8.12.11

Pindah ke Penulis Gembira

Mulai bulan Desember 2011, catatan dan aktivitas blogging saya lainnya saya pindah ke:

Penulis Gembira

22.5.11

Gereja-gereja yang Membentuk Kehidupan Saya (3-habis)

Pandangan Pribadi tentang Gereja-gereja

Dalam dua bagian tulisan yang lebih awal (dengan judul yang sama) saya telah mengisahkan persinggahan dan petualangan saya dalam gereja-gereja. Saya membuat catatan itu dengan pertimbangan yang semasak-masaknya agar -- sedapat mungkin -- tidak ada satu pihak pun yang dirugikan. Saya -- dengan kejujuran dan tentunya subjektivitas pribadi -- mengemukakan kelebihan dan kekurangan yang saya temui dalam gereja.

Di sisi lain, selalu saja ada pihak-pihak yang membangun suatu generalisasi yang payah atas persoalan yang kompleks. Dalam kasus saya ada yang berkomentar gereja bukan gedung. Gereja adalah umat Nasrani secara individu, di mana saja kita adalah gereja, dan komentar-komentar lain yang senada. Saya tidak menganggap remeh pemikiran-pemikiran tersebut, cuma, pemikiran-pemikiran demikian tidak menyentuh pada persoalan yang sebenarnya ingin saya ketengahkan.

Namun, saya juga tidak tengah mengharapkan pemikiran yang berbelit-belit atau rumit. Setidaknya, saya berharap lahir sebuah diskusi tentang gereja yang membuat kita memahami hal-hal yang harus diperhatikan dan diabaikan dalam gereja. Dalam catatan terakhir ini saya lebih menyoroti berbagai hal yang menurut saya perlu dibenahi dalam gereja.

Hal terutama yang hendak saya ketengahkan dalam catatan penutup ini (juga catatan-catatan sebelum ini) adalah: setiap lembaga -- bahkan di luar gereja -- memiliki tradisi dan pengajaran yang berbeda-beda. Gereja, sebagai lembaga di mana Allah mempercayakan pesan tentang kasih dan kuasa-Nya, tidak salah memelihara berbagai tradisi yang masing-masing ada padanya. Namun, janganlah kiranya tradisi itu yang dikedepankan. Kristus yang harus dikedepankan.

***

Sebuah contoh tentang pengedepanan tradisi yang begitu mengganggu saya, saya temui dalam sebuah ibadah KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) di auditorium Universitas Merdeka Malang beberapa tahun silam. KKR itu bertepatan dengan perayaan Natal. Penyelenggaranya adalah gereja beraliran Reformed-Injili. Menjelang akhir KKR, seorang solois menyanyikan sebuah lagu berjudul Haleluya karya Frederich Handel. Sang pembicara KKR baru saja selesai khotbah, dan ia tengah berada di bagian belakang gereja.

Saya yang duduk di bagian belakang sangat kaget. Sebabnya, tiba-tiba sang pembicara teriak-teriak, "Berdiri! Berdiri!" di belakang. Sambil teriak-teriak ia berjalan maju, naik lagi ke mimbar, memberi penjelasan bahwa lagu yang tengah dinyanyikan adalah sebuah lagu mahakarya tingkat tinggi, yang tidak bisa dinyanyikan sembarang orang. Ia kemudian menjelaskan kondisi yang ada di negara-negara lain di Eropa dan Amerika: tiap kali orang mendengar lagu itu, mereka langsung berdiri. Nah, masalahnya sekarang, sekarang saya di Indonesia, saya tidak tahu tradisi itu.

Saya kurang suka membangkang. Saya pun berdiri, mendengar lagi lagu itu dinyanyikan ulang. Saya akan lebih suka berdiri kalau band kesukaan saya, Mr. Big, menyanyikan lagu Daddy, Brother, Lover, or Little Boy yang hingar-bingar. Saya tahu lagu itu, dan sangat saya sukai.

Masih begitu banyak contoh yang membuat saya terganjal. Kali ini soal berkat. Di beberapa gereja Karismatik, pengajaran tentang berkat sudah demikian kelewatan bagi saya. Saya sudah hampir lelah mendengar: "Bila Anda beriman, pasti Anda diberkati. Bila Anda mengikut Kristus, pasti Anda akan kaya, sejahtera, sembuh dari penyakit Anda, dan mengalami terobosan-terobosan baru dalam hidup Anda," dan kata-kata motivatif lainnya yang disampaikan dengan meledak-ledak dari balik mimbar.

Kisah-kisah di Alkitab sendiri bahkan mencatat banyak orang yang keadaannya tidak berubah dan mengalami terobosan dramatis apa pun setelah mengikut Tuhan. Bahkan ada yang keadaannya jadi lebih buruk setelah mengikuti Tuhan. Setelah Injil mulai menyebar di wilayah Asia, di abad-abad awal Masehi banyak orang Kristen yang harus menjadi martir karena setia mengikuti Tuhan. Ada yang menyatakan, martir-martir kini sudah tidak ada lagi. Tunggu dulu! Saya pernah mendengar dari sumber yang terpercaya bahwa jumlah martir di abad 20 dan 21 (hanya dalam dua abad) lebih banyak daripada jumlah martir yang ada di sepanjang abad 1-19.

Penganiayaan terhadap orang Kristen terus berlangsung dari masa ke masa. Gereja tak bisa hanya bicara lantang soal kesuksesan finansial. Bila orang-orang dari gereja Karismatik terus dijejali dengan khotbah demikian, suatu saat akan lahir generasi mereka yang benar-benar lupa sejarah gereja. Dan mereka tentu akan menganggap gila seorang tokoh yang bernama Martin Luther. (Sekarang saja, sudah saya temui beberapa kali orang Kristen yang salah kaprah membedakan Martin Luther dan Martin Luther King, Jr.) Demi menemukan kehendak Allah dalam hidupnya, sosok seperti Martin Luther malah menjauhkan diri dari segala kesenangan duniawi -- yang tentu membuatnya tak mengejar kesuksesan finansial dengan cara apa pun.

Baiklah, melupakan sejarah Martin Luther mungkin tak menjadi masalah. Tapi, bila yang terus-menerus dikhotbahkan adalah uang, para jemaat akan berpikir bahwa kekurangan adalah dosa. Padahal tidak demikian. Kini, masih adakah khotbah-khotbah tentang kasih karunia Tuhan, hidup yang berkenan pada-Nya, atau pengabdian untuk kemuliaan nama-Nya, yang semuanya itu tak selalu berhubungan dengan uang?

Ya, masih banyak hal yang membuat saya terganjal. Di dalam dua catatan saya sebelumnya, saya mengisahkan adanya gereja yang melarang jemaatnya berpacaran dan mendengarkan-memainkan musik rock (silahkan simak kedua catatan itu di link yang saya sertakan di bawah, yang memuat alasan bagi pelarangan itu, agar Anda tidak salah memahami atau menanggapi).

Ada juga gereja yang sangat antipati terhadap rokok, sementara di gereja lain ada jemaat (bahkan pendeta) yang santai saja merokok di halaman gereja setelah selesai ibadah. Untuk masalah yang satu ini, saya senang dengan pandangan seorang pendeta yang suatu ketika menyatakan bahwa tubuh kita perlu dijaga bukan hanya dengan tidak merokok. Jadi, bila dalam sebulan Anda hanya merokok tiga batang karena alasan pergaulan, misalnya, Anda jauh lebih baik daripada orang Kristen yang suka makan jeroan, lemak, dan menimbun sampah dan kotoran lain dalam tubuhnya dengan nafsu makan yang tidak bisa dikendalikan.

Ya, masalahnya tidak ada ayat yang secara tersurat melarang kita merokok, bukan? Alkitab cukup menyatakan agar kita menjaga dan memelihara tubuh kita. Saya mengenal seorang pendeta lain yang tidak merokok, tapi sangat mengagumi C.S. Lewis dan J.R.R. Tolkien yang keduanya suka menghisap pipa bertembakau. Lewis dan Tolkien orang Nasrani. Kebetulan saya juga mengagumi keduanya. C.S. Lewis dianggap sebagai salah satu tokoh Kristen terkemuka, hingga kini terus dikenang. Sementara Tolkien dianggap salah satu pendongeng terbaik sepanjang masa.

Nah, sekarang, bagaimana dengan gereja-gereja itu, yang antipati terhadap rokok? Apakah nanti mereka akan berdalih, kalau Lewis dan Tolkien adalah kasus lain? Jadi, Lewis dan Tolkien bisa diterima, sementara perokok lain harus dijauhi? Ah, yang benar saja. Lewis dan Tolkien kan juga manusia, Bung!

***

Begitulah, dalam perjalanan saya dari gereja ke gereja, saya menemui banyak hal yang masih mengganjal. Seperti yang saya tegaskan, hal-hal yang mengganjal itu utamanya berkaitan dengan tradisi yang dibangun oleh gereja-gereja itu -- sesuai alirannya, sesuai organisasinya. Hal-hal lain seperti soal tata-cara baptisan, persembahan persepuluhan, doktrin baptisan Roh Kudus, alat musik drum dilarang dimainkan dalam gereja, dan sederet hal lain, semuanya merupakan tradisi dan pengajaran yang kadang disejajarkan -- atau malah dilebihutamakan -- daripada pesan-pesan di dalam Injil.

Semasa Yesus Kristus melayani di dunia ini, ia membongkar tradisi Yahudi. Tradisi itu dipelihara dengan memperhatikan kitab-kitab Musa dan para nabi yang hidup sebelum Kristus. Kristus, sebaliknya, tidak menciptakan tradisi apa pun. Ia tidak mewariskan buku, hanya sekali Ia dikisahkan menulis -- menulis di tanah. Tulisan itu, bila kena angin dan hujan, sirnalah.

Kristus tidak pernah membenci Musa, tapi Ia sangat membenci orang-orang Farisi, para penjunjung tinggi hukum dan peraturan Musa yang tidak berbelas kasih, tidak berempati, dan tidak toleran. Kristus menjadi sahabat pelacur, pemabuk, dan penilap pajak. Ia tidak pernah mencoba berkuasa dengan mendekati orang-orang di pemerintahan, melakukan lobi-lobi politik secara diam-diam.

Apa yang dilakukan Kristus semasa melayani tiga setengah tahun telah mengubah kehidupan orang-orang di zaman-Nya dan sekitar-Nya. Gereja, yang kepadanya diamanatkan meneruskan pesan Kristus, sayangnya, mengulangi apa yang dilakukan oleh orang-orang Farisi. Berbagai telaah teologis atas baptisan, persepuluhan, iman, kesuksesan, dan hal-hal lain untuk melanggengkan tradisi dan pengajaran gerejawi dibuat. Dan bila dijadikan buku, ditumpuk, semua itu akan jadi jauh lebih tebal daripada Taurat orang-orang Farisi.

***

Pada akhirnya, seperti yang saya sampaikan di bagian paling awal (bagian 1), semua hal yang saya tulis ini berpulang pada saya. Saya sudah empat tahun tidak bergereja secara tetap. Janganlah meminta saya untuk tidak bergereja karena (mengutip sepenggal lirik lagu Sekolah Minggu): "Aku gereja, kau pun gereja."

Saya tidak sedang membahas gereja dalam tataran individu -- bahwa tiap orang Nasrani adalah gereja itu sendiri -- namun gereja sebagai suatu organisasi berikut tradisi dan pengajaran yang dibangun di dalamnya. Semua itu telah membentuk kehidupan saya. Saya pernah sangat membenci musik rock, antipati terhadap orang yang merokok, memutuskan pacar saya -- semuanya karena tradisi dan pengajaran yang dibangun gereja-gereja tertentu.

Seiring berjalannya waktu dan perjalanan saya dari gereja ke gereja, sikap-sikap saya mulai berubah. Saya belajar untuk lebih toleran, tanpa meninggalkan pengajaran-pengajaran yang bagi saya lebih penting dan hakiki, terutama yang disampaikan oleh Kristus sendiri dalam keempat Injil. Ya, catatan ini memang menyoroti banyak kekurangan dalam gereja. Namun, percayalah, di gereja pula saya belajar bagaimana memiliki kehidupan yang berarti.

Ke depan, saya ingin beribadah lagi dengan tetap di sebuah gereja. Saya tahu, begitu banyak kekurangan akan saya temui di gereja mana pun yang nantinya akan saya kunjungi dengan tetap, sebagaimana orang-orang terdekat saya menemukan banyak kekurangan dalam diri saya. (*)

Malang, 20-21 Mei 2011

Catatan:

Tulisan sebelum tulisan ini:

Bagian 1: http://tuanmalam.blogspot.com/2011/05/gereja-gereja-yang-membentuk-kehidupan.html

Bagian 2: http://tuanmalam.blogspot.com/2011/05/gereja-gereja-yang-membentuk-kehidupan_12.html

18.5.11

Kasih Karunia dalam Sinema: Kisah-kisah yang Menyadarkan Berharganya Hidup Ini

Dum vita est, spes est.

~ Cicero ~

Ketika masih ada kehidupan, di situ pula masih ada harapan, demikian Cicero pernah menulis suatu ketika. Salah satu harapan yang membuat hidup kita terus berlangsung adalah keberadaan kasih karunia. Kasih karunia, apakah itu? Kasih yang besar, yang dikaruniakan untuk seseorang. Kasih karunia juga bisa disamakan dengan pengampunan, penerimaan tanpa syarat, atau sebutlah pengorbanan tanpa pamrih.

Ketika kasih karunia dinyatakan, orang-orang akan terpesona dengan kebaikan dan kemurahan yang terkandung di dalamnya. Orang-orang yang menerima kasih karunia mengalami jamahan hati yang tak terlupakan. Mereka pada umumnya merasa tidak layak untuk menerima sebuah kebaikan yang begitu besar. Namun, kebaikan itu memang mereka perlukan demi kelangsungan hidup mereka. Ada hati yang diubahkan ketika kasih karunia diteteskan.

Di masa depan, pada hati yang diubahkan itu, kasih karunia mendatangkan suatu kenangan tersendiri, dan niat untuk menjalani kehidupan yang lebih bermoral.

Nah, berikut saya mencatat beberapa film yang menyuarakan kasih karunia. Daftar yang saya buat ini bisa ditambah oleh sidang pembaca, karena pengalaman menonton tiap orang berbeda-beda. Selamat membaca.

1. Schindler's List

Schindler’s List adalah film garapan Steven Spielberg yang menampilkan sosok bernama Oskar Schindler (diperankan dengan memikat oleh Liam Neeson). Lewat perusahaan yang didirikannya di masa lalu, Oskar telah menyelamatkan beberapa generasi Yahudi yang kini terkenal dengan sebutan Yahudi Schindler. Di luar perusahaan yang didirikannya, banyak orang Yahudi yang mati sia-sia.

Namun, inilah yang menarik. Oskar bukan pahlawan. Oskar seorang pebisnis. Ia menyelamatkan orang-orang Yahudi itu dengan cara mempekerjakan mereka. Pada saat itu, menggunakan orang Yahudi sebagai pekerja sangat murah karena di luar perusahaan Schindler mereka harus bekerja paksa. Kerja paksa yang diterapkan semasa Nazi Jerman berkuasa amat mengerikan: nyawa manusia seolah tak ada artinya.

Dan, Oskar pun bukan manusia suci dan patriotik. Ia suka kumpul kebo dan pesta-pesta. Bahkan, di akhir hidupnya, pernikahannya gagal walau ia sempat sadar dan bertobat dari gaya hidupnya itu. Namun, di mata sebagian besar orang Yahudi, ia tetap pahlawan.

2. The Green Mile

Dapatkah Anda membayangkan sebuah keadaan ini: Anda harus mati dengan cara yang mengerikan tanpa suatu alasan yang jelas? Film The Green Mile menunjukkan pada kita tentang hal itu. Itulah yang harus dihadapi oleh John Coffey, seorang tawanan berkulit hitam, yang didakwa bersalah karena pembunuhan dua gadis kecil.

Sebenarnya, justru dialah yang menjadi penyelamat dua gadis kecil itu. Penyelamat didakwa jadi pembunuh; pembunuh kerap dibebaskan. Bukankah kita juga melihat di televisi orang-orang yang berkuasa selalu luput dari hukuman? John Coffey rela mati karena dirinya merindukan damai. Dia telah sesak melihat kejahatan di dunia ini.

Dari sinilah sebuah hal penting terbentangkan: kedamaian membutuhkan perjuangan. Kedamaian perlu pengorbanan. Kedamaian tak datang dengan sendirinya. Di dunia yang penuh dengan nista dan dusta, kerapkali keadilan muncul terbalik.

3. Amadeus

Amadeus adalah sebuah film yang mengisahkan kehidupan musisi terkenal Mozart setengah fiktif setengah nyata. Di sana ada sebuah pelajaran berharga tentang kecemburuan. Di sana ada Antonio Salieri, seorang musisi yang suatu ketika berdoa kepada Tuhan agar nama Tuhan kian masyhur lewat dirinya dan karya-karyanya. Ia ingin dicatat dalam sejarah, tak terlupakan.

Namun doanya bagai dirampas oleh seorang pemuda begajulan bernama Mozart. Pemuda yang suka pesta-pora, mengucapkan guyonan-guyonan tentang seks secara berlebihan, tertawa terbahak-bahak dengan sangat renyah dan spontan, dan sulit untuk diajak bicara serius. Popularitas Mozart kian menanjak dengan pertunjukan-pertunjukan yang dibuatnya, hingga Salieri merasakan keagungan Tuhan dalam karya pria yang ia cemburui itu.

Akibat cemburu, salib Kristus pun dibakarnya! Kesalehan hidupnya, karya-karyanya yang ia garap dengan sepenuh daya, semuanya bagai hancur-lebur. Film ini menampilkan sosok Salieri yang justru menjadi lawan bagi kasih karunia: ia tidak bisa mengampuni Tuhan, Mozart, bahkan dirinya sendiri. Budak kecemburuan ini pun lalu hidup dengan dendam -- wajahnya selalu muram dan senyumnya pahit.

4. Juno

Juno, gadis usia 15 tahun yang hamil karena "kecelakaan" suatu ketika kembali ke rumahnya. Hatinya sedang terguncang dan bimbang. Dia berkata dalam hatinya, "Aku baru sadar betapa aku menyukai rumah saat berada di tempat yang berbeda." Ia memetik sebuah bunga, kemudian memutarkan mahkotanya yang berwarna ungu di permukaan perutnya yang terus membuncit.

Adegan dalam film Juno ini amat menyentuh. Di dalam kisah ini, Juno harus menanggung beban yang amat berat akibat bayi yang sedang dikandungnya. Beruntung dia, karena memiliki sebuah keluarga yang sayang padanya. Ayahnya sangat sayang padanya, kaya akan belas kasih dan berpengertian sangat dalam akan kondisi jiwa remaja putrinya yang penuh rasa ingin tahu.

Kehamilan di usia remaja kerap kali menjadi persoalan bagi pasangan muda-mudi, orang tua, bahkan segenap keluarga dan teman-teman kedua belah pihak. Tak sedikit orang menggugurkan bayinya di masa kini, menganggap bayi atau janin sekadar makhluk yang bebas dibunuh seperti binatang.

5. Les Miserables

Jean Valjean adalah seorang pencuri. Suatu waktu ia meloloskan diri dari penjara. Karena tampangnya yang awut-awutan, tak ada orang yang mau menerimanya di rumah mereka, kecuali seorang pendeta. Pendeta itu memberinya makan dan minum. Malamnya, ia malah mencuri beberapa peralatan perak milik pendeta. Pendeta itu dipukulnya karena memergokinya ketika mencuri. Ia lalu meninggalkan rumah pendeta itu dengan barang curiannya.

Pagi hari, polisi membawanya ke rumah pendeta itu. Ketika ditanyai, apakah Valjean mencuri peralatan perak pendeta itu, pendeta itu malah menyatakan bahwa ia memberikannya kepada Valjean. Valjean tak jadi dimasukkan penjara. Valjean terheran-heran dengan kebaikan pendeta itu.

Tahun-tahun berlalu. Valjean berubah, ia menjadi walikota. Suatu ketika ia bertemu dengan pelacur. Pelacur itu miskin dan punya seorang anak yang masih kecil bernama Cossette. Ketika pelacur itu meninggal, Jean Valjean membesarkan Cossette hingga dewasa.

Film ini diangkat dari karya Victor Hugo yang amat terkenal. Di dalamnya terdapat pesan tentang kasih yang mengubahkan hati manusia. Hati orang itu tentulah Jean Valjean. Perjumpaannya dengan sang pendeta telah mengubah hidupnya selamanya: pencuri berubah menjadi walikota yang berbelas kasih dan dermawan. Kasih yang demikian besar pasti akan menyebabkan perubahan hati yang juga besar dalam diri seseorang.

6. The Elephant Man

Film tentang John Merrick berjudul Elephant Man atau Manusia Gajah mengisahkan Manusia Gajah yang sudah cacat sejak lahir. Konon, ibunya diserang oleh seorang gajah liar di Afrika saat mengandung John empat bulan.

Berdasarkan penelitian dr. Treves, ia mengalami pembengkakan pada otak bagian atas, pembengkokan pada tulang belakang, pengendoran kulit dan tumor menutupi 90% tubuhnya. Selain itu ia juga menderita bronkitis kronis. Sang dokter menangis kala menemuinya pertama kali. Karena perjuangan dr. Treves, akhirnya ia dapat tinggal di rumah sakit. Semula, Manusia Gajah oleh pemiliknya yang jahat, Bytes, dijadikan tontonan karnaval demi mendapatkan uang. Ia sering dipukuli dan dicaci-maki.

Manusia Gajah adalah pribadi yang unik. Ia bisa membaca dan menulis. Ia romantis. Ia suka membaca Alkitab dan buku doa. Bagian Alkitab kesukaannya adalah Mazmur 23. Setelah tinggal di rumah sakit, ia dikenalkan kepada beberapa orang yang bersikap baik kepadanya, seperti pemilik rumah sakit, suster kepala dan istri dr. Treves.

Menjelang akhir film John Merrick berkata kepada dr. Treves: "Hidupku berarti karena aku tahu, aku dicintai." Nah, itulah kekuatan cinta. Itulah pesan inti dari film ini. Manusia, yang dulunya, disamakan dengan binatang, dijadikan tontonan umum dan dicaci maki, di tangan dr. Treves menjadi pribadi yang terhormat dan percaya diri.

7. Forrest Gump

Hari Valentine identik dengan cokelat. Cokelat diberikan di mana dan kapan saja pada momen ini. Orang yang tidak suka cokelat pun ada yang diberi coklat. Silver Queen laris di mana-mana. Nah, tahukah Anda bahwa di Amerika ada cokelat yang terbungkus dalam sebuah kotak dan berisi beraneka rasa?

Ini saya ketahui dari film ini, bercerita tentang seorang pemuda idiot bernama Forrest Gump (diperankan dengan memikat oleh Tom Hanks). Di film ini dikisahkan tentang Forrest yang suka makan cokelat. Dan, sosok Forrest Gump yang ditampilkan idiot memang menjadi wakil yang sempurna bagi kasih karunia. Ya, kasih karunia kerap dianggap sebagai tindakan orang idiot di masa kini. Ia ditolak, dicaci-maki, diabaikan, dan dipinggirkan, namun tak pernah berubah setia dan menyakiti.

Ibunya pernah menyatakan: "Hidup bagai sekotak cokelat, kau tidak pernah tahu apa yang kau dapatkan." Apa yang kau dapatkan, dalam kalimat itu mengacu pada rasa cokelat itu. Kadang, kasih karunia tampil seperti kejutan. Tampaknya, semua cokelat dibungkus dalam bungkus yang sama, namun memiliki rasa yang berbeda-beda.

Film indah yang coba menguraikan takdir dan tujuan hidup ini pas benar bila dijadikan renungan kehidupan. Kita tidak dapat menebak apa yang terjadi di hari depan. Kita tidak tahu apa yang bakal kita hadapi dan temui. Kehidupan penuh misteri, penuh aneka rasa, bagai cokelat-cokelat berbungkus sama yang tidak dapat ditebak rasanya.

8. Amazing Grace dan Amistad

Baik Amistad maupun Amazing Grace ingin menampilkan pesan betapa manusia perlu diperlakukan setara satu sama lain. Ras dan segenap perbedaan lahiriah lainnya bukanlah hal-hal yang pantas untuk dijadikan acuan pembuatan hukum. Kasih karunia kerap berlawanan dengan hukum. "Mata ganti mata, gigi ganti gigi," demikian hukum berujar.

Dalam sebuah buku dikisahkan, orang-orang sering memanggilnya shrimp. Kata ini berarti udang secara harafiah, tapi juga bisa merupakan cemoohan bagi orang yang cebol, bungkuk, atau dianggap tak berarti. Pria ini, William Wilberforce namanya, walaupun berbadan kecil dan agak timpang, untungnya memiliki kecerdasan dan kefasihan bawaan.

Nama pria ini amat dekat dengan penghapusan perbudakan. Perjuangannya dikisahkan dalam film Amazing Grace. Upaya pertamanya adalah mengajukan 12 mosi penghapusan perdagangan budak ke parlemen tahun 1788, namun ditolak. Ia tidak tinggal diam, lalu mengajukan RUU pada tahun 1791 -- tetap ditolak.

Dan itu berlanjut pada tahun-tahun lain: 1792, 1797, 1798, 1799, 1804 dan 1805. Rasanya, bila kita mencermati angka-angka yang berjejer itu -- jikalau seseorang tidak memiliki kegigihan yang luar biasa, ia tidak akan kuat untuk menghadapinya. Hingga akhirnya, 1806, Parlemen Inggris menghapuskan perdagangan budak di seluruh Inggris. Ketika mendengarnya, William menangis dengan sukacita.

Perjuangan panjang menghapus perbudakan juga dikisahkan dalam Amistad. Kalau perjuangan Wilberforce tadi di Inggris, film yang ini berlatar Amerika. Diperankan dengan bintang-bintang tenar (yang paling eksentrik adalah Anthony Hopkins sebagai John Quincy Adams, mantan perdana menteri Amerika), film ini menampilkan kesewenang-wenangan yang dilakukan bangsa kulit putih terhadap kaum budak.

9. It's a Wonderful Life

Delapan ribu dolar Amerika untuk ukuran setengah abad lalu sangatlah besar. Nah, suatu ketika, seorang bankir kehilangan uang itu. Padahal, delapan ribu dolar itu adalah uang terakhir yang dimiliki bankir itu. Jikalau dalam waktu sekian jam ia tak dapat menunjukkan sisa terakhir uang yang dimilikinya, bank itu akan ditutup. Bankir itu, Robert Bailey namanya, kemudian ngamuk-ngamuk dan memutuskan ingin mati.

Penderitaan Robert amat berat. Delapan ribu dolar yang raib itulah puncaknya. Ia sejak kecil selalu dirundung malang. Telinganya tuli sebelah karena menolong adiknya. Niatnya ingin menjadi petualang pupus karena diminta untuk melanjutkan bisnis ayahnya. Nah, ketika delapan ribu dolar itu hilang, adiknya yang pernah ia tolong di masa kecil, sedang makan malam dengan presiden karena ia berjasa besar dalam perang.

It's a Wonderful Life – salah satu film terbaik tentang pengucapan syukur, dengan sempurna memotret kehidupan seorang yang harus menjalani kehidupan yang bukan diimpikannya. Pada akhirnya, Robert dibawa ke alam mimpi oleh seorang malaikat. Di sana ditunjukkan kepadanya hal-hal yang tidak bisa tidak ia syukuri: anak-anak, istri, dan sahabat-sahabat yang ia miliki. Robert pun mencabut keinginannya untuk mati.

Di bagian akhir film kita disuguhi adegan yang begitu manis: orang-orang sekota datang menyambut Robert yang tak jadi mati. Dan untuk delapan ribu dolar yang telah raib itu, orang-orang berduyun-duyun membantu Robert yang telah putus harapan.

10. Not One Less

Seorang murid masih kanak-kanak yang nakal, yang paling sering membuat onar, suatu ketika melarikan diri dari kampung halamannya. Ia pergi ke kota besar, hidup sebagai gelandangan, kemudian tak bisa pulang. Di desa, para penduduk pada resah. Keresahan itu membuat si guru -- yang masih remaja -- pergi ke kota untuk mencari murid yang hilang.Perjalanan guru ke kota amat melelahkan. Ia kurang makan, kadang jalan kaki, untuk mencari murid nakalnya itu. Pencarian dilakukan karena kepadanya, guru lain yang lebih senior, yang sedang memiliki tugas lain telah berpesan: jangan ada satu pun yang hilang -- not one less.

Film Not One Less besutan Zhang Yimou ini menggambarkan dengan indah sukacita seseorang yang didapatkan kembali setelah hilang sekian lama dan dicari-cari. Perjuangan guru mencari murid yang terhilang adalah satu gambaran terkuat tentang kasih karunia yang saya saksikan dalam sebuah film. Ketika mereka bertemu lagi, sungguh amat besar sukacita itu! Si murid dan guru berangkulan dalam perjalanan pulang. Mereka menangis bersama. Si murid berjanji, ada bunga untuk gurunya yang akan ia berikan.

11. City Lights

Bila saya diminta untuk menyebut sebuah film yang paling tidak menggurui tentang cinta, dan paling sederhana, maka saya akan memilih City Lights yang dibuat dan dibintangi Charlie Chaplin. Ini film bisu, hitam-putih, tapi begitu membekas -- dan begitu penuh warna: lucu, menyedihkan, dan romantis.

Dalam film ini dikisahkan seorang gelandangan (karakter favorit Charlie Chaplin) yang iba dan jatuh hati pada seorang gadis penjual bunga. Gadis itu buta, si gelandangan membeli setangkai bunganya. Dalam kebutaannya, si gadis mengira kalau si gelandangan adalah seorang pria kaya-raya.

Waktu terus berjalan, si gelandangan mendapati kalau si gadis ternyata tinggal dalam sebuah kontrakan kecil yang menyedihkan. Ia juga tengah kehabisan uang membayar sewa rumah. Si gelandangan mencari berbagai cara untuk menolong si gadis. Akhirnya, lewat sebuah keberuntungan, ia berhasil mendapatkan uang, bukan hanya utuk sewa rumah, tapi juga operasi mata. Si gadis kini bisa melihat, ia tak lagi buta.

Film ditutup dengan adegan saat si gadis menyadari bahwa pria idamannya bukan orang kaya-raya seperti yang ia bayangkan. Menonton adegan itu, saya serta-merta teringat Amazing Grace, sebuah lagu lawas karya John Newton. Kasih yang besar, yang dilandasi ketulusan dan pengorbanan pada akhirnya akan membuat mata hati kita dicelikkan.

Ya, ketika film itu berakhir, sebaris lirik Amazing Grace pun terlantunkan dalam hati saya: "I once was lost, but now I'm found; was blind but now I see." (Dulu saya tersesat, kini ditemukan; dulu buta kini melihat.) ***

Sidik Nugroho, penyuka film

12.5.11

Gereja-gereja yang Membentuk Kehidupan Saya (2)

4. GAP -- Masa-masa Kuliah di UM

Saya bergabung dengan Gereja Anugerah Pembaharuan (GAP) pada tahun 1999. Saya meninggalkan GPdI Elohim yang ada di kota Batu karena jaraknya yang terlalu jauh dari tempat tinggal saya di Malang, hampir 20 kilometer. Namun, saya tetap berkunjung dan berhubungan dengan beberapa teman di GPdI.

Saat-saat ini juga saya amat kagum dengan seorang pendeta yang bernama Roberts Liardon. Ia menulis banyak buku, termasuk beberapa buku yang berkaitan dengan biografi beberapa pendeta dari kalangan Pentakosta. Semua buku Roberts Liardon yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia saya baca. Gara-gara membaca buku-bukunya, juga beberapa buku-buku bertema sosial lain, tahun 1999 saya ikut UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) lagi, mengambil jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang. Saya diterima. Waktu itu saya yakin benar dengan pilihan saya -- ada dua pilihan jurusan dalam tiap UMPTN, tapi saya hanya memilih satu jurusan, yaitu Pendidikan Sejarah, dan pilihan keduanya saya kosongkan.

Kembali ke GAP. GAP adalah gereja yang satu pergerakan (walaupun tidak satu denominasi) dengan GKB Jubilee di Semarang. Keduanya adalah gereja yang mayoritas jemaatnya kaum muda. GAP di Malang jauh beda dengan GKB Jubilee di Semarang dalam soal jumlah jemaat. Waktu saya pertama kali ke sini, gereja ini masih kecil, jemaatnya tidak lebih dari dua puluh orang.

Di GAP saya banyak dibentuk untuk menjadi rendah hati dan belajar menjadi perintis. Dengan beberapa teman saya mulai membuat warta gereja. Saya dan beberapa teman juga merelakan buku dan kaset-kaset rohani yang kami miliki untuk membuat perpustakaan kecil-kecilan. Lalu saya juga membentuk tim musik yang kecil, namun sangat gaduh dan bersemangat. Di GAP kami pindah-pindah tempat ibadah, menyewa gedung-gedung untuk kebaktian. Hampir tiap Minggu saya dan beberapa teman mengangkuti alat-alat musik dan sound-system. Tiada hari tanpa ke gereja.

Sama seperti di GKB Jubilee, pengajaran di gereja ini juga radikal. Saya sempat dekat dengan satu orang gadis di sana. Namun, karena tidak boleh pacaran, lagi-lagi hubungan asmara saya harus kandas di tengah jalan.

Awal tahun 2002, saya merasa ada beberapa pengajaran yang tak saya setujui di gereja ini. Bulan Februari 2002 saya menulis surat yang sifatnya hampir resmi untuk teman-teman dan pemimpin di GAP. Dengan jelas saya utarakan beberapa alasan pengunduran diri saya dari gereja ini, dan itu semuanya tidak perlu dijadikan sebagai sumber konflik berkepanjangan.

Saya tetap mengunjungi GAP beberapa kali setelah saya mundur dari sana. Saya tetap berhubungan baik dengan semua anggota gereja di sana. Gereja ini juga sempat berganti nama menjadi MSI (Morning Star Indonesia). Namun sayang, saya mendapati kabar kalau beberapa tahun yang lalu -- kalau tidak salah empat tahun yang lalu -- gereja ini sudah tutup. Saya maklum, karena gereja ini adalah gereja kaum muda, banyak mahasiswanya. Jemaatnya datang dan pergi.

5. Gereja Bethany -- Masa-masa Kuliah di UM dan Pasca Kuliah

Setelah keluar dari GAP, saya diajak tetangga saya untuk ikut dalam doa pagi yang diadakan Gereja Bethany Malang tiap jam 04.30 pagi. Seringkali saya bangun lebih awal, maka saya pun berangkat duluan. Tetangga saya ini, yang usianya jauh lebih tua daripada saya, juga suka mengajak saya pelayanan ke mana-mana. Dia meminta saya bermain gitar dan berkhotbah di kelompok-kelompok persekutuan keluarga (dinamakan Family Altar) tiap hari Selasa. Beberapa kali saya juga diajak pelayanan bermain gitar di ibadah-ibadah kematian.

Selain tetangga saya, saya mengenal dengan baik seorang fulltimer di Gereja Bethany. Dia seorang pendoa. Mengetahui kesukaan saya berdoa jam 04.00 pagi, dia pun menawari saya menjadi penjaga Menara Doa, menjaga sesi doa pukul 04.00 sampai 06.00 pagi.

Menara Doa adalah kegiatan pelayanan doa di Gereja Bethany. Tiap anggota jemaat boleh ambil bagian. Di Menara Doa ada doa nonstop 24 jam sehari, dibagi dalam 12 sesi, satu sesi 2 jam. Dari Senin sampai Jumat saya dijadwal untuk menjaga Menara Doa itu. Sesi ini sangat sepi pengunjungnya. Saya lebih sering berdoa sendirian di Menara Doa. Alasan mengapa saya suka berdoa jam 04.00 pagi ada dua. Pertama adalah kisah hidup seorang pendeta yang bernama John Wesley, pelopor pergerakan Metodis, dia selalu berdoa jam 4 pagi. Pendeta lain yang juga suka berdoa pagi-pagi adalah George Muller yang dikenal sebagai bapak bagi kaum yatim piatu.

Saya senang sekali berdoa di Menara Doa. Ada saat-saat ketika inspirasi datang begitu deras. Saya menulis beberapa puisi karena senang dengan suasana pagi yang hening. Namun, kenyataannya, saya tidak selalu berada di Menara Doa yang berada di bagian paling belakang gereja. Saya diminta untuk melayani di Dewasa Muda. Dan tak tanggung-tanggung, saya diminta untuk menjadi ketua Dewasa Muda.

Saya merasa umur saya lebih muda daripada sebagian jemaat Dewasa Muda. Saya masih kuliah; saya merasa belum pantas memimpin Dewasa Muda yang lebih berorientasi menjangkau kaum profesi dan keluarga-keluarga muda di gereja. Namun, pemimpin yang lama menyatakan saya orang yang tepat.

Tak lama setelah menjadi ketua Dewasa Muda, beberapa pemimpin kaum muda gereja juga meminta saya menjadi ketua pengajaran untuk kaum muda. Dalam hal pengajaran ini, saya bersemangat sekali. Saya punya banyak bahan untuk diajarkan. Saya buat sendiri buku pengajarannya, dan saya beri nama pengajaran itu Firm Foundations (F2). Saya sempat meluluskan siswa-siswi F2 sebanyak dua angkatan.

F2 berjalan cukup antusias. Anak-anak murid di sana senang dengan pengajaran yang diadakan. Namun, sebuah masalah muncul. Tapi bukan di F2. Dewasa Muda yang saya pegang tak banyak mengalami perkembangan. Saya kehabisan akal bagaimana membuat ibadah di Dewasa Muda bisa lebih menarik minat banyak orang untuk datang. Akhirnya, gembala sidang memutuskan agar pelayanan Pemuda dan Dewasa Muda digabung. Saat penggabungan, saya yang diminta untuk jadi ketuanya.

Terakhir, gembala sidang mengetahui minat saya dalam dunia penulisan. Itu serta-merta membuatnya menjadikan saya pimpinan redaksi tabloid internal gereja. Saya melepas pelayanan saya di Pemuda dan Dewasa Muda yang sudah digabung tadi. Saya hanya menjadi ketua atas gabungan itu dalam beberapa bulan. Namun, tabloid yang dipercayakan pada saya itu hanya jadi satu edisi. Saya sudah menyiapkan bahan untuk tiga edisi, namun tim yang direncanakan untuk bekerja bersama saya tak kunjung terbentuk.

Semua ini saya alami dalam waktu tiga tahun, dari tahun 2002 hingga 2005. Entah berlebihan atau tidak, saya merasakan kalau begitu banyak hal yang saya lakukan selama di gereja ini. Mau tak mau hal ini membuat kuliah saya terbengkalai. Begitu tabloid itu semakin tidak jelas mau terbit lagi atau tidak, saya mengambil keputusan untuk melayani sebagai guru Sekolah Minggu.

Guru Sekolah Minggu. Ya, itulah pelayanan terakhir saya di gereja yang gedungnya besar ini. Saya merasa, di antara semua pelayanan yang lain, menjadi guru Sekolah Minggu, menjadi gitaris di kelompok-kelompok persekutuan yang kecil, dan menjadi pendoa di Menara Doa, adalah tiga pelayanan yang paling saya sukai di gereja ini. Saya bersyukur dan berterima kasih sudah diberi kepercayaan untuk semua pelayanan di gereja ini. Namun, saya akui pelayanan saya untuk memimpin tidak banyak yang berhasil.

Mungkin saya salah, namun -- saya juga tidak tengah membela diri -- kegagalan yang saya rasakan tak semuanya karena ketidakmampuan saya untuk memimpin. Gereja yang gedungnya besar ini memang lebih cenderung bergaya selebritas. Kepemimpinan dan penggembalaan kurang dikembangkan dengan baik. Acara demi acara gereja dibuat semewah mungkin dan seheboh mungkin, namun penggembalaan dan pemberdayaan jemaat di dalam gereja kurang mendapat perhatian.

Karena itu, sejak menjadi guru Sekolah Minggu, saya berhenti untuk semua kegiatan pelayanan yang berbau kepemimpinan dan penggembalaan. Saya lebih suka duduk di bagian belakang gereja, menerima apa yang Tuhan mau sampaikan dalam ibadah demi ibadah di gereja ini lewat khotbah. Saya pun menata lagi kuliah saya yang terbengkalai.

6. GNS (Gereja Nomaden Suka-suka) -- Masa-masa Bekerja

25 Februari 2006, akhirnya saya lulus kuliah. Saya nyaris drop-out, karena kuliah dari tahun 1999 -- 13 semester saya jalani. Saya tidak menyalahkan gereja. Saya sendirilah yang salah, yang bersedia untuk melakukan berbagai pelayanan -- juga bekerja sebagai guru les privat, bahkan berjualan camilan sambil kuliah.

Setahun setelah itu saya lebih banyak mengurung diri di kamar, menulis berbagai tulisan. Saya tetap menjadi guru Sekolah Minggu, namun membatasi pelayanan saya. Saya mulai memantapkan diri untuk memuliakan Tuhan lewat tulisan yang saya buat dan menjadi seorang guru. Sampai suatu hari di bulan Februari saya mendapat panggilan wawancara di Yayasan Pendidikan Jaya.

Tanggal 20 Maret hingga 20 April 2007 saya dimagangkan oleh yayasan ini. Saya menjadi guru magang di SD Pembangunan Jaya Bintaro, Tangerang. Saat magang, tiap Minggu saya beribadah di sebuah gereja Katolik di Bintaro. Gereja Katolik inilah yang kemudian mengubah berbagai paradigma saya tentang gereja. Dulu, sama seperti beberapa orang Kristen lain, saya sempat menganggap orang-orang Katolik kurang beriman. Kurang beriman -- dalam istilah yang kami pakai -- menunjuk pada kebiasaan mereka yang tidak pernah membawa Alkitab kalau ke gereja (hanya membawa buku pujian), dan tidak bisa merangkai kata-kata doa spontan secara lancar karena hampir semua doa orang Katolik sudah dibuatkan dalam buku doa yang dirilis gereja.

Saat saya menyaksikan keheningan di dalam gereja Katolik itu, saya merasakan kekhidmatan yang membuat saya betah di sana. Saya merasa ibadah -- yang rata-rata hanya sejam -- berlangsung terlalu cepat. Di bangku -- yang selalu di bagian belakang -- saya meresapi keagungan dan kasih Tuhan. Tidak ada orang yang saya kenal, atau menyapa saya. Saya jadi lebih leluasa meresapi makna ibadah. Saya menirukan membuat tanda salib dengan air suci, berdoa sambil bertelut di depan bangku, dan merasakan damai yang besar.

Saya awalnya berpikir, ah, damai ini hanya euforia, hanya suatu perasaan sementara saja. Bukankah itu hal yang biasa -- suasana baru, ritual baru, gedung baru, dan segala lainnya yang baru? Sesuatu yang baru bagi saya, yang tidak saya temui dalam gereja-gereja sebelumnya yang cenderung hingar-bingar dan ramai?

Namun, walaupun itu hanya euforia, saya juga punya anggapan dan kesimpulan lain. Mulai dari saat itu, saya tidak lagi melihat gereja sebagai sesuatu yang harus dibeda-bedakan. Saya pun mulai keranjingan menjelajah gereja demi gereja. Pulang dari magang di Jakarta saya bertekad pergi ke gereja-gereja. Gereja apa saja. Di Malang dan Sidoarjo saya pun mengunjungi beberapa gereja GPdI, Gereja Baptis Indonesia, beberapa Gereja Bethel Indonesia, Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII), Gereja Kristen Indonesia (GKI), GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat), juga Gereja Bala Keselamatan.

Hal-hal yang menarik saya temukan ketika menghadiri ibadah dengan suasana yang berbeda-beda. Saya jadi tahu, di tengah-tengah berbagai perbedaan itu, gereja-gereja tetap hidup demi menjadi saksi Kristus, walau sayangnya banyak juga gereja yang masih suka menyalahkan satu sama lain. Namun, saya tidak pernah -- dan tidak akan pernah mau -- mencoba-coba menginjakkan kaki di gereja yang beraliran sesat seperti Mormon atau Saksi Yehova.

Soalnya saya kuatir, kalau saya ke sana malah nantinya saya dijadikan gembala sidang.

***

Sidoarjo, Mei 2011

Bersambung:

7. Pandangan Pribadi tentang Gereja-gereja

11.5.11

Gereja-gereja yang Membentuk Kehidupan Saya

Orang Kristen yang ideal tentunya memiliki gereja yang dikunjunginya secara tetap Minggu demi Minggu. Namun, saya bukan tipe yang ideal, setidaknya untuk beberapa tahun belakangan ini. Sejak empat tahun lalu, saya pindah-pindah gereja terus.

Beberapa hari lalu, di dalam bis Malang-Surabaya, saat saya merenungkan lagi gereja-gereja itu, saya tergerak untuk membuat sebuah catatan yang mengisahkan persinggahan saya dari gereja ke gereja. Banyak kenangan yang sayang bila dilupakan begitu saja. Dan sayangnya, saya ini pelupa. Akhirnya, lahirlah catatan ini. Catatan yang saya buat, pertama-tama untuk saya sendiri, agar saya tidak melupakan gereja, salah satu tempat di mana kasih dan kuasa Tuhan dinyatakan bagi umat-Nya — terlepas dari segala kekurangan yang ada di dalamnya.

1. GPKM — Masa-masa SMP

Saya mulai merasa senang bergereja saat SMP. Bapak saya membelikan saya beberapa buku cerita rohani, dan saya suka sekali membacanya. Saya ingin mendengar lebih banyak cerita rohani di gereja. Sebelumnya, waktu SD, saya sangat malas ke gereja. Salah satu penyebab kemalasan itu adalah ejekan yang pernah saya dengar suatu ketika.

Waktu itu saya masih SD. Saya ke gereja, ke Sekolah Minggu, naik becak sama abang saya. Begitu sampai di gereja, seorang anak mengejeki saya terus. Dia bilang saya Si Hitam. Saya tidak berani melawan atau balas mengejeknya. Dan karenanya, saya jadi tak mau lagi ke gereja, kecuali bersama bapak atau ibu saya.

Waktu SMP, saya bertemu dengan teman-teman gereja yang lebih baik di Gereja Protestan Kristus Mulia (GPKM) di Singkawang, Kalimantan Barat. Saya bahkan diangkat oleh salah satu guru Sekolah Minggu menjadi ketua untuk kaum remaja. Saya menjadi gitaris di gereja, mengiringi teman-teman saya tampil paduan suara hampir tiap ibadah Minggu. Beberapa retreat atau camping yang diadakan di gereja membuat saya senang sekali menjadi warga gereja.

2. GKII dan GKB Jubilee — Masa-masa SMA

17 April 1997. Saya seorang remaja 17 tahun waktu itu. Hari itu saya menyadari saya perlu pengampunan Tuhan setelah mengikuti sebuah acara bertajuk Hell’s Bells. Di dalam acara itu saya mendapat penjelasan tentang beberapa musik rock yang diklaim oleh gereja penyelenggara acara — GKB (Gereja Kristen Baithani) Jubilee — sebagai musik-musik satanis.

Sebagai penyuka musik rock, saya merasa perlu diselamatkan. Di sebuah ruangan kecil di Undip Tembalang, Semarang, saya sadar akan dosa-dosa saya (namun bukan hanya dosa karena suka musik rock), berjanji mau hidup bagi Tuhan. Walaupun suka nge-rock, saya bukan remaja bandel dan urakan. Namun, saya sadar kebaikan dan kesalehan saya bukanlah jaminan bahwa Tuhan menerima saya. Saya mengalami sebuah titik balik: saya mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat saya dengan sepenuh hati saya. Saya ingat lagu yang mengantar saya menuju kesadaran itu, dinyanyikan David Meece:

We are the reason, that He gave His life
We are the reason, that He suffered and died

Saya juga suka nge-band waktu itu. Sebenarnya, sejak SMP, sejak umur 14 tahun, saya sudah ikut festival band, dan masuk final dalam festival itu walau tak meraih juara. Di festival-festival band selanjutnya, saya — bersama grup band saya tentunya — berhasil meraih beberapa juara. Oleh didikan yang diberikan para pemimpin di GKB Jubilee, saya diharuskan untuk meninggalkan semua musik rock yang dulu amat saya sukai.

Seorang pemimpin di gereja itu bersaksi bahwa kaset-kaset musik rock yang dimilikinya dibakarnya semua. Ia meminta saya melakukan hal yang sama. Namun saya bersikukuh bahwa tidak semua musik rock itu satanis. Saya tidak mau membakar kaset-kaset saya. Saya setuju menyingkirkan kaset-kaset saya yang berjumlah sekitar 50 buah. Kaset-kaset itu kemudian saya jual — tapi lebih banyak yang saya berikan — ke teman-teman saya.

Saya juga diminta untuk meninggalkan GKII (Gereja Kristen Indonesia Injili) di Semarang yang sebelumnya saya kunjungi tiap Minggu bersama nenek saya. GKB Jubilee mengajarkan bahwa orang Kristen perlu memiliki komitmen pada satu gereja. Saya tak serta-merta melakukannya karena sudah terbiasa mendampingi nenek saya bergereja di GKII tiap Minggu jam 6 pagi. Saya makin sering mengikuti berbagai kegiatan di GKB Jubilee, walau kadang masih menemani nenek ke GKII. Saya senang dengan semangat anak-anak muda di GKB Jubilee. Di GKII para pemudanya kurang bersemangat. Di GKB Jubilee saya dilatih menjalani kehidupan rohani yang disiplin. Saya jadi rajin berdoa, menamatkan pembacaan Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu tak sampai setahun.

Teman-teman saya di luar gereja heran dengan perubahan saya. Saya hanya mau menyanyikan lagu rohani, dan hanya menjadi gitaris di gereja. Saya sempat mengalami konflik yang besar dengan grup band saya karena ajaran pemimpinnya yang mengharamkan musik rock. Apalagi waktu SMA saya memiliki tiga grup band: satu band dengan teman sekampung (Flatus), satu band dengan teman sekelas (Visioner), dan satu band bentukan guru ekskul musik SMA (Neo-Six). Konflik terbesar saya alami dengan grup band Visioner karena sayalah yang menggagas berdirinya grup band itu, namun saya juga yang keluar pertama kali.

Belakangan, saya merasa ajaran yang ada di gereja ini kelewat radikal, walau radikalismenya bersifat internal dan bertujuan baik untuk warga gereja. Ada juga ajaran radikal lainnya: warga gereja yang masih SMA atau baru kuliah di semester awal tidak boleh berpacaran. Pacaran benar-benar dilakukan bila sudah siap menikah. Waktu SMA saya sudah punya pacar, dan saya pun patuh pada pimpinan saya. Dengan berat hati, saya memutuskan hubungan dengan pacar saya.

3. GPdI Elohim — Masa-masa Kuliah di Brawijaya

Setelah tamat SMA, saya pindah ke Malang. Waktu SMA saya tinggal dengan nenek saya di Semarang, sementara orang tua saya masih di Singkawang, Kalimantan Barat. Setelah saya naik kelas 3 SMA, orang tua saya pindah dari Kalimantan Barat ke Malang. Di Malang saya senang dengan suasananya, jauh berbeda dengan Semarang yang panas.

Saya dibelikan Honda CB 100 tahun 1978 oleh bapak saya. Harganya satu juta lebih sedikit. Bapak saya sebenarnya ingin membelikan motor yang lebih baru, namun saya bersikeras minta CB 100, karena sejak SMA saya menyukai model motor itu. Sampai sekarang pun saya masih menyukainya.

Dengan CB 100 itu saya suka bepergian ke mana-mana kalau pulang kuliah. Saya kuliah di Universitas Brawijaya Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, hanya setahun, dari tahun 1998 sampai 1999. Cukup banyak aktivitas perkuliahan yang berkaitan dengan pengamatan tanaman. Gara-gara aktivitas ini saya suka melihati tanaman apa saja. Kesukaan ini membuat saya sering pergi ke kota Batu, melihat kebun-kebun apel, dan kadangkala mengajak petani-petani apel mengobrol seputar penyakit tanaman atau kehidupan sehari-harinya.

Suatu ketika saya menemukan toko buku Kristen yang lumayan lengkap di Batu, toko buku Imanuel. Di sebelahnya ternyata ada sebuah gereja, GPdI (Gereja Pentakosta di Indonesia) Elohim.

Saya pun mencoba ikut dalam ibadah pemuda di situ. Saya mudah akrab dengan beberapa teman. Bahkan saya seringkali tinggal di beberapa rumah teman di Batu selama beberapa hari. Seringkali, dari hari Jumat sore sampai Minggu siang saya ada di Batu, dan baru pulang ke Malang di hari Minggu sore atau malam. Walaupun tidak sampai setahun di sini, banyak kenangan yang menyenangkan dari gereja ini.

Di gereja ini saya memiliki seorang sahabat yang sangat gemuk, beratnya hampir 130 kilogram. Suatu hari dia memberi saya hadiah sepasang sarung tangan agar saya tidak kedinginan naik motor dari Malang ke Batu. Kami berdua sering menaiki motor CB saya sampai Pujon, sebuah kecamatan yang lebih tinggi dari kota Batu, kecamatan penghasil susu sapi terbanyak di Jawa Timur. Di Pujon kami mengunjungi teman-teman gereja lainnya. Beberapa orang heran dengan kekuatan motor CB saya itu, dinaiki dua orang yang total beratnya hampir 200 kilo, masih kuat saja menanjak dan meliuk-liuk.

Sayangnya, sahabat saya yang baik ini meninggal di usia muda karena diabetes. (Bersambung)

Malang-Sidoarjo, Mei 2011

***

Rencananya akan saya sambung dengan cerita dan pembahasan:
4. GAP — Masa-masa Kuliah di UM
5. Gereja Bethany — Masa-masa Kuliah di UM dan Pasca Kuliah
6. GNS (Gereja Nomaden Suka-suka) — Masa-masa Bekerja
7. Pandangan Pribadi tentang Gereja-gereja

9.5.11

kembali pada catatan itu

: catatan tentang j

kini aku kembali pada catatan lama
yang tercipta di sebuah kamar kecil di kaki bukit
tentang mentari yang biru, hujan yang jingga,
dan udara yang selalu merah muda

dinding kamar yang lembab
meja dan kursi yang reyot
kabut dan gerimis yang tak kunjung sirna
menjadi kawan-kawan yang melahirkannya
: catatan itu, kenangan itu

dan kau, yang kucatat bersama jalinan kenangan
kini kau menjauh, dan tak bisa lagi kugapai

namun aku ingin melanjutkan catatan ini
bersama secangkir kopi malam ini
walau aku bimbang, hendak merangkai kisah apa lagi?

mungkin, tentang ini saja
tentang hari-hari yang lebih lampau
: hari-hari ketika aku belum mengenalmu

sidoarjo, mei 2011

28.4.11

Kebobrokan yang Terselubung dalam Moralitas

Ketika Philip Yancey -- penulis terkenal itu -- masih kecil, ia mengenal seorang pria yang mengesankan. Pria itu sering dipanggil Big Harold. Ia suka mengawasi anak-anak yang riang gembira bermain di komidi putar. Ia juga meluangkan waktu bermain catur bersama mereka. Namun, di balik sikap ramahnya, Big Harold memiliki suatu sikap negatif yang parah: ia mudah menghakimi orang lain.

Ia juga membenci orang kulit hitam -- sama sekali tidak bisa toleran pada mereka. Ia mengkritik tajam segala sesuatu yang amoral dalam pandangannya lewat surat-surat yang ditulisnya. Ia berhasil menjadi seorang pendeta di sebuah gereja kecil di Afrika. Namun, di balik surat dan khotbah-khotbahnya yang menyuarakan moralitas, Big Harold ternyata menyimpan misteri lain.

Ia melakukan phone-sex, berlangganan majalah porno. Ia bahkan menggunting beberapa bagian majalah porno itu, dan mengirimkan guntingan itu kepada beberapa wanita, sambil menuliskan: "Ini yang akan kulakukan padamu." Moralitas yang begitu kuat ia suarakan dalam khotbah dan surat-suratnya ternyata tak pernah mengubah kondisi hatinya sendiri yang bobrok.

Moralitas seperti ini adalah legalisme, lawan dari anugerah. Orang yang terjebak dalam legalisme tahu hukum, tahu yang baik dan buruk, selalu tampak adil dan bijaksana, namun menjadi pribadi yang kaku dan gagal untuk mengupayakan hidup yang berkenan pada Allah. Sebaliknya, orang yang hidup dalam anugerah mengakui ketidakberdayaan dan ketidaksempurnaannya, tidak selalu tampak baik, namun selalu berusaha berkenan pada Allah dengan cara mengoreksi diri. ***

Homines sumus, non dei. (Kita manusia yang lemah, bukan dewa.)

~ Pepatah Latin ~

19.4.11

Potret Kehidupan Si Manusia Lajang

Bagi saya, film Up in the Air bukan sekedar drama komedi atau drama romantis biasa. Memang banyak bumbu romantika yang saya dapati dalam film ini. Namun, di sini saya melihat dengan utuh potret seseorang yang memutuskan hidup melajang, "menikahi" pekerjaannya yang terhitung langka. Manusia itu adalah Ryan Bingham (George Clooney) yang memilki pekerjaan sebagai tukang pecat karyawan di beberapa perusahaan besar.

Saya menduga, film ini sedikit-banyak berkaitan dengan krisis ekonomi yang terjadi di Amerika beberapa tahun silam. Banyak tenaga kerja harus dipecati oleh atasannya, karena atasannya bisa jadi sungkan melakukan hal tersebut -- apalagi pada diri anak buahnya tidak ditemukan alasan yang cukup kuat atau memadai untuk sebuah pemecatan. Akhirnya, jasa dari perusahaan Ryan dipakai perusahaan-perusahaan itu. Ryan didelegasikan pergi ke seantero Amerika, memecati karyawan-karyawan yang ditentukan oleh perusahaan-perusahaan yang memakai jasanya.

Menonton film ini saya jadi teringat seorang penulis yang mengarang buku I Married Adventures. Saya lupa siapa namanya -- ia seorang wanita yang jatuh cinta pada petualangan di tempat-tempat terpencil. Saya juga teringat Rachel Carson dalam novel The Highest Tide yang hidup melajang karena jatuh cinta setengah mati pada laut. Saya, bahkan sampai mengingat salah satu judul (kalau tidak judul film, mungkin judul buku) yang disebut Stephen King dalam memoarnya yaitu I Married a Monster from Outer Space -- hahaha, kali ini saya sedang bercanda. (Tapi sungguhan, film atau buku yang disebut King itu benar-benar ada lho.)

Intinya, begitu banyak orang yang tidak memiliki alasan bagus mengapa mereka belum juga (mau) menikah, padahal segenap keberadaan dirinya sudah membuatnya layak menikah. Pada Ryan, saya menemukan alasan yang sangat bagus dan logis: dia hidup dari pesawat ke pesawat, hotel ke hotel, dan punya pengamatan yang jeli atas kehidupan pernikahan orang-orang di sekitarnya yang dinilainya lebih banyak gagal daripada berhasil. Saya jadi teringat sebuah cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam buku kumpulan ceritanya. Di sana, seorang tokohnya berkata, "Perceraian ternyata sama indahnya dengan pernikahan itu sendiri."

Dalam beberapa kesempatan, Ryan menyampaikan ceramah yang unik berjudul What's in Your Backpack? (Apa yang Ada dalam Ranselmu?). Di ceramah-ceramahnya, secara garis besar Ryan mengemukakan pendapatnya yang lugas: sederhanakan hidupmu, tak perlu memasukkan banyak hal dalam hidupmu, tak perlu membebani hidupmu dengan apa pun. Bayangkanlah, bila hal-hal yang perlu Anda tangani hanya ada di dalam ransel yang Anda bawa pergi untuk berkelana ke mana-mana.

***

Bila film Into the Wild -- atau bolehlah juga 127 Hours -- memotret dengan jeli keresahan anak muda yang mencari jati-diri lewat petualangan-petualangan yang ekstrem dan penuh gejolak -- meminjam istilah Bang Haji Rhoma -- "darah muda", Up in the Air menyuguhkan kisah petualangan yang dilakukan seseorang sambil ia bekerja. Petualang yang ini berdasi, usianya sudah paruh baya, hidupnya sangat mewah, sosoknya begitu elegan dan percaya diri saat tampil di tiap kesempatan.

Petualang ini, Ryan Bingham, pada akhirnya juga mendapati suatu kenyataan bahwa hidup sendiri terkadang meresahkan. Suatu ketika ia bertemu dengan Alex (Vera Farmiga) yang juga sering bepergian. Jalinan asmara antara dua insan high-class pun terbuhulkan. Seperti film-film drama romantis yang lain ala Hollywood, asmara itu pun dengan mudah berakhir di ranjang, mengingatkan kita pada satu lagu dangdut yang masih ngetren: Cinta Satu Malam.

Saat bertemu dengan Alex, batin Ryan jadi kian sering bergulat: menentukan mana yang lebih baik antara terus menyendiri atau tetap melajang. Saat ini pula, seorang adiknya yang hendak menikah mengajukan permintaan yang ganjil pada Ryan:

Potret adiknya yang sedang berangkulan dengan calon suaminya diperbesar, ditempel di sebuah karton. Ryan diminta untuk membawa potret yang besar itu sehingga tas bepergiannya tidak muat. Lalu, pada tempat-tempat terkenal di Amerika yang dikunjungi Ryan, Ryan diminta untuk memfoto potret besar itu -- dengan bantuan seseorang yang memegangkan potret itu tentunya -- dengan tempat-tempat terkenal itu menjadi background-nya.

Di sinilah film ini mulai menyuguhkan sesuatu yang tampak kontradiktif dengan apa yang telah terbangun begitu mulus sejak awal. Ryan mulai terombang-ambing, mulai bimbang dengan apa yang seharusnya ia putuskan. Dalam sebuah adegan dikisahkan Ryan tiba-tiba meninggalkan ceramahnya yang unik itu tadi. Ia hendak menghampiri Alex, mengajaknya menikah. Tampak dari gelagatnya di adegan itu, ia hendak melepas pandangan-pandangannya selama ini yang eksentrik tentang kesederhanaan hidup, kebahagiaan, dan pernikahan.


Namun, malangnya -- bisa juga justru beruntungnya -- ia mendapati Alex sudah bersuami dan memiliki anak. Ya, hubungan mereka berdua yang hanya terjadi beberapa kali tak menyingkap jati-diri Alex yang sebenarnya. Setelah itu -- inilah yang membuat saya ragu Ryan merasa malang atau beruntung -- saya bingung melihat ekspresi Ryan: ia tampak sedih, namun juga tampak santai saja, setelah ia mendapati keadaan Alex yang telah menikah itu.

***

Jason Reitman, sang sutradara, yang sebelumnya menggarap film Juno, tampaknya berupaya menyuguhkan pandangan yang jernih atas keputusan yang ditetapkan seseorang setelah ia bergulat sekian lama. Ia tak buru-buru, dan terjebak pada generalisasi yang kaku: mengisahkan perubahan drastis pada diri seseorang untuk menerima apa yang telah berlaku secara umum di masyarakat -- dalam hal ini orang dewasa sebaiknya dan sewajarnya menikah -- seperti yang tampak pada film My Big Fat Greek Weeding, misalnya.

Seperti Juno yang batinnya bergulat hebat ketika remaja 16 tahun ini harus mengandung bayi akibat sebuah hubungan seks iseng, Up in the Air juga mengajak kita untuk memahami sosok Ryan yang unik, yang bahkan di usianya yang telah paruh baya dilanda kebimbangan.

Kehidupan seseorang yang sudah mapan, sejahtera, dan juga sehat, di dalam anggapan masyarakat pada umumnya memang pantas diimbangi dengan pernikahan yang baik. Namun, sekali lagi saya nyatakan, Ryan memiliki banyak alasan yang bagus untuk bertahan hidup melajang dan bertualang sembari bekerja. Namun, pertanyaannya: sampai berapa lama alasan-alasan yang bagus itu bisa dipertahankan, ketika kesepian akibat kesendirian begitu susah ditepis?

Hanya Tuhan yang tahu -- oh, apakah itu alasan yang bagus? Entahlah.

***

Sidoarjo, 18-19 April 2011
Sidik Nugroho, penikmat film

Catatan: Saya juga sempat membuat ulasan atas film Juno. Silahkan mampir bila sudi dan sempat. Ini link-nya: Resensi Juno. Saya juga membuat ulasan film Into the Wild: Resensi Into the Wild

10.1.11

kisah remaja yang ditinggal ayahnya bunuh diri

7 januari 2011, iseng-iseng aku baca novel "after" karya francis chalifour. bercerita tentang francis, remaja 17 tahun yang susah menghapus kenangan tentang ayahnya yang meninggal bunuh diri. kubaca tak sampai dua jam, namun meninggalkan kesan yang dalam.

novel tipis terbitan gpu ini dilabeli teenlit. sosok francis, tokoh utama dalam novel ini, seorang remaja 17 tahun, digambarkan begitu hidup. aku jadi teringat pada holden caulfield dalam novel "catcher in the rye" karya sallinger. francis digambarkan sebagai remaja penurut dari luar, namun suara batinnya penuh dengan pikiran yang konfrontatif, mirip holden. novel dengan gaya pengisahan dari sudut pandang orang pertama ini mengajak pembaca menyusuri ruang batin seorang remaja yang jiwanya tengah merana.

bagi francis, kehilangan ayahnya membuat hidupnya berantakan. apalagi ayahnya meninggal dengan cara bunuh diri. ia kehabisan ide dan cara untuk menjelaskan kepada orang-orang di sekitarnya -- perasaannya, kejadian bunuh diri itu, dan sebagainya.

novel ini penuh dengan kisah berupa adegan-adegan pendek. adegan-demi-adegan itu adalah berbagai kenangan francis pada mendiang ayahnya. sekilas aku teringat pada novel "for one more day" karya mitch albom yang mengisahkan hal yang mirip. bila mitch menggunakan mimpi dan berbagai adegan surealis untuk menggambarkan kerinduan seorang anak pada ibunya yang telah meninggal, maka francis dalam novel ini mengandalkan kenangan yang dapat melintasi benak seorang remaja tentang mendiang ayahnya: kenangan-kenangan itu dituturkan dengan lirih.

untunglah francis memiliki adik laki-laki berusia 4 tahun yang polos bernama luc. saat francis dihinggapi kesedihan yang panjang, luc membuatnya memandang kehidupan dengan cara yang berbeda. ia belajar dari luc bahwa kehidupan yang mereka alami masih panjang. dan berbagai tantangan serta kemungkinan masih terus membentang.

inilah sebuah novel remaja yang lain dari teenlit kebanyakan. walaupun bukan remaja lagi, aku bersyukur bisa membacanya. aku terhitung jarang membaca novel-novel teenlit. dari sekilas pengamatanku, teenlit lebih banyak mengurai cerita tentang asmara dan kehidupan serba metropolis.

"after" juga mengisahkan sebuah bagian tentang asmara, saat francis bertemu seorang gadis yang memiliki nasib mirip dengannya, kehilangan salah satu orang tua. namun pada akhirnya asmara itu hanya bermuara pada pertemanan biasa, walau francis sebenarnya berharap menjalin hubungan yang lebih dari sekedar berteman. jadilah francis belajar untuk menata hidupnya lagi bersama dukungan keluarga dan teman- teman dekatnya -- berusaha tegar, tabah, dan optimis menjalani hidupnya.

kesimpulanku, novel ini menyuguhkan satu sisi kehidupan yang berbeda -- satu sisi yang jarang ditilik, namun tak jarang dialami banyak remaja masa kini. dan satu hal yang asyik lainnya adalah profil pengarangnya: ia adalah seorang guru kelas tujuh dan delapan di sebuah sekolah di kanada, dan kini ia tengah melanjutkan pendidikannya dengan fokus penelitian pengaruh kondisi hati remaja yang berduka terhadap prestasi belajar mereka. ya, penulisnya sedang merangkai cerita yang tak jauh- jauh dari dunianya.

***

after (luc dan aku), francis chalifour, penerjemah alexandra karina, gpu, 2007, 183 halaman

sidoarjo, 7 januari 2011

4.11.10

Daya Tahan Penulis Opini

Tony Widiastono, mantan redaktur opini harian Kompas, bercerita kalau suatu ketika ia mendapat kiriman e-mail dari seorang penulis yang gigih luar biasa. "Ini adalah tulisan saya yang ke-150," kata penulis itu. "Saya sudah mengirim 149 opini selama ini. Bila naskah ini pun tetap ditolak, saya tak akan pernah berhenti menulis." E-mail itu serta-merta membuat Pak Tony terpana. Ia pun membalas e-mail itu, menyertakan beberapa pengarahan yang penting untuk diperhatikan si penulis.

Inilah kisah yang disampaikan Pak Tony dalam seminar Guru Menulis di Media Massa yang dihelat Kompas, Surya, dan Ikatan Guru Indonesia (IGI) pada tanggal 31 Oktober 2010 lalu di gedung PDAM Surabaya. Dalam ceritanya, ada satu pengarahan yang diberikannya kepada penulis itu, yang penting untuk disimak bersama. Itu berkaitan dengan fokus penulis yang perlu diasah oleh setiap penulis pemula.

Bapak Sunarko, Wakil Pimpinan Redaksi Surya, yang turut menjadi pemateri juga menegaskan kalau seorang penulis pemula perlu memiliki self-branding yang baik. Self-branding ini adalah proses yang terbentuk lewat proses yang cukup lama karena si penulis terus bertekun dan melakukan penelusuran yang mendalam atas suatu tema, atau bahkan sub-tema yang spesifik. "Semakin spesifik tema dan bahasan tulisan Anda, maka Anda akan menjadi penulis yang membangun self-branding yang baik."

Hal ini dapat dilihat dengan para tokoh yang kemudian dikenal luas karena sering menulis tema yang sama seperti Effendi Ghazali (komunikasi-politik), J. Sumardianta (resensi buku), atau Samuel Mulia (parodi dan gaya hidup). Para penulis ini dikenal luas karena sejak awal telah membangun dunia atau bidang penulisan yang khusus. Begitulah para penulis dan karya-karyanya bisa sedemikian besar merebut hati para pembaca: mereka menelurkan dan mengurai gagasan yang unik.

Namun, perlu diingat, bahwa tiap penulis pasti pernah mengalami kegagalan. Apalagi para penulis artikel opini, sebuah tulisan dengan usia pendek. Berbeda dengan karya yang tak harus memuat isi yang aktual seperti cerpen atau puisi, atau resensi buku yang mungkin masih bisa dibuat setelah setengah tahun bukunya terbit, opini adalah tulisan yang dibuat berdasarkan pengamatan atas situasi yang aktual dan masih hangat diperbincangkan. Bukan hanya aktual, opini tak jarang juga membutuhkan riset berupa pemikiran tokoh lain atau data-data pendukung.

Baik Pak Tony, Pak Sunarko, bahkan Ibu Endah Imawati (redaktur opini harian Surya) yang turut pula menjadi pemateri, bersaksi bahwa artikel opini yang dikirim ke desk redaktur bisa mencapai puluhan dalam sehari. Resiko tulisan ditolak tentunya tak terabaikan. Karena itu, para penulis opini perlu memiliki daya tahan yang lebih tinggi dibandingkan penulis cerpen dan puisi, misalnya. Cerpenis yang karyanya ditolak bisa mengirimkan karyanya ke koran atau majalah lain; sementara penulis opini yang karyanya ditolak, karyanya yang bersifat aktual itu akan basi bila dicobanya untuk dikirimkan ke media lain -- karena tema yang aktual mudah berganti dalam hitungan hari. ***

Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan penulis lepas