Judul Buku: Mendongkel Yesus dari Takhta-Nya
Penulis: Darrell L. Bock dan Daniel B. Wallace
Penerjemah: Helda Siahaan
Penerbit: Gramedia
Tebal: 285 halaman
Cetakan pertama, 2009
Yesusanitas -- apakah itu? Diterjemahkan dari bahasa Inggris Jesusanity, Yesusanitas adalah suatu ideologi yang sedang diajarkan di berbagai perguruan tentang kedudukan dan identitas Yesus sebagai tokoh politik radikal, atau guru yang agung dan hebat. Dalam Yesusanitas, posisi Yesus sebagai Kristus, atau Mesias, tidak diakui. Karenanya, Yesusanitas bertolak belakang dengan Kristianitas, pengajaran yang menjunjung tinggi kedudukan Yesus sebagai Juruselamat.
Yesusanitas muncul, kemudian kian merebak, karena adanya beberapa klaim seputar Yesus "yang lain", yang semakin menyedot perhatian publik. Dua penulis buku ini, Darrell L. Bock dan Daniel B. Wallace, memilah klaim-klaim tersebut dalam enam bagian.
Klaim pertama adalah tentang kitab-kitab dalam Perjanjian Baru yang dianggap telah sangat dirusak oleh para penyalin hingga tak terpulihkan. Klaim ini dimotori oleh buku karya Bart Ehrman berjudul Misquoting Jesus. Buku yang ditulis dengan gaya amat provokatif ini membuat orang pesimis akan kondisi naskah-naskah yang menjadi acuan penulisan Injil. Ehrman membuat pernyataan-pernyataan yang mengisyaratkan ketiadaan naskah asli yang menjadi sumber atau acuan penulisan Injil.
Padahal, dibandingkan dengan berbagai jenis manuskrip lain berbahasa Latin dan Yunani yang ditemukan, Perjanjian Baru memiliki jumlah manuskrip yang sangat jauh lebih banyak. Dalam kurun waktu 50 tahun (100-150 M) saja, ada 5700 manuskrip Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani, lebih dari 10.000 manuskrip berbahasa Latin, lebih dari 1 juta kutipan bapa gereja, dan belum termasuk sumber-sumber tertulis lain. Klaim Ehrman, kemudian menjadi begitu memukau, sekaligus meragukan, utamanya karena ia cenderung untuk berfokus pada perubahan-perubahan drastis dalam sejarah teks -- yang jumlahnya hanya segelintir. Perubahan-perubahan ini semestinya diperlakukan memadai dengan menakarnya ulang lewat kritik teks yang diupayakan menyeluruh dan terpadu dari sumber-sumber yang ada.
Klaim kedua adalah keberadaan Injil-Injil Gnostik rahasia, seperti Injil Yudas yang disebut-sebut menjadi kitab bagi versi Kristianitas alternatif di abad-abad pertama Masehi. Aliran Gnostik memberi penekanan berlebihan mengenai wahyu ilahi rahasia terhadap orang-orang tertentu saja. Dalam kasus ini, lagi-lagi ada Bart Ehrman juga yang berkomentar di sini bahwa Injil Yudas menjungkirbalikkan Kristianitas yang sejati: Yudas yang dianggap pemberontak dalam Kristianitas, justru menjadi pembuka jalan bagi penyaliban.
Klaim kedua ini lemah kedudukannya mengingat manuskrip Injil Yudas diindasikan ditulis pada akhir abad ketiga, dan naskah aslinya diperkirakan ditulis abad kedua. Jadi, jelas di sini bahwa Yudas bukan penulisnya. Ia mati menggantung diri tak lama setelah Yesus disalib. Jadi, semua yang ada di sini hanya rekaan: Yudas fiktif dan Yesus fiktif.
Klaim ketiga datang dari Injil Gnostik lain, yaitu Injil Tomas. Dalam Injil yang hanya memuat 114 pernyataan Yesus ini, Tomas menampilkan Yesus sebagai seorang guru. Ia tidak melakukan mukjizat, tidak memenuhi nubuat apa pun, dan tidak melakukan penebusan dosa. Injil Tomas menekankan pengetahuan, namun mengabaikan iman.
Klaim keempat adalah ajaran Yesus yang dianggap intinya bermuatan sosial dan politik. Klaim ini muncul dengan adanya buku karya Marcus Borg dan John Dominic Crossan berjudul The Last Week tentang minggu terakhir Yesus sebelum disalib. Saat itu Yesus ada di Yerusalem. Ia memasuki Yerusalem dengan menunggang seekor keledai muda. Ia menyucikan Bait Allah dengan cara yang radikal, mengucapkan sesuatu tentang pajak dan kekaisaran, berhadapan dengan mahkamah agama Yahudi, hingga mati disalib dengan tuduhan pemberontakan. Semuanya tampak memuat hal-hal berbau politik.
Borg dan Crossan kemudian menganalogikan secara politis sejarah Yesus dengan kondisi Amerika saat ini. Yesus dianggap politisi unggul yang "dibunuh karena impian-Nya", dan kemudian dibenarkan oleh Tuhan. Dalam Kristianitas, Yesus tidak melakukan semuanya karena bertujuan politis. Ia tak sekedar memenuhi impian-Nya, tapi kehendak Tuhan.
Klaim kelima datang dari buku The Dynasty of Jesus karya James Tabor. Dalam buku ini Tabor menolak keadaan Yesus yang lahir dari seorang perawan. Ia kemudian menitikberatkan gagasannya pada rencana Yesus untuk membangun sebuah dinasti Yahudi bersama Yakobus, Petrus dan Yohanes. Sebuah rencana yang kemudian gagal karena tampilnya Paulus yang dianggap sebagai tokoh sentral dalam Perjanjian Baru dan meletakkan dasar bagi Kristianitas lewat ajaran-ajarannya tentang Yesus Kristus.
Tampak di sini bahwa Tabor berusaha mempertahankan ke-Yahudi-an Yesus dengan mengabaikan Paulus, seorang rasul -- yang justru "sangat Yahudi" -- yang menyebarkan berita Injil ke bangsa-bangsa bukan Yahudi.
Klaim keenam datang dari berita seputar penemuan makam Yesus. Discovery Channel bahkan sudah membuat film dokumenter tentang ini dengan James Tabor sebagai penasihat sejarah utama. Klaim ini menunjuk beberapa makam yang diklaim sebagai makam Yesus dan keluarganya. Yesus dalam klaim ini beristri dan beranak. Istri, anak, dan beberapa saudara Yesus dimakamkan selokasi dengan Yesus. Namun, hasil uji DNA telah menyatakan bahwa antara makam Yesus dan sebuah makam di situ -- yaitu makam Mariamne, yang diduga adalah Maria ibu Yesus atau Maria Magdalena -- tidak memiliki hubungan darah. Selain itu, nama Yesus cukup populer pada masa itu. Josephus, seorang ahli sejarah menyebut ada 10 orang bernama Yesus saat Yesus Kristus hidup.
Klaim-klaim di atas menantang logika dan keyakinan kita atas keabsahan jati-diri Yesus yang selama ini dikenal dari Alkitab atau doktrin gerejawi. Buku apologetika yang dikemas dengan meracik sumber-sumber sejarah terpilih dan wacana-wacana terkini ini layak untuk dijadikan pegangan yang standar dan bersifat umum.
Judul buku ini (asli: Dethroning Jesus), tepat benar untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi -- dan kemungkinan besar akan terus terjadi -- sesuai sebuah nubuat di masa silam: bahwa Yesus Kristus akan selalu menjadi biang perbantahan. Takhta-Nya sebagai Mesias selalu digoyang dan diserang. Kristianitas, kini tak sekedar memuat ibadah dan pengagungan, namun tampaknya juga mencakup upaya menelusuri dan memetik hikmah dari beraneka perbantahan itu. ***
Sidik Nugroho,
Peminat sejarah gereja, alumnus jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, punya blog di http://tuanmalam.blogspot.com .
Penulis: Darrell L. Bock dan Daniel B. Wallace
Penerjemah: Helda Siahaan
Penerbit: Gramedia
Tebal: 285 halaman
Cetakan pertama, 2009
Yesusanitas -- apakah itu? Diterjemahkan dari bahasa Inggris Jesusanity, Yesusanitas adalah suatu ideologi yang sedang diajarkan di berbagai perguruan tentang kedudukan dan identitas Yesus sebagai tokoh politik radikal, atau guru yang agung dan hebat. Dalam Yesusanitas, posisi Yesus sebagai Kristus, atau Mesias, tidak diakui. Karenanya, Yesusanitas bertolak belakang dengan Kristianitas, pengajaran yang menjunjung tinggi kedudukan Yesus sebagai Juruselamat.
Yesusanitas muncul, kemudian kian merebak, karena adanya beberapa klaim seputar Yesus "yang lain", yang semakin menyedot perhatian publik. Dua penulis buku ini, Darrell L. Bock dan Daniel B. Wallace, memilah klaim-klaim tersebut dalam enam bagian.
Klaim pertama adalah tentang kitab-kitab dalam Perjanjian Baru yang dianggap telah sangat dirusak oleh para penyalin hingga tak terpulihkan. Klaim ini dimotori oleh buku karya Bart Ehrman berjudul Misquoting Jesus. Buku yang ditulis dengan gaya amat provokatif ini membuat orang pesimis akan kondisi naskah-naskah yang menjadi acuan penulisan Injil. Ehrman membuat pernyataan-pernyataan yang mengisyaratkan ketiadaan naskah asli yang menjadi sumber atau acuan penulisan Injil.
Padahal, dibandingkan dengan berbagai jenis manuskrip lain berbahasa Latin dan Yunani yang ditemukan, Perjanjian Baru memiliki jumlah manuskrip yang sangat jauh lebih banyak. Dalam kurun waktu 50 tahun (100-150 M) saja, ada 5700 manuskrip Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani, lebih dari 10.000 manuskrip berbahasa Latin, lebih dari 1 juta kutipan bapa gereja, dan belum termasuk sumber-sumber tertulis lain. Klaim Ehrman, kemudian menjadi begitu memukau, sekaligus meragukan, utamanya karena ia cenderung untuk berfokus pada perubahan-perubahan drastis dalam sejarah teks -- yang jumlahnya hanya segelintir. Perubahan-perubahan ini semestinya diperlakukan memadai dengan menakarnya ulang lewat kritik teks yang diupayakan menyeluruh dan terpadu dari sumber-sumber yang ada.
Klaim kedua adalah keberadaan Injil-Injil Gnostik rahasia, seperti Injil Yudas yang disebut-sebut menjadi kitab bagi versi Kristianitas alternatif di abad-abad pertama Masehi. Aliran Gnostik memberi penekanan berlebihan mengenai wahyu ilahi rahasia terhadap orang-orang tertentu saja. Dalam kasus ini, lagi-lagi ada Bart Ehrman juga yang berkomentar di sini bahwa Injil Yudas menjungkirbalikkan Kristianitas yang sejati: Yudas yang dianggap pemberontak dalam Kristianitas, justru menjadi pembuka jalan bagi penyaliban.
Klaim kedua ini lemah kedudukannya mengingat manuskrip Injil Yudas diindasikan ditulis pada akhir abad ketiga, dan naskah aslinya diperkirakan ditulis abad kedua. Jadi, jelas di sini bahwa Yudas bukan penulisnya. Ia mati menggantung diri tak lama setelah Yesus disalib. Jadi, semua yang ada di sini hanya rekaan: Yudas fiktif dan Yesus fiktif.
Klaim ketiga datang dari Injil Gnostik lain, yaitu Injil Tomas. Dalam Injil yang hanya memuat 114 pernyataan Yesus ini, Tomas menampilkan Yesus sebagai seorang guru. Ia tidak melakukan mukjizat, tidak memenuhi nubuat apa pun, dan tidak melakukan penebusan dosa. Injil Tomas menekankan pengetahuan, namun mengabaikan iman.
Klaim keempat adalah ajaran Yesus yang dianggap intinya bermuatan sosial dan politik. Klaim ini muncul dengan adanya buku karya Marcus Borg dan John Dominic Crossan berjudul The Last Week tentang minggu terakhir Yesus sebelum disalib. Saat itu Yesus ada di Yerusalem. Ia memasuki Yerusalem dengan menunggang seekor keledai muda. Ia menyucikan Bait Allah dengan cara yang radikal, mengucapkan sesuatu tentang pajak dan kekaisaran, berhadapan dengan mahkamah agama Yahudi, hingga mati disalib dengan tuduhan pemberontakan. Semuanya tampak memuat hal-hal berbau politik.
Borg dan Crossan kemudian menganalogikan secara politis sejarah Yesus dengan kondisi Amerika saat ini. Yesus dianggap politisi unggul yang "dibunuh karena impian-Nya", dan kemudian dibenarkan oleh Tuhan. Dalam Kristianitas, Yesus tidak melakukan semuanya karena bertujuan politis. Ia tak sekedar memenuhi impian-Nya, tapi kehendak Tuhan.
Klaim kelima datang dari buku The Dynasty of Jesus karya James Tabor. Dalam buku ini Tabor menolak keadaan Yesus yang lahir dari seorang perawan. Ia kemudian menitikberatkan gagasannya pada rencana Yesus untuk membangun sebuah dinasti Yahudi bersama Yakobus, Petrus dan Yohanes. Sebuah rencana yang kemudian gagal karena tampilnya Paulus yang dianggap sebagai tokoh sentral dalam Perjanjian Baru dan meletakkan dasar bagi Kristianitas lewat ajaran-ajarannya tentang Yesus Kristus.
Tampak di sini bahwa Tabor berusaha mempertahankan ke-Yahudi-an Yesus dengan mengabaikan Paulus, seorang rasul -- yang justru "sangat Yahudi" -- yang menyebarkan berita Injil ke bangsa-bangsa bukan Yahudi.
Klaim keenam datang dari berita seputar penemuan makam Yesus. Discovery Channel bahkan sudah membuat film dokumenter tentang ini dengan James Tabor sebagai penasihat sejarah utama. Klaim ini menunjuk beberapa makam yang diklaim sebagai makam Yesus dan keluarganya. Yesus dalam klaim ini beristri dan beranak. Istri, anak, dan beberapa saudara Yesus dimakamkan selokasi dengan Yesus. Namun, hasil uji DNA telah menyatakan bahwa antara makam Yesus dan sebuah makam di situ -- yaitu makam Mariamne, yang diduga adalah Maria ibu Yesus atau Maria Magdalena -- tidak memiliki hubungan darah. Selain itu, nama Yesus cukup populer pada masa itu. Josephus, seorang ahli sejarah menyebut ada 10 orang bernama Yesus saat Yesus Kristus hidup.
Klaim-klaim di atas menantang logika dan keyakinan kita atas keabsahan jati-diri Yesus yang selama ini dikenal dari Alkitab atau doktrin gerejawi. Buku apologetika yang dikemas dengan meracik sumber-sumber sejarah terpilih dan wacana-wacana terkini ini layak untuk dijadikan pegangan yang standar dan bersifat umum.
Judul buku ini (asli: Dethroning Jesus), tepat benar untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi -- dan kemungkinan besar akan terus terjadi -- sesuai sebuah nubuat di masa silam: bahwa Yesus Kristus akan selalu menjadi biang perbantahan. Takhta-Nya sebagai Mesias selalu digoyang dan diserang. Kristianitas, kini tak sekedar memuat ibadah dan pengagungan, namun tampaknya juga mencakup upaya menelusuri dan memetik hikmah dari beraneka perbantahan itu. ***
Sidik Nugroho,
Peminat sejarah gereja, alumnus jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, punya blog di http://tuanmalam.blogspot.
4 comments:
Saya sudah baca buku ini, tidak ada yg baru, hanya pengulangan dari apologetika yg sudah ada. Yg bikin menarik cuma istilah Jesusanity, namun saya kurang suka para penulis buku ini menggunakan terminologi Jesusanity, seolah-olah mempertentangkan Christ dengan Jesus. Hal ini dapat memperkuat klaim bahwa agama Kristen didirikan oleh Paulus dan dipertentangkan dengan "maksud yang sebenarnya" dari Yesus, tentunya menurut versi kelompok tsb. Jadi, pertentangan istilah Christianity vs Jesusanity kurang bijak. Bagi saya, yg dikembangkan oleh Bart-Tabor cs itu bukanlah Jesusanity, tetapi justru anti Jesusanity. Konsep yg mereka kembangkan tidak pantas dilabeli terminologi Yesusanitas, yg semestinya adalah milik Kristianitas, karena Yesuslah peletak dasar kekristenan.
tq sebelumnya. kedua terminologi itu tidak dipertentangkan kok, pak, dalam pendahuluan yang tak kepalang tanggung panjangnya: 42 halaman. justru diuraikan dan dibandingkan agar pembaca beroleh gambaran jelas.
istilah yesusanitas masih dalam koridor yang tepat, mengingat beberapa klaim yang berupaya "dethroning jesus" sebagian besar masih respek terhadap status yesus sebagai manusia agung -- tapi bukan juruselamat.
soal terminologi yang saling memiliki saya rasa subjektif sekali. itu soal penafsiran yang sifatnya relatif. kalau memang dirasa tidak pas oleh bapak, mungkin karena bapak melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
demikian, pak. semoga berkenan. mari kita diskusikan lebih jauh bila ada waktu.
Sanity dalam kamus artinya sebuah perilaku normal yang diharapkan dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku atau dapat juga diartikan sebagai kegiatan mental yang sehat.
Kekristenan atau Alkitab memang tidak lekang oleh waktu untuk diperdebatkan, bahkan ketika Tuhan Yesus masih menapakkan jejak keIlahiannya di bumi ini.
Bagi saya pribadi, perdebatan itu sungguh merupakan pembuktian dari nubuatan alkitab dan merupakan sebuah olah pemikiran untuk mencermati topeng apa lagi nih yang dipakai si jahat untuk mengelabui manusia?.
Dan dari pikiran yang demikian saya mengucap syukur bahwa saya diberikan hikmat bijaksana dalam menyikapi dan menjalani hidup.
Salam kenal. Henny
Trims, Bu Henny, atas masukannya. Salam kenal.
Post a Comment