17.9.09

Arwah-Muka-Babi dan Istana Raja

: Kutipan novel yang sedang kugarap.

MELINTASI jalan sunyi di Lembah Orang Mati adalah salah satu impian terburuk yang pernah dialami siapa pun. Namun, tiga petualang kita: Rangga, Kak Jono dan Si Tuan Malam tampak mencoba tegar. Di hari kesepuluh petualangan mereka sejak meninggalkan Kuiet, kini mereka merasakan tantangan yang tampaknya akan lebih berat menghadang di depan. Hati mereka berat, langkah kaki terayun gundah.

Malam pertama melintasi Lembah Orang Mati benar-benar menegangkan. Kehadiran para arwah jahat terasa di sekitar para petualang kita. Di antara ketiganya, Kak Jono yang sesekali mendesah ketakutan dengan menarik napas panjang menggunakan mulutnya. Ia sering melihat sekelebat bayangan yang melintas dengan cepat. Rangga sempat melihat arwah yang mukanya mirip babi berkelebat di balik sebuah pohon. Seluruh badannya merinding seketika.

Tuan Malam tampak santai, namun menyipitkan matanya -- tanda ia selalu awas atas segala marabahaya. "Mereka biasanya sembunyi di gua-gua. Jadi, alihkan matamu dari gua-gua yang kautemui. Aku mendapat firasat agar lebih baik kita bersitirahat saja di bawah pohon-pohon yang kita temui," kata Si Tuan Malam.

Tuan Malam merasa arwah-arwah telah makin banyak berkumpul demi menyusun rencana yang makin matang mengacaukan kota-kota di Harigia. "Mereka tampaknya akan keluar dari segenap penjuru Harigia. Tapi, tenanglah, kehadiran kita tak terlalu banyak menimbulkan kecurigaan mereka. Kebanyakan, mereka yang ngumpul-ngumpul di sini adalah arwah-arwah yang bodoh dan berkesaktian rendah. Yang lebih pintar biasnya diutus para malaikat jahat untuk mengamati dan mengacau keadaan kota-kota di Harigia."

"Tadi aku melihat sebuah arwah yang wajahnya mirip babi, Pak! Matanya merah, seperti mata Si Wanita Biru itu," bisik Rangga dengan seru.

"Aku pernah tahu arwah-muka-babi itu. Mereka adalah arwah jahat yang paling banyak di Harigia. Jangan takut pada tampang mereka yang sangar. Mereka mudah sekali dikalahkan," kata Si Tuan Malam. "Sekarang, mari kita tidur saja. Lupakan mereka barang sesaat."

Tuan Malam dan keduanya lalu tidur di bawah pohon dengan menggunakan selimut. Saat mereka tidur, datanglah dua arwah-muka-babi yang berbicara dalam bahasa yang aneh. Keduanya berbadan samar-samar.

"Madangkasang sakana trisante lakehi?" tanya yang pertama. (Artinya: "Siapa gerangan tiga orang asing ini?")

"Nekakasang. Lakehi san trisante nika kalianu manungisang mancunia lawito." (Artinya: "Entahlah. Ketiga orang asing ini kelihatannya cuma tiga manusia yang kebetulan lewat.")

Keduanya lalu membicarakan sesuatu dalam bahasa biasa. "Aku curiga, mereka ini... jangan-jangan yang disebut Dewi Buntaly sebagai petualang," kata arwah pengucap "madangkasang" tadi.

"Nekakasang. Mereka cuma orang lewat. Mari kita beritahu teman kita!"

Keduanya lalu meninggalkan tiga petualang kita. Tuan Malam tak tertidur ketika keduanya datang -- hanya pura-pura tidur. Dia merasa aneh mendengar kedua bahasa itu. "Mungkinkah itu bahasa para arwah-muka-babi?" katanya dalam hati.

Tuan Malam lalu membangunkan Kak Jono dan Rangga. "Ada arwah yang baru saja ke sini, lalu mengamati kita. Sekarang mari kita pergi dari sini, sebelum dia memanggil teman-temannya yang lain. Kita cari persembunyian."

Kak Jono kaget ketika dibangunkan. "Pak Raiksa," katanya pada Si Tuan Malam. "Aku baru saja mimpi, ditunjukkan oleh seorang pria muda yang tampan, sebuah gua yang di depannya ada obor. Tak jauh dari sini. Mungkin kita harus menuju ke sana."

Pak Raiksa memandangi mata Kak Jono lekat-lekat. "Benarkah begitu?"

"Ya! Iya, Pak!" kata Kak Jono.

Mereka segera berkemas, lalu berjalan mengendap-endap menuju sebuah pohon lain. "Hati-hati. Berita petualangan kita sudah menyebar. Beruntung kita, tadi dua arwah-muka-babi yang mendatangi kita adalah arwah yang bodoh dan tak bersenjata."

Si Tuan Malam kemudian mengatupkan tangannya sebentar, mengatupkan kedua kelopak matanya pula. Ia kemudian "melihat" letak gua itu, setelah dua menit bersila. "Mari, kita menuju ke sana."

***

SAMPAILAH mereka akhirnya di depan gua itu. Obor itu tampaknya baru saja dinyalakan. Pak Raiksa sempat berpikir: siapa yang telah meletakkan obor itu di sini. Malaikatkah? Arwah baikkah? Pak Raiksa segera meraih obor itu, lalu mereka masuk ke dalam gua. Hawa di dalam gua benar-benar hangat.

"Aku juga telah 'melihat', begitu banyak arwah di sini. Namun, yang kurasakan dalam batinku, mereka lebih memikirkan cara-cara pengacauan ke sebuah kota Harigia. Mungkin ada gerombolan arwah lain yang memang dipersiapkan Buntaly untuk menghadang dan mengacau kita dalam petualangan ini -- arwah yang lebih pintar dan sakti."

"Apa pun rencana mereka, aku tak akan gentar, Pak!" kata Rangga. "Kita akan hadapi mereka."

"Jangan gegabah, Nak. Tenang saja. Naluri seorang petualang dan petarung sejati haruslah terasah dengan berbagai pertimbangan. Sekarang, mari kita lanjutkan tidur. Kita pasti aman di sini."

***

MEREKA bertiga melalui malam itu dengan tidur yang cukup pulas. Di pagi hari, Pak Raiksa menyatakan sesuatu. "Menjelang pagi tadi, aku mendapat semacam desakan agar kita melakukan pengintaian. Beranikah kalian melakukannya nanti malam? Aku mendapat firasat kalau beberapa arwah-muka-babi itu sedang menyelenggarakan rapat tak jauh dari sini."

Rangga dan Kak Jono berpandangan. Keduanya saling menganggukkan kepala.

"Mari kita atur strateginya, agar tidak ketahuan! Siang ini baiklah kita berpencar untuk melihat gua mana yang jadi kemungkinan terbesar diadakannya rapat arwah-muka-babi."

Ketiganya lalu berpencar setelah berganti pakaian lagi. Mereka mengamati gerak-gerik para arwah yang hampir semuanya tampak berbadan samar dari tiga pohon yang berbeda -- dari siang hingga menjelang sore. Rangga dan Kak Jono pertama-tama menyaksikan mereka dengan ngeri. Lama-lama, tapi mereka jadi terbiasa.

Para arwah-muka-babi jarang melakukan kegiatan di siang hari. Menjelang sore, ketahuanlah kini sebuah gua yang paling sering dilintasi arwah-muka-babi. Ketiganya lalu turun, kembali ke gua mereka sambil mengendap-endap.

Di gua, Rangga yang pertama kali bicara, "Bagaimana rencana kita selanjutnya, Tuan Malam?"

"Kita tak perlu melakukan penyerangan apa pun. Kita hanya akan mencuri dengar apa yang mereka rapatkan. Kita akan mendatangi mereka pelan-pelan. Tapi... ah, sialan!"

"Kenapa, Pak Raiksa?" tanya Kak Jono.

"Semoga saja mereka tak rapat menggunakan bahasa aneh yang semalam kudengar. Mereka bicara 'madangkasang', 'nekakasang', ah... bahasa aneh apa pula itu!"

"Ya, semoga mereka bicara dalam bahasa kita. Mereka semua dulu kan manusia seperti kita, dari Harigia juga," kata Rangga.

"Ya, mungkin hanya dua arwah yang mendekati kita semalam, yang berbahasa aneh seperti itu. Yah... semoga saja begitu."

Ketiganya lalu menyusun rencana sederhana. Ketiganya akan berganti pakaian lagi, mendekati gua itu dari arah yang berbeda.

"Pak Raiksa," Rangga bersuara dengan penuh semangat. "Apakah dalam pengintaian kita tadi siang ada arwah yang tak terlihat mata kita, yang mengamati gerak-gerik kita?"

"Aku sudah banyak belajar tentang Lembah Orang Mati ini di beberapa buku lain. Arwah-arwah di seluruh lembah ini biasanya berkelompok-berkelompok sesuai jenisnya. Dan mereka memang rata-rata malas bekerja di siang hari. Jadi, ya, rasanya kita tak perlu kuatir ada arwah-muka-babi atau arwah jenis lain yang juga mengintai kita di sini."

***

KETIGANYA lagi-lagi berjalan mengendap-endap di balik semak-semak yang tinggi dan sesekali menyelinap di balik pohon dari tiga arah yang berbeda. Hampir bersamaan, sampailah mereka di mulut gua yang mereka tuju. Di dalamnya terdengar bisik-bisik yang ribut sekali. Bahasa mereka banyak sekali.

"Tampaknya arwah-muka-babi ini memang punya banyak bahasa. Ribut sekali mereka!" kata Si Tuan Malam dengan kesal.

"Babi-babi perkasa!" diucapkan kata-kata itu sebanyak tiga kali oleh sebuah arwah-muka-babi yang suaranya lantang. "Dengarkan aku!"

"Babi-babi perkasa yang rakus dan mengerikan...," kata-kata itu disambut dengan pekik-sorak yang membahana. "Dengarkan. Besok malam kita akan mengacaukan para penduduk yang ada di Sekar Cemara. Gerombolan arwah yang lain telah dilepas menuju ke Nalika. Beberapa hari lagi, mungkin juga hari ini, gerombolan yang lain dilepas ke beberapa kota lain di Harigia. Bagian kita telah ditentukan oleh Dewi Buntaly: Sekar Cemara, kota para petarung!

"Kita, para babi yang tak pernah resah dan gundah karena menjunjung tinggi nafsu serakah, besok akan pesta besar! Pesta besar, hai babi-babi yang serakah! Mari kita sambut berkah melimpah!"

"Gila, semua ini benar-benar gila!" kata Tuan Malam kepada Kak Jono dan Rangga.

"Bila kita berhasil nantinya, kita akan tinggal di istana kita yang baru! Seorang raja akan diangkat Dewi Buntaly bagi kita. Sekar Cemara akan menjadi istana kita!" teriak pemimpin rapat dengan suara sekeras-kerasnya, disambut tepukan, suitan dan sorakan yang sekeras-kerasanya pula oleh para arwah-muka-babi. Semua itu membuat dinding gua itu bergetar. Kak Jono dan Rangga berpegangan sambil menggigil, demi merasakan gemuruh suara ratusan arwah itu.

"Babi-babi serakah ini akan mendirikan kerajaan di Sekar Cemara? Ah, yang benar saja!" kata Si Tuan Malam. "Kita harus menuju Sekar Cemara bersama mereka. Mimpi yang kualami di dekat Sungai Sejuk dua malam yang lalu ternyata bukan hanya demi kepentingan kita, tapi untuk keselamatan seluruh Sekar Cemara!" kata Tuan Malam.

***

Malang, 16-17 September 2009

No comments: