ini, 52 bungkus nasi bungkus dibuatnya---untuk 52 gelandangan. Kami sekeluarga memang hampir selalu merayakan ulang tahun dengan cara begini. (Tapi bukan dengan mencocokkan jumlah nasi bungkus dan usia; hanya kali ini saja yang sama.) Sempat saya berpikir, apakah benar hal ini ada manfaatnya? Apakah benar kebaikan ini mendapatkan suatu balasan? Apakah benar semua ini dilakukan dengan ketulusan, bukan untuk pamer?
Ketika melakukan suatu perbuatan baik, melihat suatu perbuatan baik, atau bahkan menerima suatu perbuatan baik, saya suka merefleksikan motivasinya. Dan, sejauh ini, refleksi saya berakhir pada suatu titik kesimpulan: perbuatan baik hanyalah salah satu bentuk ucapan syukur, tak lebih. Kita tidak serta-merta jadi lebih mulia ketika bisa melakukan suatu perbuatan baik. "Semua pahlawan akan jadi membosankan pada akhirnya," kata seorang bijak yang saya lupa siapa namanya; dan ingin saya tambahkan:
"Semua pahlawan akan jadi membosankan pada akhirnya---bila ia terus menerus hidup dan (hanya) berbuat baik."
Ya, demikian saya menyimpulkan sejauh ini. Karena manusia tidak ada yang diciptakan begitu baik---begitu sempurna. Ketika merenungi lagi hal ini kali ini sekali lagi, betapa sering saya susah bersikap biasa dalam melakukan perbuatan baik. Juga ketika saya merenungi bahwa sesungguhnya, dalam hidup kita yang singkat ini, tampaknya jauh (dan akan jauh) lebih banyak perbuatan jahat yang kita lakukan daripada perbuatan baik.
Kini, saya bersyukur kepada Tuhan membayangkan ibu saya yang nanti malam akan membagi nasi bungkus, sama seperti saya bersyukur dapat menulis, dapat bernafas dan menuangkan isi kepala saya pada saat ini.
Caci-maki, dusta, olok-olok, nafsu tamak, nafsu birahi salah pelampiasan, dan amarah, dan lain-lain yang lebih kurang ajar dan memalukan untuk disebutkan, rasanya berpeluang lebih besar untuk masih ada dalam kehidupan saya di masa datang, karena isi kepala saya yang tak selalu dipenuhi dengan pikiran untuk berbuat baik. Kiranya, perbuatan baik yang hanya sesekali saya lakukan menjadikan hidup ini penuh warna yang lebih harmonis---gelap dan terang.
Dan kiranya, kegelapan itu juga semakin pudar. Karena, di hari ini, di hari ulang tahunnya, saya dikabari ibu saya bahwa ia akan selalu mendoakan saya---untuk menjadi pria yang lebih baik. Bukan agar siap mendapatkan jodoh. Bukan agar jadi orang yang terkenal mulia. Bukan, tapi kelihatannya, agar lebih sedap dilihat orang lain mana-mana---biar tak selalu cengengesan di mana-mana.
Begitulah, Ibu (dan sidang pembaca---bila memang ada yang membaca lamunan dan renungan singkat ini). Selamat merayakan ulang tahun bersama 52 bungkus nasi bungkus buatanmu, Ibu, yang tentunya lezat-nikmat dinikmati dalam malam yang mengelam kian pekat---kelak!
Sidoarjo, 9 September 2009, 19.10-20.15
Komik-komik Nasionalis Indonesia
Sidik Nugroho*)
Judul Buku: Legenda Sawung Kampret -- Warok Surobangsang
Gambar dan Cerita: Dwi Koendoro
Penerbit: Cergam Cakrabintang
Tebal: 48 halaman
Cetakan pertama, Juni 2009
Judul Buku: Sukir Jagoan Nusantara -- Untuk yang Paling Berharga
Gambar dan Cerita: M. Buchori
Penerbit: Empat Warna Media
Tebal: 44 halaman
Cetakan pertama, Agustus 2009
R.A. Kosasih dengan karya terkenalnya Mahabharata, dan beberapa komik wayang lain karyanya, tampaknya masih belum menemukan pengganti yang sepadan---hingga kini. Di zamannya, bangsa kita benar-benar menyukai komik-komik beliau. Waktu berjalan, dan bersamaan dengan merebaknya novel Kho Ping Ho, Wiro Sableng, atau Pendekar Rajawali Sakti di tahun 1980-an dan 1990-an, juga sandiwara radio berlatar sejarah buah tangan S. Tijab, masuk pula komik Jepang seperti Tiger Wong, Doraemon, atau Tapak Sakti atau komik-komik Disney. Di masa ini, tampak jarang komikus Indonesia yang karyanya mendapat pengakuan luas.
