"Ketik Reg, spasi Mama, spasi Porong... kirim ke tit tut tit tut...."
Mama Lauren turut meramalkan kalau bencana lumpur di Porong akan berlangsung selama puluhan tahun. Entah benar entah tidak. Kata Mama, wilayah yang tergenang lumpur bakal mencapai Waru, yang jaraknya sekitar 20 kilometer ke utara dari pusat semburan lumpur. Mama mia! Jauh juga ternyata. Memang, sejak 29 Mei 2006 hingga kini belum ada tanda-tanda lumpur panas akan berhenti muncrat.
26 Juli 2009, udara sangat cerah pada sore hari. Dari Malang yang sejuk aku berangkat jam 15.45 menuju Porong. Sampai di Porong sekitar jam 16.45. Di Porong hawa juga terasa tak terlalu panas. Aku sempat kaget melihat sebagian wilayah yang dulunya tertutup lumpur mengeras dan padat dari Siring Kuning (sebuah titik yang sering dijadikan perhentian bis dan angkot) ke bagian selatan -- sekarang sudah tertutup tanah coklat.
Orang bebas mengendarai motor menuju ke "kawah" yang dulunya merupakan kawasan tertutup lumpur. Namun, kebebasan itu tak penuh. Di jalan turun menuju "kawah", beberapa preman bilang, "Mas, rong ewu, Mas." Ya, biaya untuk menikmati jalan-jalan di kawah lumpur dua ribu rupiah.
Genangan (juga termasuk "kawah") lumpur kini sudah sangat luas. Sejauh ini diperkirakan 530 hektar (data pada bulan Mei 2009). Tiga tahun lumpur menyembur, belum ada hasil yang maksimal dalam penanganan semburan; selain dua upaya utama: pengalihan semburan lumpur ke Kali Porong di bagian selatan menuju laut, dan pembangunan tanggul-tanggul dalam beberapa bagian untuk mencegah luapan lumpur menjalar ke pemukiman penduduk.
Pada akhir Mei lalu, tepat ketika usia bencana lumpur ini tiga tahun, ribuan warga yang sebagian besar berasal dari perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) menggelar aksi demo ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di Surabaya. Demo mereka memuat penolakan atas pemotongan uang ganti rugi. Masalah penggantirugian hingga kini masih saja jadi kemelut panjang, belum selesai-selesai. Diperkirakan ada sepuluh ribu rumah yang terendam, juga belasan pabrik dan beberapa sekolah SD hingga SMA. Namun, Pemprov Jatim tak berpangku tangan. Pada 8 Juni lalu sudah dibangun jalan tol pengganti jalur yang terputus akibat semburan lumpur. Direncanakan, jalan tol baru itu selesai pada tengah tahun 2010.
Langkah ini dianggap sangat tepat diambil mengingat salah satu hambatan -- utamanya kegiatan ekonomi -- terbesar di jalur Surabaya-Malang adalah kemacetan di sekitar Pasar Porong. Kemacetan terutama terjadi hampir di tiap akhir minggu (hari Jumat sore sampai Minggu pagi). Walaupun bagian jalan yang ada di dekat Siring Kuning ke utara sudah dibangun sedmikian lebar dalam dua ruas (satu ruas bisa dilewati empat mobil pada ruas utara menuju selatan), tetap saja kemacetan di Pasar Porong terjadi -- karena lebar jalan makin kecil.
Solusi demi solusi digagas dalam mengubah image Porong yang mengerikan sebagai pusat bencana -- kini menjadi tempat wisata. Wisata Lumpur, demikian kini orang-orang menyebut "kawah" yang terbentuk akibat semburan lumpur panas itu. Kata "wisata" seakan-akan menggantikan kata "bencana" yang dulu merebak bagai teror. Kenangan pahit akan rumah-rumah yang terendam lumpur, demonstrasi-demonstrasi massa yang cukup intens, juga pengungsian demi pengungsian yang harus terjadi akibat bencana semburan lumpur, rasa-rasanya perlahan-lahan pudar. Orang-orang dari segenap penjuru Indonesia, bahkan mancanegara, menikmati pemandangan yang indah di "kawah" akibat bencana ini.
Bahkan, para pemuda setempat main sepakbola di "kawah" bekas semburan lumpur itu. Mereka bermain bola di dekat atap masjid, satu-satunya bangunan dekat jalan raya yang masih ada sisanya akibat genangan lumpur. Ya, karena masjid itu cukup tinggi.
Masih ada pengharapan di balik tiap bencana. Demikian pula di Porong. Dan senja kali ini menghaturkan pengharapan itu dalam canda dan riang para pemain bola, juga dalam wajah mesra sepasang muda-mudi dari Malang yang asyik berfoto di "kawah" bekas semburan lumpur. Beruntung mereka, bertemu denganku yang dengan senang hati mau memfoto mereka berdua. Entah kenapa, keduanya malu bergandengan tangan atau berangkulan mesra ketika kufoto. Mama mia!
16.45, kini sudah bergerak lambat-lambat.... Ya, kini senja makin tua. Dan matahari tampak semakin merah, udara makin dingin. Sayup-sayup terdengar suara adzan. Beberapa burung yang aku tak tahu namanya melintas-lintas di bagian utara "kawah" kering yang kupijak: sebuah bagian lain yang tampak bagai danau.
Kunyalakan starter motor Smash-ku. Kutinggalkan "kawah" yang sebenarnya tak jauh-jauh amat dari tempat kosku ini -- sekitar 10 kilometer. Dalam perjalanan aku mengingat-ingat sebuah puisi yang dulu pernah kubuat ketika melintasi Porong pada bulan Agustus-September tahun lalu:
Catatan Porong
kusam, gosong
lemah jiwa, angan kosong
siang-malam: bolong
lapar-haus: tolong!
harapan sunyi
tak dapat ternyanyi
di sini
tapi masih ada mimpi
***
Sidik Nugroho, 26 Juli 2009
Untuk milis Apresiasi Sastra
5 comments:
Saya ke Porong tiga bulan lalu. Waktu itu, "retribusi"-nya 3000 perak. Kok sekarang turun ya? Hehehe..
Saya sempat foto-foto juga di situ. Mau foto sambil nyengir ke kamera kok risih ya, kesannya nggak empati ke korban lumpur, hehehe..
Cuma tinggal masalah waktu sampai lumpur Porong nggak dianggap lagi sebagai bencana. Maafkan sikap pesimistis saya, tapi ini fenomena alam. Dan saya tidak kaget kalau semburannya meluas.
Kalau danau lumpur ini sampai mencapai Waru, saya pasti juga ikut kena getahnya, biarpun saya warga Bandung. Soalnya keluarga saya masih banyak yang bercokol di Surabaya dan Malang.
Saya harap Pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan pengungsi. Karena memang itu kewajiban Negara sebagai pengayom warganya.
Bung, kapan dikau mau ngajak aku ke Porong? Aku penasaran.
Informasi terkini yang dibungkus dengan rangkaian kalimat yang menarik. Aku pingin tahu bagaimana Porong nantinya. Harapanku tentu tertuju ke arah yang positif.
Кажется, это подойдет.
perlu memeriksa:)
Post a Comment