Pandangan Pribadi tentang Gereja-gereja
Dalam dua bagian tulisan yang lebih awal (dengan judul yang sama) saya telah mengisahkan persinggahan dan petualangan saya dalam gereja-gereja. Saya membuat catatan itu dengan pertimbangan yang semasak-masaknya agar -- sedapat mungkin -- tidak ada satu pihak pun yang dirugikan. Saya -- dengan kejujuran dan tentunya subjektivitas pribadi -- mengemukakan kelebihan dan kekurangan yang saya temui dalam gereja.
Di sisi lain, selalu saja ada pihak-pihak yang membangun suatu generalisasi yang payah atas persoalan yang kompleks. Dalam kasus saya ada yang berkomentar gereja bukan gedung. Gereja adalah umat Nasrani secara individu, di mana saja kita adalah gereja, dan komentar-komentar lain yang senada. Saya tidak menganggap remeh pemikiran-pemikiran tersebut, cuma, pemikiran-pemikiran demikian tidak menyentuh pada persoalan yang sebenarnya ingin saya ketengahkan.
Namun, saya juga tidak tengah mengharapkan pemikiran yang berbelit-belit atau rumit. Setidaknya, saya berharap lahir sebuah diskusi tentang gereja yang membuat kita memahami hal-hal yang harus diperhatikan dan diabaikan dalam gereja. Dalam catatan terakhir ini saya lebih menyoroti berbagai hal yang menurut saya perlu dibenahi dalam gereja.
Hal terutama yang hendak saya ketengahkan dalam catatan penutup ini (juga catatan-catatan sebelum ini) adalah: setiap lembaga -- bahkan di luar gereja -- memiliki tradisi dan pengajaran yang berbeda-beda. Gereja, sebagai lembaga di mana Allah mempercayakan pesan tentang kasih dan kuasa-Nya, tidak salah memelihara berbagai tradisi yang masing-masing ada padanya. Namun, janganlah kiranya tradisi itu yang dikedepankan. Kristus yang harus dikedepankan.
***
Sebuah contoh tentang pengedepanan tradisi yang begitu mengganggu saya, saya temui dalam sebuah ibadah KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) di auditorium Universitas Merdeka Malang beberapa tahun silam. KKR itu bertepatan dengan perayaan Natal. Penyelenggaranya adalah gereja beraliran Reformed-Injili. Menjelang akhir KKR, seorang solois menyanyikan sebuah lagu berjudul Haleluya karya Frederich Handel. Sang pembicara KKR baru saja selesai khotbah, dan ia tengah berada di bagian belakang gereja.
Saya yang duduk di bagian belakang sangat kaget. Sebabnya, tiba-tiba sang pembicara teriak-teriak, "Berdiri! Berdiri!" di belakang. Sambil teriak-teriak ia berjalan maju, naik lagi ke mimbar, memberi penjelasan bahwa lagu yang tengah dinyanyikan adalah sebuah lagu mahakarya tingkat tinggi, yang tidak bisa dinyanyikan sembarang orang. Ia kemudian menjelaskan kondisi yang ada di negara-negara lain di Eropa dan Amerika: tiap kali orang mendengar lagu itu, mereka langsung berdiri. Nah, masalahnya sekarang, sekarang saya di Indonesia, saya tidak tahu tradisi itu.
Saya kurang suka membangkang. Saya pun berdiri, mendengar lagi lagu itu dinyanyikan ulang. Saya akan lebih suka berdiri kalau band kesukaan saya, Mr. Big, menyanyikan lagu Daddy, Brother, Lover, or Little Boy yang hingar-bingar. Saya tahu lagu itu, dan sangat saya sukai.
Masih begitu banyak contoh yang membuat saya terganjal. Kali ini soal berkat. Di beberapa gereja Karismatik, pengajaran tentang berkat sudah demikian kelewatan bagi saya. Saya sudah hampir lelah mendengar: "Bila Anda beriman, pasti Anda diberkati. Bila Anda mengikut Kristus, pasti Anda akan kaya, sejahtera, sembuh dari penyakit Anda, dan mengalami terobosan-terobosan baru dalam hidup Anda," dan kata-kata motivatif lainnya yang disampaikan dengan meledak-ledak dari balik mimbar.
Kisah-kisah di Alkitab sendiri bahkan mencatat banyak orang yang keadaannya tidak berubah dan mengalami terobosan dramatis apa pun setelah mengikut Tuhan. Bahkan ada yang keadaannya jadi lebih buruk setelah mengikuti Tuhan. Setelah Injil mulai menyebar di wilayah Asia, di abad-abad awal Masehi banyak orang Kristen yang harus menjadi martir karena setia mengikuti Tuhan. Ada yang menyatakan, martir-martir kini sudah tidak ada lagi. Tunggu dulu! Saya pernah mendengar dari sumber yang terpercaya bahwa jumlah martir di abad 20 dan 21 (hanya dalam dua abad) lebih banyak daripada jumlah martir yang ada di sepanjang abad 1-19.
Penganiayaan terhadap orang Kristen terus berlangsung dari masa ke masa. Gereja tak bisa hanya bicara lantang soal kesuksesan finansial. Bila orang-orang dari gereja Karismatik terus dijejali dengan khotbah demikian, suatu saat akan lahir generasi mereka yang benar-benar lupa sejarah gereja. Dan mereka tentu akan menganggap gila seorang tokoh yang bernama Martin Luther. (Sekarang saja, sudah saya temui beberapa kali orang Kristen yang salah kaprah membedakan Martin Luther dan Martin Luther King, Jr.) Demi menemukan kehendak Allah dalam hidupnya, sosok seperti Martin Luther malah menjauhkan diri dari segala kesenangan duniawi -- yang tentu membuatnya tak mengejar kesuksesan finansial dengan cara apa pun.
Baiklah, melupakan sejarah Martin Luther mungkin tak menjadi masalah. Tapi, bila yang terus-menerus dikhotbahkan adalah uang, para jemaat akan berpikir bahwa kekurangan adalah dosa. Padahal tidak demikian. Kini, masih adakah khotbah-khotbah tentang kasih karunia Tuhan, hidup yang berkenan pada-Nya, atau pengabdian untuk kemuliaan nama-Nya, yang semuanya itu tak selalu berhubungan dengan uang?
Ya, masih banyak hal yang membuat saya terganjal. Di dalam dua catatan saya sebelumnya, saya mengisahkan adanya gereja yang melarang jemaatnya berpacaran dan mendengarkan-memainkan musik rock (silahkan simak kedua catatan itu di link yang saya sertakan di bawah, yang memuat alasan bagi pelarangan itu, agar Anda tidak salah memahami atau menanggapi).
Ada juga gereja yang sangat antipati terhadap rokok, sementara di gereja lain ada jemaat (bahkan pendeta) yang santai saja merokok di halaman gereja setelah selesai ibadah. Untuk masalah yang satu ini, saya senang dengan pandangan seorang pendeta yang suatu ketika menyatakan bahwa tubuh kita perlu dijaga bukan hanya dengan tidak merokok. Jadi, bila dalam sebulan Anda hanya merokok tiga batang karena alasan pergaulan, misalnya, Anda jauh lebih baik daripada orang Kristen yang suka makan jeroan, lemak, dan menimbun sampah dan kotoran lain dalam tubuhnya dengan nafsu makan yang tidak bisa dikendalikan.
Ya, masalahnya tidak ada ayat yang secara tersurat melarang kita merokok, bukan? Alkitab cukup menyatakan agar kita menjaga dan memelihara tubuh kita. Saya mengenal seorang pendeta lain yang tidak merokok, tapi sangat mengagumi C.S. Lewis dan J.R.R. Tolkien yang keduanya suka menghisap pipa bertembakau. Lewis dan Tolkien orang Nasrani. Kebetulan saya juga mengagumi keduanya. C.S. Lewis dianggap sebagai salah satu tokoh Kristen terkemuka, hingga kini terus dikenang. Sementara Tolkien dianggap salah satu pendongeng terbaik sepanjang masa.
Nah, sekarang, bagaimana dengan gereja-gereja itu, yang antipati terhadap rokok? Apakah nanti mereka akan berdalih, kalau Lewis dan Tolkien adalah kasus lain? Jadi, Lewis dan Tolkien bisa diterima, sementara perokok lain harus dijauhi? Ah, yang benar saja. Lewis dan Tolkien kan juga manusia, Bung!
***
Begitulah, dalam perjalanan saya dari gereja ke gereja, saya menemui banyak hal yang masih mengganjal. Seperti yang saya tegaskan, hal-hal yang mengganjal itu utamanya berkaitan dengan tradisi yang dibangun oleh gereja-gereja itu -- sesuai alirannya, sesuai organisasinya. Hal-hal lain seperti soal tata-cara baptisan, persembahan persepuluhan, doktrin baptisan Roh Kudus, alat musik drum dilarang dimainkan dalam gereja, dan sederet hal lain, semuanya merupakan tradisi dan pengajaran yang kadang disejajarkan -- atau malah dilebihutamakan -- daripada pesan-pesan di dalam Injil.
Semasa Yesus Kristus melayani di dunia ini, ia membongkar tradisi Yahudi. Tradisi itu dipelihara dengan memperhatikan kitab-kitab Musa dan para nabi yang hidup sebelum Kristus. Kristus, sebaliknya, tidak menciptakan tradisi apa pun. Ia tidak mewariskan buku, hanya sekali Ia dikisahkan menulis -- menulis di tanah. Tulisan itu, bila kena angin dan hujan, sirnalah.
Kristus tidak pernah membenci Musa, tapi Ia sangat membenci orang-orang Farisi, para penjunjung tinggi hukum dan peraturan Musa yang tidak berbelas kasih, tidak berempati, dan tidak toleran. Kristus menjadi sahabat pelacur, pemabuk, dan penilap pajak. Ia tidak pernah mencoba berkuasa dengan mendekati orang-orang di pemerintahan, melakukan lobi-lobi politik secara diam-diam.
Apa yang dilakukan Kristus semasa melayani tiga setengah tahun telah mengubah kehidupan orang-orang di zaman-Nya dan sekitar-Nya. Gereja, yang kepadanya diamanatkan meneruskan pesan Kristus, sayangnya, mengulangi apa yang dilakukan oleh orang-orang Farisi. Berbagai telaah teologis atas baptisan, persepuluhan, iman, kesuksesan, dan hal-hal lain untuk melanggengkan tradisi dan pengajaran gerejawi dibuat. Dan bila dijadikan buku, ditumpuk, semua itu akan jadi jauh lebih tebal daripada Taurat orang-orang Farisi.
***
Pada akhirnya, seperti yang saya sampaikan di bagian paling awal (bagian 1), semua hal yang saya tulis ini berpulang pada saya. Saya sudah empat tahun tidak bergereja secara tetap. Janganlah meminta saya untuk tidak bergereja karena (mengutip sepenggal lirik lagu Sekolah Minggu): "Aku gereja, kau pun gereja."
Saya tidak sedang membahas gereja dalam tataran individu -- bahwa tiap orang Nasrani adalah gereja itu sendiri -- namun gereja sebagai suatu organisasi berikut tradisi dan pengajaran yang dibangun di dalamnya. Semua itu telah membentuk kehidupan saya. Saya pernah sangat membenci musik rock, antipati terhadap orang yang merokok, memutuskan pacar saya -- semuanya karena tradisi dan pengajaran yang dibangun gereja-gereja tertentu.
Seiring berjalannya waktu dan perjalanan saya dari gereja ke gereja, sikap-sikap saya mulai berubah. Saya belajar untuk lebih toleran, tanpa meninggalkan pengajaran-pengajaran yang bagi saya lebih penting dan hakiki, terutama yang disampaikan oleh Kristus sendiri dalam keempat Injil. Ya, catatan ini memang menyoroti banyak kekurangan dalam gereja. Namun, percayalah, di gereja pula saya belajar bagaimana memiliki kehidupan yang berarti.
Ke depan, saya ingin beribadah lagi dengan tetap di sebuah gereja. Saya tahu, begitu banyak kekurangan akan saya temui di gereja mana pun yang nantinya akan saya kunjungi dengan tetap, sebagaimana orang-orang terdekat saya menemukan banyak kekurangan dalam diri saya. (*)
Malang, 20-21 Mei 2011
Catatan:
Tulisan sebelum tulisan ini:
Bagian 1: http://tuanmalam.blogspot.com/2011/05/gereja-gereja-yang-membentuk-kehidupan.html
Bagian 2: http://tuanmalam.blogspot.com/2011/05/gereja-gereja-yang-membentuk-kehidupan_12.html