9.9.09

52 Bungkus Nasi Bungkus

: renungan diri spontan tentang perbuatan baik di hari ulang tahun seorang ibu

9 September 2009, alias 9-9-09. Banyak orang menganggapnya sebagai hari baik, hari hoki. Entah benar, entah tidak, yang jelas saya punya sukacita lain. Bukan berawal dari anggapan banyak orang itu; tapi karena ibu saya ulang tahun pada hari ini.

Di ulang tahunnya kali ini, ibu saya membuat 52 nasi bungkus untuk gelandangan yang ada di sekitar Pasar Besar kota Malang. Sedari dulu, ia selalu menekankan pada anak-anaknya: kedermawanan tak ditentukan dari seberapa besar kekayaan seseorang; memberi kepada orang lain sebaiknya bukan ajang pamer atau berharap diberkati oleh Tuhan.

Saya masih bergumul untuk benar-benar bisa melakukan dua pemahaman itu. Saya kadang urung memberi bantuan dengan dalih hidup pas-pasan, padahal uangnya dipakai untuk hal-hal yang tak perlu. Saya masih susah untuk memberi dengan tulus; masih berharap ada orang yang tahu saya sedang berbuat baik, dipuji, Tuhan (rasanya) senang, lalu dapat berkat.

Kembali pada ibu saya. 52 tahun usianya hari ini, 52 bungkus nasi bungkus dibuatnya---untuk 52 gelandangan. Kami sekeluarga memang hampir selalu merayakan ulang tahun dengan cara begini. (Tapi bukan dengan mencocokkan jumlah nasi bungkus dan usia; hanya kali ini saja yang sama.) Sempat saya berpikir, apakah benar hal ini ada manfaatnya? Apakah benar kebaikan ini mendapatkan suatu balasan? Apakah benar semua ini dilakukan dengan ketulusan, bukan untuk pamer?

Ketika melakukan suatu perbuatan baik, melihat suatu perbuatan baik, atau bahkan menerima suatu perbuatan baik, saya suka merefleksikan motivasinya. Dan, sejauh ini, refleksi saya berakhir pada suatu titik kesimpulan: perbuatan baik hanyalah salah satu bentuk ucapan syukur, tak lebih. Kita tidak serta-merta jadi lebih mulia ketika bisa melakukan suatu perbuatan baik. "Semua pahlawan akan jadi membosankan pada akhirnya," kata seorang bijak yang saya lupa siapa namanya; dan ingin saya tambahkan:

"Semua pahlawan akan jadi membosankan pada akhirnya---bila ia terus menerus hidup dan (hanya) berbuat baik."

Ya, demikian saya menyimpulkan sejauh ini. Karena manusia tidak ada yang diciptakan begitu baik---begitu sempurna. Ketika merenungi lagi hal ini kali ini sekali lagi, betapa sering saya susah bersikap biasa dalam melakukan perbuatan baik. Juga ketika saya merenungi bahwa sesungguhnya, dalam hidup kita yang singkat ini, tampaknya jauh (dan akan jauh) lebih banyak perbuatan jahat yang kita lakukan daripada perbuatan baik.

Kini, saya bersyukur kepada Tuhan membayangkan ibu saya yang nanti malam akan membagi nasi bungkus, sama seperti saya bersyukur dapat menulis, dapat bernafas dan menuangkan isi kepala saya pada saat ini.

Caci-maki, dusta, olok-olok, nafsu tamak, nafsu birahi salah pelampiasan, dan amarah, dan lain-lain yang lebih kurang ajar dan memalukan untuk disebutkan, rasanya berpeluang lebih besar untuk masih ada dalam kehidupan saya di masa datang, karena isi kepala saya yang tak selalu dipenuhi dengan pikiran untuk berbuat baik. Kiranya, perbuatan baik yang hanya sesekali saya lakukan menjadikan hidup ini penuh warna yang lebih harmonis---gelap dan terang.

Dan kiranya, kegelapan itu juga semakin pudar. Karena, di hari ini, di hari ulang tahunnya, saya dikabari ibu saya bahwa ia akan selalu mendoakan saya---untuk menjadi pria yang lebih baik. Bukan agar siap mendapatkan jodoh. Bukan agar jadi orang yang terkenal mulia. Bukan, tapi kelihatannya, agar lebih sedap dilihat orang lain mana-mana---biar tak selalu cengengesan di mana-mana.

Begitulah, Ibu (dan sidang pembaca---bila memang ada yang membaca lamunan dan renungan singkat ini). Selamat merayakan ulang tahun bersama 52 bungkus nasi bungkus buatanmu, Ibu, yang tentunya lezat-nikmat dinikmati dalam malam yang mengelam kian pekat---kelak!

Sidoarjo, 9 September 2009, 19.10-20.15

2 comments:

Unknown said...

Selamat ulang tahun, ibunya Sidik. Semoga dapat berkah dari Yang Mahakuasa.

Sidik Nugroho said...

trims, vicky, untuk ucapannya.