Tidak seperti perjalananku ke Jembatan Suramadu dua minggu lalu, kali ini aku memang telah membuat rencana jauh-jauh hari sebelum pergi ke Pujon. Awalnya aku berencana ke Pujon dan Coban Rondo, sebuah tempat wisata air terjun, namun urung karena aku ingin sekali melihat sawah-sawah yang ada di Ngantang.
Jam 10 pagi aku berangkat dari Malang. Perjalanan ke Pujon yang melintasi kota Batu kutempuh sekitar sejam. Jarak Malang-Batu 17 kilometer, sementara Batu-Pujon sekitar 6 kilometer. Sebenarnya bisa lebih cepat dari sejam; ini karena sebelum ke Pujon aku mampir dulu di sebuah warung di Payung.
Payung adalah nama kompleks warung tenda permanen yang ada di sepanjang jalan Kota Batu bagian atas hingga mendekati Pujon. Beberapa warung di sini kebanyakan membuat betah pengunjungnya karena dari sini tampak pemandangan Kota Batu. Banyak orang pacaran di sini kalau malam Minggu. Di warung ini aku menggunakan kekerku melihat motor dan mobil yang berjalan dari Batu menuju Pujon yang berliuk-liuk dan mendaki.
Ada pemandangan yang menarik ketika aku berada di Payung: Beberapa pria muda sepertiku mengendarai sepeda gunung di sepanjang jalan di Payung. Gear yang memutar rantai sepeda mereka disetel pada yang paling kecil, untuk memudahkan genjotan-genjotan mereka. Aku salut pada semangat dan kekuatan mereka. Mengingatkanku pada Forrest Gump yang suka lari-lari.
Selama satu jam berikutnya aku berkeliling di wilayah Pujon. Pujon adalah sebuah kecamatan yang 75% penduduknya bermatapencarian sebagai peternak sapi perah. Selain peternakan, Pujon juga sebuah daerah pertanian. Banyak orang menanam kopi di Pujon.
Pak Bambang bercerita kalau dalam sehari bisa didapatkan 100 ton susu perah dari seluruh penduduk Pujon yang dijual ke koperasi. Koperasi kemudian menjual susu itu ke Nestle. Penduduk menyetor susu dua kali sehari: jam 6 pagi dan jam 4 sore. Seekor sapi perah yang sehat dapat menghasilkan 15 liter susu sehari, sementara harga susu per liter yang dibeli koperasi adalah Rp.3000,oo. Namun, keuntungan sekitar Rp.45.000,oo per hari untuk seekor sapi itu belum dipotong biaya perawatan dan makanan sapi.
Dalam bulan-bulan tertentu (biasanya di awal tahun) juga ada musim perah. Pada saat ini produksi susu biasanya meningkat agak drastis. Selain musim ini, para peternak mendapatkan perahan yang cukup banyak ketika sapi yang mereka miliki baru melahirkan.
Kutancap gas sepeda motorku menuju Ngantang, yang berjarak sekitar 14 kilometer dari Pujon. Ya, di Ngantang-lah Waduk Selorejo itu berada.
Selorejo, Waduk di Lahan yang Subur
Tak sampai setengah jam dari Pujon, aku sampai di Ngantang. Sama seperti di Pujon, udara di sini terasa sejuk. Aku tak langsung menuju ke Selorejo, namun berkendara satu kilometer lebih jauh, menuju sebuah warung persinggahan di Desa Sidorejo yang berpemandangan indah.
Di warung persinggahan ini aku ngopi sejenak. Aku ngopi di Warung Bu Renggo. Dari warung-warung persinggahan di sini, kita dapat melihat hampir seluruh bagian Waduk Selorejo dan lahan pertanian yang sangat luas. Hijau dan subur. Lahan pertanian ini, hampir seluruhnya ditanami padi.
Aku sempat tidur hampir sejam di warung Bu Renggo. Di sana ada tikar lesehan disediakan. Padahal habis ngopi, kok ngantuk ya?
Setelah bangun tidur, aku memutar arah, menuju ke Waduk Selorejo.
Dan yang juga mengasyikkan adalah ketenangan dan keheningan air di waduk ini. Nyaris tak ada gelombang di sini, kecuali bila sebuah perahu motor lewat. Aku sempat mengarang beberapa baris puisi untuk mengenang keheningan ini, namun puisi itu rasanya kurang kuat. Kutinggalkan saja akhirnya. Kurang asyik.
Karena hari masih siang, akhirnya aku tidur lagi di Waduk Selorejo. Aku mencari lokasi tidur di sebuah tempat yang agak sepi, di dekat cottage-cottage, di bagian timur lokasi wisata, dengan tujuan agar nantinya dapat mengambil gambar yang mantap kala mentari turun di barat. Cottage, atau rumah menginap di pinggir waduk ini, tampak anggun. Harga sewanya berkisar antara 400 ribu sampai 750 ribu per hari-malam. Perjalanan menuju ke sana melewati sebuah jembatan gantung yang cukup panjang, sekitar 50-60 meter. Jembatan gantung itu, bila dilewati, akan bergoyang-goyang. Ketika aku melintasinya, ada beberapa cewek yang juga lewat. Mereka teriak-teriak. "Wah, ndeso tenan," canda batinku.
Untunglah hujan tidak lama mengguyur wilayah Ngantang. Hanya setengah jam. Saat hujan turun aku sempat kesal karena tak mendapatkan beberapa foto yang bagus. Padahal aku sudah menunggu momen itu. Ya, ini karena kameraku kamera lama. Foto bisa jadi bagus, kalau cuaca pun bagus. Tapi, tak apalah. Aku tetap bersyukur dengan apa yang kudapatkan pada perjalanan kali ini.
Hawa masih dingin, aku memesan segelas kopi lagi. Kali ini, aku tak lagi mengambil foto, hanya memandangi Waduk Selorejo dan sawah-sawah hijau yang perlahan-lahan gelap. Hanya beberapa lampu menyala, karena hanya sedikit rumah di sekitar Waduk Selorejo. Aku menikmati kopiku santai-santai hingga akhirnya kekelaman menjalari segenap angkasa yang terbentang di depan sepasang mataku -- kali ini tanpa keker.
Sidik Nugroho
Selorejo-Malang-Sidoarjo, 31 Oktober-1 November 2009
Catatan: Foto bisa di-klik untuk melihat gambar dengan lebih lega. Enjoy!
2 comments:
wah, ada juga yang menulis tentang tempat tinggal saya...,
Pujon tempat yang nyaman untuk tinggal..., very nice place!
Pujon is my kampung..:-)
terimakasih gan sangat baik info nya
saya suka blog nya
Post a Comment