25.6.09

Perjalanan Liburan, Perjalanan Spiritual (2)

22 Juni 2009

Kumaha atuh, punten, naon... Ye ye yeah... akhirnya sampai di Paris van Java!

Menjelang maghrib akhirnya aku sampai di rumah pakde di Bandung, di daerah Cipaku Indah, dekat kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Pakde senang sekali ketika aku datang, apalagi begitu membuka oleh-olehku: sebuah kaos dari Kampung Cina bergambar Semar. Tokoh yang digelari Ki Ageng Asmoro Santo, atau guru bijak dan suci penuh kasih-sayang itu, ternyata adalah tokoh idolanya. Segera saja ia mengganti bajunya. Selama tiga malam dua hari dipakainya baju itu. Aku senang melihatnya senang.

Pakde orang yang baik hati dan sangat cerdas. Bahkan kini, di masa tuanya, kecerdasannya masih tampak. Di tahun 1958 -- saat itu ia berusia 20 tahun -- ia studi ke Hongaria, mengambil jurusan Metalurgi. Selama lima setengah tahun di sana, hampir seluruh Eropa ia jelajahi. Pakde yang bernama R. Ady Putranto Soedarsono ini adalah abang sepupu ibuku. Ia orang yang sangat disegani di PT. Barata Indonesia, sebuah BUMN yang membuat dan merakit alat-alat berat. Ia cerdas, murah hati dan sayang anak-anak.

Dulu, dia beberapa kali membawa aku dan abangku ke rumahnya di Bekasi. Waktu itu bapakku sedang melanjutkan studi di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta antara tahun 1982-1985. Kami selalu diajaknya keliling naik mobil VW-nya yang berwarna putih pucat. Pakde Put, demikian kami memanggilnya.

Selama di sini, oleh Pakde Put aku diberi berbagai wawasan kebangsaan dan kehidupan. Ia mengesalkan berbagai produk instan yang ada di bangsa ini. Ia juga mengeluhkan beras, gula dan kedelai yang serba putih. Warna putih pada ketiganya seakan telah menjadi acuan atau standar mutu di masyarakat: yang putih yang bagus. Hingga warna kulit pun harus tampil putih agar dibilang cantik. Padahal, itu hanya tipuan. "Orang-orang sekarang sangat suka sesuatu yang instan dan tampak menarik di bagian luar. Padahal sesuatu yang instan itu buruk dan apa yang kita lihat dari luar itu belum tentu berkualitas," katanya.

Pembicaraan kami sangat panjang malam itu. Bukan hanya soal berbagi kabar keluarga, tapi hal-hal penting dalam hidup yang harus kuperhatikan. Dari pembicaraan di malam itu aku merenung banyak hal tentang hidup. Kalau orang mau mencapai sesuatu dengan cara yang instan, bisa saja ia mencapainya. Tapi, yang tampak baik dari pencapaian dan diri orang itu hanya bagian luarnya.

23 Juni 2009

Di hari ini, Bude Lin, istri Pakde Put, datang dari Jakarta. Aku senang sekali berjumpa dengannya karena dia benar-benar satu minat denganku. Dia dosen UPI yang sedang kuliah S3. Sama sepertiku, dia ambil jurusan Sejarah juga. Tesis S2-nya tentang kemampuan berpikir siswa secara kronologis dengan menggunakan time line (baris waktu) dalam kegiatan pembelajaran.

Selain mengajar sejarah Asia Timur, Indonesia Kuno, dan beberapa mata kuliah lain yang berhubungan dengan ilmu Sejarah dan Pendidikan, Bude Lin juga orang yang punya minat besar pada pendidikan dasar, atau anak-anak SD. Dari obrolan dengannya, wawasanku tentang memperlakukan anak didik dibuka makin lebar. Guru perlu kreatif dan inovatif dalam mengemas pembelajaran. Anak perlu dipandang unik, karena masing-masing berkepribadian lain. Pembelajaran di dalam kelas harus menyenangkan, bukan hanya memuat penjejalan wacana dan doktrin.

Bude Lin lalu mengisahkan anaknya sendiri yang kebetulan datang juga di Bandung, dua jam setelah aku datang pada tanggal 22 Juni. Anaknya ini ia perlakukan dengan begitu sabar, dan berikan ruang sebebas-bebasnya dalam memilih dan menentukan tujuan hidup. Sejauh ini ia telah berhasil. Anaknya yang bernama Jayawijayaningtyas mencetak beberapa prestasi hebat. Ia pernah menjuarai olimpiade astronomi tingkat nasional dua kali, meraih medali emas. Ia juga pernah menjadi utusan olimpiade astronomi di Ukraina. Pada beberapa kesempatan, ia menjadi narasumber di beberapa daerah di Indonesia untuk berbicara tentang astronomi. Mas Jaya, demikian aku memanggilnya, memang sangat menyukai astronomi. Sekarang ia sedang libur kuliah. Ia kuliah di Nanyang University, di Singapura, ambil jurusan Teknik Penerbangan.

Bude Lin, juga Pakde Put, memotivasi aku agar mengembangkan terus kecintaanku pada dunia tulis-menulis. "Guru-guru itu kadang mentalnya sama seperti orang kebanyakan. Setelah kuliah, ingin lekas dapat kerja. Setelah dapat kerja, ingin gaji tinggi. Padahal, setelah kuliah mereka berhenti membaca dan mengembangkan diri. Apalagi yang mau menulis, jarang sekali," kata Pakde Put.

Pakde Put, juga Bude Lin, menekankan terus kepadaku pentingnya terus belajar, berkreasi dan berekspresi. "Hasilnya mungkin baru bisa dinikmati kamu sendiri saat ini. Tapi, teruslah berkarya dan belajar walaupun penghargaan orang lain itu belum kamu dapatkan. Suatu saat apa yang kamu lakukan pasti akan ada manfaatnya bagi orang lain," kata mereka kepadaku. Mendengarnya, aku mengingat-ingat Pramoedya Ananta Toer, penulis asal Blora yang tetap menulis meski karya-karyanya dan ia sendiri disingkirkan dengan cara-cara yang kejam dan menyedihkan.

Di hari ini aku sempat ke Cibaduyut, setelah dua teman SMP-ku yang kini jadi guru musik di Bandung tak berhasil kuhubungi. Semula aku bingung mau ke mana. Aku lalu naik bis Damri ke Lewi Panjang, lalu naik sebuah angkot ke Cibaduyut. Di sana aku membeli sandal kulit, kaos dan charger handphone. Waktu naik bis ke Lewi Panjang dari Cipaku, sempat lihat sekilas bangunan-bangunan lawas dan Jalan Braga yang bersejarah. Jadi teringat Konferensi Asia Afrika (KAA). Juga teringat Kurnia Effendi yang pernah mengarang cerita Sepanjang Braga.

24 Juni 2009

Pagi ini kuawali dengan mendengar cerita dari Pakde Put.

Pada bulan April atau Mei 1942, di Blora, Pakde Put baru berusia tiga setengah tahun. Ia diajak kakeknya ambil pensiun untuk terakhir kali. Saat itu kondisi ekonomi morat-marit, dan pensiun kakeknya yang bekerja sebagai mantri polisi harus dihentikan. Jepang mulai berkuasa di tanah air. Uang pensiun terakhir sang kakek hanya cukup membeli ketela satu setengah kilo.

Pakde, walaupun masih kecil, turut berpikir saat itu: bagaimana kelangsungan hidup keluarga kami selanjutnya; kami makan apa; dan seterusnya. Ia bercerita begitu banyak hal dramatis yang ia alami semasa kecil, terutama dari tahun 1942 hingga 1948. Sepanjang enam tahun itu Pakde dan keluarganya mengungsi empat kali. Sebabnya, rumah keluarga pakde yang cukup besar, berada di tepi jalan besar, dihuni Jepang dan dijadikan markas. Kemudian, pada saat pemberontakan PKI keluarga pakde juga mengungsi karena saat itu banyak rumah yang dibakar. "Untung rumah pakde tidak ikut dibakar," katanya.

Pakde yang sudah berusia 71 tahun masih saja ingat dengan masa kecilnya. Ini disebabkan karena banyak hal dramatis yang ia alami. Hidupnya penuh jejak kembara, dari masa kecil yang penuh tantangan, kuliah di negeri orang, hingga tuntutan pekerjaan yang membawanya ke berbagai daerah -- bahkan pelosok -- Indonesia.

Menjelang sore, Maya Melivyanti, teman di dunia maya, kuajak ketemuan. Kami makan Surabi di dekat kampus pariwisata dan perhotelan ENHAII. Surabinya lumayan enak, tapi karena jam setengah empat aku sudah makan, jadi tidak kuhabiskan. Wah, merasa bersalah kalau ingat-ingat Romo Mangun yang selalu menghabiskan makanan.

Pembicaraan dengan Maya cukup menyenangkan. Kami bercerita soal aktivitas sehari-hari, kepenulisan, keluarga, pelayanan, dan kota Bandung. Aku paling bersemangat ketika bercerita tentang sejarah misi, karena Maya bercerita sempat ingin menjadi misionaris. Sementara cerita Maya yang paling menarik buatku adalah tentang gereja setan yang dulu sempat heboh di Bandung -- juga Manado.

Pada malam hari, pakde mengijinkanku membaca sebuah buku karyanya tentang Nusa Jawa. Ketika membacanya sekilas pada sebuah bagian, buku itu tampak menarik, memuat beraneka kebijakan, petuah, dan filsafat Jawa yang masih asing bagiku. Di beberapa bagian juga bahkan disajikan perspektif historis-profetis tentang pulau Jawa.

Selain buku karya pakde, aku sempat juga membaca beberapa puluh halaman buku karya Karen Armstrong berjudul Sejarah Tuhan. Menarik, seperti yang kulakukan pada skripsiku, Karen Armstrong di beberapa halaman awal juga menggunakan beberapa pemikiran Rudolf Otto tentang agama dari bukunya berjudul The Idea of the Holy.

25 Juni 2009

Pagi-pagi, jam lima aku sudah bangun. Sebabnya bapak dan ibuku akan datang naik kereta Turangga (Surabaya-Bandung). Kereta dijadwalkan tiba jam tujuh. Sambil menunggu kereta, aku ngopi di warkop depan Stasiun Hall kota Bandung. Ku-sms Iqbal Dawami, temanku di Jogja, kuceritai dia kalo selama di Bandung aku sempatkan mengirim resensi ke Koran Jakarta. Dia bilang aku hebat sampai di Bandung. Aku sempat nggumun, apanya yang hebat, Bung? Lha aku ke Bandung naik bis kok, nggak jalan kaki. Iqbal juga bilang di Bandung pasti banyak peyem, terutama peyempuan. Aku mengiyakan: tepat itu, Bung. Kubilang kalau mereka di sini rata-rata sedap dipandang, apalagi kalau dipandangi sambil menyeruput kopi santai-santai.

Bapak dan ibuku akhirnya datang. Wah, senang sekali. Di antara kami bertiga, cuma bapak yang sebelumnya pernah ke Bandung selama tiga bulan di tahun 1976, di Jalan Pelanduk sebelum ditugaskan bekerja di Pontianak. (Bapakku bekerja sebagai pegawai Badan Pertanahan Nasional. Pada tahun 1976-1982 kami sekeluarga tinggal di Pontianak; tahun 1982-1985 bapak melanjutkan studi sarjana di IIP Jakarta, kami sekeluarga mengikutinya; tahun 1985-1997 ditugaskan dan tinggal di Singkawang, Kalbar; dan tahun 1997 hingga kini tinggal di Malang.)

Ibuku senang sekali ketika ketemu pakde dan bude di Cipaku. Kenangan-kenangan lama mencuat-cuat lagi. Tawa dan senyum tampak renyah, sesekali diiringi pasang demi pasang mata mereka yang kadang tampak berkaca-kaca. Keluarga, pun sanak-saudara, yang pernah menjalin keakraban dan kerukunan, rasanya memang salah satu tempat terindah di dunia. Ke sana kita semestinya bisa memilih untuk kembali, lagi dan lagi. Seperti Juno, dalam film Juno, ketika suatu waktu, setelah beberapa kali meninggalkan rumah, berkata, "Aku baru sadar betapa aku menyukai rumah saat berada di tempat yang berbeda." (Bersambung)

Bandung, 24-25 Juni 2009

No comments: