25.12.09

Bulan Penuh Buku dan Catatan Seputar Buku-bukuku

Bulan Penuh Buku

Desember 2009 bagiku adalah sebuah bulan penuh buku. Di awal dan tengah bulan Desember 2009 aku menemukan tiga buah buku bagus:

1. Tangan untuk Utik karya Bamby Cahyadi,
2. I Can (Not) Hear karya Feby Indirani dan San Wirakusuma, dan
3. Amira and Three Cups of Tea karya Greg Mortenson.

Kemudian, tak dinyana, di Yogyakarta, aku bertemu dengan Iqbal Dawami, seorang peresensi buku yang memberiku empat buah buku yang ia terima dari penerbit:

4. Kamus Khazar karya Milorad Pavic,
5. Yesus Sang Anak Manusia karya Kahlil Gibran,
6. Band yang Dilupakan Waktu - Biografi Guns N Roses karya Paul Stenning, dan
7. Jembatan yang Terbakar karya John Flanagan.

Oleh Iqbal Dawami juga aku dikenalkan ke Mas Imam dari Penerbit Bentang yang memberiku dua buku:

8. Perahu Kertas karya Dee, dan
9. Ramayana Mahabarata karya R.K. Narayan.

Enam buku yang kudapat di Yogya itu tak semua kubawa pulang. Perahu Kertas dan Kamus Khazar kuberikan ke Arie Saptaji.

Kembali ke Malang dari Yogya, aku penasaran dengan foto Fiya Hentihu tentang buku Soe Hok-gie, juga tulisan Pak Tanzil tentang buku yang sama -- dua-duanya di Facebook. Kubeli buku itu:

10. Soe Hok-gie... Sekali Lagi

Sambil jalan-jalan di Toga Mas setelah membeli buku Hok-gie, akhirnya kudapat sebuah buku lain yang kunantikan sejak awal bulan Desember:

11. Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com

Jadi, hingga malam Natal tahun ini, aku telah mendapatkan 11 buah buku. Jumlah yang cukup banyak bagiku. Gara-gara kejadian ini, aku hendak cerita sedikit tentang hal-ihlwal buku-buku yang kupunya dan dunia perbukuanku. Sumonggo dilanjut membaca, kalau dirasa perlu dibaca.

***

Mengenai Resensi Buku

Iqbal Dawami, Nur Mursidi, dan Hernadi Tanzil, menurutku adalah orang-orang yang beruntung karena sering mendapat buku gratis dari penerbit. Aku terhitung jarang. Sejak resensiku atas buku Ma Yan karya Sanie B. Kuncoro dimuat Jawa Pos pada tanggal 22 Maret lalu, aku hanya mendapat satu buku gratis yang dikirim langsung oleh penerbitnya: Mata Keenam, terbitan Gloria Graffa. Aku sudah meminta kiriman buku gratis dari beberapa penerbit, beberapa membalas dan berjanji mengirim. Tapi, ah... manusia kan banyak yang suka lupa. Biasa itu.

Namun, puji Tuhan, resensiku atas buku Mata Keenam nongol di koran Sinar Harapan. Sebelumnya, di Sinar Harapan juga, resensiku atas buku karya Arie Saptaji yang berjudul Pacaran Asyik dan Cerdas yang nongol duluan. Jadi, begitulah perjalananku meresensi buku sepanjang tahun ini. Ada belasan resensi buku yang kubuat, namun baru tiga buah yang menjebol koran.

Semakin sering aku menulis resensi, semakin terasa manfaatnya bagiku, dan juga bagi penulis buku yang kita resensi -- bila ia membaca resensi itu. Menulis resensi bukan semata-mata agar dimuat koran, dan lalu mendapat uang. Ini adalah suatu upaya mengapresiasi secara wajar sebuah karya dengan memberikan pujian, kritik, masukan dan berbagai sudut pandang; sekaligus melatih-mengasah kemampuan menulis, utamanya dalam menganalisa suatu karya.

Di dua bulan terakhir ini (Desember 2009 dan Januari 2010), aku berencana meresensi empat buah buku saja:

1. Tangan untuk Utik karya Bamby Cahyadi,
2. I Can (Not) Hear karya Feby Indirani dan San Wirakusuma,
3. Amira and Three Cups of Tea karya Greg Mortenson, dan
4. Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com yang dieditori P. Chusnato Sukiman.

Karena sepanjang Desember pekerjaan di sekolah tempat aku mengajar sangat banyak (Ujian Akhir Semester, pengolahan nilai dan pembagian rapot, dan persiapan acara Natal), hanya satu dari empat buku yang hendak kuresensi tadi yang baru sempat kubaca -- itu pun belum tuntas: I Can (Not) Hear.

***

Mengenai Koleksi Buku

Sejak dulu, aku merasa bukan seorang kolektor. Aku masih ingat ketika ada di sebuah gereja yang kecil dan tidak punya banyak buku pengajaran dan bacaan. Gereja Anugerah Pembaharuan namanya. Waktu itu aku masih kuliah. Tanpa pikir panjang, kusumbang semua buku dan kaset rohani yang kumiliki untuk gereja yang melas dan mungil itu. Buku yang kusumbangkan lebih dari empat puluh buah dan kaset yang kusumbangkan lebih dari dua puluh buah.

Padahal, buku dan kaset-kaset itu kubeli dari hasil pekerjaanku yang kujalani sambil kuliah. Waktu itu aku bekerja memberi les privat, jualan telur puyuh matang ke beberapa warung kopi, dan sesekali menulis cerpen (beberapa tulisanku nyantol di majalah-majalah keren dan gaul seperti GFresh!, Sahabat Pena dan AnekaYess!).

Saat aku bekerja, hal yang sama terulangi lagi. Aku memiliki bujet 100 sampai 150 ribu per bulan untuk membeli buku. Buku-buku yang kubeli sejak kuliah, ditambah dengan yang kudapat saat bekerja, membuat lemari bukuku yang ada di Malang tidak cukup lagi. Akhirnya beberapa buku kubawa ke Sidoarjo, ke tempat kosku. Teman-teman kos pada heran ketika suatu waktu aku pindah kos dengan sebuah angkot yang penuh berisi barang. Di antara barang-barang itu, yang terbanyak adalah buku. Ada sekitar dua ratus buku yang aku bawa.

Karena hal ini, lemari yang disediakan ibu kos untuk menaruh pakaian, malah jadi lemari buku. Pakaianku beberapa kugantung di dinding pakai hanger dan paku. Bulan demi bulan berlalu, lemariku itu makin penuh dengan buku yang kubeli. Buku pun bertumpuk-tumpuk di lantai kamar kosku. Sampai akhirnya aku membuat keputusan menyumbangkan lebih dari tiga puluh bukuku untuk sekolah tempat aku mengajar, dan memberikan beberapa buku kepada beberapa teman.

Jujur, tidak semua buku yang kubeli kubaca sampai tuntas. Aku pembaca yang malas, bukan pembaca yang tekun. Kalau kuperkirakan, hanya sekitar 70 persen buku yang sudah kubeli yang kubaca tuntas. Kerap kali, aku memutuskan membeli buku -- termasuk yang kemudian lalai kubaca setelah kumiliki -- dengan alasan utama: takut kehabisan.

Kini, ketika melihat lagi buku-buku yang bertumpuk di samping mejaku, aku merenung lagi: perlukah sebenarnya mengoleksi buku? Ini kutanyakan karena buku kadang dapat memberikan sebuah kenangan tersendiri. Contohnya, aku tidak akan lupa ketika membaca dengan penuh penghayatan serial Lord of the Rings hingga tak sadar subuh sudah datang.

Namun, ada kalanya aku juga merasa bersalah kalau mendiamkan sebuah buku yang kuanggap bagus hanya tegak tak bergerak dalam lemariku -- sementara ada teman yang kutahu benar memerlukannya. Dan kadang, ada pula cerita lain: teman yang meminjam bukuku menghilangkannya. Kurasa, cukup banyak masalah bisa datang ketika kita berniat mengoleksi buku, namun juga mempunyai banyak teman yang suka membaca (dan meminjam) buku.

Nah, hingga akhir tahun ini, aku pun masih belum kepikiran membuat sebuah perpustakaan kecil untukku sendiri suatu ketika. Aku bukan perawat buku yang baik. Bila kurasa aku tidak memerlukan lagi sebuah buku, ya kuberikan saja kepada orang yang kuanggap akan menyukai buku itu.

Tapi, mungkin, insya Allah, suatu hari nanti, perpustakaan kecil itu kubangun. Dengan sepenuh cinta... hihihi.

***

Wrekso, Malam Natal 2009

1 comment:

blogger said...
This comment has been removed by the author.