28.9.09

Hidup adalah...

Refleksi hidup berdasarkan kutipan dan pemikiran tiga tokoh Prancis: Arthur Rimbaud, Claude Debussy, dan Victor Hugo.

Hidup adalah Perjalanan

"Perlu ada upaya melihat,
upaya melihat dengan menjungkirbalikkan segala makna yang sudah ada,
untuk sampai pada yang tak dikenal,
hidup sejati yang berada di tempat lain ..."


Sepenggal puisi di atas adalah karya Arthur Rimbaud. Tahun 1874, saat berusia dua puluh tahun, ia tergila-gila berkelana ke mana-mana, hingga ia akhirnya meninggal di Marseille pada 10 Oktober 1891.

Nah, dia pernah "nyasar" ke Indonesia!

Apa yang menyebabkan dia ke Indonesia hingga kini masih samar. Diduga, itu karena ia mendengar kisah-kisah tentang Hindia-Belanda waktu bekerja sebagai kuli di pelabuhan. Pada bulan Juli tahun 1876 ia sampai di Indonesia. Ia sempat ada di Jakarta dan di Salatiga. Berada di tangsi militer jiwanya gundah. Penyair ini tidak cocok. Ya, dia nyasar. Diam-diam ia meninggalkan Indonesia dan kembali ke negerinya, Prancis.

Puisinya di atas adalah sebentuk pemetaan dari realitas-demi-realitas tangkapannya hasil kelana-demi-kelana. Renungan memang jadi sangat luar biasa bila dipadu dengan kelana. Bahwa kebahagiaan-kesedihan yang berusaha kita gerapai suka-dukanya kadang terenungi keliru dan semrawut ketika dihadapkan dengan kelana.

Di dunia ini, akan selalu ada "tempat lain" (kutipan dari puisi yang ditulis Rimbaud di atas) untuk kita cari dalam rangka membentuk makna sebuah sisi kehidupan. Manusia selalu mencari dan tidak puas, sehingga baiklah kita menyadari sebuah keadaan penting: bahwa saat ini, di sini, ada sesuatu yang penting dan berharga untuk kita raih. Bahwa saat ini, di sini, ada sesuatu yang harus kita kerjakan dan beri perhatian untuk membuat hidup kita memiliki makna.

Hidup adalah Keindahan

Tahun 1889, Prancis memperingati seabad revolusinya. Negara itu melaksanakan peresmian menara Eiffel. Di kaki menara metalik raksasa itu tampak beberapa gong perunggu dan gamelan Jawa. Seorang komponis muda berbakat terpana ketika mendengar suaranya dan di kemudian hari berkomentar: "Jika Anda mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, Anda harus mengakui bahwa musik kita tak lebih dari sekedar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling." Komponis itu bernama Claude Debussy.

Terlepas dari kemampuan orang Barat yang tampak lebih lihai daripada kita dalam mengajarkan musik lewat partitur, penggolongan irama, bahkan tablatur untuk gitar, Debussy terkesan dengan "getaran keindahan suara itu sendiri." Suara itu beresonansi secara indah, membuatnya boyak terhadap harmonisasi nada-nada yang selama ini menjadi kekuatan dan pesona bagi musik-musik Barat.

Debussy memadukan musik Barat dan gamelan, karena dirasanya gamelan adalah sebuah seni bernilai tinggi, sementara kita selama ini yang hidup "bersama gamelan" mungkin menganggap musik Barat bernilai lebih tinggi.

Debussy, dalam jiwanya yang gelisah, mencoba tafsirkan apa yang ia gapai dan tangkap dalam kepekaannya lewat karya yang sarat kombinasi. Belajar dari seniman ini, kita seolah diajak melihat bahwa keindahan ada di mana-mana. Memaknai keindahan, jiwa kita yang fana dan sementara ini kerap berubah-ubah selera. Musik adalah seni. Hidup adalah seni. Menghayati hidup bagai menghayati seni. Keduanya butuh kepekaan.

Hidup adalah Sementara

Condamné à mort!

Dihukum mati! Ya, siapa yang dapat memetakan pikiran seseorang yang tinggal beberapa saat saja menjalani hidup? Victor Hugo mencoba tuturkan apa-apa saja yang melintasi benak seseorang yang akan dihukum mati dalam novelnya Le dernier jour d’un condamné (Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati).

Di sana, digambarkan bahwa setiap menit berisi gagasan. Mimpi bagai menyatu dengan kenyataan. Kepedihan membaur dengan kengerian. Hidup, setiap saat, serasa amat berarti. Bahkan, segala sesuatu yang dilihat, dirasa, diraba — semuanya dicoba untuk dicari-cari detilnya, sebagai bahan untuk dituangkan dalam kata-kata yang terbatas, untuk memaknai hidup dalam waktu yang merambat.

Salah satu renungan terpidana yang menghenyakkan adalah: "Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan." Bukankah benar demikian? Bukankah suatu saat kita mati? Yang menjadi masalahnya adalah: kadang kita lupa suatu saat kita akan mati.

Kematian memang bukan akhir segalanya. Namun, cara kita menyongsong kematian itu penting. Itu tergantung pada hingga sejauh mana kita mempertahankan apa yang kita percayai selama hidup kita. Kalau selama hidup kita goyah iman, bagaimana kita bisa yakin dengan iman itu kalau maut menjemput? C.S. Lewis berkata, "Engkau tidak akan pernah tahu seberapa besar kepercayaanmu mengenai sesuatu hal sampai hal itu menjadi masalah antara hidup dan mati." Ya, hingga nafas terakhir terhembuskan, setialah pada iman kita!

= Sidik Nugroho

No comments: