Adi hampir terlambat masuk sekolah. Perutnya mulas. Ia bimbang untuk tetap ikut upacara apa tidak. Mendengar bunyi bel sekolah yang mirip alarm kebakaran, gelisahnya tersulut. Setelah hatinya menimbang-nimbang sambil mengingat-ingat pesan wali kelasnya agar ia menghargai para pahlawan pada saat pelajaran Budi Pekerti, ia memutuskan ikut upacara.

Tetes-tetes keringat itu kemudian membasahi matanya. Ia menutup mata beberapa saat agar tetesan-tetesan itu tak masuk ke matanya. Ketika mengusap tetesan-tetesan keringatnya di sekitar mata, betapa ia terkejut ketika membuka mata! Ia melihat dan mencium udara yang berubah. Bau anyir darah menyeruak dari segenap penjuru lapangan upacara. Kini, di kiri-kanannya, wajah-wajah asing yang tidak ia kenal membisu dengan tampang marah dan beringas. Ada yang membawa bayonet. Ada yang mengacungkan pistol. Ada yang tampak sedang bersembunyi di sebuah sudut, sambil sesekali mengamati situasi beberapa orang lain yang tak ia lihat di kejauhan menggunakan keker.
Adi memasuki pagi bernuansa sepia. Dalam dunia abu-abu yang remang berbaur coklat semu ini, yang paling mengerikan adalah warna mata para orang di sekelilingnya: merah menyala. Dengan mata sipit namun mendelik dan seringai lebar yang sesekali menampakkan gigi, beberapa orang di tempat Adi berdiri kini tampaknya lebih menyerupai monster daripada manusia.
Tubuh Adi bergetar hebat. "Oh, Tuhan, siapakah manusia-manusia sialan ini?" tanyanya sambil menangis. "Semuanya benar-benar haus darah!" (Bersambung)
Sidoarjo, 10 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment