11.5.11

Gereja-gereja yang Membentuk Kehidupan Saya

Orang Kristen yang ideal tentunya memiliki gereja yang dikunjunginya secara tetap Minggu demi Minggu. Namun, saya bukan tipe yang ideal, setidaknya untuk beberapa tahun belakangan ini. Sejak empat tahun lalu, saya pindah-pindah gereja terus.

Beberapa hari lalu, di dalam bis Malang-Surabaya, saat saya merenungkan lagi gereja-gereja itu, saya tergerak untuk membuat sebuah catatan yang mengisahkan persinggahan saya dari gereja ke gereja. Banyak kenangan yang sayang bila dilupakan begitu saja. Dan sayangnya, saya ini pelupa. Akhirnya, lahirlah catatan ini. Catatan yang saya buat, pertama-tama untuk saya sendiri, agar saya tidak melupakan gereja, salah satu tempat di mana kasih dan kuasa Tuhan dinyatakan bagi umat-Nya — terlepas dari segala kekurangan yang ada di dalamnya.

1. GPKM — Masa-masa SMP

Saya mulai merasa senang bergereja saat SMP. Bapak saya membelikan saya beberapa buku cerita rohani, dan saya suka sekali membacanya. Saya ingin mendengar lebih banyak cerita rohani di gereja. Sebelumnya, waktu SD, saya sangat malas ke gereja. Salah satu penyebab kemalasan itu adalah ejekan yang pernah saya dengar suatu ketika.

Waktu itu saya masih SD. Saya ke gereja, ke Sekolah Minggu, naik becak sama abang saya. Begitu sampai di gereja, seorang anak mengejeki saya terus. Dia bilang saya Si Hitam. Saya tidak berani melawan atau balas mengejeknya. Dan karenanya, saya jadi tak mau lagi ke gereja, kecuali bersama bapak atau ibu saya.

Waktu SMP, saya bertemu dengan teman-teman gereja yang lebih baik di Gereja Protestan Kristus Mulia (GPKM) di Singkawang, Kalimantan Barat. Saya bahkan diangkat oleh salah satu guru Sekolah Minggu menjadi ketua untuk kaum remaja. Saya menjadi gitaris di gereja, mengiringi teman-teman saya tampil paduan suara hampir tiap ibadah Minggu. Beberapa retreat atau camping yang diadakan di gereja membuat saya senang sekali menjadi warga gereja.

2. GKII dan GKB Jubilee — Masa-masa SMA

17 April 1997. Saya seorang remaja 17 tahun waktu itu. Hari itu saya menyadari saya perlu pengampunan Tuhan setelah mengikuti sebuah acara bertajuk Hell’s Bells. Di dalam acara itu saya mendapat penjelasan tentang beberapa musik rock yang diklaim oleh gereja penyelenggara acara — GKB (Gereja Kristen Baithani) Jubilee — sebagai musik-musik satanis.

Sebagai penyuka musik rock, saya merasa perlu diselamatkan. Di sebuah ruangan kecil di Undip Tembalang, Semarang, saya sadar akan dosa-dosa saya (namun bukan hanya dosa karena suka musik rock), berjanji mau hidup bagi Tuhan. Walaupun suka nge-rock, saya bukan remaja bandel dan urakan. Namun, saya sadar kebaikan dan kesalehan saya bukanlah jaminan bahwa Tuhan menerima saya. Saya mengalami sebuah titik balik: saya mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat saya dengan sepenuh hati saya. Saya ingat lagu yang mengantar saya menuju kesadaran itu, dinyanyikan David Meece:

We are the reason, that He gave His life
We are the reason, that He suffered and died

Saya juga suka nge-band waktu itu. Sebenarnya, sejak SMP, sejak umur 14 tahun, saya sudah ikut festival band, dan masuk final dalam festival itu walau tak meraih juara. Di festival-festival band selanjutnya, saya — bersama grup band saya tentunya — berhasil meraih beberapa juara. Oleh didikan yang diberikan para pemimpin di GKB Jubilee, saya diharuskan untuk meninggalkan semua musik rock yang dulu amat saya sukai.

Seorang pemimpin di gereja itu bersaksi bahwa kaset-kaset musik rock yang dimilikinya dibakarnya semua. Ia meminta saya melakukan hal yang sama. Namun saya bersikukuh bahwa tidak semua musik rock itu satanis. Saya tidak mau membakar kaset-kaset saya. Saya setuju menyingkirkan kaset-kaset saya yang berjumlah sekitar 50 buah. Kaset-kaset itu kemudian saya jual — tapi lebih banyak yang saya berikan — ke teman-teman saya.

Saya juga diminta untuk meninggalkan GKII (Gereja Kristen Indonesia Injili) di Semarang yang sebelumnya saya kunjungi tiap Minggu bersama nenek saya. GKB Jubilee mengajarkan bahwa orang Kristen perlu memiliki komitmen pada satu gereja. Saya tak serta-merta melakukannya karena sudah terbiasa mendampingi nenek saya bergereja di GKII tiap Minggu jam 6 pagi. Saya makin sering mengikuti berbagai kegiatan di GKB Jubilee, walau kadang masih menemani nenek ke GKII. Saya senang dengan semangat anak-anak muda di GKB Jubilee. Di GKII para pemudanya kurang bersemangat. Di GKB Jubilee saya dilatih menjalani kehidupan rohani yang disiplin. Saya jadi rajin berdoa, menamatkan pembacaan Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu tak sampai setahun.

Teman-teman saya di luar gereja heran dengan perubahan saya. Saya hanya mau menyanyikan lagu rohani, dan hanya menjadi gitaris di gereja. Saya sempat mengalami konflik yang besar dengan grup band saya karena ajaran pemimpinnya yang mengharamkan musik rock. Apalagi waktu SMA saya memiliki tiga grup band: satu band dengan teman sekampung (Flatus), satu band dengan teman sekelas (Visioner), dan satu band bentukan guru ekskul musik SMA (Neo-Six). Konflik terbesar saya alami dengan grup band Visioner karena sayalah yang menggagas berdirinya grup band itu, namun saya juga yang keluar pertama kali.

Belakangan, saya merasa ajaran yang ada di gereja ini kelewat radikal, walau radikalismenya bersifat internal dan bertujuan baik untuk warga gereja. Ada juga ajaran radikal lainnya: warga gereja yang masih SMA atau baru kuliah di semester awal tidak boleh berpacaran. Pacaran benar-benar dilakukan bila sudah siap menikah. Waktu SMA saya sudah punya pacar, dan saya pun patuh pada pimpinan saya. Dengan berat hati, saya memutuskan hubungan dengan pacar saya.

3. GPdI Elohim — Masa-masa Kuliah di Brawijaya

Setelah tamat SMA, saya pindah ke Malang. Waktu SMA saya tinggal dengan nenek saya di Semarang, sementara orang tua saya masih di Singkawang, Kalimantan Barat. Setelah saya naik kelas 3 SMA, orang tua saya pindah dari Kalimantan Barat ke Malang. Di Malang saya senang dengan suasananya, jauh berbeda dengan Semarang yang panas.

Saya dibelikan Honda CB 100 tahun 1978 oleh bapak saya. Harganya satu juta lebih sedikit. Bapak saya sebenarnya ingin membelikan motor yang lebih baru, namun saya bersikeras minta CB 100, karena sejak SMA saya menyukai model motor itu. Sampai sekarang pun saya masih menyukainya.

Dengan CB 100 itu saya suka bepergian ke mana-mana kalau pulang kuliah. Saya kuliah di Universitas Brawijaya Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, hanya setahun, dari tahun 1998 sampai 1999. Cukup banyak aktivitas perkuliahan yang berkaitan dengan pengamatan tanaman. Gara-gara aktivitas ini saya suka melihati tanaman apa saja. Kesukaan ini membuat saya sering pergi ke kota Batu, melihat kebun-kebun apel, dan kadangkala mengajak petani-petani apel mengobrol seputar penyakit tanaman atau kehidupan sehari-harinya.

Suatu ketika saya menemukan toko buku Kristen yang lumayan lengkap di Batu, toko buku Imanuel. Di sebelahnya ternyata ada sebuah gereja, GPdI (Gereja Pentakosta di Indonesia) Elohim.

Saya pun mencoba ikut dalam ibadah pemuda di situ. Saya mudah akrab dengan beberapa teman. Bahkan saya seringkali tinggal di beberapa rumah teman di Batu selama beberapa hari. Seringkali, dari hari Jumat sore sampai Minggu siang saya ada di Batu, dan baru pulang ke Malang di hari Minggu sore atau malam. Walaupun tidak sampai setahun di sini, banyak kenangan yang menyenangkan dari gereja ini.

Di gereja ini saya memiliki seorang sahabat yang sangat gemuk, beratnya hampir 130 kilogram. Suatu hari dia memberi saya hadiah sepasang sarung tangan agar saya tidak kedinginan naik motor dari Malang ke Batu. Kami berdua sering menaiki motor CB saya sampai Pujon, sebuah kecamatan yang lebih tinggi dari kota Batu, kecamatan penghasil susu sapi terbanyak di Jawa Timur. Di Pujon kami mengunjungi teman-teman gereja lainnya. Beberapa orang heran dengan kekuatan motor CB saya itu, dinaiki dua orang yang total beratnya hampir 200 kilo, masih kuat saja menanjak dan meliuk-liuk.

Sayangnya, sahabat saya yang baik ini meninggal di usia muda karena diabetes. (Bersambung)

Malang-Sidoarjo, Mei 2011

***

Rencananya akan saya sambung dengan cerita dan pembahasan:
4. GAP — Masa-masa Kuliah di UM
5. Gereja Bethany — Masa-masa Kuliah di UM dan Pasca Kuliah
6. GNS (Gereja Nomaden Suka-suka) — Masa-masa Bekerja
7. Pandangan Pribadi tentang Gereja-gereja

2 comments:

gogidogi said...

omong2 tentang musik rock dalam gereja, coba cek artikel ini
http://www.sendspace.com/file/9yu1nj

Solo Dios Basta said...

Salam....
Menarik sekali petualangan anda dari gereja ke gereja. Sudah membaca buku kisah seorang peziarah, yang mengajarkan doa Yesus? doa dari gereja orthodox. Tepatnya dari biara gunung athos.