28.6.09

Perjalanan Liburan, Perjalanan Spiritual (3)

Sore, aku mengajak Andra Lukas Ang ketemu. Dia dulu teman sepelayanan di Gereja Bethany Indonesia. Kami ketemu di sekitar kampus Universitas Padjajaran. Begitu bertemu, dia langsung menyambutku dengan ramah, mengajakku minum kopi di sebuah warkop. Kabar yang paling menggembirakan kuterima dari Andra ada dua: dia sebentar lagi akan menikah, dan sekarang dia sudah menjadi gembala gereja satelit Bethany Fresh Anointing di Tanjung Duren.

Kami saling berbagi banyak wawasan tentang panggilan hidup. Dia tampak sedikit kaget kalau aku sekarang menjadi guru, sering pindah-pindah gereja, dan sering menulis. Dia bertanya, "Khotbah sudah jarang ya?" Ya, aku sudah jarang berkhotbah sejak empat tahun lalu, hampir tidak pernah. Kami berdua, mengenang saat-saat pelayanan dulu -- tiada hari tanpa ke gereja: tiada hari tanpa mengajar, tiada hari tanpa memuridkan, dan tiada hari tanpa memetik gitar, menyembah Tuhan. Sekarang keadaan begitu berbeda, dan dalam cara tersendiri aku bersyukur untuk keadaanku saat ini.

Habis ngopi, kami jalan-jalan hingga ke Gedung Sate, markas DPRD dan Gubernur kota Bandung yang terkenal itu. Di depan Gedung Sate banyak orang sedang berolahraga sepakbola dan voli.

Dari Gedung Sate kami berjalan lagi menuju kampus Universitas Padjajaran. Sepanjang jalan penuh obrolan. Obrolan yang menurutku paling menyenangkan adalah seputar kualitas karakter seorang pemimpin rohani. Dulu, bila aku jalan dengan adik-adik rohaniku, bila melihat cewek cantik, aku segera memasang kacamata kuda. "Sekarang," kataku jujur kepada Andra, "tidak masalah mengagumi kecantikan seseorang, kan? Selama kita belum berpasangan, atau beristri, kurasa tidak masalah. Asal kita bisa jaga hati saja."

Dan, aku senang Andra memberikan respon yang sedikit mengoreksiku: "Dulu, kita menganggap diri kita harus lebih baik -- sebagai seorang yang sering tampil sebagai pelayan Tuhan. Itu bagus, tapi kadang salah juga sih. Kita perlu jadi apa adanya, itu yang benar. Tapi, juga dengan catatan: jangan sampai harga diri kita jatuh karena terlalu jujur dan menyatakan segala sesuatu apa adanya."

Kami kemudian berpisah. Aku naik angkot, melanjutkan perjalanan ke Jalan Braga.

"Kabarku masih terkirim dengan rentang makin panjang. Lantas lama tidak bertukar kabar. Saat itulah aku kembali suka berjalan-jalan di sepanjang Braga," kata Kurnia Effendi dengan lembut dalam cerpennya Sepanjang Braga. Berjalan di jalan yang aspalnya diganti dengan paving-paving batu persegi panjang memang mengasyikkan. Lukisan-lukisan, orang-orang dengan motor-motor besar, café-café yang gemerlap dan elegan, cukup mengesankanku.

Dan di sinilah, di Jalan Braga, kekangenanku pada seseorang memuncak. Di Batu, sebuah kota dekat Malang, saat aku berjalan-jalan di sini, dia sedang mengikuti Kebaktian Tahunan Nasional (KTN) untuk Gereja Misi Indonesia Injili (GMII) se-Indonesia. Dia seorang gadis yang mungil, manis dan selalu riang. Dia bukan siapa-siapaku, cuma sedang amat kurindukan saat ini.

Gadis-gadis di Bandung dan Dunia Fantasi yang berkulit mulus-mulus dan ayu-ayu mungkin menjadi bahan perhatianku, seseorang yang bebas memperhatikan siapa saja karena tak berikatan hubungan kasih dengan seorang wanita. Tapi, ketika aku berjalan seorang diri kali ini, entah kenapa, aku merindukan gadis yang satu ini, dengan kerinduan yang besar, lembut dan sederhana. Aku berharap si gadis mungil sedang berbahagia di mana pun ia berada dan apa pun yang ia kerjakan.

Di Braga, aku menemukan sebuah distro yang cukup menarik, namanya Forguy. Aku masuki distro itu, dan kubeli sebuah kenang-kenangan yang akan kupersembahkan untuk dia yang akan berulang tahun tanggal 11 Juli nanti. Ah, semoga saja dia menyukainya.

"Seperti benderang lampu petir yang mengerjap di langit petang, saat kita diguyur gerimis di Jalan Braga. Saat itu, di antara kita belum ada siapa pun. Andaikata dada kita transparan, mungkin terlihat kembang api jingga setiap kita bicara." Manis nian kata-katamu, Bung Kurnia Efendi! Berharap hal yang sama terjadi ketika aku bicara dengan si gadis riang yang kurindui itu, kelak, suatu waktu.

Kususuri Braga dari ujung utara ke ujung selatan, hingga aku mencapai gedung museum Konferensi Asia Afrika (KAA). Aku pulang dari Braga kira-kira jam sembilan malam. Malam ini kucoba menghubungi si dia, tapi tak bisa. Dia kelihatannya sibuk sekali. Aku tidur kurang nyenyak saat lewat tengah malam hingga pagi karena tidak berhasil mendengar suaranya dari speaker ponselku.

26 Juni 2009

Pagi-pagi, setengah enam, aku, bapakku dan ibuku menuju ke stasiun kereta api kota Bandung naik angkot. Sampai di stasiun kami naik kereta Parahyangan menuju Gambir, Jakarta.

Di kereta aku disodori buku oleh bapakku berjudul Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno Hatta. Sebuah buku yang benar-benar mantap dan menggugah. Buku ini merupakan kumpulan wawancara dengan Romo Mangun, Daniel S. Lev, Sartono Kartodirdjo, Eddie Lembong, Putu Wijaya, Budi Darma dan beberapa tokoh dan budayawan lain.

Daniel S. Lev berkata, "Saya masih ingat, (zaman dulu) elite politik berdebat keras ... tidak setuju satu sama lain, tapi setelah itu masih bisa minum kopi, ngobrol dan tetap bertanggung jawab kepada rakyatnya." Pernyataan ini relevan benar dengan apa yang baru terjadi semalam: debat SBY dan JK, juga Megawati, yang amat seru. Teringat juga kemarin habis ngopi dengan Andra.

Seorang tokoh lain, Eddie Lembong, seorang pimpinan Perhimpunan INTI (Indonesia-Tionghoa) juga menyatakan sesuatu yang menghentak tentang keberhasilan hidup: "Rahasia dagang itu tidak ada... Karena ada jarak, dan kami dianggap makmur, mereka (orang pribumi) menganggap pasti ada rahasia yang kami (orang Tionghoa) sembunyikan. Nanti kalau masyarakat bisa belajar, mereka akan kaget sendiri, sebab kami memang tidak memiliki rahasia apa-apa."

Selain membaca buku itu, aku juga membaca beberapa berita di koran Tribun Jabar. Di Tribun Jabar, aku menemui opini yang sangat menarik disampaikan oleh Rani Pardini, S.Pd, guru SMA KP dan Bina Muda Cicalengka yang menyatakan bahwa guru bukan profesi jalan pintas. Membaca tulisannya aku disadarkan tentang hakikat hidup dan pengabdian seorang guru. Guru semestinya memiliki kekayaan batin yang berlimpah: ilmu, renungan, teladan dan motivasi. "Guru kental dengan panggilan hidup, bukan panggilan perut," katanya dengan telak dan gamblang.

Aku senang berada dalam perjalanan dengan bapak dan ibuku. Mendekati Jatinegara, aku dan bapakku sama-sama membaca. Aku di sampingnya. Dia membaca koran, aku membaca buku. Sesekali kami mendiskusikan apa yang sedang kami baca: tentang profesi guru, keberhasilan, dan sesekali politik. Aku beruntung memiliki bapak yang juga memiliki minat sama denganku.

Sampai di Jakarta aku menemani bapak ke RS Harapan Kita. Puji Tuhan, hasil pemeriksaan di sana menyatakan, intinya, 75% kondisi jantung bapakku masih baik. 1 Juni 2006 lalu ia operasi by-pass.

Dari RS Harapan Kita aku dan bapakku menuju ke Mangga Dua Pasar Pagi. Nah, kali ini kami berdua menunggui ibuku yang sibuk belanja tas untuk dijual lagi ke teman-temannya. Ibuku suka dagang -- aku dan bapak belajar betah untuk menunggunya memilih-milih tas terbaik.

Keluar dari Mangga Dua kami bertiga naik bajaj model baru warna biru menuju Gambir menjelang jam 3 sore. Bajaj biru ini keluaran perusahaan motor Bajaj India yang lagi naik daun itu. Memuat penumpang lebih banyak, tidak menimbulkan polusi, tidak berisik dan jauh lebih hemat. Kelihatannya mantap. Bapakku dan ibuku tampak senang sekali naik bajaj, senyum-senyum terus sepanjang perjalanan, sambil sesekali menggodai supir bajaj yang asli Tegal. Ia ramah dan suka tertawa.

Malam hari, ketika kami sudah kembali ke rumah pakde, aku merasa pakde ingin bicara berlama-lama denganku karena besok, 27 Juni 2009, aku akan kembali ke Malang. Aku duduk di sampingnya. Sambil menyaksikan acara Bintang-bintang Blues di TVRI, kami bicara ngalor-ngidul. Yang paling menarik minatku adalah pembicaraan kami tentang spirit of excellence. Bila para pemimpin, bahkan siapa pun orang, mau memberikan sebuah layanan, atau memperjuangkan sesuatu dengan tidak setengah-setengah, hasilnya pasti akan baik. Pembelajaran dalam berkreasi juga harus didasari dengan spirit itu tadi. Itu yang akan membuat pembelajaran dan karya-karya kita semakin baik -- dan unggul tentunya.

Sudah lewat tengah malam ketika aku dan pakde memutuskan sama-sama untuk segera tidur. Malam itu aku merasa resah dan cukup sedih karena besok malam akan berpisah dengan pakde. Aku akan selalu merindukannya. Dan aku tahu, ia juga akan selalu merindukanku. (Bersambung)

Bandung 26-27 Juni 2009

No comments: