Inilah kisah yang disampaikan Pak Tony dalam seminar Guru Menulis di Media Massa yang dihelat Kompas, Surya, dan Ikatan Guru Indonesia (IGI) pada tanggal 31 Oktober 2010 lalu di gedung PDAM Surabaya. Dalam ceritanya, ada satu pengarahan yang diberikannya kepada penulis itu, yang penting untuk disimak bersama. Itu berkaitan dengan fokus penulis yang perlu diasah oleh setiap penulis pemula.
Bapak Sunarko, Wakil Pimpinan Redaksi Surya, yang turut menjadi pemateri juga menegaskan kalau seorang penulis pemula perlu memiliki self-branding yang baik. Self-branding ini adalah proses yang terbentuk lewat proses yang cukup lama karena si penulis terus bertekun dan melakukan penelusuran yang mendalam atas suatu tema, atau bahkan sub-tema yang spesifik. "Semakin spesifik tema dan bahasan tulisan Anda, maka Anda akan menjadi penulis yang membangun self-branding yang baik."
Hal ini dapat dilihat dengan para tokoh yang kemudian dikenal luas karena sering menulis tema yang sama seperti Effendi Ghazali (komunikasi-politik), J. Sumardianta (resensi buku), atau Samuel Mulia (parodi dan gaya hidup). Para penulis ini dikenal luas karena sejak awal telah membangun dunia atau bidang penulisan yang khusus. Begitulah para penulis dan karya-karyanya bisa sedemikian besar merebut hati para pembaca: mereka menelurkan dan mengurai gagasan yang unik.
Namun, perlu diingat, bahwa tiap penulis pasti pernah mengalami kegagalan. Apalagi para penulis artikel opini, sebuah tulisan dengan usia pendek. Berbeda dengan karya yang tak harus memuat isi yang aktual seperti cerpen atau puisi, atau resensi buku yang mungkin masih bisa dibuat setelah setengah tahun bukunya terbit, opini adalah tulisan yang dibuat berdasarkan pengamatan atas situasi yang aktual dan masih hangat diperbincangkan. Bukan hanya aktual, opini tak jarang juga membutuhkan riset berupa pemikiran tokoh lain atau data-data pendukung.
Baik Pak Tony, Pak Sunarko, bahkan Ibu Endah Imawati (redaktur opini harian Surya) yang turut pula menjadi pemateri, bersaksi bahwa artikel opini yang dikirim ke desk redaktur bisa mencapai puluhan dalam sehari. Resiko tulisan ditolak tentunya tak terabaikan. Karena itu, para penulis opini perlu memiliki daya tahan yang lebih tinggi dibandingkan penulis cerpen dan puisi, misalnya. Cerpenis yang karyanya ditolak bisa mengirimkan karyanya ke koran atau majalah lain; sementara penulis opini yang karyanya ditolak, karyanya yang bersifat aktual itu akan basi bila dicobanya untuk dikirimkan ke media lain -- karena tema yang aktual mudah berganti dalam hitungan hari. ***
Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan penulis lepas
3 comments:
Hah. Benar sekali mas. Semangat memang perlu dijaga. Saya pun sedang bekerja keras menjaganya. Saya teringat seorang teman menulis kutipan bagus. Seorang teman dari satu desa di ujung barat Jawa: tidakkah mereka yang menyatakan telah beriman dan yakin kepada Tuhan, tidak diuji keimanan dan keyakinannnya itu oleh Tuhan.
Tak ada yang final. Saya memetiknya dalam konteks itu. Semua berproses. Manusia hanya menjaga agar proses itu terkendali sesuai harapannya.
Ah, bukan. Bukan menggurui kok. Mas Sidik kan sudah Pak Guru, he-he-he.
Trent, LOL???
Luar biasa postingnya pak guru..!I like it!
Post a Comment