:: cerpen Sidik Nugroho
Pria Pertama
GULITA. Tiba-tiba semua menjadi kelam. Pekat menggerayangi langit. Bumi gonjang-ganjing. Sementara udara berhembus menebarkan bau tanah yang -- jika kau mencium dengan peka -- memuat juga bau amis darah, walau samar, karena kencang nian angin sore ini berhembus!
Seorang pria terlentang kaku dalam renung panjang dan penyesalan di sebuah lereng bukit. "Ke mana aku akan pergi?" tanyanya dalam hati. Jumat yang muram ini menyisakan ruang kegalauan yang besar dan panjang: tentang kesetiaan, pengabdian, kasih dan pengorbanan.
Tiga jam sebelum senja usai ia melihat terang bersinar lagi. Langit perlahan-lahan cerah. Di puncak bukit itu samar-samar terlihat tiga manusia terhukum diturunkan dari tiang gantungan. Untuk yang berada di tengah ia kini menjerit: "Ampuni aku, Guru!" Ia berlari, menjauhi bukit, sekujur badannya terguyur peluh dan hujan. Kumis dan janggutnya yang tebal terbasahi oleh air asin yang keluar dari matanya. ***
Pria Kedua
"MAU ke mana malam ini, Pak Petrus?"
Dua pria sedang melintasi jalan kala hari menjelang malam suatu Minggu. Pak Petrus, seorang pria yang terkenal saleh dan kaya, rajin ke gereja dan menderma, saat ini sedang ditemani teman lamanya semasa SMA dan kuliah. "Kita belok saja, ke kiri, oke?" kata Pak Petrus. Saat ini mereka sedang berada di ujung Jalan Diponegoro di Surabaya, di daerah sekitar Banyu Urip dan Pasar Kembang .
Temannya itu tersenyum nakal. Wajahnya tampak riang nan berangasan. "Tadi aku ajak kok nggak mau sih?" katanya.
Pak Petrus mengulum senyum kecut. "Aku penasaran, dengan barang baru yang kauceritakan tadi," katanya.
"Henny?"
Pak Petrus mengangguk.
Telapak tangan teman Pak Petrus lalu saling berhadapan sejajar, membentuk siluet dengan gerakan pelan. Pak Petrus memandangi temannya itu dengan kagum, lalu menelan ludah. Sesuatu di bawah pusarnya bergerak, kini agak tegang. ***
Pria Pertama
DI sebuah pondok yang jauh dari keramaian, pria itu tertunduk lemas. Di pondok itu semua hal hebat yang pernah ia alami tiga tahun lebih belakangan ini bagai lenyap ditelan bumi. Harapan pupus. Matanya kemudian memandangi jala yang ada di dalam pondok itu. Yang kini mencuat-cuat di benaknya justru refreshing.
"Mungkin aku akan kembali seperti dulu saja. Jadi pencari ikan." Ia pun mengambil alat-alat itu, menjahit beberapa bagian jala yang robek, lalu dengan sigap meletakkannya ke atas pundak, dan berjalan menuju danau.
Senja di danau begitu sunyi. Tampaknya kematian guru di atas bukit itu telah membuat orang-orang dan ikan-ikan meninggalkan danau. Ia menuju perahunya, menyiapkan semuanya dengan santai. "Kembali seperti dulu, mungkin itu pilihanku," katanya. ***
Pria Kedua
"SSST, ssst, ada caleg datang. Ada caleg datang!" kata beberapa wanita berbisik-bisik. Mereka semua sedang duduk pamer paha dengan rok mini di atas sebuah sofa yang panjang. Pak Petrus dan teman lamanya kini telah sampai di Wisma Madonna. Dolly cukup ramai di malam yang muda ini.
"Mana dia?" tanya Pak Petrus kepada temannya.
"Itu, yang pakai baju putih."
Diamatinya wanita itu dari balik kaca di depan wisma. Ingatan akan siluet tadi, digabungkan dengan apa yang dilihatnya kali ini, membuat bagian yang tadi tegang dari dirinya, kini makin tegang.
"Oke, aku ambil dia," kata Pak Petrus mantap. "Kamu?"
Temannya tersenyum penuh kemenangan. "Kubilang juga apa. Kamu pasti cocok, Pak!" Temannya kemudian menunjuk seorang gadis yang lain. Ketika mereka berdua masuk, Pak Petrus berbisik kepada Henny. "Aku bukan caleg, Adik Manis."
Henny tersenyum, manis sekali. ***
Pria Pertama
"Terus, Petrus! Terus!" Demikian nama itu dipanggil-panggil, sambil disemangat-semangati oleh beberapa temannya. Ia telah kelelahan semalaman tak mendapat tangkapan yang bagus -- hanya ikan-ikan kecil yang lebih pantas diasinkan daripada dibakar atau digoreng.
Ia hanya diam saja. Jauh di relung hatinya ia mulai merasa kesepian. Hampa perlahan-lahan meliputi sekujur benaknya.
Di senja hari kedua setelah ia keluar dari pondoknya, Petrus mulai menatapi mentari yang tampak enggan membenamkan diri. Ia ingin mengenang gurunya yang telah mati itu, tapi hatinya begitu penuh penyesalan dan rasa ketidaklayakan. Petrus bimbang ketika daratan seolah-olah memanggil dirinya untuk kembali. Ia sempat memutuskan untuk membenci daratan. ***
Pria Kedua
"KOK pakai jas, Mas Ganteng? Kayak caleg saja!" kata Henny dengan manja.
"Saya habis mendampingi pendeta saya khotbah di Surabaya. Dia sudah pulang ke Semarang. Saya pulang besok. Yah, mumpung di sini, mampir kan boleh to? Menikmati surga dunia terbesar se-Astra!"
Henny mengernyitkan dahi sambil membuka baju. "Astra?"
"Asia Tenggara!"
"Ah, Mas ini. Bisa saja!" kata Henny dengan manja sambil membuka penutup dadanya. Ia membaringkan diri dengan manja di samping Pak Petrus. "O ya, sering ke sini ya, Mas?"
"Nggak kok, Dik. Terakhir ya dulu waktu aku kuliah, sama temanku itu. Temanku itu yang rajin ke sini."
Ketika Henny kini berbaring tanpa sehelai benang menutup badan, ponsel Pak Petrus bunyi. Dari istrinya. Dia biarkan ponsel itu berdering.
Pak Petrus melepas bajunya, celananya, baju dalamnya, dan... kali ini nada dering yang lain terdengar di ponsel yang sama. Bergegas dia ambil ponselnya. Dari pendetanya! Tangan Pak Petrus tergetar. Dengan suara terbata-bata, ia angkat ponsel itu.
Pak Pendeta bercerita, anak Pak Petrus terkena demam berdarah. Parah! ***
Pria Pertama
PETRUS dan kawan-kawannya kini kembali ke darat. Semalaman ia tidak dapat tidur.
Pagi-pagi sekali, rumahnya digedor oleh beberapa wanita. "Guru bangkit! Guru bangkit!" kata mereka seperti orang kesurupan. Dan benar saja, di malam harinya, ketika para murid berkumpul lagi di suatu tempat terkunci, sang guru datang mengucapkan damai sejahtera. Hati para murid diliputi sukacita. Petrus yang putus asa kini bersemangat baja! ***
Pria Kedua
TANPA babibu, semalam langsung ia gedor keras-keras pintu kamar teman lamanya yang lagi berhahahihi.
Pak Petrus dan teman lamanya itu berpisah dalam diam. Hanya dua patah kata terucap dari bibirnya, "Hati-hati."
Temannya hanya mengangguk.
Di rumah sakit Karyadi Semarang, kini Pak Petrus memandangi anaknya yang terbaring tanpa daya. Lemah, dengan trombosit di bawah lima puluh.***
Pria Pertama
NAMUN, semangat membaja pria bernama Petrus itu kadang pudar. Suatu ketika ia memutuskan untuk kembali lagi menangkap ikan. Ia tak tahu apa yang harus dibuat setelah sang guru bangkit. Gurunya itu kadang tampak, kadang hilang. Kegairahan yang luar biasa gampang berubah menjadi kelesuan yang tanpa daya dalam jiwa dan batinnya. ***
Pria Kedua
ANAK Pak Petrus sembuh setelah dirawat sepuluh hari di rumah sakit. Usianya baru tiga tahun lebih dua bulan. Ia bersyukur untuk hal yang ia sebut mukjizat itu. Dua minggu setelah dari Dolly, ia kembali melayani sebagai majelis gereja. Kali ini di Semarang. Dan hari ini, hari Minggu, ia terkesima mendengar doa, "Kasihanilah kami ya Tuhan, menurut kasih setia-Mu yang besar..."
Ponselnya bergetar. Diam-diam, kala doa itu tengah diucapkan dalam ibadah itu, ia baca sebuah pesan pendek di ponselnya: "Henny meninggal. Semalam ia bunuh diri karena anaknya mati. Ia sempat titip salam buatmu minggu lalu." ***
Pria Pertama
SIANG hari, saat Petrus dan kawan-kawannya mencari ikan lagi, sang guru datang! Ia membuat mukjizat dengan mendatangkan banyak ikan untuk ditangkap. Petrus menyambut gurunya itu dengan telanjang dada dan berlari-lari di tepian danau. Kali ini sang guru melewatkan siang hingga malam, bahkan hingga pagi berikutnya lagi, bersama para murid!
Di pagi hari, Petrus menangis lagi ketika kenangan-kenangan yang menyingkap jati-diri dan dustanya dikuakkan kembali oleh sang guru. Gurunya bertanya apakah Petrus mengasihi sang guru sebanyak Petrus menyangkal sang guru. Ia bersimpuh pada gurunya dengan takzim. ***
Pria Kedua
PAK Petrus bersuara serak ketika memimpin jemaat menyanyikan lagu setelah membaca pesan pendek itu. Dari podium tempat ia berdiri, ia saksikan anaknya turut menyanyi dengan senyum berseri. Begitu cantik anaknya itu, rambutnya yang terkucir dalam dua bagian sesekali bergerak-gerak riang.
Istrinya sibuk memandangi teks lagu, tak melihat mata Pak Petrus yang kini memerah dan berair. Betapa ia sayang pada istrinya yang memiliki kelembutan besar, walau kadang bagi Pak Petrus ia kurang menggairahkan ketika bugil di atas ranjang. Di luar gereja semburat ungu dan jingga berpadu di langit. Ia menakar keremangan senja kali ini, mencari tahu seberapa remang juga cahaya dan kegelapan yang berpadu di hatinya. ***
Pria Pertama
HARI demi hari ia lalui. Ia selalu mengingat ketika siang berubah menjadi malam sebelum waktunya tiba: suatu masa, saat pergantian kadar cahaya berlangsung cepat dan bagai tanpa jeda; senja prematur yang termemorikan dengan kekal -- saat seorang guru paling bijak yang pernah ada, diturunkan dari tiang gantungan menebus dosa-dosanya! Keremangan cahaya kala itu berujung pada kegelapan; rintih dan tangis guru yang terpancang tanpa daya di tiang gantungan pun terngiang-ngiang dalam ingatan.
Ia mengenangnya senja demi senja, saat keremangan cahaya menuju kegelapan berlangsung santai. Ketika malam tiba, ia selalu bertekad mengukuhkan benaknya yang kerap bimbang dan gulana. ***
Sidoarjo, seminggu sebelum Paskah 2009
No comments:
Post a Comment