18.5.11

Kasih Karunia dalam Sinema: Kisah-kisah yang Menyadarkan Berharganya Hidup Ini

Dum vita est, spes est.

~ Cicero ~

Ketika masih ada kehidupan, di situ pula masih ada harapan, demikian Cicero pernah menulis suatu ketika. Salah satu harapan yang membuat hidup kita terus berlangsung adalah keberadaan kasih karunia. Kasih karunia, apakah itu? Kasih yang besar, yang dikaruniakan untuk seseorang. Kasih karunia juga bisa disamakan dengan pengampunan, penerimaan tanpa syarat, atau sebutlah pengorbanan tanpa pamrih.

Ketika kasih karunia dinyatakan, orang-orang akan terpesona dengan kebaikan dan kemurahan yang terkandung di dalamnya. Orang-orang yang menerima kasih karunia mengalami jamahan hati yang tak terlupakan. Mereka pada umumnya merasa tidak layak untuk menerima sebuah kebaikan yang begitu besar. Namun, kebaikan itu memang mereka perlukan demi kelangsungan hidup mereka. Ada hati yang diubahkan ketika kasih karunia diteteskan.

Di masa depan, pada hati yang diubahkan itu, kasih karunia mendatangkan suatu kenangan tersendiri, dan niat untuk menjalani kehidupan yang lebih bermoral.

Nah, berikut saya mencatat beberapa film yang menyuarakan kasih karunia. Daftar yang saya buat ini bisa ditambah oleh sidang pembaca, karena pengalaman menonton tiap orang berbeda-beda. Selamat membaca.

1. Schindler's List

Schindler’s List adalah film garapan Steven Spielberg yang menampilkan sosok bernama Oskar Schindler (diperankan dengan memikat oleh Liam Neeson). Lewat perusahaan yang didirikannya di masa lalu, Oskar telah menyelamatkan beberapa generasi Yahudi yang kini terkenal dengan sebutan Yahudi Schindler. Di luar perusahaan yang didirikannya, banyak orang Yahudi yang mati sia-sia.

Namun, inilah yang menarik. Oskar bukan pahlawan. Oskar seorang pebisnis. Ia menyelamatkan orang-orang Yahudi itu dengan cara mempekerjakan mereka. Pada saat itu, menggunakan orang Yahudi sebagai pekerja sangat murah karena di luar perusahaan Schindler mereka harus bekerja paksa. Kerja paksa yang diterapkan semasa Nazi Jerman berkuasa amat mengerikan: nyawa manusia seolah tak ada artinya.

Dan, Oskar pun bukan manusia suci dan patriotik. Ia suka kumpul kebo dan pesta-pesta. Bahkan, di akhir hidupnya, pernikahannya gagal walau ia sempat sadar dan bertobat dari gaya hidupnya itu. Namun, di mata sebagian besar orang Yahudi, ia tetap pahlawan.

2. The Green Mile

Dapatkah Anda membayangkan sebuah keadaan ini: Anda harus mati dengan cara yang mengerikan tanpa suatu alasan yang jelas? Film The Green Mile menunjukkan pada kita tentang hal itu. Itulah yang harus dihadapi oleh John Coffey, seorang tawanan berkulit hitam, yang didakwa bersalah karena pembunuhan dua gadis kecil.

Sebenarnya, justru dialah yang menjadi penyelamat dua gadis kecil itu. Penyelamat didakwa jadi pembunuh; pembunuh kerap dibebaskan. Bukankah kita juga melihat di televisi orang-orang yang berkuasa selalu luput dari hukuman? John Coffey rela mati karena dirinya merindukan damai. Dia telah sesak melihat kejahatan di dunia ini.

Dari sinilah sebuah hal penting terbentangkan: kedamaian membutuhkan perjuangan. Kedamaian perlu pengorbanan. Kedamaian tak datang dengan sendirinya. Di dunia yang penuh dengan nista dan dusta, kerapkali keadilan muncul terbalik.

3. Amadeus

Amadeus adalah sebuah film yang mengisahkan kehidupan musisi terkenal Mozart setengah fiktif setengah nyata. Di sana ada sebuah pelajaran berharga tentang kecemburuan. Di sana ada Antonio Salieri, seorang musisi yang suatu ketika berdoa kepada Tuhan agar nama Tuhan kian masyhur lewat dirinya dan karya-karyanya. Ia ingin dicatat dalam sejarah, tak terlupakan.

Namun doanya bagai dirampas oleh seorang pemuda begajulan bernama Mozart. Pemuda yang suka pesta-pora, mengucapkan guyonan-guyonan tentang seks secara berlebihan, tertawa terbahak-bahak dengan sangat renyah dan spontan, dan sulit untuk diajak bicara serius. Popularitas Mozart kian menanjak dengan pertunjukan-pertunjukan yang dibuatnya, hingga Salieri merasakan keagungan Tuhan dalam karya pria yang ia cemburui itu.

Akibat cemburu, salib Kristus pun dibakarnya! Kesalehan hidupnya, karya-karyanya yang ia garap dengan sepenuh daya, semuanya bagai hancur-lebur. Film ini menampilkan sosok Salieri yang justru menjadi lawan bagi kasih karunia: ia tidak bisa mengampuni Tuhan, Mozart, bahkan dirinya sendiri. Budak kecemburuan ini pun lalu hidup dengan dendam -- wajahnya selalu muram dan senyumnya pahit.

4. Juno

Juno, gadis usia 15 tahun yang hamil karena "kecelakaan" suatu ketika kembali ke rumahnya. Hatinya sedang terguncang dan bimbang. Dia berkata dalam hatinya, "Aku baru sadar betapa aku menyukai rumah saat berada di tempat yang berbeda." Ia memetik sebuah bunga, kemudian memutarkan mahkotanya yang berwarna ungu di permukaan perutnya yang terus membuncit.

Adegan dalam film Juno ini amat menyentuh. Di dalam kisah ini, Juno harus menanggung beban yang amat berat akibat bayi yang sedang dikandungnya. Beruntung dia, karena memiliki sebuah keluarga yang sayang padanya. Ayahnya sangat sayang padanya, kaya akan belas kasih dan berpengertian sangat dalam akan kondisi jiwa remaja putrinya yang penuh rasa ingin tahu.

Kehamilan di usia remaja kerap kali menjadi persoalan bagi pasangan muda-mudi, orang tua, bahkan segenap keluarga dan teman-teman kedua belah pihak. Tak sedikit orang menggugurkan bayinya di masa kini, menganggap bayi atau janin sekadar makhluk yang bebas dibunuh seperti binatang.

5. Les Miserables

Jean Valjean adalah seorang pencuri. Suatu waktu ia meloloskan diri dari penjara. Karena tampangnya yang awut-awutan, tak ada orang yang mau menerimanya di rumah mereka, kecuali seorang pendeta. Pendeta itu memberinya makan dan minum. Malamnya, ia malah mencuri beberapa peralatan perak milik pendeta. Pendeta itu dipukulnya karena memergokinya ketika mencuri. Ia lalu meninggalkan rumah pendeta itu dengan barang curiannya.

Pagi hari, polisi membawanya ke rumah pendeta itu. Ketika ditanyai, apakah Valjean mencuri peralatan perak pendeta itu, pendeta itu malah menyatakan bahwa ia memberikannya kepada Valjean. Valjean tak jadi dimasukkan penjara. Valjean terheran-heran dengan kebaikan pendeta itu.

Tahun-tahun berlalu. Valjean berubah, ia menjadi walikota. Suatu ketika ia bertemu dengan pelacur. Pelacur itu miskin dan punya seorang anak yang masih kecil bernama Cossette. Ketika pelacur itu meninggal, Jean Valjean membesarkan Cossette hingga dewasa.

Film ini diangkat dari karya Victor Hugo yang amat terkenal. Di dalamnya terdapat pesan tentang kasih yang mengubahkan hati manusia. Hati orang itu tentulah Jean Valjean. Perjumpaannya dengan sang pendeta telah mengubah hidupnya selamanya: pencuri berubah menjadi walikota yang berbelas kasih dan dermawan. Kasih yang demikian besar pasti akan menyebabkan perubahan hati yang juga besar dalam diri seseorang.

6. The Elephant Man

Film tentang John Merrick berjudul Elephant Man atau Manusia Gajah mengisahkan Manusia Gajah yang sudah cacat sejak lahir. Konon, ibunya diserang oleh seorang gajah liar di Afrika saat mengandung John empat bulan.

Berdasarkan penelitian dr. Treves, ia mengalami pembengkakan pada otak bagian atas, pembengkokan pada tulang belakang, pengendoran kulit dan tumor menutupi 90% tubuhnya. Selain itu ia juga menderita bronkitis kronis. Sang dokter menangis kala menemuinya pertama kali. Karena perjuangan dr. Treves, akhirnya ia dapat tinggal di rumah sakit. Semula, Manusia Gajah oleh pemiliknya yang jahat, Bytes, dijadikan tontonan karnaval demi mendapatkan uang. Ia sering dipukuli dan dicaci-maki.

Manusia Gajah adalah pribadi yang unik. Ia bisa membaca dan menulis. Ia romantis. Ia suka membaca Alkitab dan buku doa. Bagian Alkitab kesukaannya adalah Mazmur 23. Setelah tinggal di rumah sakit, ia dikenalkan kepada beberapa orang yang bersikap baik kepadanya, seperti pemilik rumah sakit, suster kepala dan istri dr. Treves.

Menjelang akhir film John Merrick berkata kepada dr. Treves: "Hidupku berarti karena aku tahu, aku dicintai." Nah, itulah kekuatan cinta. Itulah pesan inti dari film ini. Manusia, yang dulunya, disamakan dengan binatang, dijadikan tontonan umum dan dicaci maki, di tangan dr. Treves menjadi pribadi yang terhormat dan percaya diri.

7. Forrest Gump

Hari Valentine identik dengan cokelat. Cokelat diberikan di mana dan kapan saja pada momen ini. Orang yang tidak suka cokelat pun ada yang diberi coklat. Silver Queen laris di mana-mana. Nah, tahukah Anda bahwa di Amerika ada cokelat yang terbungkus dalam sebuah kotak dan berisi beraneka rasa?

Ini saya ketahui dari film ini, bercerita tentang seorang pemuda idiot bernama Forrest Gump (diperankan dengan memikat oleh Tom Hanks). Di film ini dikisahkan tentang Forrest yang suka makan cokelat. Dan, sosok Forrest Gump yang ditampilkan idiot memang menjadi wakil yang sempurna bagi kasih karunia. Ya, kasih karunia kerap dianggap sebagai tindakan orang idiot di masa kini. Ia ditolak, dicaci-maki, diabaikan, dan dipinggirkan, namun tak pernah berubah setia dan menyakiti.

Ibunya pernah menyatakan: "Hidup bagai sekotak cokelat, kau tidak pernah tahu apa yang kau dapatkan." Apa yang kau dapatkan, dalam kalimat itu mengacu pada rasa cokelat itu. Kadang, kasih karunia tampil seperti kejutan. Tampaknya, semua cokelat dibungkus dalam bungkus yang sama, namun memiliki rasa yang berbeda-beda.

Film indah yang coba menguraikan takdir dan tujuan hidup ini pas benar bila dijadikan renungan kehidupan. Kita tidak dapat menebak apa yang terjadi di hari depan. Kita tidak tahu apa yang bakal kita hadapi dan temui. Kehidupan penuh misteri, penuh aneka rasa, bagai cokelat-cokelat berbungkus sama yang tidak dapat ditebak rasanya.

8. Amazing Grace dan Amistad

Baik Amistad maupun Amazing Grace ingin menampilkan pesan betapa manusia perlu diperlakukan setara satu sama lain. Ras dan segenap perbedaan lahiriah lainnya bukanlah hal-hal yang pantas untuk dijadikan acuan pembuatan hukum. Kasih karunia kerap berlawanan dengan hukum. "Mata ganti mata, gigi ganti gigi," demikian hukum berujar.

Dalam sebuah buku dikisahkan, orang-orang sering memanggilnya shrimp. Kata ini berarti udang secara harafiah, tapi juga bisa merupakan cemoohan bagi orang yang cebol, bungkuk, atau dianggap tak berarti. Pria ini, William Wilberforce namanya, walaupun berbadan kecil dan agak timpang, untungnya memiliki kecerdasan dan kefasihan bawaan.

Nama pria ini amat dekat dengan penghapusan perbudakan. Perjuangannya dikisahkan dalam film Amazing Grace. Upaya pertamanya adalah mengajukan 12 mosi penghapusan perdagangan budak ke parlemen tahun 1788, namun ditolak. Ia tidak tinggal diam, lalu mengajukan RUU pada tahun 1791 -- tetap ditolak.

Dan itu berlanjut pada tahun-tahun lain: 1792, 1797, 1798, 1799, 1804 dan 1805. Rasanya, bila kita mencermati angka-angka yang berjejer itu -- jikalau seseorang tidak memiliki kegigihan yang luar biasa, ia tidak akan kuat untuk menghadapinya. Hingga akhirnya, 1806, Parlemen Inggris menghapuskan perdagangan budak di seluruh Inggris. Ketika mendengarnya, William menangis dengan sukacita.

Perjuangan panjang menghapus perbudakan juga dikisahkan dalam Amistad. Kalau perjuangan Wilberforce tadi di Inggris, film yang ini berlatar Amerika. Diperankan dengan bintang-bintang tenar (yang paling eksentrik adalah Anthony Hopkins sebagai John Quincy Adams, mantan perdana menteri Amerika), film ini menampilkan kesewenang-wenangan yang dilakukan bangsa kulit putih terhadap kaum budak.

9. It's a Wonderful Life

Delapan ribu dolar Amerika untuk ukuran setengah abad lalu sangatlah besar. Nah, suatu ketika, seorang bankir kehilangan uang itu. Padahal, delapan ribu dolar itu adalah uang terakhir yang dimiliki bankir itu. Jikalau dalam waktu sekian jam ia tak dapat menunjukkan sisa terakhir uang yang dimilikinya, bank itu akan ditutup. Bankir itu, Robert Bailey namanya, kemudian ngamuk-ngamuk dan memutuskan ingin mati.

Penderitaan Robert amat berat. Delapan ribu dolar yang raib itulah puncaknya. Ia sejak kecil selalu dirundung malang. Telinganya tuli sebelah karena menolong adiknya. Niatnya ingin menjadi petualang pupus karena diminta untuk melanjutkan bisnis ayahnya. Nah, ketika delapan ribu dolar itu hilang, adiknya yang pernah ia tolong di masa kecil, sedang makan malam dengan presiden karena ia berjasa besar dalam perang.

It's a Wonderful Life – salah satu film terbaik tentang pengucapan syukur, dengan sempurna memotret kehidupan seorang yang harus menjalani kehidupan yang bukan diimpikannya. Pada akhirnya, Robert dibawa ke alam mimpi oleh seorang malaikat. Di sana ditunjukkan kepadanya hal-hal yang tidak bisa tidak ia syukuri: anak-anak, istri, dan sahabat-sahabat yang ia miliki. Robert pun mencabut keinginannya untuk mati.

Di bagian akhir film kita disuguhi adegan yang begitu manis: orang-orang sekota datang menyambut Robert yang tak jadi mati. Dan untuk delapan ribu dolar yang telah raib itu, orang-orang berduyun-duyun membantu Robert yang telah putus harapan.

10. Not One Less

Seorang murid masih kanak-kanak yang nakal, yang paling sering membuat onar, suatu ketika melarikan diri dari kampung halamannya. Ia pergi ke kota besar, hidup sebagai gelandangan, kemudian tak bisa pulang. Di desa, para penduduk pada resah. Keresahan itu membuat si guru -- yang masih remaja -- pergi ke kota untuk mencari murid yang hilang.Perjalanan guru ke kota amat melelahkan. Ia kurang makan, kadang jalan kaki, untuk mencari murid nakalnya itu. Pencarian dilakukan karena kepadanya, guru lain yang lebih senior, yang sedang memiliki tugas lain telah berpesan: jangan ada satu pun yang hilang -- not one less.

Film Not One Less besutan Zhang Yimou ini menggambarkan dengan indah sukacita seseorang yang didapatkan kembali setelah hilang sekian lama dan dicari-cari. Perjuangan guru mencari murid yang terhilang adalah satu gambaran terkuat tentang kasih karunia yang saya saksikan dalam sebuah film. Ketika mereka bertemu lagi, sungguh amat besar sukacita itu! Si murid dan guru berangkulan dalam perjalanan pulang. Mereka menangis bersama. Si murid berjanji, ada bunga untuk gurunya yang akan ia berikan.

11. City Lights

Bila saya diminta untuk menyebut sebuah film yang paling tidak menggurui tentang cinta, dan paling sederhana, maka saya akan memilih City Lights yang dibuat dan dibintangi Charlie Chaplin. Ini film bisu, hitam-putih, tapi begitu membekas -- dan begitu penuh warna: lucu, menyedihkan, dan romantis.

Dalam film ini dikisahkan seorang gelandangan (karakter favorit Charlie Chaplin) yang iba dan jatuh hati pada seorang gadis penjual bunga. Gadis itu buta, si gelandangan membeli setangkai bunganya. Dalam kebutaannya, si gadis mengira kalau si gelandangan adalah seorang pria kaya-raya.

Waktu terus berjalan, si gelandangan mendapati kalau si gadis ternyata tinggal dalam sebuah kontrakan kecil yang menyedihkan. Ia juga tengah kehabisan uang membayar sewa rumah. Si gelandangan mencari berbagai cara untuk menolong si gadis. Akhirnya, lewat sebuah keberuntungan, ia berhasil mendapatkan uang, bukan hanya utuk sewa rumah, tapi juga operasi mata. Si gadis kini bisa melihat, ia tak lagi buta.

Film ditutup dengan adegan saat si gadis menyadari bahwa pria idamannya bukan orang kaya-raya seperti yang ia bayangkan. Menonton adegan itu, saya serta-merta teringat Amazing Grace, sebuah lagu lawas karya John Newton. Kasih yang besar, yang dilandasi ketulusan dan pengorbanan pada akhirnya akan membuat mata hati kita dicelikkan.

Ya, ketika film itu berakhir, sebaris lirik Amazing Grace pun terlantunkan dalam hati saya: "I once was lost, but now I'm found; was blind but now I see." (Dulu saya tersesat, kini ditemukan; dulu buta kini melihat.) ***

Sidik Nugroho, penyuka film

No comments: