Judul Buku: Guardians of Ga’ Hoole (Diculik!)
Penulis: Kathryn Lasky
Penerjemah: T. Dewi Wulansari
Tebal buku: 338 halaman
Cetakan pertama, 2010
Aku telah menyelamatkan diriku dengan memberi kepercayaan kepada sayap-sayap muda. Terberkatilah mereka yang percaya, mereka pasti terbang.
~ Doa kuno burung hantu, Diculik!, halaman 245
BILA kita memperhatikan buku-buku untuk anak dan remaja yang dijual di toko-toko buku besar, maka tampak jelas bahwa dongeng dan epik-fantasi cukup digandrungi akhir-akhir ini. Cerita-cerita tentang manusia yang hidup di negeri khayalan – atau pun di planet Bumi – dikisahkan dengan antusias oleh para pencerita. Namun, masih banyak kisah yang melulu menghadirkan makhluk-makhluk yang sama seperti peri, kurcaci, kuda sembrani, raksasa, dan sejenisnya.
Sebaliknya, cerita-cerita tentang hewan atau fabel, tampaknya masih digarap kurang maksimal. Banyak penulis yang menghadirkan fabel dalam bentuk cerita bergambar atau kumpulan cerita pendek yang tipis-tipis. Ada juga cerita yang ditambahi dengan berbagai pesan moral secara tersurat, seakan-akan para pembaca tidak dapat memetik sendiri pesan itu.
Lewat bukunya Guardians of Ga’ Hoole – dalam edisi Indonesia diterjemahkan dengan judul Diculik! – Kathryn Lasky melakukan penelusuran yang total atas burung hantu: dari cara bertelurnya, perkembangan bentuk tubuhnya, jenis-jenis burung hantu, juga perilaku dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Lewat drama yang cukup menghentak sejak awal cerita, Kathryn menyuguhkan bacaan yang menarik disimak hingga tuntas.
Cerita di buku ini menghadirkan seorang burung hantu muda bernama Soren. Ia baru saja sangat gembira karena memiliki adik perempuan yang manis bernama Eglantine. Dia sangat menyukai nama itu. Ketika melihat adiknya lahir, betapa ia sayang padanya. Tak lama setelah kelahiran itu, kedua orang tua Soren memutuskan untuk pergi berburu, mencari makanan untuk persediaan di musim dingin yang akan segera tiba.
Soren mendadak terjatuh dari atas pohon ketika sedang berdiri di pinggir lubang sarangnya. Ia sedang mengintip keluar, menunggu kedatangan kedua orang tuanya yang sebenarnya masih lama tiba. Soren yang masih belum bisa berjalan di dahan apalagi terbang, meminta abangnya, Kludd, untuk menolongnya. Bukannya menolong, Kludd yang sinis malah menyalah-nyalahkannya dan menertawakannya.
Tiba-tiba Soren diculik! Ia dibawa ke sebuah tempat bernama Sekolah untuk Burung Hantu Yatim Piatu. Di sekolah itu ia bertemu dengan Gylfie, seekor burung hantu perempuan yang selalu punya rasa ingin tahu. Persahabatan mereka terjalin begitu alami dan manis. Mereka berdua selalu saling mengingatkan bahwa saat itu pikiran mereka sedang dikacaukan oleh pimpinan sekolah yang jahat.
Di sekolah itu ada semacam penomoran dan penggantian nama yang membingungkan para burung hantu yang diculik dan ditawan. Nah, di sinilah cerita tentang kedua burung hantu ini jadi agak membingungkan. Selain karena terjemahan dalam edisi Indonesia dilakukan kurang luwes, pada bagian ini, konflik utama yang mau dijadikan fokus cerita agak bercabang-cabang. Bagian yang sebenarnya bisa tampil lebih menggigit, malah jadi terasa bertaring tumpul.
Namun, pada intinya, penculikan yang dilakukan terhadap Soren, Gylfie, dan bahkan ribuan anak burung hantu lainnya di sana, membuat mereka lupa akan jati-dirinya. Mereka dibuat bingung sehingga perlahan-lahan lupa bahwa mereka adalah makhluk-makhluk istimewa yang diciptakan untuk terbang tinggi di malam hari. Soren dan Gylfie menolak untuk melupakan diri mereka.
Dengan bantuan Grimble, seekor burung hantu yang nyaris lupa-diri akibat dibingungkan, mereka berhasil terbang dan melarikan diri pada akhirnya. Mereka terbang bersama doa turun-temurun para burung hantu, seperti yang dikutip dalam pembukaan di atas.
DALAM waktu dekat, film adaptasi atas buku ini juga akan ditayangkan di bioskop-bioskop di Indonesia dengan judul Legend of the Guardians: The Owls Of Ga' Hoole. Bila disimak di situs legendoftheguardians.warnerbros.com, visualisasi yang dibuat atas beberapa karakter dari buku ini sangat manis dan lucu. Film ini akan diangkat dari tiga buku awal yang dikarang oleh Kathryn Lasky: The Capture, The Journey dan The Rescue; sementara buku ini adalah terjemahan dari seri pertama, The Capture.
Jadi, buku ini nantinya mungkin hanya akan teradaptasi menjadi sepertiga kisah dalam keseluruhan film, walau kita semua tentunya tahu, bahwa sebuah buku atau novel, ketika diadaptasi menjadi sebuah film, lebih cenderung menjadi lebih pendek akibat terjadinya beberapa pemangkasan. Berbeda dengan adaptasi atas novelet atau cerpen, yang justru terjadi sebaliknya. Apalagi buku ini terhitung tebal, nantinya mungkin akan banyak bagian yang hilang.
Terlepas dari bagaimana film itu nantinya hadir di hadapan para penyuka kisah fantasi, totalitas yang ditunjukkan Kathryn Lasky dalam penggarapan buku tentang kisah Soren dan kawan-kawannya ini sungguh besar. Dalam fantasticfiction.co.uk/l/kathryn-lasky dicatat, masih ada 16 judul lain yang menjadi sekuel buku pertama ini. Kathryn Lasky selama ini memang menghabiskan waktunya untuk mengamati perilaku dan morfologi burung hantu. Awalnya ia berencana menulis buku nonfiksi tentang burung hantu, namun kemudian menyadari bahwa tugas itu tidak mudah: burung hantu baru muncul di malam hari, dan mereka suka sekali bersembunyi. ***
Sidik Nugroho
Malang, 25 September 2010
No comments:
Post a Comment