16.10.10

Potret Pengucapan Syukur yang Bersahaja

Judul buku: It's a Wonderful Life
Penulis: Arie Saptaji
Penerbit: Gloria Graffa
Tebal: 184 halaman
Cetakan pertama, 2010

"Les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis."

~ Victor Hugo

"Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan," demikian yang tertulis dalam buku klasik karya Victor Hugo, Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati. Hidup adalah kefanaan, dan tiap manusia tidak pernah tahu kapan menjemput ajalnya masing-masing. Sayangnya, tak jarang begitu banyak orang yang menyia-nyiakan hidupnya karena merasa mendapat banyak hal yang tidak pantas.

Kekecewaan, kehilangan dan segala kepahitan yang dialami seseorang bisa terjadi sedemikian parah. Tak jarang, segala hal tak baik tersebut membuat seseorang memutuskan mandek untuk meraih hal yang berharga dalam hidup ini, bahkan mengakhiri hidupnya. Lewat bukunya, Arie Saptaji ingin menunjukkan hal-hal yang semestinya membuat kita bersyukur.

"It's a wonderful life," kata-kata yang menjadi judul buku ini sama persis dengan judul sebuah film klasik yang melegenda. Kisahnya tentang seorang bankir, George Bailey, yang hampir kehilangan segalanya karena hutang dan kealpaan asistennya. Semasa kecil ia juga mengalami kecelakaan yang membuat sebuah telinganya tuli. Di masa muda ia juga mengurungkan niat untuk menjelajah dunia karena ayahnya menghendaki ia meneruskan bisnis keluarga.

Namun, keluarga yang ia miliki adalah anugerah terbaiknya. Titik balik terbesar dalam hidupnya ia dapatkan ketika menyadari betapa istri, keempat anaknya dan orang-orang di sekelilingnya adalah anugerah-anugerah yang tak bisa ditukar dengan apa pun. Nah, seperti George Bailey yang tak luput dirundung malang, Arie Saptaji mengisahkan banyak hal yang pribadi dalam bukunya ini: hal-hal yang membuat hidupnya pantas disyukuri.

Dalam sebuah bagian, Arie mengisahkan Amadeus Aaron, anaknya yang meninggal hanya lima jam setelah ia lahir prematur. Dengan lugas dan tegar Arie menuliskan catatan dan renungannya tentang kepergian Amadeus yang mendadak dan tidak diharapkan siapa pun. "Sepanjang kebaktian penghiburan, saya hanya bisa menatap langit Yogya yang biru cerah bertabur serpihan awan putih," tulisnya dengan lirih dan indah. Di masa lalu, seorang penyair terkenal bernama J.E. Tatengkeng juga menuliskan puisi yang begitu lirih atas kepergian anaknya yang baru saja lahir:

Anak kami Tuhan berikan
Anak kami Tuhan panggilkan
Hati kami Tuhan hiburkan
Nama Tuhan kami pujikan

Seperti itulah sebuah potret pengucapan syukur yang Arie suguhkan. Tulisannya membuat kita terpana dan merenung: betapa kehidupan dapat ditilik dari sisi yang lain. Tulisannya membuka mata batin yang tertutup oleh kedegilan hati, dan menjelaskan daya lihat kita yang kabur untuk memahami maksud dan rencana Tuhan.

Dalam bagian-bagian lain Arie mengisahkan dan mengajak pembaca merenungkan banyak hal seputar kehidupan sehari-hari dalam keluarga: hal-hal yang bersahaja dan terkesan remeh-temeh seperti bagaimana memilih tayangan yang baik di televisi, meluangkan waktu berjalan-jalan bersama anak-anak, mensyukuri berkat yang diberikan Tuhan dalam keluarga lewat pekerjaannya sebagai seorang penulis dan penerjemah.

Ibarat lagu, apa yang Arie tuliskan sama seperti yang pernah dinyanyikan Welyar Kauntu, "Bila Engkau tak besertaku, kami tak mau berjalan. Kuperlu Tuhan pimpin langkahku dengan kasih karunia-Mu." Nyanyian yang dikembangkan dari beberapa ayat di Keluaran 33 ini mewakili butir-butir renungan yang Arie sampaikan.

SELAIN hal-hal di atas, Arie juga menceritakan sebuah kisah yang menggugah tentang pertemuannya dengan sahabatnya di dalam penjara. Sahabatnya ini adalah salah satu contoh kegigihan hidup yang nyata. Ia mengingatkan kita pada sosok Rubin Carter yang diperankan Denzel Washington dalam film Hurricane. Di dalam penjara si sahabat ini tidak mandek dan bersedih hati. Ia malah suka menulis. Suatu hari ia menulis sebuah resensi atas buku The Impact (karya Arie Saptaji juga) dan menjadi pemenang.

Ada tiga hal lain dalam buku ini yang awalnya terasa agak melenceng dari bagian-bagian lain. Itu adalah bagian tentang Paskah, Natal, dan Kenaikan Kristus. Terasa agak melenceng, karena tiga bagian ini tak membahas hal-hal yang terjadi sehari-hari. Terutama pada bagian tentang Kenaikan Kristus, Arie menghadirkan bahasan yang agak teologis.

Namun, dengan menyertakan bagian-bagian ini, agaknya Arie hendak menggarisbawahi bahwa kelahiran, kematian-kebangkitan dan kenaikan Kristus adalah peristiwa-peristiwa yang penting. Dari ketiganya kita memperoleh alasan mengapa kita perlu senantiasa bersyukur dalam hidup dan yakin bahwa nantinya, setelah kita menjalani kehidupan yang fana ini, ada upah yang akan kita terima dalam kerajaan Allah dan kehidupan kekal.

BEGITULAH Arie Saptaji menyampaikan catatan-catatannya yang reflektif tentang kehidupan. Di antara dua puluh lebih buku lain yang sudah ia tulis, baru buku ini yang terasa begitu pribadi. Di dalamnya juga ada foto-foto pribadi yang disertakan: foto keluarga, foto pernikahan, foto ketika ia mengantar anaknya bersekolah, juga foto ketika ia menimang Amadeus Aaron, putranya yang telah tiada.

"Lewat hidupmu yang hanya lima jam, engkau memperlihatkan betapa kasih Allah itu adalah gunung kekuatan kita. Kami akan meneruskan perjalanan. Di depan tak ayal masih akan ada badai," demikian beberapa bagian "surat perpisahan" yang Arie tuliskan untuk Amadeus Aaron.

Dum vita est, spes est. Ketika masih ada kehidupan, di situ pula masih ada harapan, demikian Cicero pernah menulis suatu ketika. (*)

Sidoarjo, 1-2 Oktober 2010

No comments: