25.9.09

Ke Yogya, Semarang, dan Dua Warung Soto

: Catatan Perjalanan Liburan, 20-25 September 2009

Malioboro, Parang Tritis, dan Jatimulyo

Malioboro di dini hari Lebaran hari pertama lalu sepi sekali.

Aku, Ko Ardian dan Ko Phillip akhirnya sampai di sini. Keliling Yogya, lalu menuju ke sebuah hotel di Jalan Surokarsan. Tidur beberapa jam.

Dua hari kami tinggal di sini. Belanja beberapa oleh-oleh di Malioboro, juga mampir ke Parang Tritis. Malioboro agak ramai di hari pertama Lebaran. Kemudian sangat ramai di hari kedua Lebaran. Parang Tritis, sayang, kotor sekali.

Selama di Yogya aku juga sempat bertemu dengan guru menulisku, Arie Saptaji. Aku ke rumahnya di Jatimulyo. Di rumah ini aku sempat disuguhi tontonan apik. (Matur nuwun, Denmas!) Judul film itu adalah Psycho, garapan Alfred Hitchcock. Disebut-sebut sebagai masterpiece, karena mampu membangun suspense yang tampaknya bikin tempat duduk penonton panas, akibat gelisah menanti jawaban: "Uuuh, siapakah pembunuh Marion?"

Terima kasih kuhaturkan juga untuk Josua Sirait -- yang tampak lebih gemuk sejak kali terakhir aku ketemu dengannya 4 tahunan lalu -- yang telah mengantar-jemput aku ke kediaman sang guru di Jatimulyo. (Kapan-kapan jumpa lagi, Bro!)

Borobudur, Pandanaran, Sam Po Kong, dan Wihara Watugong

Dari Yogyakarta, kami bertiga menuju ke Borobudur. Kami pergi bersama dua teman kami, sepasang kekasih yang lagi kasmaran: Kwarta dan Siska. (Mereka juga menemani kami ke Parang Tritis sebelumnya.) Tampak mesra keduanya, bergandengan tangan di banyak kesempatan -- sesekali berangkulan. Duuuh!

Borobudur ramai sekali pada hari ini. Aku dan keempat kawanku juga kepanasan di sini. Aku membeli beberapa oleh-oleh untuk keluargaku.

Setelah dari Borobudur, kami kembali lagi ke Yogya. Di hari ketiga kami ada di Yogya, kami menyempatkan diri mampir ke rumah adik sepupu Ko Ardian. Tanpa rencana, adik sepupunya itu mengajak kami ke kuil orang Konghucu yang bermenara tinggi di Semarang. "Apakah itu Sam Po Kong?" tanyaku. Ia tidak tahu.

Aku yang pernah tinggal tiga tahun di Semarang, selama SMA, tidak pernah banyak mencari tahu tempat-tempat seperti kuil, masjid, gereja, atau apa pun yang diminati para peziarah spiritualis.

Kami berangkat. Yogya-Semarang hampir empat jam kami tempuh karena jalanan sedang sangat macet. Untunglah saat itu cuaca tak begitu panas. Cuaca agak mendung. Aku melihat Bukit Menoreh dengan kagum. Indah sekali: sawah-sawah di kaki bukit sedang mengemas.

Sampai di Semarang, kami mampir dulu ke Jalan Pandanaran, pusat oleh-oleh khas Semarang: bandeng presto, wingko babat, dan lumpia.

Di belakang Jalan Pandanaran ada kampung bernama Randusari, dekat dengan kuburan tengah kota bernama Bergota. Di Randusari-lah aku tinggal waktu SMA dulu, bersama mendiang nenekku. Aku bahkan kenal dengan beberapa orang yang jual oleh-oleh di Jalan Pandanaran. Aku menyempatkan diri selama beberapa menit menginjakkan kaki ke kampungku dulu, berdiri di depan rumahku. Rasa kangen pada masa lalu mencuat-cuat kembali.

Ku-sms ibuku, kuberitahu aku sedang berada di depan rumah itu. Ia menangis, mengingat kenangan-kenangan yang ia lalui selama puluhan tahun di sana. Ya, bapak dan ibuku berasal dari satu kampung itu. Rumah keduanya berdekatan. Namun, aku tidak sempat melihat ke rumah kakek-nenek dari pihak bapak karena hari sudah malam, dan kami harus segera kembali ke Yogya malam itu juga.

***

Ya, selama SMA, aku sama sekali tak pernah ke Sam Po Kong. Aku cuma tahu nama itu menjadi judul novel Remy Sylado, dan itu adalah sebuah kelenteng. Itu saja.

Begitu masuk, dan berbincang-bincang dengan penjaga kelenteng itu, aku cukup takjub. Betapa tidak. Sam Po Kong dalam kisahnya adalah seorang pembawa ajaran Islam di pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, mulai pada tahun 1405 M. Walau Sam Po Kong seorang Konghucu, namun dia tertarik dengan ajaran Islam -- kemudian turut menyebarkannya. Di dalam kuil ini juga ada makam dari tiga pendamping Sam Po Kong: juru masak, juru mudi (kapal), dan yang satunya aku lupa juru apanya.

Ya, kuil Sam Po Kong yang berada di daerah Gedongbatu di Semarang ini, ternyata menyimpan catatan sejarah yang panjang. Tampaknya, kuil ini merupakan representasi dan simbol akulturasi masa lalu melihat catatan penggagas-pendirinya. Kuil Sam Po Kong terbuka untuk dikunjungi siapa saja -- orang dari agama mana saja.

Lampion-lampion merah, palang-palang tinggi penyangga kuil beratap merah yang indah, dan lilin-lilin raksasa yang kulihat pada malam yang gelap di kuil ini terkesan angker, namun romantis.

***

Namun, tujuan utama kami bukan kuil Sam Po Kong. Setelah bertanya-tanya pada penjaga kuil di Sam Po Kong, ternyata "kuil orang Konghucu yang bermenara tinggi" yang kami hendak tuju dari Yogya tadi ada di daerah Watugong, Srondol, dekat Ungaran. Tancap gas, kami menuju ke sana, sekalian pulang ke Yogya.

Menara itu ternyata tinggi sekali, ada tujuh tingkat. Ia mirip pagoda-pagoda yang ada di Thailand -- kalau tidak salah -- yang pernah aku lihat di sebuah kalender. Ia diletakkan di samping wihara yang dibangun di sekitar tempat itu. Di depannya ada patung Buddha yang sedang bertapa mencari kesempurnaan jiwa di bawah sebuah pohon yang rindang. Begitu hening tatapan Buddha yang tampak sedang bermeditasi di patung itu.

Kata Ko Phillip, menara itu fungsinya untuk mengurung para dewa-dewi yang berbuat jahat. Ia juga dibuat sebagai pengagungan terhadap Dewi Langit yang aku lupa siapa namanya.

Setelah menilik wihara dan pagoda-menara itu kami pulang ke Yogya. Selain dua tempat itu, aku masih penasaran dengan dua-tiga tempat ibadah atau pemujaan di Semarang.

Pertama adalah kuil atau kelenteng di sekitar daerah Anjasmoro yang katanya cantik banget. Kedua adalah Masjid Agung yang berada di daerah Dokter Cipto yang katanya bermenara sangat tinggi, bisa dinaiki, bahkan memiliki sebuah teropong yang bisa digunakan untuk mengamati seantero Semarang.

Yang ketiga, sebenarnya aku sudah tahu, cuma ingin sekali lihat dalamnya: Gereja Blenduk. Gereja ini bangunan Belanda di kawasan Pasar Johar Semarang yang terkenal dengan bangunan-bangunan lawasnya. Menurut seorang blogger yang kukenal, bagian dalam bangunan ini artistik sekali.

Kadang aku menyesal: mengapa tidak sejak SMA dulu suka dengan yang beginian?

Dan aku juga menyesal: datang ke Sam Po Kong dan ke Wihara Watugong saat malam hari -- langit tampak mendung dan gelap. Kami tidak bisa memfotonya.

Prambanan, BNS, dan Sedikit Catatan Tambahan tentang Dua Warung Soto

Sehari setelah dari Semarang, atau hari keempat perjalanan kami, akhirnya tibalah waktu untuk kembali. Kembali lewat Solo, Sragen, dan seterusnya, menuju kota Malang. Kami mampir ke Prambanan.

Di Prambanan juga banyak sekali orang datang -- seperti Borobudur. Ramai, dan panas. Namun, di sini aku merasa beruntung melihat candi ini dari dekat kali pertama dalam hidupku. Sebelumnya sudah pernah sih ke sini sendirian beberapa tahun lalu, namun waktu itu sudah menjelang maghrib, dan pintu masuk sudah tertutup.

Prambanan, bagiku adalah candi yang anggun. Walau sayang, batu-batu masih banyak berserakan. Memang, sekilas tampaknya susah sekali merekonstruksi reruntuhan batu yang amat banyak di sekitar kompleks candi itu menjadi candi-candi secara utuh -- satu demi satu.

Dari Prambanan kami bertiga kembali ke Jawa Timur. Ingin mampir ke Solo, tapi tidak jadi. Di daerah Ngawi dan Nganjuk jalanan macet. Karena macet, Ko Ardian yang menyupir mobil tak jadi langsung ke Malang. Dia agak lelah, selain jalan menuju ke Malang yang melewati Batu berkelok-kelok.

Kami kembali ke Sidoarjo. Tidur satu malam. Paginya menancap gas lagi ke Batu. Di Batu, aku sudah agak bosan dengan tempat-tempat wisatanya. Mungkin karena sudah 11 tahun aku tinggal di Malang hingga kini, dan cukup sering mengantar teman atau saudara ke situ.

Ko Ardian penasaran dengan tempat wisata Batu Night Spectacular alias BNS. Aku sih kurang suka dengan tempat ini -- kurang ada unsur budayanya gitu. Ko Ardian dan Ko Phillip, begitu melihat orang-orang tumplek-blek di tempat ini, juga beberapa wahana yang tampak dari pintu masuk rasa-rasanya lebih banyak ditujukan untuk anak-anak, mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. Kami turun dari Batu, jalan-jalan ke kota Malang.

Dari Malang kami kembali ke Batu lagi, namun tidak langsung ke hotel di Songgoriti. Kami mampir ke Payung. Aku sudah berkali-kali ke tempat ini, dan tidak ada yang berubah. Menunggu tengah malam datang, kami ngobrol-ngobrol.

Saat ngobrol, terlintaslah di benak kami bertiga, sesuatu yang sama. Apakah itu? Cewek! Ya, semua perjalanan memang rasanya nikmat kalau dijalani bersama seorang kekasih. Nah, kami tiga pria malang yang kesepian, sepakat: dalam perjalanan ini, memang akan lebih indah disertai makhluk yang satu itu. Dan yang paling malang di antara ketiganya, dalam hal ini, mungkin, aku.

Ko Ardian sudah punya calon pendamping hidup yang sedang liburan ke Bandung. Ko Phillip sudah beristri dan beranak dua -- semuanya ada di Bangka. Sementara aku, aku tidak punya seorang pasangan. Tapi, bagaimana pun, aku menikmati perjalanan ini. Sungguh, aku menikmatinya, bukan sekedar ngabang-ngabangi lambe lho!

Malam itu kulalui dengan ucapan syukur. Kami tidur. Seorang dari kami tidur mendengkur. Berakhir sudah perjalanan ini.

***

Terus, catatan tambahan tentang warung soto?

Begini. Ketika pulang dari Borobudur menuju ke Yogya, ada sebuah warung soto dan bakso. (Soto Bakso, demikian disebut di Magelang dan sekitarnya dengan cukup terkenal.) Di warung soto itu seorang gadis manis melayani kami dengan senyum yang sulit kulupakan. Kuputuskan untuk tidak kulihat sering-sering senyum itu, takut jerawat batu keluar di pipiku.

Gadis itu kemudian lenyap dari ingatanku. Untuk sementara.

Namun, tak sampai situ. Ketika perjalanan liburan ini hampir berakhir, kami mampir ke warung soto di dekat sebuah persimpangan di Batu. Olala, kali ini seorang gadis manis melayani kami dengan senyum yang juga tak kalah sulit dilupakan. Seorang gadis yang lain, dengan senyum yang tak kalah wadohai.

Ah, kedua gadis itu kini masih membekas dalam ingatan. Lahirlah puisi ini:

Dua warung soto
Dua kota berbeda
Dua gadis
Dua senyuman
Dua kenangan

Satu pria kesepian
Gundah memamah soto

Ah, lain kali kalau jalan-jalan, aku ingin cari warung soto lagi! Siapa yang mau ikut? Yuuuk.

Malang, 25 September 2009

No comments: