"Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13)
Bila Anda pernah membolak-balik buku sejarah, atau menonton film "Schindler's List", "Life is Beautiful", atau "Anne Frank", Anda mungkin akan tahu bagaimana situasi pada zaman Nazi berkuasa. Serba muram, tanpa harapan.
Seorang pria yang menganggap dirinya sebagai "Penerus Tugas-tugas Martin Luther yang Belum Selesai" dan menebarkan ajaran bahwa semua orang Yahudi itu perlu dibasmi karena merekalah bangsa yang membunuh Yesus, tampil menguasai dunia. Adolf Hitler namanya. Kamp-kamp konsentrasi dibangun. Kamp-kamp untuk menampung mereka yang suatu saat akan dibunuh.
Juli 1941, seorang tahanan perang menghilang dari Auschwitz, sebuah kamp konsentrasi Nazi bagi orang Yahudi di sebelah selatan Polandia. Para Nazi berang. Jika dalam waktu 24 jam tahanan itu tak ditemukan, 10 orang dari 600 orang di sana akan secara acak dipilih untuk dibunuh.
Waktu itu tiba. Seorang mantan serdadu akan turut dibunuh. Francis Gajowniczek namanya. Ketika menerima hukuman itu, Gajowniczek berteriak, "Oh anak-anakku, istriku yang malang!"
Keributan lalu muncul. Seorang pria yang dikenal suka membagi makanannya, ringkih, dan suka membimbing orang lain mengucapkan doa pengakuan dosa tampil ke depan. Ya, dia seorang imam Katolik. Dia berkata, "Saya ingin menggantikan tempat salah satu dari para tahanan ini." Dia menunjuk kepada Gajowniczek. "Yang itu."
Pria itu bernama Maximilian Kolbe. Ia seorang pria yang terbiasa hidup menderita sejak kecil.
Maximilian Kolbe dan 9 tahanan itu lalu dibawa ke sel bawah tanah, di sebuah blok. Di sana mereka disiksa dengan tidak diberi makan dan pakaian yang layak. Hingga dua minggu, hanya empat dari sepuluh orang yang bertahan hidup. Dan Pastor Kolbe meninggal terakhir, di hari ke-15, setelah disuntik mati.
Maximilian Kolbe, pria asal Polandia yang ringkih namun cerdas itu telah menggenapkan ajaran Kristus tentang kasih. Seorang pahlawan yang tak berjuang dengan senjata, namun menyerahkan dirinya sebagai pengganti orang lain. Mungkin, beberapa orang menganggap perbuatannya adalah tindakan putus-asa. Tidak. Dia tidak berputus-asa, namun hidup dengan penuh harapan.
Dia telah menentang Nazi lewat tulisan-tulisannya di Ksatria Immakulata, sebuah majalah yang dipimpinnya, yang telah terbit puluhan ribu eksemplar. Majalah itu merupakan produk dari sebuah gerakan yang dipimpinnya bernama Milisi Maria Immakulata. Gerakan ini lebih banyak memfokuskan perhatian kepada keimanan dan perubahan sosial. Sebuah gerakan yang bagi sebagian rohaniwan Katolik disayangkan untuk dipilih Kolbe, karena bisa saja ia memiliki karir cemerlang -- mengingat ia sudah mendapat gelar doktor filosofi di usia 21 tahun, dan kemudian gelar doktor teologi di usia 22 tahun.
Sejak ditangkap oleh Nazi pada tanggal 17 Februari 1941 karena telah dicap sebagai penentang paham Nazi, ia sering mengalami siksaan berat. Bersama 320 tahanan ia dijejalkan dalam sebuah gerbong yang panas ketika ditangkap. Suatu hari ia terantuk dan jatuh ketika sedang memikul kayu. Ia harus dirawat dan hanya mendapat jatah makanan setengah dari biasanya. Jatah setengah itu pun masih sering dibaginya lagi untuk beberapa tahanan lainnya.
Mengenang kepahlawanan, kasih, dan segenap hidupnya, seorang pria lain akhirnya menggelarinya Santo pada tanggal 10 Oktober 1982. Ia digelari "Santo Pelindung dari Abad Kesulitan Kita". Pria yang menggelarinya adalah Paus Yohanes Paulus II, yang semasa hidupnya juga merasakan panggilan Allah ketika Nazi mengobrak-abrik Polandia, negerinya, pada tahun 1939. Dalam sebuah film berjudul "Karol, a Man who Became Pope", diceritakan dengan indah panggilan yang menjamah hati Karol Wojtyla, sehingga ia akhirnya menjadi Paus.
Kekejaman rasialis telah membangkitkan para pahlawan. Sebagian pahlawan bersenjata, namun sebagian tak bersenjata. Yang terakhir berjuang dengan keberanian yang lebih besar -- walau kerap tidak populer dan tampak kurang maskulin. Maximilian Kolbe adalah satu di antaranya. Tentang hidupnya, Paus Yohanes Paulus II berkata:
"Berjuta-juta orang telah dikorbankan oleh kesombongan dari kekuasaan dan kegilaan dari rasialisme. Tetapi di tengah-tengah kegelapan tersebut bersinarlah tokoh Maximilian Kolbe. Di atas ruang kematian yang besar tersebut melayang-layanglah firman kehidupan-Nya yang ilahi dan kekal: kasih yang penuh penebusan."
Sidik Nugroho, 9 November 2009
Dari beberapa sumber
No comments:
Post a Comment