Namun, ada Dwi Koendoro, yang akrab disapa Dwi Koen, yang pada saat-saat ini menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu komikus produktif. Panji Koming, karyanya yang terkenal, terpublikasi di harian Kompas.
Kemudian, beberapa tahun lalu sempat ada komik Sukab garapan sastrawan Seno Gumira Ajidarma bersama Zacky. Komik itu mendapat sambutan cukup luas, walau berbobot sastra cukup tinggi. Kita menemui kutipan lagu dan sajak bertebaran di sekujur komik. Di dalamnya juga banyak sekali kritik sosial dan politik. Alih-alih menghibur, komik ini jadi terkesan satiris. Perkembangan terus berlanjut---pasang-surut. Kini, kalau diamati, tampaknya dunia komik kita saat ini makin heterogen. Sykurlah, di antara keberagaman itu, ada dua komik yang menghembuskan nilai-nilai nasionalisme. Mari kita tilik.
***
Dalam buku komik Legenda Sawung Kampret yang rilis Juni lalu, Dwi Koendoro menghadirkan lagi komiknya yang pernah dimuat di majalah Humor tahun 1991, digabung dengan sebuah cuplikan dari buku komiknya yang pernah diterbitkan Mizan pada tahun 1999. Walau dikemas dengan latar belakang sejarah penjajahan, bumbu patriotisme yang kental, dan perpaduan berbagai bahasa, komik ini tampil menghibur dengan pengisahan tokoh-tokohnya yang lucu. Walau penggarapan lelucon terkesan segar, sayangnya, huruf-huruf yang digunakan terlalu kecil, sehingga agak mengurangi kenikmatan membaca.
Dalam penggabungan kedua cerita dari cuplikan buku dan terbitan majalah ini dikisahkan asal-muasal Sawung Kampret. Sawung adalah jagoan asli Indonesia; ia keturunan dari beberapa suku di Indonesia. Sawung Kampret di kisah ini hidup pada zaman VOC, abad ke-17. Ia memiliki seorang sahabat bernama Na'ip yang sering bertengkar dengannya. Keduanya jagoan yang serba-konyol. Sawung suka salah sebut nama orang. Sementara Na'ip selalu tampil kocak, terutama karena suka melorotin celana musuhnya.
Komik ini mengisahkan konflik antara Sawung dan Warok Surobangsang. Warok adalah musuh bebuyutan ayah Sawung. Warok ditugaskan oleh Aria Togog membobol harta VOC yang telah mencuri keuntungan yang semestinya diperoleh Aria Togog. Gagal dalam tugas, ia masuk penjara. Di penjara, ia justru dibebaskan oleh Sawung dan Na'ip yang saat itu membebaskan keponakan Tan Ping San. Tan Ping San adalah kakak angkat Sawung Kampret.
Ya, Sawung diasuh oleh orang Cina. Ia bahkan dididik oleh Belanda. Ia pribadi yang bertumbuh-kembang dalam asuhan orang-orang multikultural. "Kakek kita orang Belanda. Abang kita orang Cina," kata Sawung dan Na'ip ketika masih kecil. Sejak kecil Sawung tidak tahu bahwa Warok adalah musuh keluarganya. Ketika sejarah keluarga Sawung mereka terbongkar, Sawung, Na'ip dan beberapa kawan mereka malah menggelar sebuah pertarungan yang lucu dengan si Warok.
***
Bila Sawung Kampret memotret banyak aspek budaya, komik Sukir menghadirkan tokoh yang lain dari biasanya: seorang tua berkumis yang pandai bela diri bernama Sukir--- bukan pemuda tampan, gadis cantik, atau superhero yang berilmu mahadahsyat. Wajahnya mirip Pak Raden. Tokoh ini tampak berawal dari idealisme tinggi kreatornya yang berusaha mengusung nilai-nilai nasionalisme. Diluncurkannya juga tepat pada bulan Agustus 2009, saat perayaan kemerdekaan Indonesia ke-64.
Komik ini mendapat sentuhan digital yang cukup dominan. Bila Sawung Kampret tampak didominasi garapan tangan (hanya teks-nya yang digarap dengan bantuan komputer), Sukir tampak disketsa awal dengan cara manual, kemudian diwarnai dengan menggunakan program komputer seperti Photoshop. Namun, sentuhan digital ini tak lantas membuatnya jadi mirip komik luar negeri yang tampaknya banyak yang bernuansa digital. Pun, karakter, ekspresi, dan latar yang tergambarkan di komik Sukir sangat Indonesia.
Kisahnya tentang Sukir yang menangkap seorang teroris bernama Mr. Jek dalam sebuah bis. Teroris itu seorang yang melarikan diri dari penjara. Seisi bis panik ketika ia menodongkan senjata. Dengan beberapa jurus Sukir---yang kesannya mirip jurus tokoh di novel-novel jagoan berseri yang beredar di Indonesia sekitar satu-dua dasawarsa silam--- ia kemudian menjadi pahlawan untuk seisi bis. Kisahnya cukup baik tergarap; ada kejutan tersendiri di bagian akhir. Namun, tata bahasanya perlu digarap lebih rapi.
***
Kedua komik ini, muatan nasionalismenya kentara dan terasa benar---keduanya disampaikan dengan cukup menggugah untuk pembaca. (Sawung Kampret ditujukan bagi pembaca remaja hingga dewasa; sementara Sukir lebih pas untuk anak-anak.) Nasionalisme yang terlampir lewat pengisahan latar-sejarah, bahasa, dan perjuangan kental di komik Legenda Sawung Kampret. Sementara komik Sukir Jagoan Nusantara membingkai nasionalisme itu dalam pemilihan karakter utamanya yang lain daripada yang lain---khas Indonesia.
Di tengah kondisi bangsa yang makin kehilangan jati-diri seperti sekarang ini, dibutuhkan komik-komik yang memuat nilai-nilai nasionalisme dengan tokoh atau cerita seperti Sukir dan Sawung Kampret ini. Harus diakui, minat anak-anak dan remaja terhadap komik jauh lebih besar daripada novel---apalagi buku pelajaran. Komik menghadirkan kenikmatan yang besar ketika dilahap. Karenanya, komik---walau kerap dianggap sebagai bacaan kelas dua---memiliki andil besar dalam mengubah suatu masyarakat atau bangsa. Ke depan, kiranya lebih banyak lagi tokoh komik asli Indonesia seperti Sawung Kampret, Sukir, atau lainnya, yang mampu tampil memikat, yang lahir untuk menjadi pesaing tokoh-tokoh komik Disney dan komik Jepang.
Sidoarjo, 6-9 September 2009
*) Guru SD yang doyan baca komik
Judul Buku: Legenda Sawung Kampret -- Warok Surobangsang
Gambar dan Cerita: Dwi Koendoro
Penerbit: Cergam Cakrabintang
Tebal: 48 halaman
Cetakan pertama, Juni 2009
Judul Buku: Sukir Jagoan Nusantara -- Untuk yang Paling Berharga
Gambar dan Cerita: M. Buchori
Penerbit: Empat Warna Media
Tebal: 44 halaman
Cetakan pertama, Agustus 2009
R.A. Kosasih dengan karya terkenalnya Mahabharata, dan beberapa komik wayang lain karyanya, tampaknya masih belum menemukan pengganti yang sepadan---hingga kini. Di zamannya, bangsa kita benar-benar menyukai komik-komik beliau. Waktu berjalan, dan bersamaan dengan merebaknya novel Kho Ping Ho, Wiro Sableng, atau Pendekar Rajawali Sakti di tahun 1980-an dan 1990-an, juga sandiwara radio berlatar sejarah buah tangan S. Tijab, masuk pula komik Jepang seperti Tiger Wong, Doraemon, atau Tapak Sakti atau komik-komik Disney. Di masa ini, tampak jarang komikus Indonesia yang karyanya mendapat pengakuan luas.
Namun, ada Dwi Koendoro, yang akrab disapa Dwi Koen, yang pada saat-saat ini menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu komikus produktif. Panji Koming, karyanya yang terkenal, terpublikasi di harian Kompas.
