Proses Kreatif Catatan Perjalanan untuk Milis Apresiasi Sastra
Pengumuman diadakannya apresiasi catatan perjalanan oleh milis Apresiasi Sastra di Yahoogroups kutemukan saat aku lagi ada di Bandung. Sebelum ke Bandung, aku ada di Jakarta dalam rangka studi banding dengan guru-guru seyayasan tempatku bekerja. Sebelum aku berangkat studi banding ke Jakarta, Arie Saptaji melayangkan sebuah komen di facebook atas status yang kutulis -- status yang intinya menyatakan kalau aku akan ke luar Sidoarjo selama beberapa hari. Tanyanya: "berapa banyak tulisan/renungan yang akan kauhasilkan dalam perjalananmu itu?"
Dari situ, aku yang sebelumnya tidak pernah menulis catatan perjalanan, jadi berhasrat menulis. Sebagai seorang yang setiap bulan menulis renungan-renungan rohani pendek, tulisanku pun akhirnya jadi bersifat reflektif. Sekedar memetik hikmah, dangkal, masih dalam taraf pembelajaran, walaupun hasilnya cukup panjang: 14 halaman kuarto dengan ketikan 1 spasi.
Hal-hal yang kutulis dalam catatan perjalanan lebih banyak bukan mengenai sebuah tempat, apalagi budaya atau sejarahnya; tapi interaksi dengan beberapa orang, percakapan, dan kejadian-kejadian yang kuanggap dramatis. Bobotnya sangat jauh di bawah Mas Sigit Susanto yang menulis catatan perjalanan dengan memasukkan unsur-unsur politik, sastra dan budaya dari tempat-tempat yang dikunjunginya; atau Mas Wawan Eko Yulianto, penulis kocak yang tampaknya bakal menyajikan cerita-cerita seru dan lucu dari pengamatannya yang detil atas kehidupan berbahasa orang-orang yang dijumpainya.
Sempat merasa keder, memberanikan diri ikut dalam ajang penuh tantangan dan berkelas "wadoh!" seperti ini. Apalagi kalau mengingat-ingat yang aku tulis cuma tentang pertemuan dengan pakdeku yang sudah sepuh, mantan drumer-ku yang akan punya anak, kangenku pada seorang wanita yang ditanggapi dengan dingin, dan kecoa yang menggerayangi punggungku ketika aku berada di atas Bianglala -- wahana kereta gantung yang berputar-putar di Dufan itu lho. Semua terkesan agak mengada-ada -- ada-ada saja. "Isooo' ae," kata orang Jawa Timur.
Namun, ya... kuanggap ini semua sebagai pembelajaran lah. Suatu ketika aku ingin juga bisa menulis catatan perjalanan dengan memasukkan beberapa unsur budaya yang menjadikannya lebih berbobot, seperti tulisan terbaru J. Sumardianta, Pak Guru yang hobi tracking itu, ketika menulis tentang keheningan di Watu Wayang, sebuah lembah dekat Yogya. Tempatnya tidak jauh dari tempat ia tinggal, namun tulisan itu disajikan dengan bahasa yang apik dan filosofis, menjadikan tulisannya menarik disimak di Kompas.
Mungkin, dalam waktu dekat aku juga ingin menulis sesuatu tentang Porong. Mungkin setelah Pemilu ini. Sebabnya, bila Anwar Holid alias Wartax dengan bersahaja mampu menghadirkan tulisan-tulisan jujur tentang apa yang ia lakukan sehari-hari dalam ruang kehidupan yang memang ia tinggali, aku jadi merasa bersalah karena selama ini hanya melintas-lintas saja di daerah semburan lumpur Lapindo yang dekat dengan tempat kosku, yang kalau diamati lebih sungguh, rasanya akan memberikan banyak sekali bahan untuk ditulis dan direnungkan.
Begitulah, kawan-kawan sekalian, sekilas pengantar dan pemanasan dariku. Selamat mengapresiasi. Terima kasih bila sudah membaca.
Oya, omong-omong, adakah kutipan penting yang perlu dipakai untuk menutup tulisan ini sehingga membuatnya ketularan tampak penting? Belum ada, kelihatannya. Kalau ada, nanti aku dikira mengada-ada.
Tabik dan senyum lebar,
Sidik Nugroho
Pesan sponsor: Beberapa tulisan kurang mutu yang kadang mengada-ada bisa diakses di http://tuanmalam.blogspot.com, termasuk catatan perjalanan dalam label Catatan.
3 comments:
Semangat untuk terus belajar ... ya, itu yang kita perlukan. Siapa bilang tulisan mas Sidik ndak bermutu? Mas terlalu rendah hati saja :D
halo eha, itu soalnya tulisan untuk apresiasi sastra. anggotanya, canggih2 menulis, aku jadi keder aja. :-) tq.
Sesuai dengan namanya, proses kreatif, mungkin saat ini yang penting prosesnya.
Salam menulis. :)
Post a Comment