Resensi film La Grand Voyage, dibuat untuk teman, sahabat, saudara dan handai-taulan yang sebentar lagi akan merayakan Idul Fitri.
Judul: Le Grand Voyage
Sutradara dan Penulis Skenario: Ismaël Ferroukhi
Aktor: Nicolas Cazalé, Mohamed Majd, Jacky Nercessian
Rilis: Prancis, November 2004
Reda dibesarkan di Prancis. Ayahnya asli orang Arab yang telah tinggal tiga puluh tahun di Prancis. Suatu ketika sang ayah ini ingin menunaikan ibadah haji. Sang ayah meminta Reda mengantarkannya menggunakan mobil yang sudah cukup tua. Mobil itu tampak lucu, karena salah satu pintu bagian depannya bercat oranye, sementara seluruh badannya yang lain tercat biru.
Bagi Reda, yang lucu justru bukan mobil itu. Dari Prancis ke Arab Saudi naik mobil? Yang benar saja! Namun, ayahnya bersikeras agar ia diantar anaknya ini naik mobil. Dalam perjalanan yang menempuh jarak sekitar 5000 kilometer ini terjadilah persinggungan sikap dan pilihan yang penuh warna antara ayah dan anak.
Konflik meruncing ketika mereka tersesat di suatu tempat. Sang ayah yang tidak bisa membaca, ikut melihat peta dan memutuskan sebuah arah untuk mereka tempuh. Reda yang resah sejak awal, mengejek ayahnya yang tidak bisa membaca namun dengan yakinnya menunjuk ke arah yang diyakininya itu.
***
Tak hanya menyuguhkan konflik yang cukup menggigit, film berbahasa Prancis ini memotret nilai-nilai spiritualitas yang meluntur ketika seseorang berada pada sebuah komunitas yang mengikuti budaya populer. Itulah yang terjadi pada Reda, seorang anak muda yang gaul, punya pacar orang Prancis beda agama bernama Lisa, yang kali ini hanya berdua saja dengan ayahnya yang sangat setia menunaikan kewajiban salatnya.
Suatu ketika, saat mereka diterpa udara yang dingin ketika hendak menuju Beograd, ayahnya menyatakan sebuah filosofi penting kepadanya, mengapa perjalanan ini ditempuh menggunakan mobil:
"Ketika air laut menguap menjadi awan, asinnya hilang." Ia berhenti sesaat. Ia melanjutkan, "Daripada menggunakan pesawat, lebih baik menggunakan kapal. Daripada menggunakan kapal, lebih baik menggunakan mobil. Daripada menggunakan mobil, lebih baik menggunakan kuda. Daripada menggunakan kuda, lebih baik menggunakan unta. Daripada menggunakan unta, lebih baik berjalan kaki."
Ya, perjalanan menuju Mekah kali ini, dalam pemandangan sang ayah, adalah ziarah penghayatan. Ia ingin melepaskan segala ikatan duniawi, bagai garam yang melekat di air laut, menuju pada Sang Khalik dengan hati suci. Di dalam perjalanan ini ia ingin memfokuskan diri kepada Allah dan Mekah, kota suci itu. Sementara Reda menganggap ini sebuah perjalanan liburan. Ia berharap bisa menemui hal-hal yang menyenangkan. Namun, karena begitu berbedanya pandangan hidup antara dia dan ayahnya, harapannya perlahan-lahan sirna.
Untunglah, harapan Reda bersemi lagi ketika ia dan ayahnya hendak memasuki Turki. Di sana ia bertemu dengan Mustafa, seorang muslim yang juga sudah tua mirip ayahnya, namun lebih gaul. Ia mengajak Reda ke rumahnya dan merokok dari sebuah pipa panjang.
Reda bahkan diajaknya minum bir di suatu malam. Tentang minum minuman keras ia punya filosofi yang menarik. Ia mengutipnya dari seorang sufi: "Minum bir bukan boleh atau tidak boleh. Itu tergantung dari kebesaran jiwamu. Kalau kau menuangkan bir ini dalam baskom, warna air di baskom itu akan berubah. Tapi kalau kau menuangkannya ke air laut, tidak ada perubahan." Reda tersenyum lebar. Ia pun minum sampai mabuk.
Mustafa hanya menemani mereka sebentar karena ayah Reda kehilangan uangnya. Mustafa mereka anggap pencurinya, walau ia mengaku bukan pencurinya. Kali ini Reda kesepian lagi, dan ia akhirnya mencari hiburan seorang diri.
Nah, hiburan yang kali ini dicari Reda benar-benar bikin ayahnya berang. Bagaimana tidak! Ia pergi ke bar di mana seorang gadis Arab yang seksi bergoyang-goyang dengan menggoda diiringi lagu Arab. Ia menyaksikan goyangan-goyangan itu sambil setengah teler. Ia dekati gadis itu, bergoyang-goyang dengannya, sampai ia kemudian berhasil membawanya ke kamar hotel. Malam-malam, keduanya tertangkap basah!
Mekah semakin dekat. Tak lama setelah peristiwa di hotel itu, Reda bertengkar lagi soal uang yang ayahnya berikan kepada seorang pengemis di gurun. Sampai di sini keadaan mereka berdua telah tersulut berbagai konflik yang cukup tinggi. Sang ayah memutuskan untuk menjual mobilnya agar Reda bisa pulang ke Prancis, dan ia akan berangkat sendirian menuju Mekah. Reda hampir melakukannya, tapi ia mengalami sebuah mimpi yang menyentak batinnya untuk harus menyertai ayahnya hingga ke Mekah.
Setelah mimpi itu, Reda tertegun melihat ayahnya salat dengan begitu takzim di atas pasir. Adegan ini, rasanya akan membuat kita terpana. Begitu indah, begitu khidmat. Saya mengingat adegan saat Amir dalam film Kiterunner bersujud dengan khusuk di sebuah masjid berkarpet indah. Saya teringat Yann Martel dalam Life of Pi yang mengagumi cara orang Islam beribadah dengan menganggap ritual salat itu begitu indah.
Reda tertegun melihat ayahnya yang sebelum salat menggunakan pasir sebagai air wudhu, karena persediaan air mereka telah habis. Ayahnya menjelaskan kepadanya bahwa ibadah haji adalah rukun kelima dalam ajaran Islam yang harus dilakukan oleh mereka yang mampu melakukannya: ziarah menuju Mekah adalah salah satu cara di mana umat Islam bisa menyucikan dirinya dari dosa-dosa mereka.
Perjalanan keduanya menuju Mekah kemudian berlangsung damai. Kali ini tampaknya mereka berdua telah sama-sama bertoleransi. Reda terbangun di Mekah sambil melihat foto Lisa, pacarnya, ada di stir mobil, di depannya persis. Selama ini ayahnya tak menyetujui hubungan Reda dengan Lisa. Ayahnya bahkan membuang handphone Reza dalam sebuah tong sampah ketika mereka belum lama meninggalkan Prancis.
***
Film Prancis tentang perjalanan menuju Mekah ini rasanya tepat untuk sesekali ditayangkan juga di stasiun-stasiun televisi kita. Selama ini film bernuansa religi yang diputar di tivi saat hari-hari besar umat Islam di nusantara adalah Children of Heaven garapan Majid Majidi. Bila Children of Heaven menanamkan dengan kuat arti pengorbanan dan pengucapan syukur, Le Grand Voyage mengajak pemirsanya untuk melihat bagaimana sebuah nilai-nilai agama yang penting dididikkan dalam diri seorang remaja.
Bisa dikatakan, ayah Reda berhasil mendidiknya. Ia memang belum memutuskan untuk menunaikan salat, seperti yang ia selalu saksikan dengan penuh keheranan -- bagaimana ayahnya bisa teratur melakukannya. Namun, ketika kembali dari Mekah, ia telah mengikuti teladan ayahnya memberikan sedekah kepada pengemis. Di Mekah, sebuah kejadian yang tak akan terlupakan oleh Reda, telah mengubah hidupnya selamanya. Perjalanan ini ternyata bukan milik ayahnya. Perjalanan ini (juga) miliknya.
Malang, 15 September 2009
1 comment:
I'm gonna watch it! :-)
Post a Comment