20.5.09

Gadis yang Bimbang dengan Karunia Tuhan

Judul Buku: Mata Keenam
Penulis: Melody Carlson
Penerjemah: Desiree
Penyunting: Arie Saptaji
Penerbit: Gloria Graffa
Tebal: 342 halaman
Cetakan pertama, Maret 2009

Samantha McGregor gadis 16 tahun yang tak berayah. Ayahnya dulu seorang polisi, yang sempat menyatakan kepadanya kalau ia memiliki karunia khusus. Karunia khusus itu adalah kemampuannya melihat sesuatu di alam roh, lewat mimpi atau penglihatan-penglihatan. Penglihatan yang dimaksud di sini adalah penglihatan atas suatu keadaan yang sifatnya rohani, bukan melihat sesuatu yang dilihat mata biasa. Biasanya, penglihatan ini membawa si pelihat mengetahui keadaan seseorang di hari depannya.

Nah, suatu ketika ia bermimpi dan "melihat" seorang temannya, Kayla Henderson, yang telah menghilang secara misterius. Temannya itu menghilang setelah bercerita dengan penuh semangat bertemu dengan Colby, seorang pria sempurna yang ia temui di internet: tampan, kaya, pandai main selancar, dan romantis. Kepada Kayla ia berjanji akan setia dan memberikan dirinya untuk menjadi teman hidup.

Semua teman Kayla, termasuk Samantha, kemudian menduga bahwa Kayla telah mengikuti pria itu ke rumahnya di San Diego. Namun, karena tak ada berita-berita yang berkembang lebih lanjut selama beberapa minggu, maka Samantha dan Olivia, dua teman Kayla yang masih peduli padanya, berdoa untuknya dan berupaya mencarinya.

Samantha kemudian bertemu dengan Ebony, seorang polwan yang dulu menjadi partner ayahnya. Penglihatan-penglihatan Samantha, oleh Ebony kemudian dijadikan semacam acuan beberapa polisi untuk mencari temannya itu. Ibu Samantha sempat menganggap semua ini tidak normal. Ia jadi kuatir. Dulunya ia malah sempat membawa Samantha ke seorang psikiater. Kekuatirannya bertambah besar ketika ia tahu Samantha bekerja dengan Ebony. Ia mencemaskan keselamatan Samantha, mengingat suaminya yang dulu tewas tertembak saat bertugas dengan Ebony ketika menguak suatu kasus kejahatan.

Belum lagi, keluarganya sendiri sering mengalami masalah. Abang Samantha yang bekerja di persewaan video seringkali membuat ulah dan terlibat beperapa tindak kriminal. Semua ini akhirnya membuat ibu Samantha hampir menentang habis-habisan keterlibatan Samantha dengan polisi mengungkap keberadaan Kayla.

Begitulah sekilas alur yang diracik cukup menarik dalam novel ini. Sayangnya, karena novel ini terkategori novel rohani, tidak terlalu jelas beda antara karunia ilahi yang dimiliki oleh Samantha bila dibandingkan dengan yang dimiliki paranormal. Memang, Samantha sendiri tidak suka disebut-sebut seorang paranormal; namun di sepanjang novel hal-hal yang menjadi pembedanya tak disampaikan dengan acuan teologis yang memadai.

Bahkan, di suatu kesempatan dikisahkan kalau Samantha berusaha mendapatkan penglihatan di rumah Kayla, karena "... seseorang yang diberi karunia khusus bisa menjalin hubungan dengan seseorang yang lain jika ia berada di sekitar benda-benda milik orang yang hilang itu, atau tempat ia biasa meluangkan waktunya" (halaman 114-115). Adakah relevansi kutipan tadi dengan kebenaran Alkitab? Rasanya tidak ada. Tapi, justru penglihatan yang didapatkan Samantha dari rumah ini mengubah arah pencarian mereka selanjutnya, bukan ke San Diego.

Bagian lain yang agak menyedihkan -- selain dukungan teologis yang kurang dalam merekonstruksi cerita -- adalah terjemahan atas judul novel ini. Judul aslinya adalah Bad Connection, namun diterjemahkan menjadi Mata Keenam. Judul yang tanggung -- kenapa tidak sekalian saja Indra Keenam? Apa karena "indra keenam" dianggap sebagai istilah yang lebih cocok dimiliki paranormal? Kalau menggunakan kata "mata", tampaknya lebih pas dijuduli Mata Ketiga, bukan keenam.

Terlepas dari dua kekurangan tersebut di atas, setidaknya Mata Keenam memiliki dua kelebihan yang membuatnya patut untuk disimak tuntas.

Pertama, sasaran pembaca. Mata Keenam dibuat utamanya bagi para remaja, tapi juga asyik dibaca oleh orang dewasa. Pencarian-pencarian Samantha atas sahabatnya di novel ini adalah bukti kegigihan Samantha dalam berupaya menaati Tuhan dan menghargai apa yang Tuhan berikan lewat hidupnya. Inilah sesuatu yang tampaknya menjadi pesan terpenting dalam novel ini, selain persahabatan yang terbina di antara Samantha, Olivia dan Ebony.

Pengisahan tentang single-parent dan upaya mempertahankan eksistensi sebuah keluarga pun turut menghiasi halaman-halaman novel ini dengan begitu menyentuh. Membacanya mungkin Anda akan teringat dengan film Juno -- bila Anda sudah menyaksikan film ini tentunya: sebuah film yang mengisahkan remaja putri yang bingung membuat keputusan atas bayi yang sedang dikandungnya akibat hasil hubungan seks iseng. Seperti Juno yang bingung atas kecelakaan yang menimpa dirinya, Samantha bingung atas kecelakaan yang menimpa temannya. Untungnya, keduanya memiliki kesamaan: sama-sama memiliki sahabat, keluarga dan teman-teman yang mampu diandalkan untuk membuat mereka terus menghadapi hidup dan melakukan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab mereka.

Kedua, jarang ada novel rohani yang mengangkat tema tentang karunia rohani seperti yang ada di novel ini, dengan menghadirkan tokoh seorang remaja putri. Mungkin kita pernah tahu Frank Piretti yang mengarang beberapa novel kristiani, tapi hal yang lebih banyak dikuak di novel itu adalah dunia roh, bukan karunia untuk memahami dunia roh.

Melody Carlson sangat jeli menggambarkan karakter Samantha dengan pergumulannya sebagai seorang remaja putri yang taat dan rohani, namun sering merasa resah dan bimbang akibat kepercayaan dan rahasia-rahasia yang Tuhan berikan dan singkapkan kepadanya.

Walaupun Samantha terkesan serba-bimbang, Melody Carlson membuatnya tetap menarik dengan menghadirkan banyak self-talks Samantha yang manusiawi, dialog-dialog yang bernas dan alur yang wajar. Kita akan turut bersimpati padanya -- seperti misalnya ketika dalam sebuah bagian ia berkata, "... hidupku akan jauh lebih mudah tanpa karunia semacam ini. Aku hanya berharap Tuhan tahu benar apa yang Ia lakukan" (halaman 179).

Ya, tampaknya Melody dengan lihai telah menciptakan karakter Samantha yang rasanya akan disayangi sidang pembaca.

Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan penulis lepas
Malang-Sidoarjo, 16-18 Mei 2009

2 comments:

M.Iqbal Dawami said...

Bung, sampeyan bukan penulis lepas, tapi penulis jalanan haha.. antara malang-sidoarjo. Sukses bung!

Sidik Nugroho said...

iso ae njenengan iki... hihihi...