Sabtu siang, 17 Oktober 2009, setelah lelah menggarap dua buah naskah seharian, aku akhirnya tertidur. Paginya, sebenarnya ada rencana pulang ke Malang, namun karena banyaknya tugas yang harus kukerjakan di Sidoarjo, rencana itu urung. Jam tiga sore, ketika bangun, aku merasa harus pergi ke suatu tempat. Aku ingin pergi sendirian -- mencari inspirasi. Aku tidak tahu mau ke mana. Namun, di dalam tas kecil yang kucangklong, kubawa kamera digitalku.
Kukendarai terus motorku, sampai akhirnya terlintas pikiran itu: Suramadu! Ya, ke jembatan Suramadu, ke Madura. Kelihatannya asyik juga!
***
Surabaya-Madura P.P.
Aku menghubungi temanku yang punya rumah dan keluarga di Madura. Ah, dia lagi sibuk mau malam mingguan di Surabaya ternyata. Padahal aku ingin sekali menjelajah Madura, terutama melihat orang-orang yang tidur pakai alas pasir itu. Salahku memang, mendadak mengabarinya. Keinginan itu batal. Aku memutuskan jalan terus.
Daerah Kenjeran yang kulalui sebelum jembatan Suramadu ramai sekali. Setelah membayar karcis tol 3000 rupiah, aku takjub melihat panjangnya jembatan itu. Panjaaang sekali. Jembatan tol itu dibagi dua bagian. Bagian timur untuk pelintas dari Madura; bagian selatan untuk pelintas dari Surabaya. Masing-masing bagian jalan dibagi lagi: para pengendara sepeda motor diberi bagian khusus di bagian tepi. Ketika melintas di atasnya, angin cukup kuat menerpa badanku. Di sebelah kiri dan kananku membentang Selat Madura yang kali ini berlangit muram. Cuaca tidak sedang mendung, namun awan putih pekat menggantung di sebelah barat dan timur jembatan itu.
Sampailah aku pada gundukan tertinggi di jembatan itu. Di gundukan itu ada tiang-tiang tinggi yang dibangun. Tiang-tiang itu tampak gagah dan dari jauh kelihatan bagai menara. Ketika melintasinya, banyak orang yang melambatkan laju sepeda motornya, mengamat-amati panorama dan keadaan sekeliling. Di bagian inilah banyak orang yang menghentikan kendaraannya barang sesaat untuk berfoto-ria. Termasuk aku.
Madura akhirnya sampai. Tanah di sana tampak gersang. Lahan berpasir putih kecokelatan di sepanjang tepi jalan menuju Bangkalan (kota yang berada sekitar tujuh kilometer dari ujung pulau), dipenuhi banyak tenda temporer yang menyediakan beraneka jualan. Aku mampir beli pulsa. Kukabari beberapa teman aku ada di Madura. Mereka kaget.
Setelah melalui jembatan ini, sambil minum es di sebuah warung, aku jadi teringat pada jembatan-jembatan bernama hubungan yang pernah kubangun di masa lalu. Tak jarang beberapa hubungan itu kandas karena sulit sekali menyatukan berbagai perbedaan, walau ada pula jembatan berupa hubungan persahabatan yang hingga kini kujalani dengan penuh semangat.
Ada pula jembatan yang pernah kubangun dengan begitu indah. Di sepanjang tepi jembatan kupasang lampu merkuri dan lampu hias penuh warna. Sebuah jembatan bernama romantika yang sayangnya harus terputus akibat berbagai tantangan hidup.
Jembatan Suramadu yang menyatukan dua pulau telah dibangun dengan biaya besar, perencanaan besar, dan pemikiran-pemikiran besar. Ketika mengaitkannya dengan hidupku, sambil mengingat dan merenungkan apa yang dikatakan teman, keluarga dan sahabat-sahabatku, aku merasa masih tertinggal jauh. Aku masih belum banyak berdaya-juang dan berpengorbanan untuk membangun sebuah jembatan yang kokoh: Jembatan dengan bahan dasar kasih-sayang, komitmen, dan dedikasi yang tulus untuk seseorang.
Aku menunggu senja tiba di Madura.
Namun, senja di langit Pulau Garam ini tak bagus. Sunset-nya kurang ciamik kali ini. Ah, sudahlah, tidak apa-apa, yang penting aku sudah ke Madura. Dan jembatan ini telah memberiku sebuah ilham.
***
Makam W.R. Supratman
Ketika sampai lagi di Surabaya, di Jalan Kenjeran, aku melihat sebuah tulisan di tepi jalan: makam W.R. Supratman. Aku pernah melihat makam ini ketika ke Kenjeran beberapa bulan lalu. Waktu itu aku ingin sekali ke sini. Nah, kesempatan itu tiba!
Seorang pria di pinggir jalan memberitahu bahwa juru kunci makam ini ada di belakang makam. Rumahnya kutuju, lalu aku pun diantarnya masuk ke dalam makam. Di makam ini, ada tiga bangunan yang penting: makam itu sendiri, patung W.R. Supratman yang sedang memainkan biola, dan monumen yang memuat sejarah singkat hidupnya.
Bagian di monumen yang membuat aku tertarik adalah kisah yang menyebutkan bahwa W.R. Supratman, selain sebagai musisi jazz yang berbakat di zamannya, juga pernah menjadi wartawan di surat kabar Kaoem Moeda. Wah, dia suka menulis juga ternyata. Bagian lain yang penting adalah cerita yang menyebutkan kalau lagu yang diciptakannya seringkali mengundang amukan orang Belanda.
Terlepas dari desas-desus yang menyatakan Indonesia Raya adalah lagu jiplakan, W.R. Supratman yang mati muda ini, dalam kisah hidupnya yang dituturkan dengan singkat di monumen batu di situ, bagiku adalah sosok yang imajinatif. Dan imajinasinya ia gunakan untuk sesuatu yang mewakili visi bangsa Indonesia ketika itu. Imajinasinya adalah imajinasi yang bervisi. Visi dalam imajinasinya merupakan representasi dan akumulasi hasrat hidup orang banyak: Indonesia merdeka.
Itulah sebabnya ia selalu dikenang.
Ketika dia meninggal di usia muda, Indonesia belum merdeka; baru 7 tahun setelah itu. Namun, sebelum meninggal ia berkata: "Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, berjuang dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka." Akhirnya, pejuang yang menyatakan diri berjuang dengan biolanya itu, kini pun memiliki makam yang agak unik: ruang untuk menabur bunga di makamnya dibentuk mirip biola.
***
Hari sudah malam. Sudah hampir jam delapan. Aku pulang ke Sidoarjo, dan menuliskan kisah ini.
Ketika menuliskannya, aku berpikir: Mungkin, di akhir-minggu lainnya, aku ingin membuat catatan seperti ini lagi. Mungkin sebulan sekali atau dua kali. Rasanya, di sekitarku masih banyak tempat yang menarik untuk ditulis. Ada museum, panti asuhan, candi, dan tempat-tempat lainnya -- tempat-tempat yang dapat melahirkan refleksi yang indah dan wajar, tidak perlu mengada-ada. Sayangnya, banyak orang hanya bersemangat menuliskan cerita liburannya ke Eropa, daripada menceritakan kunjungannya ke candi atau museum yang ada di dekat rumahnya.
Arthur Rimbaud, penyair dan petualang itu pernah bilang:
Perlu ada upaya melihat,
upaya melihat dengan menjungkirbalikkan segala makna yang sudah ada,
untuk sampai pada yang tak dikenal,
hidup sejati yang berada di tempat lain...
Akan selalu ada "tempat lain" untuk memaknai hidup. Ya, kadangkala, tempat itu dekat kok dengan kita.
Sidoarjo, 17-18 Oktober 2009
4 comments:
setuju sekali mas sidik, tidak harus jauh! sayangnya belum semua orang memahami itu. padahal, kalau saja kita semua menyadarinya, setiap bangun pagi dan berangkat kerja itu bisa jadi lahan pengembangan diri lho, dengan membaca di antara baris-baris kenyataan, menyingkap makna yang belum pernah muncul baik di mata hati kita maupun mata hati orang lain...
waw, trims udah mampir dan komen mas. mbaca komen ini aku teringat sama mas anwar holid yang kesahajaan hidupnya pernah sampeyan tulis di apsas tempo hari.
sip deh.
mas wartax mmg selalu secanggih itu mas. aku sendiri masih ingat suatu kali waktu beli beras langsung dari selep di desa lumayan terpencil di sebelah tenggaranya dinoyo sekitar 10 menitan, aku nyetir sepeda motor legenda 2-ku itu mas, di jok belakang ada beras, langsung aku terpikir, wah, kayaknya bagus kalau aku sesekali nulis tentang pengalamanku beli beras yang masih fresh from the selep ini dan aku kirim ke mas wartax, biar sesekali gantian aku yg nulis tentang cerita hari-hariku untuk dia... sayangnya aku gak sempat nulis tentang renunganku di atas legenda 2 itu, sebaliknya... aku sekarang malah nulis berratus-ratus koma dan titik menceritakan hari-hariku, barang-barang sepele yang sebagian besar mungkin cuma aku yg merasa tulisan-tulisan itu ada harganya... :)... dan sampean tahu ke siapa-siapa saja aku harus berterima kasih...
keseharian memang pengalaman berharga, mas wawan. dan ketika perjalanan membawa kita makin jauh dari keseharian, menemukan hal-hal baru, kita pun tak serta-merta melupakan keseharian kita.
tapi tulisan sampean yang sekarang-sekarang ini pun tetap mantrap-mantrap, walau beberapa di antaranya agak berat menurutku, karena kerap bersinggungan dengan teori sastra.
go on, mas pemimpi! :-)
Post a Comment