: Sebuah refleksi berdasarkan film, bukan resensi film
Judul: The Sea Inside (Mar adentro)
Sutradara dan Penulis Skenario: Alejandro Amenábar
Aktor: Javier Bardem, Belén Rueda, Lola Dueñas
Asal/Tahun: Spanyol, 2004
Feby Indirani, seorang teman saya, menulis sebuah review film yang menarik di Multiply. Sebuah film tentang kehidupan dan kematian. Di akhir review-nya yang bernas itu ia menyatakan mungkin akan jatuh hati kepada tokoh utama di film itu. Sebab utamanya karena Ramon, tokoh itu, memiliki kearifan dan selera humor yang tinggi.
Review itu kemudian membuat saya mencari-cari film itu untuk mengisi waktu luang di akhir minggu yang sering saya lalui sendirian. Saya sedang perlu film yang menghadirkan renungan yang subtil. Dan saya merasa, mungkin ini filmnya. Saya benar-benar penasaran dengan sosok Ramon: Seorang pria yang lumpuh, namun disukai banyak wanita. Bagaimana bisa?
Ramon Sampedra, mantan pelaut yang sudah berkeliling dunia sejak berusia 19 tahun, suatu ketika mengalami kecelakaan yang bisa dibilang memilukan, sekaligus menggelikan. Bagaimana tidak, sebagai seorang pelaut yang tentunya berpengalaman menerka kedalaman pantai, ia bisa saja menghindari kecelakaan itu. Namun, inilah yang justru terjadi: ia terjun bebas dari sebuah gundukan tanah yang cukup tinggi di tepi pantai, padahal pantai itu tak cukup dalam; kepalanya membentur dasar pantai dengan cukup kuat, lehernya patah seketika.
Selama 28 tahun setelah kecelakaan itu ia menghabiskan waktu berbaring di tempat tidur, mendengarkan siaran radio, menonton televisi, dan menulis dengan menggunakan mulut. Ia tampak murah senyum dan rileks menjalani hidup, walau akhirnya ia bosan dengan apa yang dihadapinya. Ia kemudian mengajukan diri untuk disuntik mati.
Pengajuan ini membawanya bertemu dengan Julia, seorang pengacara yang memiliki sakit lumpuh di kaki. Berbeda dengan Ramon yang selalu tampil penuh senyum di tiap kesempatan, Julia adalah sosok yang muram. Pertemuannya dengan Ramon mengubah hidupnya. Ia mendapatkan penghiburan dalam beban yang menghimpit hidupnya. Upayanya berjuang sebagai pengacara yang hendak memperjuangkan pengajuan Ramon disuntik mati jadi setengah-setengah. Ia lebih menyukai kebersamaannya dengan Ramon, daripada harus berjuang secara hukum agar Ramon bisa disuntik mati.
Apa yang Ramon perjuangkan akhirnya mendapat perhatian media. Televisi meliput kabar tentang dirinya. Seorang wanita lain, Rosa namanya, yang tinggal tak jauh dari rumah Ramon, datang menjenguknya. Rosa seorang ibu dua anak yang telah ditinggal suaminya, bekerja sebagai seorang penyiar radio. Seperti Julia, Rosa merasa aman dekat Ramon. Hadiah pertamanya buat Ramon adalah sebuah lagu romantis yang diputarnya lewat radio ketika ia sedang membawakan acara.
Julia dan Rosa selalu datang dalam kehidupan Ramon. Bahkan, konon, ada lima atau enam wanita yang memberi perhatian khusus buat Ramon dalam kehidupan Ramon yang sebenarnya. Di film ini, mereka disederhanakan menjadi dua. Dari setiap pembicaraan Ramon dengan mereka, juga dengan keluarganya, Ramon tetap kukuh dengan niatnya: disuntik mati. Ramon menganggap hidup adalah hak, bukan kewajiban. Keluarganya sangat menentang hal ini, terutama abangnya.
Sisi lain yang sebenarnya tak dapat dipungkiri Ramon adalah keberadaan harapan dalam hati kecilnya -- harapan untuk sembuh. Harapan itulah yang kemudian membuatnya berimajinasi dengan indah. Dalam film ini, ditunjukkan paling tidak dua kali, harapan Ramon yang akan disukai para penonton. Pertama adalah ketika Ramon mengimajinasi dirinya bisa terbang. Ia membayangkan dirinya keluar dari jendela kamarnya, terbang dengan laju melintasi perbukitan yang hijau di sekitar rumahnya. Dan mengakhirinya di pantai, sambil menyaksikan debur ombak dan merasakan angin laut menerpa tubuhnya.
Kedua adalah harapannya bercinta dengan Julia. Dalam suatu kunjungan Julia, Ramon menyatakan ia menyukai bau air laut yang kadang sampai ke kamarnya. Selain itu ia juga menyukai -- bahkan selalu mengingat -- parfum yang dipakai Julia. Julia kesengsem mendengarnya; dan ia bertanya apa saja yang Ramon akan lakukan seandainya Ramon tidak sakit dan Julia ada di sisinya. Ramon dengan lembut menyatakan apa-apa saja yang akan dilakukannya. Dan itu membuat Julia mabuk kepayang.
Tapi Ramon tak bisa terbang; dan ia tak bisa bercinta sepenuhnya dengan wanita. Karena itulah, saat atau kenangan yang paling sering melintasi benaknya adalah saat kepalanya membentur dasar pantai 28 tahun lalu itu. Ia berharap tak ada orang yang menyelamatkannya lagi. Ia berharap terbenam di dasar lautan dan menghadap Sang Khalik. Harapan itulah yang menjadi pemupus harapannya yang lain untuk terus hidup. Ramon menjadi sosok yang hidup dalam keputusasaan, namun bukan dengan semboyan "hidup enggan, mati tak mau". Ia lebih memilih "hidup enggan, mati enggak nolak".
Ketika merenungkan ketahanan dan kesabaran hidup Ramon selama 28 tahun, saya jadi teringat sebuah film lain yang sudah saya tonton berulang-ulang. Sebuah film tentang harapan juga -- harapan untuk bebas dan merdeka. Shawshank Redemption judulnya.
Shawshank Redemption mengisahkan kehidupan para napi kelas berat di penjara Shawshank. Dua orang napi, Red dan Andy, bersahabat dalam film ini. Red pernah menyatakan kalau Andy jangan berharap bebas. Andy merasa harus terus berharap, apalagi mengingat sebuah fakta bahwa ia ada di Shawshank karena sebuah kesalahan: Andy bukan pembunuh istrinya, sementara ia didakwa atas tuduhan membunuh istrinya.
Andy yang memupuk harapannya selama bertahun-tahun mendapatkan buah yang adil. "Harapan adalah sesuatu yang baik, bahkan mungkin sesuatu yang terbaik. Dan segala sesuatu yang baik tidak akan pernah punah," katanya di dalam sebuah surat kepada Red.
Andy adalah sebuah tokoh fiktif, ciptaan Stephen King. Sementara Ramon adalah tokoh yang nyata. Andy dan Ramon sama-sama terbelenggu -- satu oleh penjara, satu oleh kelumpuhan. Dua-duanya juga sama-sama menyukai pantai. Menjelang akhir kedua film itu, dikisahkan Andy menyukai pantai di daerah Zihuatanejo di Mexico, sementara Ramon menyukai pantai di daerah Boiro, Galicia, di Spanyol. Pantai-pantai yang indah.
The Sea Inside telah berhasil mendatangkan perenungan yang penting akan hakikat hidup. Sosok Ramon yang selalu tampil begitu santai sebenarnya merupakan gambaran jiwa yang berani. Ia tak tampil seperti, misalnya, William Wallace dalam Braveheart yang selalu bertempik-sorak, namun keyakinannya bahwa hidup adalah sebuah hak yang berharga begitu kuat terpancar dari wajah dan ekspresinya. Itulah yang membuatnya disukai orang-orang, terutama para wanita yang menawarkan diri untuk menemani dia dan mendengarkan apa saja darinya.
Mungkin kita tidak sepakat dengannya bahwa penderitaan yang terlampau berat harus diakhiri dengan kematian sebelum waktunya atau bunuh diri. Namun, Ramon memiliki banyak alasan yang cukup kuat -- logis dan manusiawi, tidak mengada-ada -- untuk melakukannya. Dan itulah yang menjadi cermin bagi kita yang tak lumpuh seperti Ramon saat ini: Berapa banyak alasan yang cukup kuat bagi kita untuk terus bertahan dan melanjutkan hidup ini?
Sidik Nugroho
Malang, 30 November 2009
Catatan: Review oleh Feby Indirani bisa dilihat di sini.
2 comments:
Alasan saya untuk tidak bunuh diri saat ini:
1. Kalo saya mati, adek saya dapet jatah kue lebih banyak
2. Saya punya tagihan telepon yang belum dibayar
3. Siapa yang mau nulis di blog saya, padahal ranking Alexa-nya udah gede
Alasan-alasan yang masuk akal, Vicky. Alasan yang pertama, wuih, sadis banget, hahaha...
Post a Comment