4. GAP -- Masa-masa Kuliah di UM
Saya bergabung dengan Gereja Anugerah Pembaharuan (GAP) pada tahun 1999. Saya meninggalkan GPdI Elohim yang ada di kota Batu karena jaraknya yang terlalu jauh dari tempat tinggal saya di Malang, hampir 20 kilometer. Namun, saya tetap berkunjung dan berhubungan dengan beberapa teman di GPdI.
Saat-saat ini juga saya amat kagum dengan seorang pendeta yang bernama Roberts Liardon. Ia menulis banyak buku, termasuk beberapa buku yang berkaitan dengan biografi beberapa pendeta dari kalangan Pentakosta. Semua buku Roberts Liardon yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia saya baca. Gara-gara membaca buku-bukunya, juga beberapa buku-buku bertema sosial lain, tahun 1999 saya ikut UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) lagi, mengambil jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang. Saya diterima. Waktu itu saya yakin benar dengan pilihan saya -- ada dua pilihan jurusan dalam tiap UMPTN, tapi saya hanya memilih satu jurusan, yaitu Pendidikan Sejarah, dan pilihan keduanya saya kosongkan.
Kembali ke GAP. GAP adalah gereja yang satu pergerakan (walaupun tidak satu denominasi) dengan GKB Jubilee di Semarang. Keduanya adalah gereja yang mayoritas jemaatnya kaum muda. GAP di Malang jauh beda dengan GKB Jubilee di Semarang dalam soal jumlah jemaat. Waktu saya pertama kali ke sini, gereja ini masih kecil, jemaatnya tidak lebih dari dua puluh orang.
Di GAP saya banyak dibentuk untuk menjadi rendah hati dan belajar menjadi perintis. Dengan beberapa teman saya mulai membuat warta gereja. Saya dan beberapa teman juga merelakan buku dan kaset-kaset rohani yang kami miliki untuk membuat perpustakaan kecil-kecilan. Lalu saya juga membentuk tim musik yang kecil, namun sangat gaduh dan bersemangat. Di GAP kami pindah-pindah tempat ibadah, menyewa gedung-gedung untuk kebaktian. Hampir tiap Minggu saya dan beberapa teman mengangkuti alat-alat musik dan sound-system. Tiada hari tanpa ke gereja.
Sama seperti di GKB Jubilee, pengajaran di gereja ini juga radikal. Saya sempat dekat dengan satu orang gadis di sana. Namun, karena tidak boleh pacaran, lagi-lagi hubungan asmara saya harus kandas di tengah jalan.
Awal tahun 2002, saya merasa ada beberapa pengajaran yang tak saya setujui di gereja ini. Bulan Februari 2002 saya menulis surat yang sifatnya hampir resmi untuk teman-teman dan pemimpin di GAP. Dengan jelas saya utarakan beberapa alasan pengunduran diri saya dari gereja ini, dan itu semuanya tidak perlu dijadikan sebagai sumber konflik berkepanjangan.
Saya tetap mengunjungi GAP beberapa kali setelah saya mundur dari sana. Saya tetap berhubungan baik dengan semua anggota gereja di sana. Gereja ini juga sempat berganti nama menjadi MSI (Morning Star Indonesia). Namun sayang, saya mendapati kabar kalau beberapa tahun yang lalu -- kalau tidak salah empat tahun yang lalu -- gereja ini sudah tutup. Saya maklum, karena gereja ini adalah gereja kaum muda, banyak mahasiswanya. Jemaatnya datang dan pergi.
5. Gereja Bethany -- Masa-masa Kuliah di UM dan Pasca Kuliah
Setelah keluar dari GAP, saya diajak tetangga saya untuk ikut dalam doa pagi yang diadakan Gereja Bethany Malang tiap jam 04.30 pagi. Seringkali saya bangun lebih awal, maka saya pun berangkat duluan. Tetangga saya ini, yang usianya jauh lebih tua daripada saya, juga suka mengajak saya pelayanan ke mana-mana. Dia meminta saya bermain gitar dan berkhotbah di kelompok-kelompok persekutuan keluarga (dinamakan Family Altar) tiap hari Selasa. Beberapa kali saya juga diajak pelayanan bermain gitar di ibadah-ibadah kematian.
Selain tetangga saya, saya mengenal dengan baik seorang fulltimer di Gereja Bethany. Dia seorang pendoa. Mengetahui kesukaan saya berdoa jam 04.00 pagi, dia pun menawari saya menjadi penjaga Menara Doa, menjaga sesi doa pukul 04.00 sampai 06.00 pagi.
Menara Doa adalah kegiatan pelayanan doa di Gereja Bethany. Tiap anggota jemaat boleh ambil bagian. Di Menara Doa ada doa nonstop 24 jam sehari, dibagi dalam 12 sesi, satu sesi 2 jam. Dari Senin sampai Jumat saya dijadwal untuk menjaga Menara Doa itu. Sesi ini sangat sepi pengunjungnya. Saya lebih sering berdoa sendirian di Menara Doa. Alasan mengapa saya suka berdoa jam 04.00 pagi ada dua. Pertama adalah kisah hidup seorang pendeta yang bernama John Wesley, pelopor pergerakan Metodis, dia selalu berdoa jam 4 pagi. Pendeta lain yang juga suka berdoa pagi-pagi adalah George Muller yang dikenal sebagai bapak bagi kaum yatim piatu.
Saya senang sekali berdoa di Menara Doa. Ada saat-saat ketika inspirasi datang begitu deras. Saya menulis beberapa puisi karena senang dengan suasana pagi yang hening. Namun, kenyataannya, saya tidak selalu berada di Menara Doa yang berada di bagian paling belakang gereja. Saya diminta untuk melayani di Dewasa Muda. Dan tak tanggung-tanggung, saya diminta untuk menjadi ketua Dewasa Muda.
Saya merasa umur saya lebih muda daripada sebagian jemaat Dewasa Muda. Saya masih kuliah; saya merasa belum pantas memimpin Dewasa Muda yang lebih berorientasi menjangkau kaum profesi dan keluarga-keluarga muda di gereja. Namun, pemimpin yang lama menyatakan saya orang yang tepat.
Tak lama setelah menjadi ketua Dewasa Muda, beberapa pemimpin kaum muda gereja juga meminta saya menjadi ketua pengajaran untuk kaum muda. Dalam hal pengajaran ini, saya bersemangat sekali. Saya punya banyak bahan untuk diajarkan. Saya buat sendiri buku pengajarannya, dan saya beri nama pengajaran itu Firm Foundations (F2). Saya sempat meluluskan siswa-siswi F2 sebanyak dua angkatan.
F2 berjalan cukup antusias. Anak-anak murid di sana senang dengan pengajaran yang diadakan. Namun, sebuah masalah muncul. Tapi bukan di F2. Dewasa Muda yang saya pegang tak banyak mengalami perkembangan. Saya kehabisan akal bagaimana membuat ibadah di Dewasa Muda bisa lebih menarik minat banyak orang untuk datang. Akhirnya, gembala sidang memutuskan agar pelayanan Pemuda dan Dewasa Muda digabung. Saat penggabungan, saya yang diminta untuk jadi ketuanya.
Terakhir, gembala sidang mengetahui minat saya dalam dunia penulisan. Itu serta-merta membuatnya menjadikan saya pimpinan redaksi tabloid internal gereja. Saya melepas pelayanan saya di Pemuda dan Dewasa Muda yang sudah digabung tadi. Saya hanya menjadi ketua atas gabungan itu dalam beberapa bulan. Namun, tabloid yang dipercayakan pada saya itu hanya jadi satu edisi. Saya sudah menyiapkan bahan untuk tiga edisi, namun tim yang direncanakan untuk bekerja bersama saya tak kunjung terbentuk.
Semua ini saya alami dalam waktu tiga tahun, dari tahun 2002 hingga 2005. Entah berlebihan atau tidak, saya merasakan kalau begitu banyak hal yang saya lakukan selama di gereja ini. Mau tak mau hal ini membuat kuliah saya terbengkalai. Begitu tabloid itu semakin tidak jelas mau terbit lagi atau tidak, saya mengambil keputusan untuk melayani sebagai guru Sekolah Minggu.
Guru Sekolah Minggu. Ya, itulah pelayanan terakhir saya di gereja yang gedungnya besar ini. Saya merasa, di antara semua pelayanan yang lain, menjadi guru Sekolah Minggu, menjadi gitaris di kelompok-kelompok persekutuan yang kecil, dan menjadi pendoa di Menara Doa, adalah tiga pelayanan yang paling saya sukai di gereja ini. Saya bersyukur dan berterima kasih sudah diberi kepercayaan untuk semua pelayanan di gereja ini. Namun, saya akui pelayanan saya untuk memimpin tidak banyak yang berhasil.
Mungkin saya salah, namun -- saya juga tidak tengah membela diri -- kegagalan yang saya rasakan tak semuanya karena ketidakmampuan saya untuk memimpin. Gereja yang gedungnya besar ini memang lebih cenderung bergaya selebritas. Kepemimpinan dan penggembalaan kurang dikembangkan dengan baik. Acara demi acara gereja dibuat semewah mungkin dan seheboh mungkin, namun penggembalaan dan pemberdayaan jemaat di dalam gereja kurang mendapat perhatian.
Karena itu, sejak menjadi guru Sekolah Minggu, saya berhenti untuk semua kegiatan pelayanan yang berbau kepemimpinan dan penggembalaan. Saya lebih suka duduk di bagian belakang gereja, menerima apa yang Tuhan mau sampaikan dalam ibadah demi ibadah di gereja ini lewat khotbah. Saya pun menata lagi kuliah saya yang terbengkalai.
6. GNS (Gereja Nomaden Suka-suka) -- Masa-masa Bekerja
25 Februari 2006, akhirnya saya lulus kuliah. Saya nyaris drop-out, karena kuliah dari tahun 1999 -- 13 semester saya jalani. Saya tidak menyalahkan gereja. Saya sendirilah yang salah, yang bersedia untuk melakukan berbagai pelayanan -- juga bekerja sebagai guru les privat, bahkan berjualan camilan sambil kuliah.
Setahun setelah itu saya lebih banyak mengurung diri di kamar, menulis berbagai tulisan. Saya tetap menjadi guru Sekolah Minggu, namun membatasi pelayanan saya. Saya mulai memantapkan diri untuk memuliakan Tuhan lewat tulisan yang saya buat dan menjadi seorang guru. Sampai suatu hari di bulan Februari saya mendapat panggilan wawancara di Yayasan Pendidikan Jaya.
Tanggal 20 Maret hingga 20 April 2007 saya dimagangkan oleh yayasan ini. Saya menjadi guru magang di SD Pembangunan Jaya Bintaro, Tangerang. Saat magang, tiap Minggu saya beribadah di sebuah gereja Katolik di Bintaro. Gereja Katolik inilah yang kemudian mengubah berbagai paradigma saya tentang gereja. Dulu, sama seperti beberapa orang Kristen lain, saya sempat menganggap orang-orang Katolik kurang beriman. Kurang beriman -- dalam istilah yang kami pakai -- menunjuk pada kebiasaan mereka yang tidak pernah membawa Alkitab kalau ke gereja (hanya membawa buku pujian), dan tidak bisa merangkai kata-kata doa spontan secara lancar karena hampir semua doa orang Katolik sudah dibuatkan dalam buku doa yang dirilis gereja.
Saat saya menyaksikan keheningan di dalam gereja Katolik itu, saya merasakan kekhidmatan yang membuat saya betah di sana. Saya merasa ibadah -- yang rata-rata hanya sejam -- berlangsung terlalu cepat. Di bangku -- yang selalu di bagian belakang -- saya meresapi keagungan dan kasih Tuhan. Tidak ada orang yang saya kenal, atau menyapa saya. Saya jadi lebih leluasa meresapi makna ibadah. Saya menirukan membuat tanda salib dengan air suci, berdoa sambil bertelut di depan bangku, dan merasakan damai yang besar.
Saya awalnya berpikir, ah, damai ini hanya euforia, hanya suatu perasaan sementara saja. Bukankah itu hal yang biasa -- suasana baru, ritual baru, gedung baru, dan segala lainnya yang baru? Sesuatu yang baru bagi saya, yang tidak saya temui dalam gereja-gereja sebelumnya yang cenderung hingar-bingar dan ramai?
Namun, walaupun itu hanya euforia, saya juga punya anggapan dan kesimpulan lain. Mulai dari saat itu, saya tidak lagi melihat gereja sebagai sesuatu yang harus dibeda-bedakan. Saya pun mulai keranjingan menjelajah gereja demi gereja. Pulang dari magang di Jakarta saya bertekad pergi ke gereja-gereja. Gereja apa saja. Di Malang dan Sidoarjo saya pun mengunjungi beberapa gereja GPdI, Gereja Baptis Indonesia, beberapa Gereja Bethel Indonesia, Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII), Gereja Kristen Indonesia (GKI), GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat), juga Gereja Bala Keselamatan.
Hal-hal yang menarik saya temukan ketika menghadiri ibadah dengan suasana yang berbeda-beda. Saya jadi tahu, di tengah-tengah berbagai perbedaan itu, gereja-gereja tetap hidup demi menjadi saksi Kristus, walau sayangnya banyak juga gereja yang masih suka menyalahkan satu sama lain. Namun, saya tidak pernah -- dan tidak akan pernah mau -- mencoba-coba menginjakkan kaki di gereja yang beraliran sesat seperti Mormon atau Saksi Yehova.
Soalnya saya kuatir, kalau saya ke sana malah nantinya saya dijadikan gembala sidang.
***
Sidoarjo, Mei 2011
Bersambung:
7. Pandangan Pribadi tentang Gereja-gereja
No comments:
Post a Comment