27.4.09

Dendam dan Stres yang Mengerikan

Kisah-kisah dalam Buku dan Film

Roger Ebert, kritikus film ternama itu, pernah menyatakan bahwa Hannibal Lecter adalah tokoh yang ditakuti, namun juga disayangi. Hannibal Lecter adalah tokoh dalam film Silence of the Lambs, Hannibal, Red Dragon, dan yang terakhir Hannibal Rising. Komentar Roger Ebert tak berlebihan. Hannibal Lecter memang sangat menakutkan karena otak manusia pun dimakannya, namun juga disayangi karena ia amat flamboyan dan romantis.

Hannibal Lecter menjadi sedemikian keji karena semasa kecil ia pernah menyaksikan beberapa tentara kelaparan semasa perang yang memakan adiknya, Mischa. Tentara-tentara itu sudah tak punya makanan lagi. Kebengisan mereka "menular" kepadanya akibat dendam.

Di dalam Hannibal Rising dikisahkan kalau ulah para tentara rakus nan bengis pada Mischa sering hadir dalam mimpi-mimpi Hannibal. Ia sangat menyayangi Mischa. Mimpi-mimpi itu, dipadu dengan kebencian, berbuntut pada pembalasan dendam yang tak kalah keji pada tentara-tentara itu.

Bukan hanya di film, bila kita memperhatikan buku-buku fiksi yang dijual akhir-akhir ini, maka salah satu yang cukup menyedot minat pembaca adalah buku-buku tentang psikopat. Jauh sebelum novel-novel ini marak, dulu, Sidney Sheldon menulis -- berdasarkan riset psikoanalisis yang cukup mendalam -- kisah seorang gadis yang memiliki tiga kepribadian lewat novelnya Tell Me Your Dreams.

Gadis yang suka murung merenung ini bisa menjadi anggun, funky, namun sekaligus kejam. Ia adalah seorang yang memiliki trauma masa lalu yang sulit terhapuskan. Ia hidup bergonta-gonti "baju" kepribadian, tanpa pernah menyadari apa yang sebenarnya sedang menimpa dirinya.

Cerita lain tentang dendam kesumat dan stres bahkan menjadi sebuah ajang bersejarah dalam dunia jurnalisme. In Cold Blood, buku karangan Truman Capote menjadi best-seller, disebut-sebut sebagai pelopor dalam jurnalisme sastrawi. Buku itu laku keras, dan filmnya sendiri sudah dibuat dalam beberapa versi.

In Cold Blood bercerita tentang seorang pria yang sangat memuja ayahnya. Sayangnya, di masa kecil ia jarang bersama ayahnya. Ayahnya seorang artis rodeo (penunggang kuda). Ketika ayahnya kehilangan pekerjaan, kehidupan mereka menjadi susah. Si ibu akhirnya meninggalkan si ayah seorang diri.

Pria ini bahkan beberapa kali bermimpi tentang ayahnya sambil memanggil-manggil namanya. Teman dekatnya yang bersaksi tentang hal ini. Dan, betapa ia bahagia, suatu saat ia bertemu ayahnya lagi ketika dewasa. Mereka berdua lalu membuka bar kecil dengan beberapa meja biliar.

Harapan pria ini untuk bersama ayahnya tergapai sudah. Namun, sayangnya, suatu ketika saat ia mendekor bar mereka dengan lukisan-lukisan buatannya, ayahnya datang sambil mabuk, mencerca anak ini sebagai anak yang tak berguna. Bar mereka sedang sepi pengunjung, dan si ayah menganggap bahwa lukisan-lukisan anaknya itulah yang menjadi penyebabnya.

Perry Smith, anak itu, kemudian memutuskan untuk membunuh ayahnya dengan cara yang keji dan mengerikan. Dan dia melakukannya dalam "kondisi jiwa tanpa bersalah", atau "in cold blood."

Kisah Perry tidak hanya berakhir di situ. Ia juga melakukan serangkaian pembunuhan berantai yang membuatnya dihukum gantung. Itu semua terjadi karena harapannya mendapat sosok ayah yang melindungi dan menyayanginya pupus dan terberai. Dan harapan itu kemudian berubah jadi amukan yang mengerikan. ***

Tantangan Hidup di Zaman Serba Susah

Di zaman ini, banyak orang hidup dalam kepahitan. Krisis global telah menjadi isu sentral yang berperan memantik stres dalam hidup setiap orang. Dalam sebuah bincang-bincang di televisi, diperkirakan krisis global mencapai puncaknya setelah Juli 2009. Kemunculan krisis, dibarengi dengan munculnya minat terhadap buku-buku psikopat yang tadi saya sebut -- membahayakankah gejala ini?

Kemurungan kita semestinya ditakar dengan cara menghadapi hidup sejujur-jujurnya. Setelah jujur, kita lalu mau rendah hati mengakui kelemahan dan ketidakberdayaan kita menghadapi kesusahan hidup, kepahitan, dan beraneka masalah yang mendera batin kita. Dendam dan stres itu manusiawi. Kita bahkan mungkin turut bersorak-sorak ketika seorang tokoh protagonis di film berhasil membalas dendam. Namun, sadarkah kita bahwa menyimpan dendam akan membuat kita tak waras? Seperti Hannibal, ia dapat tampil romantis, namun sekaligus kanibal.

Bahkan tekanan hidup dapat membuat seseorang berlaku sadis kepada orang yang sama sekali tak ada kaitannya dengan sumber amarahnya.

Minggu siang, 9 November 2008, jam 12 lewat sedikit. Saya lagi santai menunggu pempek digoreng di sebuah warung, sambil menyaksikan acara televisi. Nah, berita ini melintas.

Seorang bayi, usia 3 bulan, kepalanya merah-merah. Mengerikan, mengundang tangis dan membuat selera makan sirna. Dia baru saja dipukuli sama ibunya yang stres. Untung tetangganya mengetahuinya, lalu merampas bayi itu. Bayi itu selamat, menutup mata, lelap, tampak lemah dalam dekapan si tetangga. Dia ditimang-timang, dan didekap erat oleh si tetangga penyelamat.

Hingga berita itu ditayangkan, tidak disebutkan alasan mengapa ibu tersebut jadi begitu. Stres akibat tekanan hidup memang kadang-kadang dilampiaskan mengerikan. Hidup ini sendiri, bagi beberapa orang sangatlah mengerikan. Bila kejadian yang diterima seseorang adalah malapetaka dan duka beruntut-runtutan dan sambung-menyambung -- siapa tahan? Mana tahan?

Kita dapat menemukan pertahanan lewat pengampunan. Apa pun kesalahan orang lain di masa lalu, ampunilah. Jikalau kita tidak mau mengampuni, maka -- walaupun tak sekeji Hannibal -- kita akan menjadi pribadi yang mempunyai dua jiwa yang berbeda. Pengampunan adalah kunci bagi kehidupan penuh syukur dan berkah. Dalam pengampunan, ucapan syukur dan kepasrahan, tersimpan rahasia kebahagiaan yang dapat ditemukan seseorang. Masalah boleh datang dan pergi, namun ketegaran dan sikap legawa akan selalu tentramkan jiwa yang penuh gejolak.

Dan akhirnya, dalam semua itu kita dapat hidup lega, karena, seperti yang dikatakan seorang bijak, "Kehidupan bukanlah hal-hal yang terjadi pada diri Anda, tapi sikap Anda terhadap hal-hal tersebut." ***

Sidik Nugroho, pemerhati perilaku sosial

1 comment:

haris said...

zaman2 kita ini ternyata bnyk hal2 mengerikan yg tak msuk akal. barangkali tuntutan zaman kita emang berat, mas. susah menghindarinya pula. akibatnya, ya, stres itu tadi.