5.5.10

Balas Budi Seorang Pecinta Alam

Sidik Nugroho*)

Judul: Amira and Three of Cups of Tea
Penulis: Greg Mortenson dan David Oliver Relin
Penyadur: Sarah Thomson
Penerjemah: Ingrid Nimpoeno
Penyunting: Emi Kusmiati
Penerbit: Qanita
Tebal: 250 halaman
Cetakan pertama, November 2009

***

Perlu ada upaya melihat,
upaya melihat dengan menjungkirbalikkan segala makna yang sudah ada,
untuk sampai pada yang tak dikenal,
hidup sejati yang berada di tempat lain
~ Arthur Rimbaud, penyair Prancis (1854-1891)


Puisi Arthur Rimbaud, penyair yang suka berkelana itu, rasanya tepat benar mewakili jiwa petualang seorang pria bernama Greg Mortenson ketika suatu hari ia memandangi anak-anak di sebuah pedalaman Pakistan menulis dengan ranting di tanah. Saat itu mereka tengah belajar dan menuntut ilmu.

Betapa jauh kondisi yang dilihatnya itu dengan negeri dari mana ia berasal, Amerika. Niatnya pun bulat: ia ingin membangun sekolah bagi anak-anak itu. Selain karena kejadian itu, hal ini juga disebabkan karena ia telah ditolong oleh seorang Pakistan ketika hampir mati di Gunung Korakoram di Pegunungan Himalaya.

Saat itu Greg sedang tersesat dan nyaris binasa. Penolongnya itu bernama Haji Ali. Di rumah Haji Ali di Korphe, sebuah desa di sana, Greg dirawat hingga pulih. Suatu ketika, oleh Haji Ali ia diberi tiga cangkir teh yang melambangkan penerimaan, persaudaran dan ikatan sehidup-semati.

Tak sedikit rintangan yang ditemui Greg untuk mewujudkan niat balas budinya membangun sekolah pertamanya di Pakistan, sampai akhirnya ia mendapat bantuan dana dari seorang pengusaha Prancis yang kaya bernama Jean Hornie.

Kisah Greg Mortenson yang ditulis ulang (disadur) oleh Sarah Thomson dalam buku ini ditujukan bagi pembaca muda. Buku aslinya yang jauh lebih tebal, Three Cups of Tea, yang ditulis oleh Greg sendiri bersama seorang rekan bernama David Oliver Relin, telah rilis pertama kali pada Januari 2007 (diterbitkan Penguin) dan menjadi sebuah buku laris yang diterjemahkan berbagai bahasa. Kisahnya yang dramatis dan penuh dedikasi membangun sekolah tanpa menguatirkan kondisi politik yang sedang penuh gejolak di masa itu, perbedaan agama, dan berbagai tantangan lain akan selalu dikenang banyak orang.

Sarah Thomson menyadur buku asli itu menjadi lebih ringkas, mengisahkan hidup Greg dari sudut pandang orang ketiga. Ia pun menyertakan wawancara dengan Amira, putri Greg yang kini berusia 14 tahun. Dalam wawancara itu dikisahkan bagaimana Amira memandang sosok ayahnya, dan apa-apa saja yang ia lakukan untuk membantu ayahnya membangun lebih banyak lagi sekolah: Ia menyanyi pada beberapa kesempatan, ikut ayahnya presentasi, dan membantu ayahnya mengumpulkan banyak recehan -- programnya dinamai Pennies for Peace -- untuk dijadikan salah satu sumber dana bagi misi Greg membangun sekolah.

Inilah kelebihan utama yang didapatkan oleh sidang pembaca (muda) ketika membaca versi buku ini. Kita dapat mengenal sosok Greg dari kacamata Amira, anaknya, yang disampaikan oleh penulis dalam sebuah bab khusus. Lewat bab inilah para pembaca (muda) dapat memahami lebih realistis -- bukan dari kacamata dan pemikiran Greg -- bahwa tugas dan panggilan yang dilakukan dalam hidup Greg Mortenson adalah tugas yang bahaya sekaligus penuh tantangan dan maknawi.

Daerah-daerah yang ia dirikan sekolah di Pakistan -- dan kemudian Afghanistan -- tak jauh dari tempat-tempat tinggal dan keliaran para Taliban yang radikal. Namun, Greg yakin radikalisme yang keliru dapat diubah lewat pendidikan. Seorang anak yang hidupnya dipenuhi dengan pengetahuan dan kebijaksanaan, saat besar nanti dapat hidup dengan bijak, dan menyongsong hari depan dengan lebih baik.

Buku yang juga dilengkapi foto-foto berwarna ini tepat dibaca oleh para guru, pemerhati pendidikan, bahkan para pecinta alam yang kerap mencari jati-diri. Golongan terakhir, rasanya memang membutuhkan buku ini, yang dapat memberikan pencerahan dan pemaknaan yang menjadi sisi lain suatu pengembaraan atau petualangan. Greg sendiri adalah seorang yang sangat terpengaruh oleh para pecinta alam yang menginspirasi hidupnya. Salah satunya Edmund Hillary.

"Aku hanya pendaki gunung bersemangat dengan kemampuan biasa yang mau bekerja cukup keras, serta punya imajinasi dan tekad yang diperlukan. Aku hanya orang biasa. Medialah yang mencoba mengubahku menjadi sesosok pahlawan. Tapi, aku telah belajar banyak selama bertahun-tahun. Selama kau tak mempercayai banyak omong kosong tentang dirimu sendiri, kau tidak akan terlalu dirugikan."

Kata-kata di atas diucapkan Edmund Hillary, penakluk pertama Mount Everest, puncak tertinggi di Pegunungan Himalaya, pada tanggal 13 September 1995. Greg mendengarnya secara langsung ketika kata-kata itu diucapkan. Kata-kata itu terus membakar semangatnya, terus membuat hidupnya bergairah untuk menaklukkan alam yang keras seraya membuat perubahan dengan mendirikan sekolah-sekolah.

Sebagaimana Greg membangun sekolahnya, Amira menyanyi dan giat mengajak banyak pihak mengumpulkan recehan, buku ini serasa mengajak kita untuk berbuat sesuatu bagi sesama. Ada kesan yang kuat, yang menyentuh nurani kita untuk memiliki sebuah pengabdian atau perbuatan bagi sesama -- terutama bagi mereka yang diabaikan dan kurang beruntung. Lewat buku ini kita disadarkan bahwa hidup bukan hanya sebuah perjalanan menjadi dewasa, mendapat kerja, mendapat istri, mempunyai anak, mencari nafkah, lalu mati. Ada sesuatu yang dapat kita lakukan, lebih daripada semua itu. Inilah yang tampaknya menjadi kekuatan buku ini, yang masih jarang dimiliki oleh buku-buku motivatif atau inspiratif lainnya. ***

*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan pemerhati pendidikan

2 comments:

faza said...

tuan malam dan siang....

eha said...

Beberapa bulan yl scr tak sengaja aku melihat sebuah buku tebal yg menarik perhatianku di sebuah rak salah satu toko buku.

Membaca judulnya saja aku sdh tergelitik. Apalagi ketika akhirnya mengetahui apa arti yang terkandung dalam judul unik itu.

'Three cups of tea' benar-benar menginspirasi.