Kemudian, beberapa tahun lalu sempat ada komik Sukab garapan sastrawan Seno Gumira Ajidarma bersama Zacky. Komik itu mendapat sambutan cukup luas, walau berbobot sastra cukup tinggi. Kita menemui kutipan lagu dan sajak bertebaran di sekujur komik. Di dalamnya juga banyak sekali kritik sosial dan politik. Alih-alih menghibur, komik ini jadi terkesan satiris. Perkembangan terus berlanjut---pasang-surut. Kini, kalau diamati, tampaknya dunia komik kita saat ini makin heterogen. Sykurlah, di antara keberagaman itu, ada dua komik yang menghembuskan nilai-nilai nasionalisme. Mari kita tilik.
***
Dalam buku komik Legenda Sawung Kampret yang rilis Juni lalu, Dwi Koendoro menghadirkan lagi komiknya yang pernah dimuat di majalah Humor tahun 1991, digabung dengan sebuah cuplikan dari buku komiknya yang pernah diterbitkan Mizan pada tahun 1999. Walau dikemas dengan latar belakang sejarah penjajahan, bumbu patriotisme yang kental, dan perpaduan berbagai bahasa, komik ini tampil menghibur dengan pengisahan tokoh-tokohnya yang lucu. Walau penggarapan lelucon terkesan segar, sayangnya, huruf-huruf yang digunakan terlalu kecil, sehingga agak mengurangi kenikmatan membaca.
Dalam penggabungan kedua cerita dari cuplikan buku dan terbitan majalah ini dikisahkan asal-muasal Sawung Kampret. Sawung adalah jagoan asli Indonesia; ia keturunan dari beberapa suku di Indonesia. Sawung Kampret di kisah ini hidup pada zaman VOC, abad ke-17. Ia memiliki seorang sahabat bernama Na'ip yang sering bertengkar dengannya. Keduanya jagoan yang serba-konyol. Sawung suka salah sebut nama orang. Sementara Na'ip selalu tampil kocak, terutama karena suka melorotin celana musuhnya.
Komik ini mengisahkan konflik antara Sawung dan Warok Surobangsang. Warok adalah musuh bebuyutan ayah Sawung. Warok ditugaskan oleh Aria Togog membobol harta VOC yang telah mencuri keuntungan yang semestinya diperoleh Aria Togog. Gagal dalam tugas, ia masuk penjara. Di penjara, ia justru dibebaskan oleh Sawung dan Na'ip yang saat itu membebaskan keponakan Tan Ping San. Tan Ping San adalah kakak angkat Sawung Kampret.
Ya, Sawung diasuh oleh orang Cina. Ia bahkan dididik oleh Belanda. Ia pribadi yang bertumbuh-kembang dalam asuhan orang-orang multikultural. "Kakek kita orang Belanda. Abang kita orang Cina," kata Sawung dan Na'ip ketika masih kecil. Sejak kecil Sawung tidak tahu bahwa Warok adalah musuh keluarganya. Ketika sejarah keluarga Sawung mereka terbongkar, Sawung, Na'ip dan beberapa kawan mereka malah menggelar sebuah pertarungan yang lucu dengan si Warok.
***
Bila Sawung Kampret memotret banyak aspek budaya, komik Sukir menghadirkan tokoh yang lain dari biasanya: seorang tua berkumis yang pandai bela diri bernama Sukir--- bukan pemuda tampan, gadis cantik, atau superhero yang berilmu mahadahsyat. Wajahnya mirip Pak Raden. Tokoh ini tampak berawal dari idealisme tinggi kreatornya yang berusaha mengusung nilai-nilai nasionalisme. Diluncurkannya juga tepat pada bulan Agustus 2009, saat perayaan kemerdekaan Indonesia ke-64.
Komik ini mendapat sentuhan digital yang cukup dominan. Bila Sawung Kampret tampak didominasi garapan tangan (hanya teks-nya yang digarap dengan bantuan komputer), Sukir tampak disketsa awal dengan cara manual, kemudian diwarnai dengan menggunakan program komputer seperti Photoshop. Namun, sentuhan digital ini tak lantas membuatnya jadi mirip komik luar negeri yang tampaknya banyak yang bernuansa digital. Pun, karakter, ekspresi, dan latar yang tergambarkan di komik Sukir sangat Indonesia.
Kisahnya tentang Sukir yang menangkap seorang teroris bernama Mr. Jek dalam sebuah bis. Teroris itu seorang yang melarikan diri dari penjara. Seisi bis panik ketika ia menodongkan senjata. Dengan beberapa jurus Sukir---yang kesannya mirip jurus tokoh di novel-novel jagoan berseri yang beredar di Indonesia sekitar satu-dua dasawarsa silam--- ia kemudian menjadi pahlawan untuk seisi bis. Kisahnya cukup baik tergarap; ada kejutan tersendiri di bagian akhir. Namun, tata bahasanya perlu digarap lebih rapi.
***
Kedua komik ini, muatan nasionalismenya kentara dan terasa benar---keduanya disampaikan dengan cukup menggugah untuk pembaca. (Sawung Kampret ditujukan bagi pembaca remaja hingga dewasa; sementara Sukir lebih pas untuk anak-anak.) Nasionalisme yang terlampir lewat pengisahan latar-sejarah, bahasa, dan perjuangan kental di komik Legenda Sawung Kampret. Sementara komik Sukir Jagoan Nusantara membingkai nasionalisme itu dalam pemilihan karakter utamanya yang lain daripada yang lain---khas Indonesia.
Di tengah kondisi bangsa yang makin kehilangan jati-diri seperti sekarang ini, dibutuhkan komik-komik yang memuat nilai-nilai nasionalisme dengan tokoh atau cerita seperti Sukir dan Sawung Kampret ini. Harus diakui, minat anak-anak dan remaja terhadap komik jauh lebih besar daripada novel---apalagi buku pelajaran. Komik menghadirkan kenikmatan yang besar ketika dilahap. Karenanya, komik---walau kerap dianggap sebagai bacaan kelas dua---memiliki andil besar dalam mengubah suatu masyarakat atau bangsa. Ke depan, kiranya lebih banyak lagi tokoh komik asli Indonesia seperti Sawung Kampret, Sukir, atau lainnya, yang mampu tampil memikat, yang lahir untuk menjadi pesaing tokoh-tokoh komik Disney dan komik Jepang.
Sidoarjo, 6-9 September 2009
*) Guru SD yang doyan baca komik
2.9.09
Harta Berharga Itu Seperti Bukan Harta
Judul: Rani dan Tiga Harta Peri
Pengarang: Kimberly Morris
Penerjemah: Vina Damajanti
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 108 halaman
Cetakan pertama, April 2009
Dua peri beda bakat bertemu di suatu hari yang bercuaca buruk. Hujan sedang turun sangat deras. Prilla, peri yang berbakat menyeberang ke daratan dan mengumpulkan tepukan tangan anak-anak, bertemu dengan Rani, peri yang bebakat mengubah air menjadi tampilan apa pun yang menarik dan mendatangkan awan.
Bukan hanya itu, kala hujan turun makin deras saat ia bermain-main dengan Prilla, sahabatnya itu, dengan cantik dilukiskan bagaimana Rani mengubah air menjadi mirip "sehelai" benang; dan menghadirkan gaun yang dipenuhi pendar-pendar air serta tiara-air di sekitar tubuh Prilla. Ya, kisah ini tampil dengan Rani sebagai tokoh utama. Rani dan Prilla adalah kawan Tinker Bell, peri mungil ternama itu.
Mereka berdua berada di Pixie Hollow, jantung Never Land yang terkenal itu. Di sana ada Home Tree, tempat banyak peri laki-laki dan perempuan tinggal. Tak seperti yang lainnya, Rani adalah satu-satunya peri yang tak bisa terbang.
Di Home Tree, Rani bukanlah peri yang populer. Ia tinggal di kamar yang "berada paling ujung di cabang terpanjang". Kamarnya itu bocor permanen, tetes-tetes air selalu menggenangi sebuah wadah yang ia letakkan di bawah bocoran itu, hingga beberapa ikan hidup dan dipeliharanya di sana. Ya, ia tak pernah mengeluh, justru bahagia dengan keadaannya itu!
Nah, suatu ketika Rani mendapat kunjungan Dab, bidadari-air yang sedang ingin berlibur dari tugasnya menjaga awan hujan. Betapa Rani senang mulanya ketika tahu ia akan diserahi tugas itu. Ia suka air -- ia tentu suka awan! Namun, betapa ia kaget ketika ia harus menjaga seluruh awan hujan.
Dan, tak sampai di situ saja. Dab akan berhenti dari liburnya menjaga awan bila Rani berhasil menemukan tiga harta yang paling berharga di Pixie Hollow. Dari sinilah kemudian petualangan Rani dan Prilla bermula.
Kisah Rani dan Tiga Harta Peri ini memberikan banyak sekali teladan bagi para pembacanya. Sasaran pembaca dari kisah ini tampaknya anak perempuan berusia 10 tahun ke atas hingga remaja. Narasi yang ditampilkan dalam cerita ini sangat deskriptif dan indah. Dan, yang menarik, semuanya disampaikan tanpa menggurui, namun lewat alur, peristiwa dan karakter masing-masing tokohnya. Cuma satu yang agak disayangkan: tidak ada antagonis yang benar-benar menegangkan konflik dalam kisah ini. Dab, si pembuat masalah yang membuat Rani kelimpungan pun hanya disebut sebagai makhluk yang tidak jahat, tapi nakal.
Akibat tantangan Dab, Rani menemui banyak persoalan, hingga pimpinan peri, Ratu Clarion, memerintahkan seluruh peri di Pixie Hollow mengeluarkan harta-benda mereka yang paling berharga. Semuanya dengan egois menunjukkan bahwa harta-benda yang dimilikinyalah yang paling spesial. Namun, di antara semuanya, tak ada satu pun yang dapat membuat Dab kembali, sehingga Rani kemudian bersedih karena selama beberapa hari ia harus menanggung beban yang berat menjagai awan-awan hujan.
Rani putus asa tak menemukan harta-benda yang menarik di Pixie Hollow. Untunglah ia mempunyai sahabat-sahabat yang baik hati di Pixie Hollow, yang mau mendengarkan dan memahami beban yang menimpa dirinya. Salah satunya adalah seekor burung -- Mother Dove namanya. Dengan penuh kasih sayang Mother Dove memberinya nasihat yang menguatkannya, lalu menuntunnya menemukan harta-harta yang dituntut Dab darinya itu.
"Benda-benda! Siapa yang peduli dengan benda-benda? Semua orang memilikinya. Itu bukanlah harta yang membuat siapa pun iri dan memilikinya!" kata Dab. Harta yang mampu membuat Rani lepas dari bebannya menjaga awan ternyata bukanlah sesuatu yang berwujud benda.
Di akhir kisah, dengan manis diuraikan bahwa harta yang harus disebutkan Rani untuk membawa pulang Dab dari liburannya rupanya sangat sederhana. Tiga harta itu ternyata ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Ya, bukan suatu benda, bukan juga sesuatu yang mahal dan mewah! Dan ketiganya seringkali kita lupakan. Namun, ketiganya, ketika direnungkan dalam-dalam -- ternyata memang sangatlah berharga, walaupun ketiga harta itu tampak seperti bukan harta. Dari ketiganya kita dapat bercermin, merenungi lagi hal-hal yang indah dan harus diutamakan dalam hidup ini.
Dan tentunya, setelah Rani menemukan tiga harta itu, Pixie Hollow kembali bersemi. Hujan didatangkan tepat waktu, segenap peri di Never Land riang gembira. Omong-omong, sebenarnya, apa sih tiga harta berharga itu? Bila penasaran, baca saja seluruh kisahnya ya.
Sidoarjo, 1-2 September 2009
Pengarang: Kimberly Morris
Penerjemah: Vina Damajanti
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 108 halaman
Cetakan pertama, April 2009
Dua peri beda bakat bertemu di suatu hari yang bercuaca buruk. Hujan sedang turun sangat deras. Prilla, peri yang berbakat menyeberang ke daratan dan mengumpulkan tepukan tangan anak-anak, bertemu dengan Rani, peri yang bebakat mengubah air menjadi tampilan apa pun yang menarik dan mendatangkan awan.
Bukan hanya itu, kala hujan turun makin deras saat ia bermain-main dengan Prilla, sahabatnya itu, dengan cantik dilukiskan bagaimana Rani mengubah air menjadi mirip "sehelai" benang; dan menghadirkan gaun yang dipenuhi pendar-pendar air serta tiara-air di sekitar tubuh Prilla. Ya, kisah ini tampil dengan Rani sebagai tokoh utama. Rani dan Prilla adalah kawan Tinker Bell, peri mungil ternama itu.
Mereka berdua berada di Pixie Hollow, jantung Never Land yang terkenal itu. Di sana ada Home Tree, tempat banyak peri laki-laki dan perempuan tinggal. Tak seperti yang lainnya, Rani adalah satu-satunya peri yang tak bisa terbang.
Di Home Tree, Rani bukanlah peri yang populer. Ia tinggal di kamar yang "berada paling ujung di cabang terpanjang". Kamarnya itu bocor permanen, tetes-tetes air selalu menggenangi sebuah wadah yang ia letakkan di bawah bocoran itu, hingga beberapa ikan hidup dan dipeliharanya di sana. Ya, ia tak pernah mengeluh, justru bahagia dengan keadaannya itu!
Nah, suatu ketika Rani mendapat kunjungan Dab, bidadari-air yang sedang ingin berlibur dari tugasnya menjaga awan hujan. Betapa Rani senang mulanya ketika tahu ia akan diserahi tugas itu. Ia suka air -- ia tentu suka awan! Namun, betapa ia kaget ketika ia harus menjaga seluruh awan hujan.
Dan, tak sampai di situ saja. Dab akan berhenti dari liburnya menjaga awan bila Rani berhasil menemukan tiga harta yang paling berharga di Pixie Hollow. Dari sinilah kemudian petualangan Rani dan Prilla bermula.
Kisah Rani dan Tiga Harta Peri ini memberikan banyak sekali teladan bagi para pembacanya. Sasaran pembaca dari kisah ini tampaknya anak perempuan berusia 10 tahun ke atas hingga remaja. Narasi yang ditampilkan dalam cerita ini sangat deskriptif dan indah. Dan, yang menarik, semuanya disampaikan tanpa menggurui, namun lewat alur, peristiwa dan karakter masing-masing tokohnya. Cuma satu yang agak disayangkan: tidak ada antagonis yang benar-benar menegangkan konflik dalam kisah ini. Dab, si pembuat masalah yang membuat Rani kelimpungan pun hanya disebut sebagai makhluk yang tidak jahat, tapi nakal.
Akibat tantangan Dab, Rani menemui banyak persoalan, hingga pimpinan peri, Ratu Clarion, memerintahkan seluruh peri di Pixie Hollow mengeluarkan harta-benda mereka yang paling berharga. Semuanya dengan egois menunjukkan bahwa harta-benda yang dimilikinyalah yang paling spesial. Namun, di antara semuanya, tak ada satu pun yang dapat membuat Dab kembali, sehingga Rani kemudian bersedih karena selama beberapa hari ia harus menanggung beban yang berat menjagai awan-awan hujan.
Rani putus asa tak menemukan harta-benda yang menarik di Pixie Hollow. Untunglah ia mempunyai sahabat-sahabat yang baik hati di Pixie Hollow, yang mau mendengarkan dan memahami beban yang menimpa dirinya. Salah satunya adalah seekor burung -- Mother Dove namanya. Dengan penuh kasih sayang Mother Dove memberinya nasihat yang menguatkannya, lalu menuntunnya menemukan harta-harta yang dituntut Dab darinya itu.
"Benda-benda! Siapa yang peduli dengan benda-benda? Semua orang memilikinya. Itu bukanlah harta yang membuat siapa pun iri dan memilikinya!" kata Dab. Harta yang mampu membuat Rani lepas dari bebannya menjaga awan ternyata bukanlah sesuatu yang berwujud benda.
Di akhir kisah, dengan manis diuraikan bahwa harta yang harus disebutkan Rani untuk membawa pulang Dab dari liburannya rupanya sangat sederhana. Tiga harta itu ternyata ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Ya, bukan suatu benda, bukan juga sesuatu yang mahal dan mewah! Dan ketiganya seringkali kita lupakan. Namun, ketiganya, ketika direnungkan dalam-dalam -- ternyata memang sangatlah berharga, walaupun ketiga harta itu tampak seperti bukan harta. Dari ketiganya kita dapat bercermin, merenungi lagi hal-hal yang indah dan harus diutamakan dalam hidup ini.
Dan tentunya, setelah Rani menemukan tiga harta itu, Pixie Hollow kembali bersemi. Hujan didatangkan tepat waktu, segenap peri di Never Land riang gembira. Omong-omong, sebenarnya, apa sih tiga harta berharga itu? Bila penasaran, baca saja seluruh kisahnya ya.
Sidoarjo, 1-2 September 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)